Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
Syifa Fatimazzahroh
"Pemindahan dari bahasa tekstual ke dalam bahasa visual merupakan bentuk alih wahana yang paling diminati banyak orang. Pada 2019 Tencent Video merilis drama kolosal berjudul The Untamed melalui platform daring WeTV. Dibalik antusiasme dan kesuksesan yang didapatkan oleh drama ini, nyatanya tidak semua penonton mengetahui bahwa The Untamed merupakan alih wahana dari danmei fenomenal yang berjudul Mo Dao Zu Shi (MDZS). Danmei yang memiliki narasi tentang dinamika hubungan romantis homoseksual yang merupakan isu kontroversial di Tiongkok sehingga pemerintah cenderung dengan tegas sangat membatasi konten media yang berhubungan dengan hal tersebut. Oleh sebab itu The State Administration of Radio, Film, and Television (SARFT) akan memboikot seluruh konten yang melanggar standar penayangan Tiongkok. Penelitian ini mengkaji isu tersebut menggunakan konsep negosiasi budaya dalam menyiasati regulasi sensor pemerintah Tiongkok. Dalam proses negosiasi budaya Tencent Video melakukan modifikasi konten untuk menyesuaikan dengan permintaan SARFT. Baik modifikasi konten dan negosiasi budaya yang dilakukan pada drama The Untamed memiliki tujuan yang sama, yaitu agar kontennya lebih “jinak” sehingga versi visual dari novel MDZS yang tidak layak tayang di media digital dapat dinikmati secara luas pada drama alih wahananya, yaitu The Untamed.
The transfer from textual language to visual language is the most popular form of ecranisation In 2019 Tencent Video released a colossal drama titled The Untamed through the WeTV online platform. Despite the enthusiasm and success of the drama, not all the viewers knew that The Untamed was an ecranisation Danmei which has a narrative about the dynamics of homosexual romantic relationships, a controversial issue in China. Therefore, the government tends to severely restrict media content related to homosexuals. The State Administration of Radio, Film, and Television (SARFT) will ban all content that violates China's broadcast standards. This research analyzes the issue using the concept of cultural negotiation in getting around the Chinese government's censorship regulations. During the process of cultural negotiation, Tencent Video made content modifications to adjust to SARFT's demands. Both content modification and cultural negotiation conducted on The Untamed drama have the same aim, that is to make the content more "tame" thus the visual version of the MDZS novel that is not appropriate for broadcast on digital media can be widely enjoyed on the drama, The Untamed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Siti Muthia Hasna
"Penelitian ini bertujuan menganalisis representasi feminitas perempuan berdasarkan gender sebagai dampak dari globalisasi yang ditampilkan dalam drama televisi Jepang For You in Full Blossom (2007) dan Pretty Proofreader (2016) serta drama televisi Korea Full House (2004) dan Fight for My Way (2017). Perempuan modern terkait feminitas, dihadapkan dengan maskulinitas dalam struktur masyarakat Jepang dan Korea. Dengan unit analisis perilaku, penampilan, dan gaya hidup, penelitian antardisiplin ini menganalisis representasi dari keempat drama televisi sebagai korpus penelitian. Metode analisis isi digunakan sebagai teknik penelitian untuk membuat simpulan yang sahih dan dapat direplikasi dari teks ke konteks penggunaannya, melalui empat tahapan: merumuskan tujuan dan konseptualitas, menyusun kategorisasi unit sampling, mencatat unit sampling, dan terakhir mengkaji hasil pencatatan dengan memberikan interpretasi. Hasil penelitian keempat drama televisi tersebut merepresentasikan perempuan Jepang dan Korea sebelum dan sesudah 2010 sebagai titik pergeseran perilaku dan penampilan perempuan dalam nilai-nilai feminitas yang dihadapkan dengan maskulinitas di Asia Timur. Perempuan Jepang dan Korea memahami tuntutan masyarakat untuk berbaur demi menjaga harmoni yang menjadi nilai penting dalam masyarakat Asia Timur, tanpa mengesampingkan individualitasnya.
