Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toni Mustahsani Aprami
"Profit lipid yang abnormal merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit jantung koroner (PJK) dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan dengan gangguan pertumbuhan prenatal (BBLR) atau postnatal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko mempunyai profil lipid yang abnormal pada individu dengan gangguan pertumbuhan prenatal. Penelilian dilakukan pada populasi kohort di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang Sawa Barat yang lahir tahun 1988-1990. Kriteria BBLR berdasarkan pada bayi lahir > 37 minggu dengan berat badan lahir 2700 gram. Kriteria inklusi, BBLR dan non-BBLR dengan pertumbuhan postnatal sampai usia 36 bulan adekuat, mempunyai catatan lengkap BB lahir, TB lahir sampai usia 36 bulan dan catatan BB, TB pada usia 12-14 tahun, bersedia ikut dalam penelitian.
Setelah dilakukan pemeriksaan profil lipid, validitas data dan stratifikasi, dari 871 orang subyek yang diteliti, hanya 229 yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Ditentukan sebanyak 105 subyek penelitian melalui simple random yang mengalami dislipidemia dimasukkan kedalam kelompok kasus, untuk kelompok kontrol, diambil jumlah yang sama dengan matching. Untuk membandingkan data-data antara kedua kelompok dipakai uji student t-test, sedangkan menjawab masalah utama yaitu besarnya risiko mengalami dislipidemia digunakan perhitungan odds ratio dengan menggunakan table 2x2.
Hasi penelitian karakteristek umum kedua kelompok (umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi bada) tidak ada perbedaan bermakna p<0,05. Tidak ada perbedaan yang bermakna kadar kolesterol total dan kolesterol LDL remaja dengan BBLR dibandingkan remaja yang non BBLR, p>0,05. Radar trigliserida lebih tingi bermakna pada remaja dengan BBLR dibandingkan dengan remaja non BBLR, p=0,00004, sedangkan kadar kolesterol HDL lebih rendah bermakna pads remaja dengan BBLR dibandingkan remaja non-BBLR, p=0,00004.. Pada remaja dengan BBLR mempunyai risiko lebih besar untuk teijadi dislipidemia dibandingkan remaja non BBLR dengan odds ratio 3,26 95%CI 1,77-6,02; p=0,00003.
Kesimpulan : Remaja dengan gangguan pertumbuhan prenatal mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi dislipidemia.

Abnormal lipid profile is an independent risk factor for coronary artery disease. Some studies have shown that small for gestational age (SGA) was associated with abnormal plasma lipid profile in adolescent and adulthood. This study was conducted to asses whether SGA children are more prone to have abnormal plasma lipid profile.
This study was performed to cohort population in Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang-West Java who was born between 1988-1990. The criteria of SGA are term infants, gestational age of > 37 weeks, birth weight : 2700 grams and birth length 45-50 centimeters. Appropriate gestational age (AGA) are term infants, gestational age > 37 weeks; birth weight > 2700 grams and birth length > 47 centimeters. Inclusion criteria were SGA and AGA with postnatal growth up to 36 months adequately, complete birth weight and birth length records up to 36 months as well and birth weight and birth length during 12-14 years of age, willing to accompany in this study.
After lipid profile examination was performed, validity and stratification data of 871 subjects, 229 subjects were complied with including criteria. With the simple random, I05 subjects of dislipidemia were decided as the case group and the same number of control group were included as matching. The significance of differences between two groups was examined using student t -test and Mann Whitney. A p level of 0.05 was considered statistically significant.
There were no differences in general characteristic of both group (age, gender, birth length) p>0.05. No significant differences between total cholesterol and LDL cholesterol levels in subject with SGA compared with AGA, p>0 05. Triglyceride level was higher found significant in subject SGA compared with AGA, p=0.00004, however the HDL cholesterol level have a significant more less in subject SGA compared with AGA, p=0.00004. Subject with SGA have an increase risk to develop of dislipidaemia compare with subject AGA, odds ratio of 3.26, 95%CI 1.77-6.O2;p=0.00003.
Conclusion :
Subject with prenatal growth retardation have an increase risk for dislipidaemia in adult life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18179
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Abdurachim Nazir
"Latar Belakang. Bedah pintas koroner merupakan salah satu pengobatan dari PJK Rehabilitasi Kardiovaskular selalu dilakukan pada pasien pasca bedah pintas koroner untuk memulihkan penderita pada kesehatan yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup. Mengukur kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner. Salah satu kuesioner yang banyak dipakai adalah SF-36. Di Indonesia belum ada penelitian kualitas hidup pasien pasca bedah koroner yang melakukan rehabilitasi fase III.
