Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benny Nelson
"Latar Belakang: Melasma adalah kelainan hiperpigmentasi yang umum ditemukan pada sebagian besar populasi manusia di dunia. Etiopatogenesis melasma masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan. Beberapa hormon diduga berperan pada terjadinya melasma, salah satunya hormon tiroid. Melasma tidak mengancam nyawa, meskipun demikian mampu menimbulkan dampak buruk pada kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui proporsi pasien melasma pada pasien hipertiroid dan menilai perubahan mMASI pada pasien hipertiroid sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid selama tiga bulan.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain studi intervensi (before dan after) dilakukan di Jakarta pada Agustus 2019–Februari 2020. Sebanyak 23 pasien hipertiroid baru ataupun dalam pengobatan hipertiroid dalam 3 bulan terakhir disertai dengan melasma direkrut dan diukur derajat keparahannya menggunakan mMASI dan dermoskopi. Pengukuran derajat keparahan diulang kembali setelah pasien menjalani pengobatan hipertiroid tiga bulan dan dibandingkan saat awal penelitian. Analisis statistik menggunakan software Stata versi 15.0
Hasil: Sebanyak 45 dari 69 pasien hipertiroid yang berobat ke Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Divisi Metabolik-Endokrin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mengalami melasma. Nilai rerata skor mMASI pada awal penelitian adalah 7,08 (SB 3,88). Nilai rerata skor mMASI pada akhir penelitian adalah 5,59 (SB 3,11). Nilai rerata perbedaan mMASI sebelum dan sesudah pengobatan adalah 0,49 (p>0,05). Gambaran dermoskopi tidak menunjukkan adanya perbedaan antara awal dan akhir penelitian
Kesimpulan: Proporsi pasien melasma pada pasien hipertiroid di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah 65,22%. Tidak terdapat penurunan mMASI pada pasien hipertiroid dengan melasma sesudah pengobatan hipertiroid selama tiga bulan.

Background: Melasma is an acquired and chronic disorder of hyperpigmentation characterized by symmetrical hypermelanoses of the face. The exact pathogenesis of melasma is still unknown. Several hormones are thought to play a role, including thyroid hormone. Although melasma is not life-threatening, it affects greatly on the quality of life of patients.
Objectives: To determine proportion of melasma cases in hyperthyroid patients and to compare severity of melasma before and after medications of three months hyperthyroid therapy using mMASI score.
Methods: An experimental (before and after) study was conducted in Jakarta in August 2019–February 2020. Twenty three newly-diagnosed hyperthryoid patients or had taken hyperthyroid medications of maximum 3 months with melasma were recruited. The severity of melasma were scored with mMASI and dermoscopy of the lesions were collected. The same procedures were done after 3 months of hyperthyroid therapy. The data collected was statistically analyzed using Stata version 15.0
Results: There were 45 out of 69 hyperthyroid patients, who went to the Internal Medicine Polyclinic of the Endocrine-Metabolic Division dr. Cipto Mangunkusumo hospital had melasma. The mean difference in mMASI before and after treatment was 0.49 (p> 0.05). Dermoscopy features didn’t show any difference between the start and end of the study.
Conclusion: The proportion of melasma patients in hyperthyroid patients in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital is 65.22%. There was no significant decrease in mMASI in hyperthyroid patients with melasma after three months of hyperthyroid treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia peringkat ke empat dunia. Betambahnya jumlah penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang terkait dengan bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempermudah timbulnya kaki diabetik.
Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbA1c dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrin Ilmu Penyakit Dalam dan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan corneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbA1c dan GDS.
Hasil: Didapatkan total 95 subjek dengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM ≥5 tahun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar HbA1c dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r = 0,224; p = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan analisis stratifikasi dan regresi linear stepwise.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot.
Objective: To determine the effect of HbA1c and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient.
Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to determine the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the corneometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbA1c and random blood glucose levels measurement.
