Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pintoko Tedjokusumo
"Suatu infark miokard akan mengakibatkan kerusakan miokard, yang dapat bersifat reversibel atau menetap. Kerusakan miokard tersebut akan mempengaruhi fungsi ventrikel kiri, baik secara global maupun regional. Fungsi regional tersebut dapat dinilai dari analisis pergerakan dinding ventrikel secara segmental. Beberapa parameter klinis maupun laboratoris, antara lain angina pasca infark, gaga! jantung, aritmia dan luasnya infark akan menentukan prognosis pasca infark miokard. Dari keempat faktor tersebut luasnya infark akan tercermin dari adanya gangguan pergerakan dinding ventrikel, sebagai petanda ada tidaknya viabilitas miokard. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara analisis pergerakan dinding ventrikel yang di lakukan secara serial dengan viabilitas miokard pasca infark miokard akut. Telah dilakukan pemeriksaan ekokardiografi secara serial terhadap 35 penderita infark miokard akut di RS. Jantung Harapan Kita. Dari pemeriksaan tersebut dibuat suatu skor yang dikenal sebagai 'wall motion score index' (WMSI) berdasarkan gangguan pergerakan dinding ventrikel secara segmental. Data yang di peroleh menunjukkan adanya penurunan nilai WMSI dari hari ke hari pada semua penderita yang diteliti. Penurunan nilai WMSI yang dianggap bermakna secara statistik adalah - 0,25 (p < 0,001 ). Nilai tersebut menunjukkan adanya viabilitas miokard. Uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara WMSI pada 24 jam pertama infark miokard akut dengan nilai puncak dari enzim CKMB (r = 0,23) namun terdapat korelasi yang sedang antara WMSI tersebut dengan nilai puncak enzim CK (r= 0,4). Ketidak sesuaian terse but ( discrepeney) menunjukkan bahwa nilai puncak enzim sebetulnya tidak dapat mencerminkan luasnya infark yang berpengaruh terhadap pergerakan dinding ventrikel. _ Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara WMSI dengan fraksi ejeksi (r = -0,06), fraksi pemendekan (r = -0,08) volume akhir sistol (r = 0,21) dan volume akhir diastol (r = 0,35). Gambaran tersebut jauh berbeda pada 1 hari sebelum penderita di pulangkan, dimana terdapat korelasi yang cukup kuat antara WMSI dengan fraksi ejeksi, fraksi pemendekan dan volume akhir diastol (r = -0,51 ; r = -0,46 ; r = 0,67) tetapi tetap tidak ditemukan korelasi dengan volume akhir sistol (r = 0, 19). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi ejeksi dan fraksi pemendekan kurang dapat mencerminkan fungsi ventrikel kiri pada fase akut infark miokard (24 jam pertama). Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Perubahan WMSI ~ 0,25 dapat digunalan sebagai parameter untuk menilai viabilitas miokard. 2. WMSI merupakan pencerminan fungsi regional ventrikel kiri yang dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel pada 24 jam pertama infark miokard. 3. Pada 24 jam pertama IMA tidak terdapat korelasi antara WMSI dengan EF, FS, ESV dan EDV, sedangkan pada hari ke 5 pasca IMA korelasi hanya didapat dengan EDV. Akan tetapi pemeriksaan yang dilakukan sebelum penderita dipulangkan, terdapat korelasi antara WMSI dengan EF, FS dan EDV. 4. Sebagian penderita yang diteliti mengalami ustunning" dari miokard."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1996
T59091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwinanto
"Angioplasti koroner diterima sebagai cara alternatif revaskularisasi pada arteria koronaria dengan stenosis bermakna. Keberhasilan angioplasti koroner pada miokardium viable berpeluang untuk memperbaiki gerak dindingsegmental bilik kiri. Oleh karena itu, keberadaan miokardium viable pra-angioplasti memegang peran penting dalam perbaikan gerak dinding segmental pasca-angioplasti. Stres ekokardiografi dobutamin dosis . rendah merupakan salah satu cara yang telah diterima untuk mengetahui keberadaan miokardium yang viable. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terjadinya perbaikan gerak dinding segmental bilik kiri pasca-angioplasti berhasil pada satu atau lebih artreria koronaria penderita multivessel disease di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Dilakukan penelitian pada 20 orang penderita multivessel disease yang menjalani angioplasti koroner berhasil. Keberhasilan angioplasti ditandai dengan sisa stenosis <50% di satu atau lebih arteria koronaria , yang didilatasi, tidak mengalami· infark miokardium akut dan tidak memerlukan operasi bedah pintas koroner darurat. Dobutamine dosis rendah diberikan yaitu 5j.lg/kg/menit dilanjutkan dengan 10 j.lg/kg/menit selang waktu 5 menit. Gerak dinding bilik kiri diperiksa memakai ekokardiografi transtorakal 1 - 2 hari sebelum angioplasti koroner.dan dibandingkan dengan akibat yang sama 2 - 3 hari pascaangioplasti. Dinding bilik kiri dianalisa secara kualitatif dengan cara membaginya menjadi 16 segmen dan sebuah nilai diberikan untuk masingmasing segmen. Sebelum angioplasti, ditemukan 59 segmen yang menunjukkan gangguan gerak saat istirahat dan 45 segmen menunjukkan perbaikan gerak saat dilakukan tes dobutamin dosis rendah (p=O,001). Dibandingkan dengan keadaan yang sama sebelum angioplasti, terjadi perbaikan Indeks Angka Gerak Dinding pasca-angioplasti sa at istirahat dari 1,29 ±O,12 menjadi 1,17±-O,13 (p=O,003) dan saat tes dobutamine dari 1, 13±-O, 13 menjadi 1,06 ±-O,11 (p=O,008). Persetujuan dua penilai terhadap perubahan gerak dinding segmental besarnya 94,7 %. Kesimpulan : terjadi perbaikan gerak dinding segmental pasca-angioplasti koroner yang berhasil pad a 1 atau lebih arteria koronaria penderita multivessel disease di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Perbaikan terlihat 2 sampai 3 hari setelah angioplasti, baik saat istirahat maupun saat stres dobutamine dosis rendah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ,
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali
"TUJUAN: (1) Mengetahui perubahan fungsi sistolik dan diastolik serta massa ventrikel kin pada remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor dibandingkan dengan remaja dan dewasa muda normal. (2) Mengetahui hubungan antara kadar feritin serum dan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang diperoleh dengan pemeriksaan ekokardiografi pada remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor.