Metodologi. Penelitian dilakukan dengan disain potong lintang di divisi rehabilitasi PJNHK terhadap pasien pasca bedah pintas koroner yang melakukan rehabilitasi fase III tahun 2004 -2005 diambil secara consecutive sampling. Kuesioner SF-36 diberikan secara langsung atau melalui pos sµrat. Sebelumnya dilakukan uji kesahihan dan keandalan dari kuesioner SF-36 bahasa Indonesia.
Hasil. Didapatkan 112 pasien, 34 rehabilitasi di rumah sakit dan 78 pasien rehabilitasi di rumah. Karakteristik kedua kelompok sama. Uji kesahihan memakai r product moment dari Pearson setiap butir pertanyaan kuesioner SF-36 bahasa Indonesia r = 0,53-0.83 > 0,51 (r tabel) dan Cronbach a 0,855. Skor SF-36 tidak berbeda bermakna baik antara kedua kelompok ( rehabiltasi di rumah sakit vs di rumah) maupun dengan kelompok kontrol (sehat).
Kesimpulan. Kualitas hidup pasien yang melakukan rehabiltiasi fase III baik di rumah sakit maupun di rumah sama baiknya dan kuesioner SF-36 terjemahan bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup di Indonesia.

Background. Coronary artery bypass graft surgery (CABG) is one of the management for coronary artery disease. Cardiovascular rehabilitation usually conducted for recovery and improved quality of life. Questionnaire was used to evaluate quality of life. One of the quality of life instrument most commonly used is Questionnaire SF-36. So far there isn't any study to evaluate quality of life in patients post CABG who wishes to follow rehab program phase III in Indonesia.
Methodology. This is a cross sectional study conducted in Cardiovascular Rehabilitation Division in NCCHK to patients post CABG in phase III rehab program during 2004-2005. Subject was taken in consecutive sampling manner. Questionnaire SF-36 was handed directly or via mail. Validity and reliability test was done for the questionnaire form in Indonesia language.
Result. There were 112 patients, 34 patients did rehab program in hospital and 78 were home-based. The characteristics between two groups were similar. Validity test using r product moment from Pearson to every questions in SF-36 showed r = 0,53-0.83 > 0,51 (r table) and Cronbach a= 0,855. SF-36 scoring was not significantly different among two group (in hospital rehab vs home-based rehab) and also control group (healthy).
Conclusion. There were no difference of quality of life in patients who had done rehabilitation program phase III in hospital and home-based and questionnaire SF-36 form in Indonesia language valid and reliable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dafsah Arifa Juzar
"Latar Belakang. Cedera Reperfusi Iskemia merupakan eksaserbasi paradoks mengakibatkan disfungsi dan kematian sel setelah aliran darah direstorasi ke jaringan yang sebelumnya iskemia. Pada iskemia tungkai akut, reperfusi menimbulkan reaksi kompleks melibatkan inflamasi lokal maupun sistemik dengan dampak lokal sindroma kompartemen dan dampak sistemik berupa disfungsi hingga kegagalan multi organ. Platelets activating factors (PAF) sebagai mediator inflamasi pospholipid mempunyai efek fisiologis yang poten dan beragam, sehingga meningkatkan respon inflamasi pada cedera reperfusi iskemik.
Berbagai upaya untuk mencegah dan memperingan cedera reperfusi iskemik, antara lain penggunaan prosedur ischemic preconditioning, antioksidan dan terapi anti-sitokin telah diteliti namun hasil dan manfaat klinisnya belum memuaskan. PTX, phosphodiesterase nonspesifik derivat xanthine, memperlihatkan efek penekanan inflamasi dan menghambat interaksi lekositendotel yang menjanjikan dalam mencegah cedera reperfusi. Namun hasil penelitian mengenai peran pentoxifylinne dalam menekan reaksi inflamasi melalui penekanan PAF pada iskemia tungkai akut tidak konsisten. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menilai peran PTX dalam mengurangi cedera reperfusi melalui penekanan mediator inflamasi PAF pada hewan coba kelinci dengan Reperfusi Iskemia tungkai akut.
