Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Djaja
"Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan masyarakat kepadanya. Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga rnasyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.
Pengertian Kredit, berdasarkan pasal 1 butir 11 Undang-undang Perbankan, yaitu: "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga".
Kredit bermasalah atau biasa dikenal dengan kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya, sehingga mengakibatkan perjalanan kredit terhenti atau macet. Keadaan yang demikian di dalam hukum perdata disebut dengan wanprestasi atau ingkar janji, karena kredit merupakan suatu pinjaman uang yang berdasarkan pada suatu perjanjian kredit.
Berdasarkan hal tersebut, maka didalam memberikan suatu kredit, bank mempunyai kewajiban untuk memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, mengingat bank terutama bekerja dengan adanya dana dari rnasyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, oleh karenanya maka setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat. Hal itu pula yang telah diterapkan oleh Bank Mandiri dalam memberikan fasilitas kreditnya kepada PT CGN/PT Tahta Medan.
Kesehatan bank adalah merupakan kepentingan bagi semua pihak yang terkait, baik pemilik, pengurus, karyawan bank, masyarakat pengguna jasa perbankan maupun Bank Indonesia sebagai pengawas. Untuk dapat mempercepat pemulihan ekonomi, Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan bank agar bank dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan menegakkan disiplin bank-bank dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian sebagai bagian dari penerapan Good Corporate Governance (GCG)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16448
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Felix Marcel
"Pelaku usaha cenderungan untuk berusaha mempengaruhi harga baik melalui pengaturan kuota maupun melalui pemasaran produk barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bersama-sama dengan pesaing, pelaku usaha membuat perjanjian pengaturan kuota dan wilayah pemasaran produk pada pasar bersangkutan (perjanjian kartel). Hampir semua negara mengatur mengenai larangan perjanjian kartel tersebut. Dalam menganalisa kartel, terdapat dua macam pendekatan hukum persaingan usaha terhadap kartel yang dipergunakan, yaitu Per Se Illegal dan Rule of Reason. Dalam Antitrust Law Amerika Serikat, kartel diatur dalam Article 1 Sherman Act, dengan pendekatan Per Se Illegal. Sedangkan pengaturan kartel di Indonesia diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan Rule of Reason, berdasarkan pada tujuan dari perjanjian kartel, yaitu bermaksud mempengaruhi harga. Pendekatan tersebut dipergunakan oleh KPPU dalam menganalisa dan memutuskan kasus kartel Tarif Kargo Surabaya-Makassar dan kasus Distribusi Semen Gresik. Hal ini menjadi kelemahan undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam pelaksanaan penegakkan kartel di Indonesia, karena Undang-undang tersebut menganalisa penegakkan kartel hanya berdasarkan dampaknya terhadap harga di pasar bersangkutan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa
"Kajian dan analisis hukum dalam tesis ini bertujuan untuk memahami dan mendalami definisi dan ruang lingkup tentang Hak Tanggungan dan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dalam prakteknya. Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda - benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan keadaan Kreditur tertentu terhadap Kreditur - Kreditur lain. Pada prinsipnya Undang - Undang Hak Tanggungan bertujuan untuk melindungi Kreditur dalam rangka pelunasan piutangnya, tetapi dalam kenyataannya Kreditur sangat sulit untuk mengakhiri pelunasan piutangnya dari Debitur. Asas sederhana, cepat dan mudah yang terkandung dalam Undang - Undang Hak Tanggungan belum dapat diwujudkan salah satu kendalanya antara lain adanya bantahan dari pihak ketiga maupun adanya -surat penangguhan dari Pengadilan atau Mahkamah Agung dan Kreditur seringkali sulit dalam mencari pembeli lelang. Dalam tesis ini juga membahas mengenai belum adanya ketidakpastian hukum yang diberikan oleh pengadilan, hal ini tercermin dari putusan hakim yang masih terdapat perbedaan penafsiran dalam merumuskan apakah Debitur telah melakukan wanprestasi atau dilihat dari jatuh tempo hutang, sehingga dalam hal ini kreditur memegang Hak Tanggungan yang menjadi pihak yang dirugikan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16761
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Revindo