TEMPAT PENELITIAN: Divisi Kardiologi dan Divisi Hematologi Anak FK UI/RSCM Jakarta
SUBYEK PENELITIAN: Remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor yang menjalani pemeriksaan dan transfusi rutin di Pusat Talasemia RSCM sejak bulan Agustus - Desember 2005.
METODOLOGI: Dilakukan penelitian observasional dengan rancang bangun cross sectional. Data meliputi parameter hematologis pasien Talasemma mayor dan parameter fungsi sistolik ventrikel kiri (EF dan FS), fungsi diastolik ventrikel (E, A, rasio E/A, IVRT), serta massa ventrikel kiri (LVDDi, LVDSi, LVMi) dengan menggunakan mesin ultrasonografi Sonas 4500, transduser 8 MHz. Data diolah dengan SPSS versi 10. Dilakukan uji t, analisa regresi liner dan analisa multivariat dengan regresib multiple. Nilai a yang dipakai adalah 0,05. Jumlah subyek minimal yang diperlukan adalah 28.
HASIL : Dan 32 subyek Talasemia mayor yang diperiksa, 30 subyek diikutsertakan dalam penelitian. Fungsi sistolik dan diastolik Talasemia mayor lebih rendah dibanding kontrol dan perbedaan ini secara statistik bermakna. Rerata EF Talasemia mayor dan kontrol masing-masing adalah 66,1% (SB 4,9) dan 71,6% (SB 5,6) ; p < 0,0001. Rerata FS 36,0% (SB 3,7) dan 39,8% (SB 5,5) ; p = 0,003. Rerata rasio E!A Talasemia mayor dan kontrol masing-masing 2,14 (SB 0,4) dan 1,83 (SB 0,3); p = 0,002. Massa ventrikel kin Talasemia mayor secara bermakna lebih berat dibanding kontrol. Rerata LVMi (g/m2) Talasemia mayor dan kontrol masing-masing 111,1 (SB 30,8) dan 75,4 (SB 14,5); p < 0,0001. Dengan regresi linier sederhana dan regresi multipel dijumpai hubungan yang cukup kuat dan bermakna antara fungsi diastolik ventrikel kiri (rasio FA) dengan kadar feritin serum (r = 0,71;p < 0,0001).
KESIMPULAN: Fungsi sistolik dan fungsi diastolik remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor telah mulai mengalami perubahan dan abnormalitas. Massa ventrikel kin remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor lebih berat dari pada orang normal. Semakin tinggi kadar feritin serum semakin besar kemungkinan penderita Talasemia mayor untuk menderita gangguan fungsi diastolik.

OBJECTIVES: To detect the left ventricular systolic and diastolic functions and mass alteration among adolescents and young adults with Thalassemia major compared to those of normal adolescents and young adults, and to find out the relationship between serum ferritin level and left ventricular functions which are obtained from echocardiography examination.
SETTING: Division of Pediatric Cardiology and Hematology Department of Child Health, Medical Faculty, Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta
SUBJECTS: Adolescents and young adults with Thalassemia major whose got blood transfusion in Thalassemia Center Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta between August to December 2005.
METHODS: A cross-sectional study was conducted. The data includes the Thalassemia major patients' hematology data, left ventricular systolic function (EF and FS), and diastolic function (A, E, F/A ratio, IVRT), mass (LVDD1, LVDSi, LVMi) by using an ultrasonography Sonos 4500, transducer 8 MHz. That data were processed with SPSS version 10. The t test, liner regression and multiple regression analysis were performed. Statistical significant was assumed with a 0.05. The minimal number of subjects needed was 28.
RESULTS: Out of 32 Thalassemia major patients, 30 were enrolled to study. Left ventricular systolic and diastolic function of Thalassemia major patients were lower than the control and it was statistically significant.[ EF 66.1% (SD 4.9) and 71.6% (SD 5.6); p < 0.0001, FS 36.0% (SD 3.7) and 39.8% (SD 5.5); p = 0.003, E/A 2.14 (SD 0.4) and 1.83 (SD 0.3); p = 0.002], respectively. Left ventricular mass of Thalassemia major patients was greater than control, and it was statistically significant [LVMi (g/m2) 111.1 (SD 30.8) and 75.4 (SD 14.5); p < 0.0001], respectively. Linier and multiple regression analysis showed that there was significant and powerful relation between left ventricular diastolic function (E/A ratio) and serum ferritin ( r = 0.71; p < 0.0001).