Metodologi. Dilakukan tindakan iskemik tungkai kiri selama 3 jam yang diikuti 2 jam periode reperfusi pada 10 ekor kelinci New Zealand White jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok (kelompok pentoksifin dan kelompok kontrol) secara acak. Pada kelompok perlakuan diberikan PTX 30 menit sebelum reperfusi dengan dosis initial bolus 40 mg/kgBB diikuti dengan dosis rumatan 1 mg/kg BB/jam hingga 3 jam periode reperfusi. Pada kelompok kontrol diberikan cairan garam fisiologis dengan kecepatan dan volume yang sebanding. Tindakan Iskemik dilakukan dengan oklusi arteri iliaka komunis sinistra mengunakan klem selama 3 jam kemudian dilanjutkan dengan restorasi aliran darah. Pengambialn sampel untuk pemeriksaan kadar PAF dilakukan pada 2,5 jam iskemik dan pada 2 jam reperfusi.
Hasil. Pada periode Iskemik dua jam tiga puluh menit tidak mengakibatkan perbedaan bermakna (p=0,754), kadar rerata PAF pada kelompok PTX 13,09 ± 0,41 pg/mL dan kelompok kontrol I3,38 ± 0,28 pg/mL. Pada jam ke dua tindakan reperfusi ditemukan perbedaan bermakna (p=0,009) kadar rerata PAF dari kelompok PTX menurun menjadi 11,36±0,78 pg/mL dan kelompok kontrol meningkat menjadi 25,5±0,78 pg/dL.
Kesimpulan. PTX menurunkan kadar PAF plasma kelinci dengan cedera reperfusi iskemikia tungkai akut.

Background. Ischemic reperfusion injury is a paradoxical exacerbation of cell dysfunction and death following the restoration of blood flow to previously ischemic tissue. Restoration of blood flow is essential to salvage ischemic tissue, however reperfusion itself paradoxically causes further damage to the ischemic tissue, threatening function and viability both organ local and distal through the inflammation response.
In Acute limb ischemia, there are essentially two components: a local component that can result in increasing the regional damage from ischemia inflammatory responses which may result in local syndrome, compartment syndrome, and systemic syndrome, multi organ dysfunction and failure.
Several method and attempt had been studied and performed to prevent and attenuate reperfusion injury such as, ischemic preconditioning, antioxidant, and anti-cytokine therapy, but their clinical benefit were not satisfactory. Pentoxifylline has emerged as an agent that may attenuate inflammation response through several mechanisms. However, studies on PTX and its function to prevent and attenuate inflammation response through attenuating PAF in acute limb ischemic were not consistent. In this study the role of PTX and its function to prevent and attenuate inflammation response through attenuating PAF in acute limb ischemic was investigated.
Methods. Acute limb ischemia in the left lower limbs of 10 New Zealand White male rabbit were performed for 3 hour followed by 2 hours period of ischemia. The rabbits were randomly separated into 2 groups of five (group pentoxifylinne and group control). The Pentoxifylline group was given PTX 40 mg/kg bolus half an hour prior to reperfusion followed by maintenance dose 1 mg/kg/hour until 2 hour post reperfusion, while the control group was given normal saline solution with comparable volume and rate administration. Acute limb Ischemic procedure was performed by direct occlusion of the left femoral artery using non traumatic clamp and followed by releasing the clamp after 3 hours of occlusion. Level of PAF were measured after 2.5 hour of ischemic period and after 2 hours of reperfusion period.
Results. After 2.5 hours of ischemic period, the mean PAF levels did not show any significant difference (p=0.754). The mean PAF level of pentoxifylline group 13.09f0.41 pg/mL, while the mean PAF level of control group 13.38±0.28 pg/mL, After 2 hours period of reperfusion, there were significant differences of mean PAF level between the two groups (p=0.009). The mean PAF level in the control group increase by 12.1 110.79 to became 25.5±0.78 pg/dL, while the mean PAF level of the PTX group decrease by 1.73f1.1 pg/mL and became 11.36±0.78 pg/m L.
Conclusion. PTX decreased the PAF level in rabbits with acute limb ischemic reperfusion injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Furqon
"Latar Belakang : Peningkatan kadar homosistein merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan trombogenesis. Baik faktor genetik maupun lingkungan mempunyai pengaruh terhadap kadar plasma homosistein. Pada penelitian ini, kami meneliti gambaran dari homosistein pada populasi PJK di Jakarta dan Malang serta hubungannya dengan enzim MTHFR, Vit. B6, Vil. B12, dan asam folat.