Results: A total of 95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistically significant correlation between HbA1c levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; p = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Hartanto Angriawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Perekat medis akrilat banyak digunakan dalam layanan kesehatan tetapi kerap menimbulkan Medical adhesive-related skin injury (MARSI). Pencegahan dapat dilakukan dengan menambahkan larutan NaCl 0,9%, vaselin album, atau alkohol saat pengangkatan.  Namun belum didukung oleh penelitian. Tujuan: Mengetahui efektivitas penambahan bahan topikal dalam prosedur pelepasan perekat akrilat dalam mengurangi angka kejadian MARSI dan parameter objektif terkait. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal. Dilakukan penempelan perekat akrilat pada empat lokasi di kulit lengan atas dewasa normal. Pada hari ketiga dan keenam perekat diangkat dengan/tanpa menambahkan bahan topikal secara acak pada keempat lokasi dan dilakukan evaluasi angka kejadian MARSI, skor eritema klinis, nilai eritema mexameter, TEWL, dan skor VAS nyeri. Hasil: Terdapat 224 lokasi uji dari 56 sampel. Angka kejadian MARSI pasca pengangkatan pertama 49,5% dan kedua 59,3%, terendah pada alkohol 50%. Alkohol menunjukkan peningkatan rerata skor eritema terendah baik klinis (p=0,102) maupun mexameter (p=0,024).  Alkohol dan vaselin menghasilkan peningkatan nilai TEWL terendah (p=0,709). Alkohol dan NaCl 0,9% tidak bermakna meningkatan skor VAS nyeri (p=0,173 dan p=0,699). Kesimpulan: Penambahan bahan topikal dapat mengurangi angka kejadian MARSI, namun tidak bermakna secara statistik. Alkohol secara konsisten menunjukkan perubahan parameter terkait yang lebih baik.

ABSTRACT
Background: Acrylic-based tapes are widely used in medicine but frequently associated with medical adhesive-related skin injury (MARSI). Addition of normal saline, vaseline or alcohol in its removal may prevent this, but studies are lacking. Aim: To determine the effectiveness of topical substances in reducing MARSI and related parameters during the removal of acrylic-based adhesives. Methods: We conducted a single-blind randomized controlled trial on the skin of normal adults. Tapes were placed on four sites on the upper forearms which were removed on the third and sixth days with/without applying the substances. The incidence, erythema based on clinical scores and mexameter, TEWL, and pain VAS were measured. Results: We obtained 224 test locations from 56 subjects. The incidence was 49.5% on the third day, increasing to 59.3% on the sixth; it was lower in alcohol group (50%). Alcohol resulted in lower mean of clinical erythema (p=0.102) and mexameter scores (p=0.024).  Both alcohol and vaseline gave the lowest TEWL increase (p= 0.709). Alcohol and normal saline was insignificantly increasing pain score (p=0.173 and p=0.699). Conclusion: Application of substances reduced MARSI incidence, but not statistically significant. Alcohol consistently demonstrated more favorable outcome in MARSI-related parameters.

 

"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zarwindo Sumardi
"ABSTRAK
Latar belakang : Gonore masih menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan terutama pada
laki-laki dengan perilaku seksual risiko tinggi. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis gonore
adalah biakan dan tes amplifikasi asam nukleat. Namun, kedua tes tersebut sulit dilakukan pada
tempat dengan keterbatasan fasilitas serta sumber daya manusia. ENCODETM gonorrhea rapid
test (GRT) merupakan salah satu point of care test (POCT) yang relatif mudah untuk digunakan
dan dapat memberikan hasil dalam waktu singkat. Jenis POCT ini diperkirakan dapat menegakkan
diagnosis gonore lebih praktis, cepat, dan akurat di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif dari
GRT dalam diagnosis gonore pada duh tubuh uretra laki-laki risiko tinggi di Jakarta
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap laki-laki risiko tinggi dengan
keluhan duh tubuh uretra yang mengunjungi dua klinik IMS di Jakarta selama Bulan September-November 2018. Jenis POCT gonore yang digunakan adalah ENCODETM GRT untuk menguji
sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi negatif dan positifnya. Pemeriksaan baku emas yang
digunakan adalah biakan.
Hasil : Telah berhasil diseleksi sebanyak total 54 subyek penelitian. Sensitivitas dan spesifisitas
GRT diperoleh sebesar 96,77% (95% IK 83,3-99,92%) dan 82,6% (95% IK 61,22-95,05%).
Nilai prediksi positif didapatkan sebesar 88,24% (95% IK 75,43-94,82%) sedangkan nilai
prediksi negatif sebesar 95% (95% IK 73,25-99,25%).
Kesimpulan : ENCODETM GRT menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik
untuk diagnosis gonore pada laki-laki risiko tinggi dengan keluhan duh tubuh uretra.
Pengunaannya cukup praktis, sehingga dapat disarankan untuk tempat dengan keterbatasan
fasilitas.