"AFTA (ASEAN Free Trade Area) adalah wilayah perdagangan bebas yang mencakup seluruh batas Negara-negara anggota ASEAN, di mana pada tahun 2003 yang lalu, arus lalu lintas barang dangangan, uang pembayaran dan faktor penunjang pelaksana AFTA lainnya dari Negara-negara anggota, akan bebas keluar masuk dalam wilayah ASEAN. Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) adalah mekanisme utama untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas di ASEAN. Berdasarkan CEPT, Negara-negara anggota menetapkan jadwal penurunan tarif intra-ASEAN secara,bertahap dan penurunan tarif tersebut harus sebesar 0-5 %. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatifempiris, dan data yang diperoleh di analisis dengan menggunakan pendakatan kualitatif Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1995 tentang Pengesahan Protocol to Amend Agreement on The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 1995 Tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement On Service. Keputusan Presiden ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 150/KMK.0I/2001 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Dalam Rangka Skema Common Effektive Preferential Tariff (CEPT) Untuk Periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2003. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut diharapkan dapat lebih memperkuat posisi Indonesia di dalam melaksanakan AFTA."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T14452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Insa Ansari
"Persetujuan dan perizinan penyelenggaraan penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan oleh penanam modal (investor) sebelum pihaknya melakukan penanaman modal. Untuk itu persetujuan dan perizinan penanaman modal menjadi salah satu pertimbangan panting bagi para penanam modal yang akan melakukan penanaman modal di suatu wilayah. Persetujuan dan perizinan penanaman modal yang mudah, sederhana, dan tidak berbelit-belit merupakan salah satu pertimbangan, bahkan dapat juga berperan sebagai salah satu pendorong bagi penanam modal untuk melakukan penanaman modal. Disamping pertimbangan ekonomi atau keuntungan (profit) yang bakal diperoleh dari penanaman modal yang akan dilakukannya. Selain itu, para penanam modal juga memperhatikan dan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya seperti kondisi keamanan, perburuhan, perpolitikan, kepastian hukum dari negara yang akan menjadi tempat mereka menanamkan modalnya.
Berkaitan dengan persetujuan dan perizinan penanaman modal, maka untuk mendorong penanaman modal di tanah air Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Pelayanan Satu Atap. Keputusan presiden tersebut merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk menyederhanakan persetujuan dan perizinan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Dengan keputusan presiden tersebut bahwa pelayanan persetujuan dan perizinan dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dilakukan oleh Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan sistem pelayanan satu atap (one roof service). Pelayanan dengan sistem satu atap untuk memperoleh persetujuan dan perizinan penanaman modal merupakan suatu kebutuhan yang telah lama ditunggu dan dinantikan oleh para penanam modal. Namun konsep pelayanan dengan sistem satu atap yang terdapat dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tersebut berdasarkan perspektif penanam modal belum menunjukkan dan menciptakan iklim yang kondusif bagi penanam modal. Terutama sekali ketentuan untuk mendapatkan persetujuan dan perizinan penanaman modal yang hams dilakukan di BKPM.
Para penanam modal menginginkan dan membutuhkan pelayanan dengan sistem satu atap untuk memperoleh persetujuan dan perizinan penanaman modal dapat dilakukan di daerah melalui intansi penyelenggara penanaman modal yang terdapat di daerah dimana penanaman modal akan dilakukan. Menariknya bahwa konsepsi persetujuan dan perizinan penanaman modal telah mengalami perubahan dan perkembangan dan waktu ke waktu. Namun konsepsi pelayanan persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem satu atap yang terdapat dalam keputusan presiden tersebut lebih terlihat pada upaya untuk mengembalikan sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dari pada memberikan pelayanan yang mudah dan sederhana kepada para penanam modal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Ardi Cahyono
"Adanya beberapa kasus pernailitan terhadap perusahaan-perusahaan yang sebenamya solvent dan mampu untuk membayar utangnya tanpa perlu untuk dipailitkan merupakan latar belakang dari permasalahan dalam tesis ini yaitu sejauh mana undang-undang kepailitan di Indonesia telah mengadopsi filosofi kepailitan dan asas-asas hukum kepailitan dan apakah diperlukan adanya suatu insolvency Test dalam permohonan kepailitan.
Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan itu, penulis melakukan penelitian yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kepustakan dan metode penelitian empiris dan telah didapatkan jawabannya yaitu permohonan pernyataan pailit seharusnya hanya dapat diajukan dalam hal debitor tidak membayar utang-utangnya karena debitor memang dalam keadaan tidak mampu secara keuangan atau insolvent, bukan dalam hal debitor tidak membayar utang-utangnya karena debitor memang tidak mau untuk membayar, dimana persyaratan keadaan insolvent tersebut dapat dibuktikan dengan diiakukannya suatu pengujian melalui financial due diligence lebih tepatnya yaitu adanya insolvency test.