Metode dan Hasil : Penelitian deskriptif ini melibatkan 30 pasien PJK di Jakarta dan 12 pasien di Malang. Subyek yang direkrut di Malang lebih muda, tetapi tidak ada perbedaan dalam jenis kelamin, 1MT, diabetes, dan merokok. Tidak ada perbedaan pada profil lipid diantara dua populasi. Subyek di Malang mempunyai kadar homosistein lebih tinggi (median 18 mmol/dL vs 9,1 mmol/dL; p < 0,001), kadar MTHFR yang lebih rendah (median 0,105 IU vs 0,157 IU; p = 0,019) kadar asam folat yang lebih rendah (median 7,1 vs 11,2 ng/mL; p = 0,005), kadar vit. B12 yang lebih rendah (median 273 ng/mL vs 429,5 ng/mL; p = 0,032). Tidak ada perbedaan pada kadar vit B6. Analisis dari hubungan menunjukkan hubungan yang terbalik antara homosistein dan pit. B12 (r = - 0,43, p = 0,004) dan asam folat (r = -0,39,p = 0,01).
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan kadar homosistein, MTHFR, asam folat, dan vitamin B12 pada populasi PJK (Jakarta dan Malang). Terdapat hubungan yang terbalik antara homosistein dan vit. B12 serta asam folat.

Background : Increased homocysleine level is a risk factor for atherosclerosis and thrombogenesis_ Both genetic and environmental factors influence plasma level of homocysteine. In this study, we examine the distribution of homocysteine in population of CAD in Malang and Jakarta and the association between homocysteine, enzyme MTHFR, Vit. B6, Vii. B12, and folic acid.
Methods and Results : This is a descriptive study including 30 CAD patients in Jakarta and 12 in Malang. Subjects recruited in Malang is younger, but no difference in gender, BMI, smoking and diabetes. No difference in lipid profile between both populations. Subjects in Malang have higher level of homocysteine (median 18 mmol/dL vs 9.1 mmol/dL; p <0.001), lower level of MTHFR (median 0.105 IU vs 0.157 IU; p = 0.019), lower level of Folic acid (median 7.1 vs 11.2 ng/mL; p = 0.005), lower level of Vit. B12 (median 273 ng/mL vs 429.5 ng/mL; p = 0.032). There is no difference in level of Vit. B6. Analysis of association showed inverse relationship between homocysteine and vit B12(r - -0.43, p = 0.004) and folic acid (r = -0.39,p =0.01).
Conclusion : There is difference in level of homocysteine, MTHFR, folic acid and vii. B12 between populations coronary artery disease ( Jakarta and Malang). There is inverse relationship between homocysteine and vit B12 and folic acid."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gugun Iskandar Hadiyat
"Latar Belakang. Komplikasi tindakan revaskularisasi pasca suatu periode iskemik mulai menjadi perhatian kalangan medis sejak awal abad ke-20. iskemik tungkai akut merupakan masalah kegawatan kardiovaskular dan tindakan reperfusi terhadap jaringan yang iskemik ternyata sexing memperburuk cedera jaringan yang ada, bahkan sampai dilakukan amputasi. Pada ceders reperfusi iskemik (R-1) terjadi perubahan sifat hemoreologi darah (hematokrit, viskositas, dan deformitas set darah merah). Pentoksifilin (PTXF) mempunyai kemampuan memperbaiki cedera reperfusi dengan meningkatkan aliran darah perifer, memperbaiki deformitas sel darah merah, menurunkan viskositas darah, dan menekan agregasi platelet.
Tujuan Penelitian. Untuk mengetahui pengaruh pemberian PTXF terhadap faktor hemoreologi darah pada cedera R-I tungkai akut.