CONCLUSION: The systolic and diastolic functions of adolescents and young adults with Thlassemia major have started to alter and abnormalities. The left ventricular mass of adolescents and young adults with Thalassemia major more than heavier that of a normal person. The higher the level of serum ferritin is, the more likely it is for Thalassemia major patient to suffer from diastolic abnormalities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noormanto
"Tujuan Mengetahui profil lemak, faktor risiko PJK lain serta ketebalan tunika intimamedia karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini. Tempat penelitian: Poliklinik rawat jalan Anak Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek penelitian Anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini.
Metode dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa dan ketebalan tunika intima-media karotis. Analisis data yang digunakan untuk membandingkan faktor risiko antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua PJK dini adalah x2, tes t tidak berpasangan dan regresi logistik. Untuk mengetahui perbedaan ketebalan tunika intima-media karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua mendeirita PJK dini dilakukan analisis tes t tidak berpasangan. Sedangkan untuk mencari hubungan ketebalan tunika intima-media karotis dengan profil lemak dan faktor risiko PJK lain dilakukan uji korelasi Pearson.
Hasil Sebanyak 24 anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini, terdiri 66,7% laki-laki dan 33,3% perempuan. Pada analisis bivariat diperoleh perbedaan yang bermaia7a pads indeks masa tubuh, tekanan darah diastolik dan ketebalan tunika intima media arteri karotis antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini (p= 0,035, p=0,029 dan p=0,004), tetapi dari analisis multivariat indeks masa tubuh dan tekanan darah diastolik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,083 dan p=0,094). Sedangkan umur, jenis kelamin, status merokok, perokok pasif, aktivitas anak, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, kadar gula darah puasa tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dari analisis bivariat maupun multivariat. Ketebalan tunika intima-media karotis pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungannya dengan faktor risiko PJK seperti kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, indeks masa tubuh dan umur.
Kesimpulan (1) Remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini mempunyai kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserid, tekanan darah sistolik dan diastolik serta indeks rasa tubuh rata-rata lebih tinggi tetapi secara statistik tidak bermakna disbanding kontrol; (2) Tunika intima-media karotis pada remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini lebih tebal secara bermakna dibanding kontrol; (3) Ketebalan tunika intima-media karoti; tidak ada hubungannya dengan faktor risiko PJK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kartika Murni
"[ABSTRAK
Latar belakang: Luaran pasca-bedah jantung penting diketahui untuk menilai kinerja pelayanan bedah jantung anak, sehingga kualitas pelayanan dapat ditingkatkan.
Tujuan: Mengetahui luaran jangka pendek (mortalitas, komplikasi pasca-bedah berat lain, dan komplikasi pasca-bedah yang berat) pada anak yang dilakukan bedah jantung. Selain itu, ingin mengetahui faktor risiko terjadinya komplikasi berat pasca-bedah jantung dan membuat sistem skor dari faktor-faktor risiko tersebut.
Metode: Setiap anak dengan penyakit jantung yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta sejak April 2014 sampai Maret 2015 diikuti setiap hari sampai pasien pulang atau meninggal. Data demografis, mortalitas, morbiditas atau komplikasi pasca-bedah jantung, dan faktor risiko terjadinya morbiditas pasca-operasi yang berat diambil dari rekam medis. Pasien yang sudah pulang dari rumah sakit, dalam waktu 30 hari pasca-operasi dihubungi untuk mendapatkan data kondisi pasien dalam waktu tersebut (hidup atau meninggal).
Hasil: Selama penelitian didapatkan 258 anak dilakukan bedah jantung. PJB terbanyak yang dilakukan bedah jantung adalah ventricle septal defect (28,7%) dan tetralogy of Fallot (24,4%). Komplikasi pasca-bedah jantung terjadi pada 217 (84,1%) anak dan komplikasi berat terjadi pada 49 anak (19%). Komplikasi pasca-bedah jantung terbanyak adalah hipokalsemia pada 163 (63,2%) anak, hiperglikemia 159 (61,6%), low cardiac output syndrome 52 (20,2%), aritmia 48 (18,6%), sepsis 45 (17,4%), dan efusi pleura 39 (15,1%). Komplikasi berat meliputi in-hospital mortality terjadi pada 33 (12,7%) anak dan mortalitas dalam waktu 30 hari pasca-bedah jantung terjadi pada 35 (13,6%) anak, henti jantung 13 (5%), operasi jantung ulang 10 (3,9%), dan gagal organ multipel 19 (7,4%). Faktor risiko yang berhubungan dengan meningkatnya komplikasi pasca-bedah jantung yang berat adalah peningkatan kadar laktat darah [OR 30,7 (IK 95% 8,1-117,6)], PJB sianotik [OR 4,4 (IK 95% 1,2-15,8), dan pemakaian inotropik yang tinggi [OR 7,8 (IK 95% 1,6-38,9)]. Skor faktor risiko ≥ 3 mampu memprediksi anak yang mengalami komplikasi berat pasca-bedah jantung dengan sensitivitas skor 93,9% dan spesifisitas skor 84,2%, dan area di bawah kurva receiver operating characteristic (ROC) adalah 0,94.