Sebagai perbandingan, pengaturan mengenai persyaratan permohonan pailit di Amerika Serikat sebagaimana dalam Title 11 United States Bankcruptcy Code terdapat klausula "Insolvent" yang-diartikan antara lain sebagai keadaan keuangan dari debitor yang lebih besar utangnya dan pada asetnya dan dapat dibuktikan melalui insolvency test. Persyaratan pemyataan pailit dalam Pasal '1 ayat (1) Faillissement Verordening sebenarnya sudah mencantumkan klausula "...Debitor yang tidak mampu membayar utangnya...", akan tetapi perubahan yang dilakukan terhadap Faillissement Verordening menjadi Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 justru menghilangkan klausula "debitor yang tidak mampu membayar" dan diubah dengan "Debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor yang telah jatuh waktu..." maka debitor dapat dimohonkan pailit. Seharusnya perubahan terhadap Faillissement Verordening tidak menghilangkan klausula "debitor yang tidak mampu membayar" bahkan sebaiknya menyempurnakannya dengan mengatur mengenai Insolvency Test, sehingga dapat terwujud keseimbangan antara kepentingan dari kreditor dan debitor. Selain itu secara umum undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia saat ini juga belum mengadopsi filosofi kepailitan dan asas-asas hukum kepailitan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T17630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosiana Elia
"ABSTRAK
Liberasi ekonomi yang dibarengi laju perkembangan tekhnologi yang pesat telah memunculkan persaingan bisnis yang ketat di kalangan dunia usaha. Oleh karena itu, berbagai pemikiran kearah efisiensi terus bergulir. Salah I (satu) pemikiran tersebut adalah outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, pelaksanaan outsourcing selama beberapa tahun ini masih mengalami berbagai kelemahan, terutama disebabkan kurangnya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun sebagai akibat deari ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Oleh karenanya diperlukan penelitian-penelitian tentang pengembangan outsourcing sehingga menjadi dasar penentuan arah pelaksanaan outsourcing."
2007
T19615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Penny Kusumaratih
"Penelitian ini menganalisis pelaksanaan tanggung jawab perusahaan jasa penerbangan terhadap penumpang, dan dianalisis dengan dasar hukum Undang - Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang - Undang No.15 Tahun 1999 tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, dan berbagai macam konvensi internasional. Undang - Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang - Undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menganut prinsip tanggung jawab praduga bersalah dengan beban pembuktian terbalik, yaitu pelaku usaha yang berkewajiban untuk melakukan pembuktian.Sementara itu hukum angkutan udara menerapkan tanggung jawab mutlak dengan alasan bahwa pertama, hukum angkutan udara memiliki karakteristik internasional, dan Indonesia merupakan anggota ICAO, yang harus tunduk pada ketentuan penerbangan internasional. Kedua,dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum angkutan udara maka memudahkan korban untuk memperoleh kompensasi dengan cepat apabila terjadi kecelakaan hal yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha yaitu adanya klausula baku. Dalam undang - undang pembuatan klausula baku diperbolehkan, asal tidak merugikan konsumen. Terkadang isi dari klausula baku merugikan konsumen,dan konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah. Untuk menciptakan keadilan,keseimbangan konsumen dan pelaku usaha, diperlukan peran pemerintah dalam menciptakan, melaksanakan kepastian penegakkan hukum,supaya pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan di antara keduanya dapat memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Jenis penelitian ini mempergunakan deskriptif yuridis analitis, analisis data dilakukan dengan cara yuridis kualitatif dan pendekatan dilakukan secara yuridis normatif.

This research analyze Implementation of the airways? liability to the passenger based on Undang - Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, which was analyzed according to the Undang - Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang - Undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Peraturan Femerintah No.40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, and many International Conventions. The Undang - Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang - Undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan subservient presumption of liability principle. Meanwhile, the regulation of airway transportation is to give the absolute liability with the reason of first, the regulation of airway transportation has international characteristic, and Indonesia is ICAO member, which has to subservient to international aviation regulation. Second, is to implement the principle of absolute liability on airway transportation regulation, that is mitigate the victim to get compensation quickly when any accident. Anything which could limit the liability the stakeholders are standard contract. In the regulation, to create standard contract, is to be allowed as long as disservice consumers. Sometime the content of standard contract was disservice consumers, and consumers always on marginal position. To create the justice, equilibrium consumers and stakeholders is to be needed the role of government to establish, implementation the rule of law, in order to the stakeholders and consumers law abiding and in between of both could have justice to conduct consumers protection. Type of this research is using descriptive juridical analysis, data analysis are conducted with juridical qualitative, and juridical normative approach."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T22899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rona Adi Pratama
"Dalam rangka memperoleh sumber-sumber pembiayaan dari pihak luar negeri, Pemerintah mengadakan pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman. Baik berupa pinjaman program yang diperoleh untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ataupun Pinjaman proyek yang diperoleh untuk membiayai satu atau lebih kegiatan pembangunan tertentu yang disepakati dalam perjanjian. Perjanjian pinjaman luar negeri yang diadakan pemerintah dengan pihak luar negeri selama ini menimbulkan selisih pendapat, sehubungan dengan status ruang lingkup hukum perjanjian pinjaman luar negeri tersebut, apakah suatu perjanjian pinjaman luar negeri masuk dalam ruang lingkup hukum publik atau privat. Terdapatnya selisih pendapat tersebut disebabkan lebih karena terdapatnya rumusan dalam Undang-Undang 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mengkategorikan Perjanjian pinjaman luar negeri sebagai perjanjian internasional publik, sedangkan perjanjian pinjam meminjam sendiri merupakan perjanjian yang masuk dalam ruang lingkup perikatan, yang merupakan ruang lingkup hukum privat. Selanjutnya pemahaman yang komprehensif mengenai klausul-klausul naskah perjanjian pinjaman luar negeri rnerupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, mengingat besarnya resiko dan kewajiban yang harus ditanggung Pemerintah terhadap pemberi pinjaman. Klausul-klausul hukum seperti events of default, representation and warranty, waiver of immunity, process agent, jurisdiction, maupun klausul applicable law, merupakan klausul-klausul yang perlu dirumuskan secara seksama untuk dapat semaksimal mungkin mengakomodasi kepentingan penerima pinjaman (borrower).