Metode. Penelitian dilakukan pada kelinci jantan ras New Zealand White Rabbit (NZW) yang berasal dari 1 galur sebanyak 10 ekor usia 5 bulan dengan berat badan rata-rata 2,5-3 kg. Kemudian hewan coba dibagi dalam 2 kelompok, yakni 5 ekor kelinci kelompok perlakuan diberi PTXF dengan dosis 40 mglkgBB yang diikuti dosis rumatan 1 mglkgBBljam dan 5 ekor kelinci sebagai kontrol diberi cairan NaCl 0,9% dengan kecepatan yang sama seperti kelompok perlakuan. Dilakukan oklusi arteri iliaka komunis sinistra dan setelah 2,5 jam iskemik diambil darah untuk pemeriksaan hematokrit dan viskositas, setelah itu segera diberikan PTXF. Pada jam ke-3 dilakukan reperfusi (membuka oklusi) dan 2 jam setelah reperfusi diambil darah untuk pemeriksaan hematokrit dan viskositas. Data hasil pemeriksaan dianalisis dengan statistik program SPSS 13 dengan menggunakan uji parametrik General Linear Model (GLM) untuk pengukuran berulang.
Hasil. Nilai rerata hematokrit kelompok PTXF fase iskemik 37,06+3,88% dan fase reperfusi 34,20+1,90% dengan delta penurunan 2,86%. Nilai rerata hematokrit kelompok nonPTXF fase iskemik 35,88+5,31% dan fase reperfusi 32,90+4,61% dengan delta penurunan 2,98%. Antara pengukuran pertama dan kedua, baik kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (per, i 9 dan p=0,37). Analisis statistik nilai rerata hematokrit antara kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,74).
Nilai rerata viskositas kelompok PTXF fase iskemik 5,25+0,77 ep dan fase referfusi 4,69+0,70 cp dengan delta penurunan 0,558 cp. Nilai rerata viskositas kelompok nonPTXF fase iskemik 4,54+0,48 cp dan fase reperfusi 4,48+1,31 cp dengan delta penurunan 0,066 cp. Antara pengukuran pertama dan kedua, baik, kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p~,26 dan p=0,92). Analisis statistik pada nilai rerata viskositas antara kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,53).
Kesimpulan. Pemberian PTXF pada kelompok perlakuan memperlihatkan hasil tidak bermakna dalam menurunkan nilai hematokrit dan viskositas darah dibanding kelompok kontrol pads keadaan ceders R-I tungkai akut.

Background: Complications of revascularization after an ischemic period has attract attention from clinicians since the beginning of 20th century. Acute limb ischemia is an emergency cardiovascular problem and revascularization procedures of ischemic tissue has been documented to worsen tissue damage to the extend of a need for limb amputation. In ischemic reperfusion injury, changes in blood hemorheology occurs (hematocrit, viscosity and eryhtrocyte deformities). Pentoxifylline (PTXF) has the ability to repair reperfusion injury by increasing peripheral blood flow, repairing eryhtrocyte deformities, decreasing blood viscosity dan suppressing platelet agregation.
Objectives: To investigate the effect of pentoxifylline administration toward hemorheology changes in acute limb ischemic reperfusion injury.
Methods: We studied 10 pure strain New Zealand White Rabbit (NZW) age 5 months with mean weight of 2.5-3 kg. The subjects were divided in two groups; 5 of the experimental rabbit were given PTXF 40 mg/kg body weight followed by a maintenance dose of 1 mg/kg body weight/hour, while subjects in the control group received a similar administration of NaCl 0.9%. We performed occlusion of the left common iliac artery and after an ischemic period of 2.5 hours blood samples were taken for hematocrit and viscosity measurement. PTXF were given soon afterward. On the third hour the artery occlusion were opened and after another two hours blood samples were again taken for hematocrit and viscosity measurement. Data analysis were performed by SPSS 13, using parametric test with general linear model (GLM) for repeated measurements.
Results: The mean hematocrit value for the PTXF group in the ischemic period were 37.0613.88%, and in the reperfusion period were 34.2011.90%, with a decrease of 2.86%. The mean hematocrit value for the control group in the ischemic and reperfusion period were 35.8815.31% and 32.90±4.61% , respectively, with a decrease of 2.98%. There were no significant difference between the first and second hematocrit measurements both in the experimental and control group (p-0.19 and p=0.37). Statistical analysis of mean hematocrit value between the two groups also showed no significant difference (p=0.74).
The mean viscosity value for the PTXF group in the ischemic period were 5.2510.77 cp and in the reperfusion period were 4.6910.70 cp with a difference of 0.558 cp. The mean viscosity value for the control group in the ischemic and reperfusion period were 4.54±0.8 cp and 4.4811.31 cp, respectively, with a decrease of 0.066 cp. There were no statistically significant difference between the first and second viscosity measurements both in the experimental and control group (p=0.26 and p=0.92). Statistical analysis of mean viscosity value between the two groups also showed no significant difference (p=0.53).