Simpulan: Mortalitas di rumah sakit pasca-bedah jantung anak sebesar 12,7% dan mortalitas 30 hari pasca-bedah 13,6%. Komplikasi berat lain pasca-bedah 13,6%. Faktor risiko yang berhubungan dengan meningkatnya komplikasi pasca-bedah jantung yang berat adalah peningkatan kadar laktat darah, PJB sianotik, dan pemakaian inotropik tinggi pasca-bedah jantung. Skor faktor risiko ≥ 3 mampu memprediksi anak yang mengalami komplikasi berat pasca-bedah jantung dengan sensitivitas skor 93,9% dan spesifisitas skor 84,2%.

ABSTRACT
Background: Outcome of children with cardiac surgery is important to evaluate the performance of cardiac surgery program. Identifying the risk factors for major adverse events after cardiac surgery is also important to improve patient care.
Objective: To evaluate the incidence of short-term outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events (major complications) at the Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: A prospective observational study was conducted from April 2014 until March 2015. All children conducted cardiac surgery, were monitored from the time the cardiac surgery performed until patients were discharged or deceased. During the follow up of all recruited patients, factors associated with the risk of developing major adverse events were identified.
Results: A total of 258 patients were recruited during the study period. Of the total, 134 (51.9%) were female. The mean age of the patients was 53.3±3.8 months. Among the patients, 217 (84.1%) had complications. The most complications occurred after cardiac surgery were hypocalcaemia in 163 (63.2%), hyperglycemia in 159 (61.6%), low cardiac output syndrome in 52 (20.2%), arrhythmia in 48 (18.6%), sepsis in 45 (17.4%), and pleural effusion in 39 (15.1%) children. Further, 49 (19%) of recruited patients had major adverse events (major complications), including in-hospital mortality in 33 (12.7%) and 30-day mortality in 35 (13.6%), cardiac arrest in 13 (5%), the need for re-operation in 10 (3.9%), and multiple organ failure in 19 (7.4%) children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate [OR 30.7 (95% CI 8.1-117.6)], cyanotic congenital heart disease [OR 4.4 (95% CI 1.2-15.8), and high inotropes on leaving operating room [OR 7.8 (95% CI 1.6-38.9)]. Risk factor score ≥3 could predict major complications after cardiac surgery with sensitivity of 93.9% and specificity of 84.2%, and area under receiver operating characteristic (ROC) curve was 0.94.
Conclusion: In-hospital mortality after paediatric cardiac surgery at Dr Cipto Mangunkusumo hospital is 12,7% and 30-day mortality is 13,6%. Increase in blood lactate, cyanotic congenital heart disease, and high inotropes on leaving operating room are associated with mortality and other major complications in children following cardiac surgery. Risk score ≥ 3 can predict the development of major complication in children after cardiac surgery with sensitivity 93,9% and specificity 84,2%.;Background: Outcome of children with cardiac surgery is important to evaluate the performance of cardiac surgery program. Identifying the risk factors for major adverse events after cardiac surgery is also important to improve patient care.
Objective: To evaluate the incidence of short-term outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events (major complications) at the Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: A prospective observational study was conducted from April 2014 until March 2015. All children conducted cardiac surgery, were monitored from the time the cardiac surgery performed until patients were discharged or deceased. During the follow up of all recruited patients, factors associated with the risk of developing major adverse events were identified.
Results: A total of 258 patients were recruited during the study period. Of the total, 134 (51.9%) were female. The mean age of the patients was 53.3±3.8 months. Among the patients, 217 (84.1%) had complications. The most complications occurred after cardiac surgery were hypocalcaemia in 163 (63.2%), hyperglycemia in 159 (61.6%), low cardiac output syndrome in 52 (20.2%), arrhythmia in 48 (18.6%), sepsis in 45 (17.4%), and pleural effusion in 39 (15.1%) children. Further, 49 (19%) of recruited patients had major adverse events (major complications), including in-hospital mortality in 33 (12.7%) and 30-day mortality in 35 (13.6%), cardiac arrest in 13 (5%), the need for re-operation in 10 (3.9%), and multiple organ failure in 19 (7.4%) children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate [OR 30.7 (95% CI 8.1-117.6)], cyanotic congenital heart disease [OR 4.4 (95% CI 1.2-15.8), and high inotropes on leaving operating room [OR 7.8 (95% CI 1.6-38.9)]. Risk factor score ≥3 could predict major complications after cardiac surgery with sensitivity of 93.9% and specificity of 84.2%, and area under receiver operating characteristic (ROC) curve was 0.94.
Conclusion: In-hospital mortality after paediatric cardiac surgery at Dr Cipto Mangunkusumo hospital is 12,7% and 30-day mortality is 13,6%. Increase in blood lactate, cyanotic congenital heart disease, and high inotropes on leaving operating room are associated with mortality and other major complications in children following cardiac surgery. Risk score ≥ 3 can predict the development of major complication in children after cardiac surgery with sensitivity 93,9% and specificity 84,2%., Background: Outcome of children with cardiac surgery is important to evaluate the performance of cardiac surgery program. Identifying the risk factors for major adverse events after cardiac surgery is also important to improve patient care.