ABSTRACT
Background : Gonorrhea still becomes a significant health problem especially in men with highrisk
sexual activities. The gold standard diagnostic tests are culture and nucleic acid amplification
test. However, both of the tests were difficult to perform in the setting of limited resources. Other
tests require trained analyst to perform, which may also not available in rural areas. ENCODE
gonorrhea rapid test (GRT) is a point of care test (POCT) which is relatively easy to use and can
provide result quickly. This POCT may provide more practical, faster, and more accurate
diagnosis of gonorrhea in Indonesia.
Objective : To know the sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive
value of gonorrhea rapid test in diagnosing gonorrhea urethritis on high risk men in Jakarta.
Methods : This is a cross-sectional study including men with symptomatic gonococcal urethritis
who visited two STI clinics in Jakarta during September-November 2018. ENCODETM GRT was
performed to evaluate its sensitivity, specificity, positive and negative predictive value. The gold
standard diagnostic test was culture.
Result : There were 54 men recruited in this study. The sensitivity and specificity for ENCODE
gonorrhea rapid test are 96.77% (95% CI 83.3-99.92%) and 82.6% (95% CI 61.22-95.05%).
Positive and negative predictive values respectively are 88.24% (95% CI 75.43-94.82%) and
95% (95% CI 73.25-99.25%).
Conclusion : ENCODE GRT has a good sensitivity and specificity rates for diagnosing gonorrhea
in high risk men with urethral discharge. Its use is recommended especially in rural areas or areas
with limited resources due to its practicality."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Laura Sendy
"ABSTRAK
Latar belakang: Kepatuhan terhadap pengobatan multidrug therapy (MDT) merupakan
salah satu kunci utama keberhasilan terapi penyakit kusta. Kepatuhan terhadap
pengobatan akan meminimalkan risiko relaps, mencegah resistensi obat, serta
menurunkan risiko kejadian reaksi kusta dan disabilitas. Untuk memahami perilaku
pengobatan, faktor-faktor penyebab ketidakpatuhan pengobatan, serta untuk efektivitas
usaha meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien, diperlukan penggunaan suatu alat
yang akurat dan praktis secara rutin dalam mengukur kepatuhan pengobatan. Kuesioner
penilaian mandiri untuk menilai kepatuhan pengobatan merupakan metode yang mudah
dilakukan, singkat, nyaman dan dapat diterima pasien, murah, serta dapat memberi
informasi mengenai perilaku dan kepercayaan pasien terhadap pengobatan yang dijalani.
Hingga saat ini belum ada kuesioner yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya dalam
menilai kepatuhan terhadap pengobatan MDT pada pasien kusta.
Tujuan: Menyusun kuesioner penilaian mandiri yang valid dan reliabel untuk evaluasi
kepatuhan terhadap pengobatan MDT pasien kusta tipe multibasiler.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode campuran, yaitu tahap
pertama kualitatif dan tahap kedua kuantitatif. Tahap pertama terdiri atas tahap
pengembangan instrumen dan tahap pre-test instrumen. Tahap pengembangan instrumen
melibatkan 10 orang pakar dengan menggunakan 4 putaran metode Delphi. Butir
penilaian yang dianggap relevan adalah yang memenuhi skala Likert 4-5 oleh minimal
75% pakar atau yang memiliki skor penilaian >3,75. Kami melakukan pre-test instrumen
kepada 10 orang subjek dan kuesioner direvisi jika diperoleh hasil yang tidak valid.
Setelah mendapatkan set instrumen yang valid dan reliabel, dilakukan tahap kedua yaitu
uji coba instrumen kepada 100 orang subjek di 4 fasilitas kesehatan (RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, RSUP Fatmawati, RS Sitanala, Puskesmas Kecamatan Cakung).
Hasil: Pada uji validitas internal diperoleh 9 butir penilaian yang valid yang mewakili 9
dimensi penilaian, dengan nilai koefisien korelasi masing-masing butir penilaian >0,3,
dan reliabilitas-Cronbach sebesar 0,723. Pada uji validitas eksternal diperoleh 3 butir
penilaian yang tidak valid. Instrumen yang dihasilkan memiliki sensitivitas 88,46% dan
spesifisitas 78,37%. Berdasarkan penilaian kuesioner, dari 100 orang subjek diperoleh
61% subjek dengan kepatuhan baik dan 39% subjek dengan kepatuhan buruk terhadap
pengobatan MDT.