Conclusion: PTXF administration in the experimentally induced acute limb ischemic reperfusion injury in rabbits have no benefits to decrease hematocrit and viscosity values compared to control group."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Iskandarsyah
"Latar Belakang
Proses inflamasi memegang peranan terhadap patofisiologis sindroma koroner akut (SKA). High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) sebagai salah satu petanda inflamasi sistemik yang diproduksi hati merupakan prediktor kuat kejadian kardiovaskuler pada pasien-pasien SKA. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa setengah dart pasien SKA yang dipulangkan mempunyai kadar hs-CRP dalam katagori resiko tinggi. Aktifitas fisik yang teratur dan terukur terbukti menurunkan kadar hs-CRP pada pasien-pasien pasca SKA.
Tujuan Penelitian
Membuktikan bahwa latihan fisik jangka pendek secara teratur dan terukur yang dijalani oleh pasien-pasien pasca infark miokard akut menurunkan kadar hs-CRP yang berbeda dibandingkan dengan yang tidak latihan .
Metodolagi
Penelitian prospektif berupa randomized controlled trial terhadap 32 pasien IMA yang dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dilakukan latihan teratur dan terukur dengan intensitas rendah selama 5 had pada kelompok perlakuan dengan mengukur dan membandingkan kadar hs-CRP sebelum dan sesudah latihan pada kedua kelompok.
Hasil
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar median hs-CRP sebelum latihan antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0.13). Terjadi penurunan kadar median hs-CRP yang bermakna antara sebelum dan sesudah latihan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p 3.0004 vs peJ.038).Tidak terdapat perbedaan kadar median hs-CRP sesudah latihan antara kelompok perlakuan dan kontrol (-0.09).Tidak terdapat perbedaan selisih penurunan kadar median hs-CRP antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0.38).
Kesimpulan
Tidak terdapat perbedaan besar penurunan kadar hs-CRP pada pasien - pasien pasca infark miokard akut yang menjalani latihan fisik jangka pendek secara teratur dan terukur dibandingkan dengan yang tidak latihan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58456
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Jahja Saputra
"Latar Belakang. Cedera Reperfusi-iskemik merupakan isu klinis yang penting dan umum. Hal tersebut dapat terjadi pada trombo-embolisme, penyakit vaskuler aterosklerotik, bedah kardiovaskuler, transplantasi organ, replantasi tungkai dll. Reperfusi jaringan yang iskemik bukan hanya menyebabkan reaksi iniamasi lokal tetapi juga mempengaruhi fungsi organ lain melalui respons inflamasi sistemik. Banyak studi menunjukkan sel polimorfonuklear terutama netrofil mempunyai peranan cedera yang panting dalam proses reperfusi-iskemik dengan menginfiltrasi jaringan iskemik dan juga kedalam organ yang jauh seperti hati, pare, ginjal dsb. Banyak obat yang sudah dicoba untuk untuk mengurangi efek cedera reperfusi dengan basil yang bervariasi. Salah satu obat yang menjanjikan dapat mengurangi cedera reperfusi melalui efek antiinflamasinya adalah Pentoksifilin (PTX). Pada studi eksperimental, kami mengamati efek pemberian PTX terhadap infiltrasi netrofil pada jaringan otot skeletal, hati dan pare hewan kelinci yang dibuat iskemik secara akut pada tungkai bawah dan diikuti dengan reperfusi.
Metoda. Dua belas ekor kelinci jantan ras New Zealand White dibagi secara acak menjadi 3 grup (A,B dan C). Grup A diberikan PTX ( n=5); Group B diberikan NaCl 0.9% sebagai kontrol (n=5); Grup C adalah kontrol negatif (n=2). Grup A dan B mengalami total iskemia selama 3 jam pada tungkai bawah dengan Cara menjepit arteri iliaca komunis sinistra dengan klem. Dosis PTX adalah 40 mg/ kgBB bolus diikuti lmglkgBB sebagai dosis rumatan. PTX diberikan 30 menit sebelum reperfusi. Grup B diberikan NaCl 0.9 % dan pada grup C tidak dilakukan tindakan iskemia. Potongan jaringan histopatologi dari otot yang iakemik, hati dan pare diambil pada akhir percobaan (3jam setelah rep erfusi) sebelum dilakukan etanasia.