Objective: To evaluate the incidence of short-term outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events (major complications) at the Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: A prospective observational study was conducted from April 2014 until March 2015. All children conducted cardiac surgery, were monitored from the time the cardiac surgery performed until patients were discharged or deceased. During the follow up of all recruited patients, factors associated with the risk of developing major adverse events were identified.
Results: A total of 258 patients were recruited during the study period. Of the total, 134 (51.9%) were female. The mean age of the patients was 53.3±3.8 months. Among the patients, 217 (84.1%) had complications. The most complications occurred after cardiac surgery were hypocalcaemia in 163 (63.2%), hyperglycemia in 159 (61.6%), low cardiac output syndrome in 52 (20.2%), arrhythmia in 48 (18.6%), sepsis in 45 (17.4%), and pleural effusion in 39 (15.1%) children. Further, 49 (19%) of recruited patients had major adverse events (major complications), including in-hospital mortality in 33 (12.7%) and 30-day mortality in 35 (13.6%), cardiac arrest in 13 (5%), the need for re-operation in 10 (3.9%), and multiple organ failure in 19 (7.4%) children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate [OR 30.7 (95% CI 8.1-117.6)], cyanotic congenital heart disease [OR 4.4 (95% CI 1.2-15.8), and high inotropes on leaving operating room [OR 7.8 (95% CI 1.6-38.9)]. Risk factor score ≥3 could predict major complications after cardiac surgery with sensitivity of 93.9% and specificity of 84.2%, and area under receiver operating characteristic (ROC) curve was 0.94.
Conclusion: In-hospital mortality after paediatric cardiac surgery at Dr Cipto Mangunkusumo hospital is 12,7% and 30-day mortality is 13,6%. Increase in blood lactate, cyanotic congenital heart disease, and high inotropes on leaving operating room are associated with mortality and other major complications in children following cardiac surgery. Risk score ≥ 3 can predict the development of major complication in children after cardiac surgery with sensitivity 93,9% and specificity 84,2%.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yanti Rahayuningsih
"Latar Belakang: Pasien sindrom Down (Down?s syndrome/DS) berbeda dari anak normal karena memiliki banyak kelainan selain defek jantung yang dapat memengaruhi luaran pasca-operasi jantung. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai luaran pasca-operasi penyakit jantung bawaan (PJB) pada DS di pusat-pusat pelayanan jantung di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui luaran jangka pendek dan mortalitas pada pasien DS yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Metode: Studi kohort retrospektif dan prospektif pada subjek anak dengan DS yang menjalani operasi koreksi PJB. Kontrol adalah anak tanpa DS yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi, dengan matching rentang usia dan jenis penyakit jantung yang sama dengan pasien DS.
Hasil: Sebanyak 57 pasien DS dan 43 non-DS yang telah menjalani operasi koreksi PJB diikutkan dalam penelitian. Karakteristik dasar antar kelompok tidak berbeda bermakna. Jenis PJB terbanyak pada DS adalah defek septum atrioventrikular (AVSD) dan defek septum ventrikel (VSD) masing-masing sebesar 31,6%, tetralogi Fallot (TF) 21%, defek septum atrium (ASD) 7%, duktus arteriosus persisten (PDA) 7% dan transposisi arteri besar (TGA)-VSD 1,8%. Lama rawat ruang rawat intensif (ICU) pada DS 1,9 (0,6-34) hari dibanding non-DS 1 (0,3-43), p=0,373. Lama penggunaan ventilator pada DS 19,9 (3-540) jam, non-DS 18 (3-600), p=0,308. Krisis hipertensi pulmoner (PH) tidak terjadi pada kedua kelompok, proporsi komplikasi paru pada DS 24,6% dibanding non-DS 14%, dan sepsis pada DS 28,1% dibanding non-DS 14% tidak berbeda bermakna. Proporsi blok atrioventrikular (AV) komplit pada DS 10,5% dan non-DS tidak ada, dengan p=0,036. Kematian di rumah sakit (RS) pada DS 8,8%, non-DS tidak ada, dengan p=0,068.
Simpulan: Morbiditas dan mortalitas pasca-operasi jantung pada DS tidak terbukti lebih sering terjadi dibandingkan dengan non-DS.

Background: Down syndrome patients different from normal child because many other genetic related aspects that can affect outcome after congenital heart surgery. Until now there has been no research on the outcome after congenital heart surgery on paediatric Down syndrome patients in Indonesia.
Objective: To determine the short term outcomes and mortality in DS patients who underwent heart surgery at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta.
Methods: A prospective and retrospective cohort study was conducted to subject with DS who underwent heart surgery from July 2007- April 2015. Control group was patients without DS who underwent heart surgery with matching on age and type of heart defects.
Results: A total of 57 DS patients and 43 non-DS patients were recruited during study period. Basic characteristics between groups were not significantly different. Most type of CHD in patients with DS were AVSD and VSD respectively in 18 (31,6%), tetralogi of Fallot 12 (21%), ASD 4 (7%), PDA 4 (7%) and TGA-VSD 1 (1,8%) patients. Duration of ICU stay in patients with DS was 1,9 (0,6-34) days compared to non-DS patients 1 (0,3-43) days, p=0,373. Duration of mechanical ventilation in patients with DS was 19,9 (3-540) hours, compared to non-DS patients 18 (3-600) hours, p=0,308. Pulmonary hypertension crisis was not occurred in both groups. Pulmonary complication in patients with DS was 14 (24,6%) compared to non-DS 6 (14%) patients, and sepsis in patients with DS was 16 (28,1%) compared to non-DS 6 (14%) patients, there was no difference. Complete AV block in patients with DS was 6 (10,5%) compared none in patients with non-DS, p=0,036. In-hospital mortality in patients with DS was 5 (8,8%), compared none in patients with non-DS, significantly different with p=0,068.
