Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herawati Isnanijah
Abstrak :
Latar Belakang Disfungsi diastolik cukup sering terjadi pada orang dengan hipertensi, biasanya disertai dengan hipertrofi ventrikel kiri. Indeks volume atrium kiri dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik selain rasio EIA, DT, [VRT, 5117, Ele', dan e'la'. Belum terdapat data indeks volume atrium kiri pada subyek normal maupun subyek penyakit jantung hipertensi pada populasi Indonesia. PeneIitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemeriksaan indeks volume atrium kiri dapat digunakan sebagai parameter disfungsi diastolik ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi. Metode Penelitian dilakukan pada 100 orang dengan subyek normal dan subyek penyakit jantung hipertensi dengan fungsi sistolik ventrikel kiri normal, pada pasien kontrol di poliklinik dan pasien rawat di PJNHK selama periode Januari - Oktober 2006. Akan dilakukan penilaian korelasi antara indeks volume atrium kiri dengan rasio WA, SID, Ele' dan e'la'. Hasil Indeks volume atrium kiri pada subyek normal didapatkan sebesar 17,64±1,35, pada kelompok disfungsi diastolik derajat I sebesar 23,26 ± 2,55 berbeda bermakna dengan kelompok disfungsi diastolik derajat 2 sebesar 31,52 ± 3,22 dengan p = 0,001. Kesimpulan Terdapat perbedaan bermakna indeks volume atrium kiri pada subyek normal dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat 1 maupun derajat 2.
Background Diastolic dysfunction is frequently found in hypertension, usually accompanied with left ventricular hypertrophy. Several parameter was developed to assess the diastolic function including left atrial volume index, FIA. DT,IVRT,,SID,E/e', and e'Ia'. There is no data for left atrial volume index for normal subjects or subjects with hypertensive heart disease in Indonesian population. The - aim of this study is to prove that left atrial volume index can be used as a parameter for left ventricular diastolic dysfunction in hypertensive heart disease. Methods Fifty persons with hypertensive heart disease with normal left ventricular systolic function, who controlled at the outpatient clinic and were hospitalized in NCCHK between January-October 2006 ofperiod, were examined We evaluated the correlation between left atrial volume index and EJA ratio, S/D,E/e', e %a'. Result Left atrial volume index in normal subjects is 17.64 ± 1.35, subjects with grade 1 diastolic dysfunction 23.26 f 2.55, grade 2 diastolic dysfunction group 31.35 ± 2.87. Value among those groups differ significantly with p = 0.001. Conclusion There is significant difference of left atrial volume index among normal subjects, subjects with grade l and grade 2 diastolic disfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Christian
Abstrak :
Inflamasi berperan penting dalam proses ateroklerosis mulai sejak awal sampai tahap akhir hingga terjadinya ruptur plak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa LDL teroksidasi memegang peranan kunci terhadap terjadinya inflamasi ini. Terbentuknya LDL teroksidasi dipengaruhi oleh stress oksidatif karena ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Produksi radikal bebas oksigen pada pasien IMA lebih tinggi dibanding orang normal. Sementara itu, latihan fisik pada pasien IMA kini dianjurkan untuk dilakukan lebih dini. Walaupun aktifitas fisik akut dapat meningkatkan produksi radikal bebas oksigen, tetapi exercise training justru dapat menyebabkan produksi radikal bebas oksigen lebih rendah yang selanjutnya akan menurunkan proses oksidasi lipid. Namun hingga kini belum ada penelitian yang melihat efek latihan fisik yang teratur dan terukur terhadap proses oksidasi lipid pada pasien IMA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek latihan fisik secara teratur dan terukur terhadap proses oksidasi lipid (LDL teroksidasi) pada pasien IM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Arifin
Abstrak :
Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan subset tanpa elevasi segmen ST yang terdiri dari APTS dan NSTEMI mempunyai spektrum Minis yang luas dan memiliki prognosis serta tingkat risiko morbiditas.dan mortalitas yang sangat beragam. Subset SKA ini juga memiliki angka kejadian kardiovaskuler yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subset SKA dengan elevasi segmen ST. Dilakukan analisa data dari INDORACE untuk mengetahui karakteristik penderita, kejadian kardiovaskuler (angina berulang, infark / infark ulang, gagal jantung, sehingga memerlukan tindakan revaskularisasi dan kematian) selama masa perawatan di rumah sakit. Melakukan skoring penderita menurut skor TIMI sehingga penderita dibagi dalam dua golongan (=kategori) dan mencari besarnya persentase kejadian kardiovaskuler pada penderita dengan kategori risiko tinggi maupun rendah. Dari hasil analisa, diperoleh data sebagian besar penderita adalah pria 72 (77,4%). Penderita APTS 65 (69,9%) kasus dan NSTEMI 28 (30,1%) dan usia rata-rata penderita 56,55 ± 9,72 tahun. Dibandingkan dengan beberapa hasil survei di luar negeri, usia rata-rata penderita dalam penelitian ini lebih muda antara 8-10 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna antara usia rata-rata penderita pria dan wanita, sedangkan usia rata-rata penderita wanita di luar negeri lebih tua 10 tahun dibandingkan dengan laki-laki. Untuk faktor risiko PJK berdasarkan urutan persentase tertinggi sampai terendah meliputi: hipertensi 55,9%, dislipidemia 48,4%, merokok 43%, diabetes melitus 31,2% dan faktor keluarga 20,4%. Beberapa hasil survei di luar negeri juga menunjukkan faktor risiko hipertensi adalah yang tertinggi persentasenya. Untuk faktor risiko merokok pada penderita wanita dalam penelitian ini adalah yang terendah presentasenya, sedangkan data dari luar negeri presentasenya jauh Iebih tinggi. Untuk faktor risiko diabetes melitus persentase penderita wanita mencapai > 2 kali dibaridingkan dengan penderita pria. Persentase kejadian kardiovaskuler selama perawatan adalah sebesar 29,03%, Kejadian kardiovaskuler selama masa perawatan di rumah sakit untuk penderita dengan kategori risiko tinggi ( skor TIMI > 4) adalah 66,8%, sedangkan untuk penderita dengan risiko rendah ( skor TIMI < 4 ) sebesar 33,3%.