Kesimpulan: Telah dihasilkan sebuah instrumen untuk evaluasi kepatuhan terhadap
pengobatan MDT yang valid dan reliabel, yang terdiri dari 9 dimensi dan 9 butir
penilaian.
"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Evangelina
"Latar belakang: Baku emas diagnosis onikomikosis adalah pemeriksaan biakan dan histopatologi, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan sediaan langsung kalium hidroksida (KOH) merupakan pemeriksaan yang sudah dilakukan dalam praktik sehari-hari. Dermoskopi memiliki potensi sebagai alat skrining dan atau diagnostik onikomikosis. Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan dermoskopi dan sediaan langsung KOH 30% sebagai alat bantu diagnosis onikomikosis subungual distal lateral dibandingkan dengan baku emas biakan atau histopatologi. Metode: Uji diagnostik potong lintang terhadap kuku dengan kecurigaan onikomikosis subungual distal lateral di RSCM Jakarta. Pemeriksaan dermoskopi, KOH, biakan, dan histopatologi dilakukan secara tersamar. Hasil: Penelitian terdiri dari 60 kuku. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan KOH sebesar 89,6% dan 66,7%. Pada dermoskopi, sensitivitas gambaran jagged edged with spikes, longitudinal striation, dan perubahan warna 89,6%, 93,8%, dan 97,9%. Spesifisitas paling baik dimiliki gambaran aurora borealis, yaitu 91,7%. Nilai duga positif keempat gambaran dermoskopi tersebut 75,0%-79,7%. Kombinasi pemeriksaan KOH dengan dermoskopi pada keempat gambaran tersebut meningkatkan spesifisitas dan nilai duga positif dermoskopi. Kesimpulan: Pemeriksaan KOH dan dermoskopi merupakan alat penapis yang baik. Dermoskopi dapat membantu diagnosis pada kondisi pemeriksaan mikologis tidak tersedia dan dapat digunakan sebagai penapis kasus yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.

Background: Gold standards for onychomycosis are culture and histopathological examination. However, they have limitations. Dermoscopy has the potential to become promising onychomycosis diagnostic tool. Direct examination of potassium hydroxide (KOH) also has the same advantages as dermoscopy. Knowing the accuracy of both examination can help clinical decision making. Objective: To asses diagnostic value of dermoscopic and KOH examination for distal lateral subungual onychomycosis compared to culture or histopathology. Methods: A cross-sectional diagnostic study of nails with suspected distal lateral subungual onychomycosis from RSCM outpatient, Jakarta. Dermoscopy, KOH, culture, and histopathology were assessed independently. Results: This study were done to 60 nails. Sensitivity and specificity of KOH examination were 89.6% and 66.7%. On dermoscopy, the sensitivity of jagged edged with spikes, longitudinal striation, and color discoloration were 89,6%, 93,8%, and 97,9%. Aurora borealis has the best specificity. The positive predictive value of these four features were 75.0% -79.7%. Combination with KOH examination increased the specificity and positive predictive value of dermoscopy. Conclusion: Dermoscopy and KOH examination are good screening tools. These procedures can also help diagnosis in condition where mycological examination are not available."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Venessa
"Latar belakang: Akne vulgaris AV adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai adanya lesi polimorfik di area predileksi AV. Tatalaksana AV terdiri dari terapi standar dan terapi adjuvan. Salah satu terapi adjuvan yang selalu diberikan pada pasien AV adalah frekuensi cuci wajah AV. Sampai saat ini, rekomendasi frekuensi cuci wajah pasien dengan AV di negara tropis adalah berdasarkan rekomendasi umun dan pendapat ahli.
Tujuan: Mengetahui efektivitas frekuensi cuci wajah sebagai terapi adjuvan pada akne vulgaris derajat ringan dan sedang.
Metode: Uji klinis acak buta tunggal dilakukan terhadap mahasiswa AV di Klinik UI Makara pada bulan Mei hingga Juni 2018. Mahasiswa yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhui kriteria penolakan serta bersedia ikut dalam penelitian mendapat perlakuan berupa frekuensi cuci wajah 2 kali dan 3 kali per hari sesuai hasil randomisasi. Seluruh SP memperoleh terapi standar dan pembersih wajah yang sama. Jumlah lesi AV, kadar sebum, nilai TEWL, serta efek samping pada wajah SP akan dinilai selama 6 minggu dan evaluasi dilakukan pada minggu ke-3 dan minggu ke-6. Analisis hasil penelitian dilakukan dengan metode intention to treat.