Hasil. Jumlah rerata netrofil pada jaringan otot skeletal, hati dan pare berturut-turut adalah sebagai berikut : Pada grup C adalah 0.67 ± 0.75; 2.00 ± 1.41 dan 4.33 ± 1.49. GrupA adalah 3.53 ± 6.01; 7.20 ± 5.29 dan 13.87 t 7.84. Grup B adalah 13.80 ± 12.68; 12.33 ± 4.39 dan 34.13 ± 12.83. Tampak jumlah netrofil lebih rendah bermakna pada jaringan pare grup A dibandingkan grup B (p < 0.009). Ada kecenderungan jumlah netrofil lebih rendah dalam jaringan otot skeletal dan hati pada grup A dibandingkan grup B, walaupun secara statistik tidak bermakna (p < 0.075).
Kesimpulan. Pentoksifilin dapat mempunyai efek mengurangi infiltrasi netrofil kedalam jaringan pada kelinci yang mengalami cedera reperfusi-iskemik tungkai akut.

Background. Ischemic-reperfusion injury is a common and important clinical issues.lt occurs in many clinical setting such as thrombo-embolic phenonrenon,atherosclerotic vascular disease, cardiovascular surgery, organ transplantation, replantation of limb etc. Reperfusion of ischemic tissue not only causing local inflammatory reaction but also affect remote organ function by systemic-inflammatory responses. Many studies have showned that polymorphonuclear leukocyte especially neutrophil has an important damaging role in reperfusion injury. They exert their effect through infiltration into ischemic tissue and also into remote organ like liver,lung,kidney etc. So far a lot of agents have been tried to attenuate reperfusion injury with variable results. One promising drug for attenuating ischemic-reperfusion injury through its anti-inflammatory effect is Pentoxifylline (PTX). In this exploratory experimental study, we observed the effect of giving PTX on neutrophil infiltration to skeletal muscle, liver and lung tissue in rabbits with induced acute limb ischemia followed by reperfusion .
Methods. Twelve male New Zealand White rabbits were randomly divided into 3 groups (A,B and C). Group A were given PTX(n =5); Group B using Na CI 0.9% as a control group (n= 5); Group C was negative control (n=2). Group A and B underwent 3 hours of total ischemia of the lower limb by clamping proximal left common iliac artery, follow by 3 hours of reperfusion. The dose of intravenous PTX was 40mg1kgB W bolus followed by 1 mg/kg BWlhour maintenance dose. PTX was given 30 minutes before reperfusion. Group B was given normal saline and in Group C, no intervention done. Histopathologic section of iskernic skeletal muscle, liver, and lung tissue were taken at the end of experiment before( 3 hours of reperfusion) euthanasia was done.
Results. The mean numbers ofneutrophil in ischemic skeletal musle, liver and lung tissue consecutively were as follow ; In Group C were, 0.67 t 0.75; 2.00 f 1.41; and 4.33 ± 1.49. In group Awere,3.53 ±6.0]; 7.20±5.29; and 13.87±7,84, and in groupB (control)were 13.80 ± 12.68; 12.33 ± 4.39; and 34.13 ± 12.83. There was significantly lower number of netrophil in lung tissue of group A compare to group B (p< 0.009). Although not statistically significant (p= 0.075), there were a trend to have lower neutrophil counts in ischemic skeletal muscle and liver tissue in group A rabbits compared to group B.