This study aims to analyze the representation of women’s femininity according to gender as the impact of globalization shown in the Japanese television dramas For You in Full Blossom (2007) and Pretty Proofreader (2016), and Korean television dramas Full House (2004) dan Fight for My Way (2017). Modern women related to femininity faced masculinity in Japanese and Korean social structures. With behavior, appearance, and lifestyle as analysis units, this interdisciplinary study analyzed the representation in those four television dramas as the corpus of research. The context analysis method is used as a research technique to make a valid and replicable conclusion from text to the usage context through four steps: formulate the purpose and concept of research, arrange a set of sampling unit categorizations, record the sampling unit, and study the data record by giving the interpretation. The study shows that these four television dramas represented Japanese and Korean women before and after 2010 as a shift point of behavior and appearance in femininity values faced masculinity values in East Asia. Japanese and Korean women acknowledged the requirements to mingle in their society to maintain harmony as one of the essential values in East Asian society without neglecting their individualities."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Muhammad Fathurrohman
"Penelitian ini bertujuan menganalisis transformasi budaya yang terjadi pada budaya makan Korea dalam tren mukbang. Metode kualitatif dengan analisis isi digunakan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya makan Korea yang muncul di tren mukbang. Analisis yang telah dilakukan membuktikan bahwa mukbang merupakan bentuk transformasi budaya makan Korea yang dipicu oleh perkembangan teknologi internet. Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya makan Korea yang muncul di mukbang. Budaya makan Korea yang kolektif melalui praktik makan bersama diubah ke dalam bentuk digital dengan siaran mukbang yang dilakukan seorang diri namun memiliki kolom chat yang digunakan untuk komunikasi antara penyiar dan penonton konten mukbang. Mukbang telah mengakomodasi pergeseran yang terjadi dalam etika makan Korea menjadi hal yang lumrah. Konsep yang mukbang bawa juga banyak digunakan dalam beberapa acara TV. Mukbang juga memberikan dampaknya kepada pembuat kontennya dengan perannya sebagai profesi yang memberikan pendapatan finansial dan menjadi sarana bersosialisasi para penontonnya untuk mengisi rasa kolektivisme mereka. Bagi Korea Selatan, mukbang memiliki potensi yang besar kekuatan yang mempertahankan Korean Wave dan media promosi budaya makan Korea ke dunia. Perubahan-perubahan yang mukbang bawa dalam budaya makan Korea adalah bukti tren tersebut telah mentransformasi budaya makan Korea menjadi bentuk baru.
This research aims to analyse the cultural transformation of Korean eating culture through mukbang. Qualitative method along with content analysis is used to find the changes in Korean eating culture which are shown in mukbang. The analysis found that mukbang is a form of transformation of Korean eating culture which is triggered by the development of internet technology. The changes of the Korean eating culture are shown in mukbang. The collectiveness of Korean eating culture through commensality is changed to its digital form through mukbang broadcast that is aired alone by the broadcaster but has a chatting window that allows the broadcasters and their viewers chatting in mukbang content. Mukbang also accommodates the shifting in the Korean eating etiquette and those are seen as a normal things to do. The concept that mukbang has also become the source concept in some television programmes. Mukbang has its own impact for the content creator as it’s given the opportunity for the content creator getting financial income and has a role as socialisation tool for its viewer and help them to gain their collectivism needs. For South Korea, mukbang has many potentials to become one of the powers that helps maintaining Korean Wave while also helping promote Korean eating culture to the world. The changes that mukbang has are the evidences that this trend has transformed Korean eating culture to its new form."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Indira Novianti
"Proyek Akhir ini menganalisis konsep representasi negosiasi muka dalam drama televisi Asia Timur. Di Asia Timur, “muka” memiliki posisi yang sangat penting ketika berkonflik. Jepang memiliki konsep mentsu, Korea Selatan memiliki konsep chemmyeon, dan Cina memiliki konsep mianzi. Secara garis besar, ketiga konsep “muka” dalam ketiga negara memiliki makna yang mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Konsep tersebut kemudian direpresentasikan dalam drama televisi masing-masing negara. Drama televisi yang menjadi korpus penelitian ini adalah Hana Yori Dango (Jepang), Boys Over Flowers (Korea Selatan), dan Meteor Garden (Cina). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis dengan menggunakan metode analisis semiotika. Hasil penelitian yang diperoleh adalah meskipun ketiga negara di Asia Timur memiliki konsep “muka” yang sama, masing-masing negara memiliki cara dan budayanya sendiri dalam hal menjaga dan melindungi muka diri sendiri maupun lawan konflik yang ditandai dengan perbedaan pemilihan kata, ekspresi wajah, gaya bicara, dan intonasi bicara dari tokoh dalam ketiga drama televisi.