Hasil: Diperoleh total 36 subjek penelitian. Pada penelitin ini terdapat 1 SP drop out yaitu SP pada kelompok cuci wajah 2 kali per hari. Efektivitas frekuensi cuci wajah 3 kali per hari tidak berbeda bermakna dengan 2 kali per hari dalam penurunan jumlah lesi AV dengan median 23 (0-62) dibandingkan 20 (0-37), p = 0,341. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara frekuensi cuci wajah 3 kali dibandingkan 2 kali per hari dalam hal penurunan kadar sebum, peningkatan nilai TEWL dan efek samping yang terjadi.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efektivitas frekuensi cuci wajah 3 kali per hari dibandingkan 2 kali per hari sebagai terapi adjuvan dalam hal penurunan jumlah lesi AV pada wajah mahasiswa AVR dan AVS yang mendapat terapi standar.

Background: Acne vulgaris (AV) is a chronic inflammatory disease characterized by polymorphic lesions in the predilection area. Management of AV consists of standard therapy and adjunctive therapy. One of the adjunctive therapies that must be given to AV patients is the frequency of face washing. Recently, the recommendation of face washing frequency for AV patients in tropical countries is based on the general recommendation and expert opinion.
Objective: To evaluate the effectiveness of face washing frequency as an adjuvant therapy on mild and moderate AV.
Methods: A single blind randomized clinical trial was conducted on AV students at UI Makara Clinic from May to June 2018. Students who met the criteria of acceptance and did not meet the criteria of rejection and were willing to join the study were treated 2 and 3 times per day according to randomization. All participants were given standard therapy and same cleanser. AV lesions counts, sebum level, TEWL scores, and side effects on participant face would be assessed within six weeks by evaluating at week-3 and week-6. The analysis of study result was done by intention-to-treat method.
Result: The total of 36 participants was recruited. In this study, there was 1 participant dropped out from the twice-per-day face washing group. There was no significant difference from the thrice-per-day and twice-per-day groups in terms of decreasing of total AV lesions with median 23 (0-62) versus 20 (0-37), p = 0,341. In addition, there was no significant difference in terms of decreasing sebum level, increasing of TEWL score, and adverse events.
Conclusion: There was no difference in effectiveness of face washing frequency 3 times per day compared to 2 times per day with regard to decrease AV lesions in the face of mild and moderate AV students receiving standard therapy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Adelia
"Latar belakang: Reaksi reversal (RR) penyebab kecacatan pada 40 pasien kusta. Panduan terapi menurut Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta PNPPK tidak menjelaskan lebih lanjut cara evaluasi pengobatan pada RR. Skala van Brakel (SVB) merupakan skala yang bersifat objektif untuk menilai derajat keparahan RR, terdiri atas skor A (menilai kelainan kulit), skor B (menilai fungsi saraf sensorik), dan skor C (menilai fungsi saraf motorik). Skala ini telah digunakan pada beberapa penelitian mengenai pengobatan RR dengan menggunakan azathioprin, siklosporin, dan kortikosteroid intravena.
Tujuan: Membandingkan penilaian perubahan dosis kortikosteroid berdasarkan manifestasi klinis dengan menggunakan SVB dan PNPPK pada pasien kusta dengan RR derajat berat.
Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017 hingga Juni 2018. Subjek penelitian terdiri atas pasien RR derajat berat yang akan mendapatkan dosis metilprednisolon sesuai dengan skema pemberian kortikosteroid pada reaksi kusta menurut WHO. Perubahan dosis menyesuaikan nilai skor SVB. Pada kelompok 1 menggunakan penjumlahan skor A, B, dan C, sedangkan kelompok 2 mengguankan skor A. Pemeriksaan saraf sensorik menggunakan Semmes-Weinstein monofilament, sedangkan pemeriksaan saraf motorik menggunakan voluntary muscle test.
Hasil: Penelitian diikuti 22 pasien yang terbagi menjadi dua kelompok. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kelompok tersebut (p>0,05). Manifestasi RR terbanyak adalah kelainan kulit berupa sebagian atau seluruh lesi lama kusta menjadi lebih merah dan meninggi (100%). Kriteria RR derajat berat terbanyak adalah lesi reaksi baru yang disertai rasa panas pada lesi (77,27%). Perubahan dosis terapi dan total skor SVB di dalam kelompok 1 dan 2 bermakna secara statistik (p<0,05). Namun tidak berkna diantara keduannya (p>0.05)
Kesimpulan: Penilaian perubahan dosis kortikosteroid berdasarkan manifestasi klinis dengan menggunakan SVB tidak terbukti lebih baik dibandingan dengan PNPPK pada pasien kusta dengan RR derajat berat.