Conclusion. Pentoxifylline has attenuating effect on neutrophil infiltration in rabbits undergoing ischemic-reperfusion injury of lower limb."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Hanggadhi Nugroho
"Latar belakang: Aritmia ventrikular idiopatik, baik kompleks ventrikel prematur (KVP) maupun takikardia ventrikel (TV), dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (VKi) yang akan menimbulkan kardiomiopati dan meningkatkan mortalitas. Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya kardiomiopati akibat KVP (KA-KVP) meskipun mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipahami. Variasi sirkadian KVP dilaporkan berhubungan dengan terjadinya penurunan fraksi ejeksi VKi. Deteksi dini adanya disfungsi sistolik intrinsik Vki dapat dilakukan melalui pemeriksaan speckle tracking ekokardiografi dengan mengukur nilai global longitudinal strain (GLS). Sampai saat ini belum diketahui apakah variasi sirkadian KVP berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik dengan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan total subjek 67 pasien (17 laki-laki [25,4%]; usia rata-rata 46.5 + 9.8 tahun; fraksi ejeksi ventrikel kiri 63,2% + 7,5%) dengan KVP yang berasal dari jalur keluar ventrikel dari pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan. Semua pasien menjalani pemeriksaan Holter monitoring 24 jam dan speckle tracking ekokardiografi. Dilakukan perhitungan variasi sirkadian beban KVP dan nilai global longitudinal global (GLS) kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil: Sebanyak 31 pasien (46.3%) mengalami gangguan fungsi sistolik Vki (GLS lebih buruk dari -18%). Pasien dengan gangguan fungsi sistolik VKi memiliki GLS yang kurang negatif (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0,001), beban KVP yang lebih tinggi (22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), variasi sirkadian beban KVP yang rendah (koefisien variasi beban KVP per 6 jam 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0,001), dan episode TV non-sustained yang lebih sering (10 pasien [76.9%] vs 3 pasien [23.1%]; p=0,019). Sebanyak 70.6% pasien dengan jenis kelamin laki-laki mengalami gangguan disfungsi sistolik VKi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan beberapa prediktor terhadap gangguan fungsi sistolik Vki antara lain variasi sirkadian beban KVP yang rendah dengan [(koefisien variasi beban KVP per 6 jam < 35%), odds ratio (OR)=3.89 interal kepercayaan (IK)95%=1.09-13.80 p=0.036], episode TV non-sustained (OR=14.4, IK 95%=2.36-88.55, p=0.008), beban KVP > 9% (OR=6.81, IK 95%=1.35-34. Kesimpulan: Variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi. Variasi sirkadian beban KVP per 6 jam < 35% memiliki risiko 3.89 kali lebih tinggi untuk terjadinya disfungsi sistolik ventrikel kiri
......Background: Idiopathic ventricular arrhythmias (AVI) including premature ventricular complex (PVC) or ventricular tachycardia (VT) can cause left ventricular (LV) dysfunction which may lead to cardiomiopathy. The mechanisms of this cardiomyopathy remain elusive, many factors are believed to contribute. PVC burden is influenced by circadian rhythmicity and lack of PVC circadian variability was proposed as one mechanism of LV dysfunction. Since early detection of LV systolic dysfunction can be done by speckle tracking echocardiography examination, further studies are needed to assess intrinsic left ventricular systolic function and its correlation with PVC circadian variation in patients with idiopathic ventricular arrhythmias.
Objective: This study aimed to investigate the correlation between circadian variation of IVA and left ventricular intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography.
Methods: The subjects of this cross sectional study were 67 consecutive patients (17 men [25.4%]; mean age 46.5 + 9.8 years; left ventricular ejection fraction 63.2% + 7.5%) with PVC originated from ventricular outflow tract based on 12 lead electrocardiogram. All patients underwent 24-hour Holter monitoring and speckle tracking echocardiography examinations. The circadian variation of PVC burden and global longitudinal strain (GLS) were determined and statistical analysis was conducted to evaluate their correlation. Results: A total 31 patients (46.3%) had impaired LV systolic function by GLS ( worse than -18%). Patients with impaired LV systolic function had a less negative GLS (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0.001), a higher PVC burden ((22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), less variation in circadian PVC distribution (coefficient of variation 6 hourly 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0.001), and more frequent episode of non-sustained VT (10 patients [76.9%] vs 3 patients [23.1%]; p=0.019). Total 70.6% patient with male gender experienced impaired LV systolic function (p=0.002). Independent predictors for impaired systolic LV function were less variation in circadian PVC distribution [(coeficient of variation < 35%), odds ratio (OR)=3.89, 95% confidence interval (CI)= 1.09-13.80, p=0.036)], episode of non-sustained VT (OR=14.4, 95%CI=2.36-88.55, p=0.008), PVC burden > 9% (OR=6.81, CI 95%=1.35-34.41, p=0.020), and male gender (OR=14.4, CI 95%=2.02-101.1, p=0.004).
Conclusion: Lack of circadian variation of IVA is associated with impaired LV systolic function by GLS. Coefficient of variation PVC burden < 35% has 3.89 times higher risk for development of left ventricular systolic dysfunction."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library