This Final Project analyzes the concept of face negotiation representation in East Asian television dramas. In East Asia, "face" has a crucial position during the conflict. Japan has the concept of mentsu, South Korea has the concept of chemmyeon, and China has the concept of mianzi. The three concepts of "face" in the three countries have meanings that refer to one's self-image in front of other people. This concept is then represented in the television dramas of each country. The television dramas that became the corpus of this research were Hana Yori Dango (Japan), Boys Over Flowers (South Korea), and Meteor Garden (China). This research is descriptive analysis research using the semiotic analysis method. The research results obtained are that although the three countries in East Asia have the same concept of "face," each country has its way and culture in terms of protecting and protecting the face of oneself and opponents of conflict, which is characterized by differences in word choice, facial expressions, style, speech, and intonation of the characters in the three television dramas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Johan Rio Pamungkas
"Proyek akhir ini membahas tentang pengaruh Undang-Undang Diplomasi Publik Korea Selatan ditinjau dari peran industrialisasi budayanya. Undang-Undang Diplomasi Publik mempunyai tujuan untuk meningkatkan citra negara Korea Selatan. Citra negara bagi Korea Selatan sangat penting untuk menguatkan posisi mereka sebagai negara dengan kekuatan menengah serta untuk mengurangi persepsi negatif akibat konflik dengan Korea Utara. Dengan menggunakan konsep diplomasi publik serta metode sejarah, penelitian ini menganalisis alasan Korea Selatan memerlukan Undang-Undang Diplomasi Publik kemudian pelaksanaan diplomasi publik setelah pengesahan undang-undang tersebut dan manfaat dari undang-undang itu terhadap peningkatan citra negara Korea Selatan yang ditinjau secara kritis dari peran industrialisasi budaya Korea Selatan. Industrialisasi budaya Korea Selatan mencakup musik, festival film dan pariwisata. Industrialisasi budaya ini kemudian dimanfaatkan oleh Korea Selatan dalam diplomasi publiknya yang sejalan dengan penerapan Undang-Undang Diplomasi Publik. Hasil dari penelitian kemudian, memperlihatkan benar-benar ada peningkatan citra negara Korea Selatan setelah adanya Undang-Undang Diplomasi Publik yang dipengaruhi oleh industrialisasi budaya Korea Selatan.
This final project discusses the influence of South Korea's Public Diplomacy Law in terms of its cultural industrialization role. The Public Diplomacy Law has the objective of enhancing the image of the country of South Korea. The country's image for South Korea is very important to strengthen their position as a middle power country and to reduce negative perceptions due to conflict with North Korea. By using the concept of public diplomacy and historical methods, this study analyzes the reasons South Korea needs a Public Diplomacy Law then the implementation of public diplomacy after the ratification of the law and the benefits of the law on improving the image of the country of South Korea which is critically reviewed from its role South Korean cultural industrialization. South Korea's cultural industrialization includes music, film festivals and tourism. This cultural industrialization is then used by South Korea in its public diplomacy which is in line with the implementation of the Public Diplomacy Law. The results of later research show that there is actually an increase in the image of the country of South Korea after the Public Diplomacy Act was influenced by the industrialization of South Korean culture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Aulia Maulida Safitri
"Budaya Asia Timur tak lepas dari ritual untuk menghormati eksistensi Dewa. Ritual yang ada di Asia Timur contohnya adalah Festival Bintang yang dilaksanakan di musim panas. Festival ini berasal dari Tiongkok, bernama Festival Qixi. Kemudian masuk ke Korea dan dikenal dengan festival Chilseok. Dari Korea, kemudian masuk ke Jepang dan kemudian dinamakan festival Tanabata. Persamaan dalam tiga festival tersebut adalah sama-sama menjadikan bintang altair dan vega sebagai simbol dalam festival tersebut. Selain bintang, dalam festival Tanabata terdapat beberapa simbol lainnya yang disebut dalam nanatsu no kazari. Simbol tersebut bukan hanya sebagai ornamen atau pajangan, melainkan memiliki arti dan makna tersendiri sehingga wajib ada dalam perayaannya.