Background: Reversal reaction (RR) is the cause of disability in 40 of leprosy patients. The management guidelines based on The National Guidelines of Leprosy Disease Management Program, do not explain on the evaluation procedures throughly. Van Brakel scale (VBS) is a scale to objectively evaluate the severity of RR, consisting of score A to evaluate skin abnormalities, score B to evaluate sensoric neural function, and score C to evaluate motoric neural function. This scale has been used in several studies to assess outcomes of RR treatment utilize azathioprine, cyclosporine, and intravenous corticosteroid.
Aim: To compare the assessment of corticosteroid dose adjustment based on clinical manifestations using VBS and The National Guidelines of Leprosy Disease Management Program in severe RR leprosy patients.Method: A single-blind randomized clinical trial was conducted at Dermatology and Venereology Outpatient Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, from December 2017 to June 2018. The subjects were severe RR patients who has been receiving methylprednisolone according to WHO's corticosteroid regimen in leprosy reaction. Group 1 uses the sum of scores A, B, and C, while group 2 uses score A, because it is considered similar to The National Guidelines of Leprosy Disease Management Program. Sensoric neural function examinations were done using Semmes-Weinstein monofilament test, while motoric neural function examinations were done using voluntary muscle test.
Results: This study followed 22 participants divided into two groups and we found no significant difference between the two (p>0,05). The most common manifestation of RR is escalation of inflammatory symptomps on some or all of leprosy lesions and manifestation of severe RR is a new reaction lesions accompanied by burning sensation. The change of total VBS score and the adjustment of therapeutic dose on both groups were statistically significant (p0,05). and no significant differences were found among both groups (p.0,05).
Conclusion: Evaluation of corticosteroid dose adjustment based on clinical manifestation using VBS was proven not to be better than The National Guidelines of Leprosy Disease Management Program in severe RR patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Gandha
"Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis. Psoriasis dihubungkan dengan berbagai penyakit penyerta. Penyakit perlemakan hati nonalkoholik (PPHNA) merupakan salah satu penyakit penyerta yang sering ditemukan dan dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis, begitu pula sebaliknya. Penelitian untuk mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan perlemakan hati nonalkoholik (PHNA) belum pernah dilakukan.
Tujuan: Mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan derajat PHNA.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap pasien psoriasis dewasa di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017-Februari 2018. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan nilai derajat keparahan psoriasis (psoriasis area and severity index; PASI) dan dicatat pula nilai body surface area (BSA). Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan derajat PHNA pada semua pasien dengan menggunakan controlled attenuation parameter (CAP).
Hasil: Didapatkan total 36 subjek dengan rerata umur 49,08 tahun (+15,52 tahun). Proporsi psoriasis derajat ringan, sedang, dan berat berturut-turut adalah 50%, 27,8%, dan 22,2%. Median PASI 6,1 (2-38,4) dan median BSA 7,5 (2-93). Proporsi PPHNA berdasarkan CAP adalah 77,8%. Rerata skor CAP 250,03+45,64. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA berdasarkan CAP (r=0,258; p=0,128). Namun bila digunakan BSA pada penilaian derajat keparahan psoriasis, didapatkan hasil korelasi yang bermakna (r=0,382; p=0,021). Ditemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut berkorelasi positif secara bermakna dengan skor CAP (berturut-turut r=0,448, p=0,006 dan r=0,485, p=0,003).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA. Namun ditemukan korelasi yang bermakna antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan BSA dengan derajat PHNA. Luas lesi kulit psoriasis berpengaruh terhadap derajat PHNA. Selain itu terdapat beberapa faktor, misalnya IMT dan lingkar perut, yang dapat memengaruhi derajat keparahan PHNA pada pasien psoriasis.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and thick scales. Psoriasis is associated with various comorbidities. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) is one of the most common comorbidities that can affect the severity of psoriasis, vice versa. Research regarding the correlation of the severity of psoriasis and nonalcoholic fatty liver (NAFL) has never been done.