Conclusion: Morbidity and mortality after cardiac surgery in DS is not proven to be more frequent compared to non-DS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Isnanijah
"Latar Belakang
Disfungsi diastolik cukup sering terjadi pada orang dengan hipertensi, biasanya disertai dengan hipertrofi ventrikel kiri. Indeks volume atrium kiri dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik selain rasio EIA, DT, [VRT, 5117, Ele', dan e'la'. Belum terdapat data indeks volume atrium kiri pada subyek normal maupun subyek penyakit jantung hipertensi pada populasi Indonesia. PeneIitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemeriksaan indeks volume atrium kiri dapat digunakan sebagai parameter disfungsi diastolik ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi.
Metode
Penelitian dilakukan pada 100 orang dengan subyek normal dan subyek penyakit jantung hipertensi dengan fungsi sistolik ventrikel kiri normal, pada pasien kontrol di poliklinik dan pasien rawat di PJNHK selama periode Januari - Oktober 2006. Akan dilakukan penilaian korelasi antara indeks volume atrium kiri dengan rasio WA, SID, Ele' dan e'la'.
Hasil
Indeks volume atrium kiri pada subyek normal didapatkan sebesar 17,64±1,35, pada kelompok disfungsi diastolik derajat I sebesar 23,26 ± 2,55 berbeda bermakna dengan kelompok disfungsi diastolik derajat 2 sebesar 31,52 ± 3,22 dengan p = 0,001.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan bermakna indeks volume atrium kiri pada subyek normal dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat 1 maupun derajat 2.

Background
Diastolic dysfunction is frequently found in hypertension, usually accompanied with left ventricular hypertrophy. Several parameter was developed to assess the diastolic function including left atrial volume index, FIA. DT,IVRT,,SID,E/e', and e'Ia'. There is no data for left atrial volume index for normal subjects or subjects with hypertensive heart disease in Indonesian population. The - aim of this study is to prove that left atrial volume index can be used as a parameter for left ventricular diastolic dysfunction in hypertensive heart disease.
Methods
Fifty persons with hypertensive heart disease with normal left ventricular systolic function, who controlled at the outpatient clinic and were hospitalized in NCCHK between January-October 2006 ofperiod, were examined We evaluated the correlation between left atrial volume index and EJA ratio, S/D,E/e', e %a'.
Result
Left atrial volume index in normal subjects is 17.64 ± 1.35, subjects with grade 1 diastolic dysfunction 23.26 f 2.55, grade 2 diastolic dysfunction group 31.35 ± 2.87. Value among those groups differ significantly with p = 0.001.
Conclusion
There is significant difference of left atrial volume index among normal subjects, subjects with grade l and grade 2 diastolic disfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Mustahsani Aprami
"Profit lipid yang abnormal merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit jantung koroner (PJK) dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan dengan gangguan pertumbuhan prenatal (BBLR) atau postnatal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko mempunyai profil lipid yang abnormal pada individu dengan gangguan pertumbuhan prenatal. Penelilian dilakukan pada populasi kohort di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang Sawa Barat yang lahir tahun 1988-1990. Kriteria BBLR berdasarkan pada bayi lahir > 37 minggu dengan berat badan lahir 2700 gram. Kriteria inklusi, BBLR dan non-BBLR dengan pertumbuhan postnatal sampai usia 36 bulan adekuat, mempunyai catatan lengkap BB lahir, TB lahir sampai usia 36 bulan dan catatan BB, TB pada usia 12-14 tahun, bersedia ikut dalam penelitian.
Setelah dilakukan pemeriksaan profil lipid, validitas data dan stratifikasi, dari 871 orang subyek yang diteliti, hanya 229 yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Ditentukan sebanyak 105 subyek penelitian melalui simple random yang mengalami dislipidemia dimasukkan kedalam kelompok kasus, untuk kelompok kontrol, diambil jumlah yang sama dengan matching. Untuk membandingkan data-data antara kedua kelompok dipakai uji student t-test, sedangkan menjawab masalah utama yaitu besarnya risiko mengalami dislipidemia digunakan perhitungan odds ratio dengan menggunakan table 2x2.
Hasi penelitian karakteristek umum kedua kelompok (umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi bada) tidak ada perbedaan bermakna p<0,05. Tidak ada perbedaan yang bermakna kadar kolesterol total dan kolesterol LDL remaja dengan BBLR dibandingkan remaja yang non BBLR, p>0,05. Radar trigliserida lebih tingi bermakna pada remaja dengan BBLR dibandingkan dengan remaja non BBLR, p=0,00004, sedangkan kadar kolesterol HDL lebih rendah bermakna pads remaja dengan BBLR dibandingkan remaja non-BBLR, p=0,00004.. Pada remaja dengan BBLR mempunyai risiko lebih besar untuk teijadi dislipidemia dibandingkan remaja non BBLR dengan odds ratio 3,26 95%CI 1,77-6,02; p=0,00003.