East Asian culture cannot be separated from rituals to honor the existence of Gods. Rituals in East Asia, for example, are the Star Festival which is held in the summer. This festival originates from China, named Qixi Festival. Then it entered Korea and became known as the Chilseok Festival. From Korea, then entered Japan and was then called the Tanabata Festival. The similarities in the three festivals are that they both make the stars Altair and Vega the symbols of the festival. Apart from stars, in the Tanabata festival there are several other symbols which are mentioned in nanatsu no kazari. This symbol is not only an ornament or display, but has its own meaning and significance so that it must be present in the celebration."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Cherli Septiani
"Kontestasi anime Jepang dan animasi Cina (donghua) merupakan fenomena yang menarik. Belakangan ini, film animasi yang beredar bukan hanya didominasi oleh anime Jepang namun juga film animasi Cina atau yang dikenal dengan sebutan donghua. Peminat anime Jepang mulai melirik donghua Cina. Bagaimana kontestasi konkrit di antara keduanya menjadi fokus permasalahan penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kontestasi anime Jepang dan donghua Cina. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontestasi budaya yang dikemukakan oleh Marc Howard Ross (2009) dan soft power dari Joseph Nye (2004). Eksplanasi atas kontestasi anime Jepang dan donghua Cina terbagi atas kontestasi unsur intrinsik dan kontestasi unsur ekstrinsik. Kontestasi unsur intrinsik berkenaan dengan (i) isi cerita, (ii) sinematografi, dan (iii) karakter animasi. Sementara itu, kontestasi unsur ekstrinsik, terbagi atas (i) kontestasi popularitas anime Jepang dan donghua Cina di kalangan komunitasnya, dan (ii) kontestasi popularitas anime-donghua di kalangan reviewer anime. Berdasarkan hasil yang diperoleh, anime Jepang masih dapat berkontestasi dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik. Namun, permasalahan internal seperti pekerjaan animator yang bekerja melampaui batas dengan pendapatan yang rendah membuat orang Jepang enggan menjadi animator. Jika permasalahan ini tidak teratasi, anime akan mengalami masalah dalam hal rekrutmen animator yang berkualitas. Sementara itu, donghua dalam hal ini masih pada tahap mengembangkan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya, seperti isi cerita, sinematografi, karakter anime, popularitas di kalangan komunitas dan reviewer. Meskipun pembuatan animasinya sudah sangat canggih, masih ada bagian-bagian tertentu dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik yang belum bisa menyaingi anime.
The contestation between Japanese anime and Chinese animation (donghua) is an interesting phenomena. These days, animated films in circulation are not only dominated by Japanese anime but also Chinese animated films or known as donghua. Japanese anime fans are starting to look at Chinese donghua. How concrete contestation between the two is the focus of this research problem. The purpose of this research is to explain the contestation of Japanese anime and Chinese donghua. The theory used in this research is cultural contestation proposed by Marc Howard Ross (2009) and soft power from Joseph Nye (2004). Explanation of the contestation of Japanese anime and Chinese donghua is divided into intrinsic element contestation and extrinsic element contestation. Intrinsic element contestation concerns (i) story content, (ii) cinematography, and (iii) animated characters. Meanwhile, the contestation of extrinsic elements is divided into (i) contestation of the popularity of Japanese anime and Chinese donghua among their communities, and (ii) contestation of anime-donghua popularity among anime reviewers. Based on the results obtained, Japanese anime can still contest in intrinsic and extrinsic elements. However, internal problems such as overworked animators with low income discourage Japanese people from becoming animators. If these issues are not resolved, anime will experience problems in terms of recruiting qualified animators. Meanwhile, donghua in this case is still in the stage of developing its intrinsic and extrinsic elements, such as story content, cinematography, anime characters, popularity among the community and reviewers. Although the animation creation is very sophisticated, there are still certain parts such as story content, popularity among the community and reviewers that cannot compete with anime."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Chika Asri Oktaviyanti
"Kuil Yasukuni merupakan sumber konflik antara bangsa Cina dan Korea Selatan terhadap Jepang karena adanya kunjungan yang selalu dilakukan oleh petinggi pemerintah Jepang setiap tahun sejak akhir Perang Dunia Kedua. Kunjungan petinggi ke kuil Yasukuni mengawali proses ritual pemujaan leluhur prajurit sebagai pahlawan Jepang, namun bagi masyarakat Cina dan Korea Selatan merupakan bentuk tindakan kejahatan dan agresi Jepang. Tujuan penelitian ini menganalisis kesenjangan antara kedua pihak yang merupakan reproduksi memori budaya melalui shift dari tindakan ritual kepada speech di TV dan media World Wide Web setiap tahunmya. Hal ini turut menunjukkan kebenaran di dalam koneksi antara bentuk pernyataan dan ritual kuil Yasukuni. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode analisis isi. Data dikumpulkan dari buku, jurnal, serta media massa di internet terkait ritual kuil Yasukuni oleh petinggi pemerintah Jepang dan pernyataan kecaman dari masyarakat Cina dan Korea Selatan terhadap ritual tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual kuil Yasukuni dalam tindakan dan pernyataan kecaman di media massa dari masyarakat Cina dan Korea Selatan merupakan shift reproduksi memori budaya dari kata-kata ke realitas dan sebaliknya. Ritual kuil Yasukuni merupakan wacana penegasan kembali golongan prajurit dalam struktur masyarakat Jepang vs kejahatan perang dalam pandangan masyarakat Cina dan Korea Selatan; sistem pengendalian kebiadaban sekaligus mensakralkan golongan prajurit melalui pandangan mengenai bahaya pada pihak lain sebagai pihak yang membuat batasan dan mengubah wacana mutakhir.