Objective: To measure the correlation of the severity of psoriasis and the degree of NAFL. Methods: A cross-sectional study of adult patients with psoriasis was conducted in Dermatovenereology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from December 2017 through February 2018. Psoriasis severity (psoriasis area and severity index; PASI) and body surface area (BSA) were recorded and compared with NAFL severity by controlled attenuation parameter (CAP).
Results: A total of 36 subjects were enrolled with an average age of 49.08 years (+15.52 years). The proportions of mild, moderate, and severe psoriasis were 50%, 27.8%, and 22.2%, respectively. Median PASI was 6.1 (2-38.4) and BSA was 7.5 (2-93). The proportion of NAFLD was 77.8%. The mean of CAP score was 250.03+45.64. There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and CAP score (r = 0.258; p = 0.128). However, based on BSA, we found significant correlation (r = 0.382; p = 0,021). The body mass index (BMI) and abdominal circumference were significantly correlated with CAP score (r = 0.448, p = 0.006 and r = 0.485, p = 0.003, respectively).
Conclusion: There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and nonalcoholic fatty liver degree, but a statistically significant correlation was found when using BSA in measuring the severity of psoriasis. In psoriasis, the extent of skin lesions may be influential to the degree of nonalcoholic fatty liver. In addition there are several factors, such as BMI and abdominal circumference, which may affect the severity of nonalcoholic fatty liver in psoriasis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Lendl Prayogo
"Latar belakang: Neisseria gonorrhoeae (NG) telah mengalami resistensi terhadap berbagai antibiotik. Setidaknya sepuluh negara telah melaporkan kegagalan pengobatan gonore dengan extended-spectrum cephalosporins (ESCs). Pengawasan berkelanjutan penting untuk menentukan pedoman pengobatan lokal.
Tujuan: Mengetahui prevalensi NG yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin, sefiksim, dan seftriakson pada kelompok risiko tinggi di Jakarta serta mengidentifikasi berbagai faktor yang berhubungan.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada September hingga November 2018. Terdapat 98 laki-laki dan perempuan berisiko tinggi yang memenuhi kriteria penelitian. Sediaan duh tubuh diambil dari uretra atau serviks, disimpan di media transport, kemudian diantarkan ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI untuk biakan dan identifikasi. Uji resistensi dilakukan dengan metode difusi cakram sesuai rekomendasi Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI).
Hasil: Dari seluruh spesimen yang dibiakkan, 35 di antaranya menunjukkan pertumbuhan isolat NG. Prevalensi NG yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin, sefiksim, dan seftriakson pada kelompok risiko tinggi di Jakarta adalah 97,1%; 97,1%; 34,3%; 0%; 0%. Usia, orientasi seksual, riwayat konsumsi antibiotik, berhubungan seksual secara komersial, dan berhubungan dengan pasangan seksual dari luar kota tidak berhubungan dengan NG yang resisten terhadap levofloksasin.
Kesimpulan: Tidak ditemukan isolat NG yang resisten terhadap sefiksim dan seftriakson. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sefiksim dan seftriakson efektif mengobati gonore di Jakarta. Tidak ada faktor yang berhubungan dengan resistensi pada penelitian ini.

Background: Neisseria gonorrhoeae (NG) has developed resistance to various antimicrobials. At least ten countries have reported treatment failures with extended-spectrum cephalosporins (ESCs). Continuous surveillance is important to determine local treatment guideline.
Objectives: To determine the resistance rates of NG to penicillin, tetracycline, levofloxacin, cefixime, ceftriaxone among the high-risk population in Jakarta, and identify the associated factors.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta, Indonesia from September to November 2018. A total of 98 high-risk men and women fulfilled the studies’ criteria. The specimens were collected from urethral or endocervical swabs, put into Amies transport media, and then transported to the Laboratory of Clinical Microbiology Universitas Indonesia for culture and identification. Proven gonococcal isolates were examined for susceptibility to various antibiotics using the disk diffusion method according to Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) recommendation.
Results: Among 98 specimens, 35 were confirmed to be NG. The NG resistance rates to penicillin, tetracycline, levofloxacin, cefixime, and ceftriaxone among high-risk population were 97,1%; 97,1%; 34,3%; 0%; 0%. Age, sexual orientation, history of antibiotic consumption, commercial sexual activities, and sexual activities with partners from other regions were not associated with the resistance to levofloxacin.
Conclusion: No resistance to cefixime and ceftriaxone was reported. This finding indicates that they are still effective to treat gonorrhea in Jakarta. There were no associated factors identified in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>