Kesimpulan : Remaja dengan gangguan pertumbuhan prenatal mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi dislipidemia.

Abnormal lipid profile is an independent risk factor for coronary artery disease. Some studies have shown that small for gestational age (SGA) was associated with abnormal plasma lipid profile in adolescent and adulthood. This study was conducted to asses whether SGA children are more prone to have abnormal plasma lipid profile.
This study was performed to cohort population in Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang-West Java who was born between 1988-1990. The criteria of SGA are term infants, gestational age of > 37 weeks, birth weight : 2700 grams and birth length 45-50 centimeters. Appropriate gestational age (AGA) are term infants, gestational age > 37 weeks; birth weight > 2700 grams and birth length > 47 centimeters. Inclusion criteria were SGA and AGA with postnatal growth up to 36 months adequately, complete birth weight and birth length records up to 36 months as well and birth weight and birth length during 12-14 years of age, willing to accompany in this study.
After lipid profile examination was performed, validity and stratification data of 871 subjects, 229 subjects were complied with including criteria. With the simple random, I05 subjects of dislipidemia were decided as the case group and the same number of control group were included as matching. The significance of differences between two groups was examined using student t -test and Mann Whitney. A p level of 0.05 was considered statistically significant.
There were no differences in general characteristic of both group (age, gender, birth length) p>0.05. No significant differences between total cholesterol and LDL cholesterol levels in subject with SGA compared with AGA, p>0 05. Triglyceride level was higher found significant in subject SGA compared with AGA, p=0.00004, however the HDL cholesterol level have a significant more less in subject SGA compared with AGA, p=0.00004. Subject with SGA have an increase risk to develop of dislipidaemia compare with subject AGA, odds ratio of 3.26, 95%CI 1.77-6.O2;p=0.00003.
Conclusion :
Subject with prenatal growth retardation have an increase risk for dislipidaemia in adult life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18179
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Abdurachim Nazir
"Latar Belakang. Bedah pintas koroner merupakan salah satu pengobatan dari PJK Rehabilitasi Kardiovaskular selalu dilakukan pada pasien pasca bedah pintas koroner untuk memulihkan penderita pada kesehatan yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup. Mengukur kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner. Salah satu kuesioner yang banyak dipakai adalah SF-36. Di Indonesia belum ada penelitian kualitas hidup pasien pasca bedah koroner yang melakukan rehabilitasi fase III.
Metodologi. Penelitian dilakukan dengan disain potong lintang di divisi rehabilitasi PJNHK terhadap pasien pasca bedah pintas koroner yang melakukan rehabilitasi fase III tahun 2004 -2005 diambil secara consecutive sampling. Kuesioner SF-36 diberikan secara langsung atau melalui pos sµrat. Sebelumnya dilakukan uji kesahihan dan keandalan dari kuesioner SF-36 bahasa Indonesia.
Hasil. Didapatkan 112 pasien, 34 rehabilitasi di rumah sakit dan 78 pasien rehabilitasi di rumah. Karakteristik kedua kelompok sama. Uji kesahihan memakai r product moment dari Pearson setiap butir pertanyaan kuesioner SF-36 bahasa Indonesia r = 0,53-0.83 > 0,51 (r tabel) dan Cronbach a 0,855. Skor SF-36 tidak berbeda bermakna baik antara kedua kelompok ( rehabiltasi di rumah sakit vs di rumah) maupun dengan kelompok kontrol (sehat).
Kesimpulan. Kualitas hidup pasien yang melakukan rehabiltiasi fase III baik di rumah sakit maupun di rumah sama baiknya dan kuesioner SF-36 terjemahan bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup di Indonesia.

Background. Coronary artery bypass graft surgery (CABG) is one of the management for coronary artery disease. Cardiovascular rehabilitation usually conducted for recovery and improved quality of life. Questionnaire was used to evaluate quality of life. One of the quality of life instrument most commonly used is Questionnaire SF-36. So far there isn't any study to evaluate quality of life in patients post CABG who wishes to follow rehab program phase III in Indonesia.
Methodology. This is a cross sectional study conducted in Cardiovascular Rehabilitation Division in NCCHK to patients post CABG in phase III rehab program during 2004-2005. Subject was taken in consecutive sampling manner. Questionnaire SF-36 was handed directly or via mail. Validity and reliability test was done for the questionnaire form in Indonesia language.
Result. There were 112 patients, 34 patients did rehab program in hospital and 78 were home-based. The characteristics between two groups were similar. Validity test using r product moment from Pearson to every questions in SF-36 showed r = 0,53-0.83 > 0,51 (r table) and Cronbach a= 0,855. SF-36 scoring was not significantly different among two group (in hospital rehab vs home-based rehab) and also control group (healthy).
Conclusion. There were no difference of quality of life in patients who had done rehabilitation program phase III in hospital and home-based and questionnaire SF-36 form in Indonesia language valid and reliable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dafsah Arifa Juzar
"Latar Belakang. Cedera Reperfusi Iskemia merupakan eksaserbasi paradoks mengakibatkan disfungsi dan kematian sel setelah aliran darah direstorasi ke jaringan yang sebelumnya iskemia. Pada iskemia tungkai akut, reperfusi menimbulkan reaksi kompleks melibatkan inflamasi lokal maupun sistemik dengan dampak lokal sindroma kompartemen dan dampak sistemik berupa disfungsi hingga kegagalan multi organ. Platelets activating factors (PAF) sebagai mediator inflamasi pospholipid mempunyai efek fisiologis yang poten dan beragam, sehingga meningkatkan respon inflamasi pada cedera reperfusi iskemik.