In order to find finance resources outside the country, the Govemment of Indonesia entered the foreign loan that bound by a loan agreement. That kind of loan agreement can be a loan programs available to support the State budgetary or loan project to finance the project to support certain development activities that state in the agreement. Loan agreements that made by the government with foreign party/parties all this time during has caused the debate, with respect to the scope of the legal status of such foreign Ioan agreements, whether a foreign Ioan agreement signed within the scope of public law or private law. The existing debate was caused due to the presence of explaination in Law number 24/2000 concerning Intemational Agreements that categorizing the foreign loan agreement as a public international agreements, while loan agreement in nature is in the capacity of commitments, which is the scope of private law. Furthermore, a comprehensive understanding of loan agreement clauses draft is something that can not be negotiable. Considering the risks and obligations to be borne by the Government against the lender, legal clauses such as events of default, representation and warranty, waiver of immunity, process agent, jurisdiction, and the applicable law clause, are the clauses that needed to be carefully formulated in thc loan agreement draft, to accomodate the interest of the borrower."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T27552
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meifi Khusnul Khotimah
"ABSTRAK
Putusan Arbitrase luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada
fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 yang merupakan
hukum internasional tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri.
Peneliti menulis pelaksaaan putusan arbitrase luar negeri di Indonesia, studi mengenai
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui hal
yang melatarbelakangi perlunya Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958.
Disamping itu, untuk mengetahui syarat-syarat putusan arbitrase luar negeri dapat
dilaksanakan di Indonesia maupun alasan-alasan penolakan permohonan pelaksanaan
putusan arbitrase luar negeri. Yang pada akhirnya mempelajari sikap yang mendasari
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai eksekusi putusan arbitrase luar
negeri di Indonesia. Untuk mencapai tujuan di atas, dilakukan penelitian yuridis
normatif. Oleh karena itu, dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri di Indonesia yang menghasilkan saran untuk
kemajuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sehubungan dengan topik penelitian
ini, maka akan di tarik sample putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai
eksekusi putusan arbitrase luar negeri pasca diratifikasinya Konvensi New York 1958.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui hal yang melatarbelakangi perlunya pengaturan
pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri adalah untuk menghilangkan keragu-raguan
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang telah diadakan di luar negen. karena
sebelumnya terdapat keragu-raguan putusan arbitrase luar negeri dapat dilaksanakan
atau tidak. Hal yang menjadi syarat agar putusan arbitrase luar negeri dapat dilaksanakan
di Indoensia adalah, putusan arbitrase tersebut dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang terikat pada peijanjian internasional mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri dengan Indonesia. Putusan arbitrase tersebut
dalam ruang lingkup hukum perdagangan dan tidak betentangan dengan ketertiban
umum di Indonesia. Apabila hal-hal tersebut telah dipenuhi maka putusan tersebut dapat
diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendapatkan eksekuatur.
Keterlibatan pengadilan dalam hal ini tidak dapat dihindari mengingat pemaksaan atas
putusan hanya bisa dilakukan oleh pengadilan dalam untuk penetapan eksekusi.
Terhadap putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia
dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Dalam pelaksanaan atas putusan arbitrase luar negen. Mahkamah Agung
Republik Indonesia dapat memberikan putusan berupa, pengakuan dan eksekusi putusan
arbitrase luar negeri, penolakan terhadap putusan arbitrase luar negen, dan pembatalan
terhadap putusan arbitrase luar negeri. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa putusan
arbitrase luar negeri senngkali gagal untuk mendapatkan eksekuatur dan yang dijadikan
alasan untuk menolak pelaksanaan putsuan arbitrase luar negen adalah, putusan
arbitrase luar negeri tersebut karena pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau
sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang berkepentingan bertentangan
dengan ketertiban umum di Indonesia."
2006
T37839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>