Yasukuni Shrine is a source of conflict between China and South Korea towards Japan because of visits made by Japanese government officials every year since the end of Second World War. The visit of Japanese government officials to the Yasukuni shrine began the ritual process of worshiping warrior ancestors as Japanese heroes, for the people of China and South Korea it was a form of Japanese crime and aggression. This research aims to analyze the gap between the two parties, which is the reproduction of cultural memory through shifts from ritual actions to speeches on TV and World Wide Web media every year. This also shows the truth in the connection between the forms of statements and the rituals of the Yasukuni shrine. This research was conducted using the content analysis method. Data was collected from books, journals, and mass media on the internet regarding the Yasukuni shrine ritual by Japanese government officials and statements of condemnation from the people of China and South Korea regarding this ritual. The research results show that the Yasukuni shrine ritual in actions and statements of condemnation in the mass media from Chinese and South Korean society is a shift in the reproduction of cultural memory from words to reality and vice versa. The Yasukuni shrine ritual is a discourse of reaffirmation of the warrior class in the structure of Japanese society vs war crimes in the eyes of Chinese and South Korean society; a system of controlling barbarity while also sacralizing the warrior class through the view of danger to other parties as the party that creates boundaries and changes the latest discourse."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Chintya Hanindhitakirana Wirawan
"J-pop dan K-pop merupakan dua budaya populer yang berkembang di era globalisasi. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis dinamika perkembangan J-pop dan K-pop di Jepang dan Korea Selatan di era globalisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis J-pop yang dapat menjadi inspirasi bagi Korea Selatan dalam membangun K-pop, menganalisis K-pop yang dapat menyaingi kepopuleran J-pop sebagai pendahulunya di tengah globalisasi, serta menganalisis upaya yang dilakukan pelaku industri musik J-pop dalam menyikapi pesatnya perkembangan industri musik K-pop di tengah globalisasi. Studi ini menggunakan teori globalisasi yang diungkapkan oleh Giddens (1990) dengan konsep modernitas refleksif. Studi ini menggunakan data kualitatif yang diperoleh melalui sumber-sumber dari buku, jurnal, dan artikel dalam situs web. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam rentang waktu 1990 hingga 2022, J-pop dan K-pop saling menginspirasi untuk terus berkembang dan menciptakan konten yang menarik bagi penggemar mereka. Interaksi antara kedua budaya populer ini menciptakan hubungan saling menguntungkan antars Jepang dan Korea Selatan.
J-pop and K-pop are two popular cultures that developed in the globalization era. In this research, the author analyzes the dynamics of the development of J-pop and K-pop in Japan and South Korea in the globalization era. The purpose of this study is to analyze J-pop that can be an inspiration to South Korea in establishing K-pop, analyze K-pop that can challenge the popularity of J-pop as its predecessor in the midst of globalization, and analyze the efforts made by J-pop music industry players in responding to the rapid development of the K-pop music industry in the midst of globalization. This study uses the globalization theory expressed by Giddens (1990) using the concept of reflexive modernity. This study uses qualitative data obtained through sources from books, journals, and articles on websites. The results of this study show that from 1990 to 2022, J-pop and K-pop inspired each other to grow and create engaging content for their fans. The interaction between these two popular cultures created a mutually beneficial relationship between Japan and South Korea."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library