Berbagai upaya untuk mencegah dan memperingan cedera reperfusi iskemik, antara lain penggunaan prosedur ischemic preconditioning, antioksidan dan terapi anti-sitokin telah diteliti namun hasil dan manfaat klinisnya belum memuaskan. PTX, phosphodiesterase nonspesifik derivat xanthine, memperlihatkan efek penekanan inflamasi dan menghambat interaksi lekositendotel yang menjanjikan dalam mencegah cedera reperfusi. Namun hasil penelitian mengenai peran pentoxifylinne dalam menekan reaksi inflamasi melalui penekanan PAF pada iskemia tungkai akut tidak konsisten. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menilai peran PTX dalam mengurangi cedera reperfusi melalui penekanan mediator inflamasi PAF pada hewan coba kelinci dengan Reperfusi Iskemia tungkai akut.
Metodologi. Dilakukan tindakan iskemik tungkai kiri selama 3 jam yang diikuti 2 jam periode reperfusi pada 10 ekor kelinci New Zealand White jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok (kelompok pentoksifin dan kelompok kontrol) secara acak. Pada kelompok perlakuan diberikan PTX 30 menit sebelum reperfusi dengan dosis initial bolus 40 mg/kgBB diikuti dengan dosis rumatan 1 mg/kg BB/jam hingga 3 jam periode reperfusi. Pada kelompok kontrol diberikan cairan garam fisiologis dengan kecepatan dan volume yang sebanding. Tindakan Iskemik dilakukan dengan oklusi arteri iliaka komunis sinistra mengunakan klem selama 3 jam kemudian dilanjutkan dengan restorasi aliran darah. Pengambialn sampel untuk pemeriksaan kadar PAF dilakukan pada 2,5 jam iskemik dan pada 2 jam reperfusi.
Hasil. Pada periode Iskemik dua jam tiga puluh menit tidak mengakibatkan perbedaan bermakna (p=0,754), kadar rerata PAF pada kelompok PTX 13,09 ± 0,41 pg/mL dan kelompok kontrol I3,38 ± 0,28 pg/mL. Pada jam ke dua tindakan reperfusi ditemukan perbedaan bermakna (p=0,009) kadar rerata PAF dari kelompok PTX menurun menjadi 11,36±0,78 pg/mL dan kelompok kontrol meningkat menjadi 25,5±0,78 pg/dL.
Kesimpulan. PTX menurunkan kadar PAF plasma kelinci dengan cedera reperfusi iskemikia tungkai akut.

Background. Ischemic reperfusion injury is a paradoxical exacerbation of cell dysfunction and death following the restoration of blood flow to previously ischemic tissue. Restoration of blood flow is essential to salvage ischemic tissue, however reperfusion itself paradoxically causes further damage to the ischemic tissue, threatening function and viability both organ local and distal through the inflammation response.
In Acute limb ischemia, there are essentially two components: a local component that can result in increasing the regional damage from ischemia inflammatory responses which may result in local syndrome, compartment syndrome, and systemic syndrome, multi organ dysfunction and failure.
Several method and attempt had been studied and performed to prevent and attenuate reperfusion injury such as, ischemic preconditioning, antioxidant, and anti-cytokine therapy, but their clinical benefit were not satisfactory. Pentoxifylline has emerged as an agent that may attenuate inflammation response through several mechanisms. However, studies on PTX and its function to prevent and attenuate inflammation response through attenuating PAF in acute limb ischemic were not consistent. In this study the role of PTX and its function to prevent and attenuate inflammation response through attenuating PAF in acute limb ischemic was investigated.
Methods. Acute limb ischemia in the left lower limbs of 10 New Zealand White male rabbit were performed for 3 hour followed by 2 hours period of ischemia. The rabbits were randomly separated into 2 groups of five (group pentoxifylinne and group control). The Pentoxifylline group was given PTX 40 mg/kg bolus half an hour prior to reperfusion followed by maintenance dose 1 mg/kg/hour until 2 hour post reperfusion, while the control group was given normal saline solution with comparable volume and rate administration. Acute limb Ischemic procedure was performed by direct occlusion of the left femoral artery using non traumatic clamp and followed by releasing the clamp after 3 hours of occlusion. Level of PAF were measured after 2.5 hour of ischemic period and after 2 hours of reperfusion period.
Results. After 2.5 hours of ischemic period, the mean PAF levels did not show any significant difference (p=0.754). The mean PAF level of pentoxifylline group 13.09f0.41 pg/mL, while the mean PAF level of control group 13.38±0.28 pg/mL, After 2 hours period of reperfusion, there were significant differences of mean PAF level between the two groups (p=0.009). The mean PAF level in the control group increase by 12.1 110.79 to became 25.5±0.78 pg/dL, while the mean PAF level of the PTX group decrease by 1.73f1.1 pg/mL and became 11.36±0.78 pg/m L.
Conclusion. PTX decreased the PAF level in rabbits with acute limb ischemic reperfusion injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>