Acute Coronary Syndrome (ACS) with subset non-ST segment elevation consists of unstable angina pectoris and non-ST segment elevation myocardial infraction (NSTEMI). This subsets of ACS has a wide clinical spectrum, prognostic and also has heterogeneous morbidity and mortality rate. This subsets of ACS also represents higher cardiovascular events than ACS with subset ST segment elevation (STEM!). We analyze data from INDORACE (Indonesia Registry of Acute Coronary Events) to describe the baseline characteristics of the patients and cardiovascular events (recurrent angina, reinfarction, congestive heart failure that needs revascularization and death). We use TIMI risk score to divide the patients into two categorized, the high risk and low risk, and we search the percentage of cardiovascular events in each categorized. Result of the analyze shows that most of the patients are male 77,4%, unstable angina pectoris 66,9%, NSTEMI 30,1% and the mean age of all patients was 56,55 f 9,72 years. Compared to other studies in foreign countries mean age of patients in this study is 8-10 years younger. We found no significants differences of age between male and female in this study, but mean age in other studies represent female is 10 years older or more than male. The percentage risk factors of coronary artery disease are: hypertension 55,9% (the highest), dyslipidemia 48,4%, smoker 43%, diabetes mellitus 31,2 % and family history 20,4%. Other studies in foreign countries show that the highest percentage is also hypertension. This study shows that female smokers are at the lowest percentage; however, some studies show that they are at a high percentage. Female who sufferer diabetes mellitus has the percentage twice or more than male in this study. The total cardiovascular events was 29,03%, cardiovascular events in high risk patients is 66,8% and low risk is 33,3%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwang Gumiwang
Abstrak :
Latar Belakang. Intervensi koroner perkutan (IKP) pada subgrup "chronic total coronary occlusion" (CTO) sering dihubungkan dengan tingkat kegagalan yang relatif lebih tinggi dan angka komplikasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan angioplasti koroner secara umum, Penyempurnaan tehnik, peralatan dan cara seleksi pasien terus menerus disempurnakan untuk mencapai keberhasilan yang semakin tinggi. Mengetahui prediktor kegagalan tindakan IKP pada CTO merupakan langkah penting dalam proses seleksi pasien. Tujuan Penelitian Mencari variabel prediktor kegagalan tindakan IKP pada CTO Metode Dilakukan studi retrospektif "cross sectional" pada 78 kasus CTO yang di terapi IKP, setelah melewati seleksi pada 1205 pasien oklusi total dari total 3654 pasien yang di lakukan tindakan invasif koroner selama setahun (2005). Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan gagal atau suksesnya tindakan. Ditetapkan sebanyak 25 variabel yaitu 12 variabel klinis (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, merokok, diabetes melitus, hipertensi, riwayat infark, riwayat bedah pintas koroner, umur oklusi >1 tahun, angina berat dan disfungsi ventrikeI kiri) dan 13 variabel angiografik (true CTO, lokasi Iesi, Iesi ostial, kalsifikasi, "tortousity", "abrupt type"," side branch type", "bridging collateral", diffuse disease", diameter <3mm, panjang > 15mm, lesi multipel dan "multivessel disease") untuk dinilai peranannya terhadap kegagalan tindakan melalui uji univariat dan uji multivariat "logistic regression". Hasil Sukses prosedural dicapai pada 57 kasus (73%), komplikasi terjadi pada 1 kasus (1%). Mayoritas kasus adalah pria dengan rerata umur 55 tahun. Pada uji univariat, didapat prediktor adanya kalsifikasi yang signifikan berbeda (OR 3,28. p 0,04. 95%CI 1.05-10,18). Melalui uji multivariat terhadap 7 prediktor yang terseleksi lewat uji univariat mendapatkan 2 prediktor kegagalan IKP yaitu adanya "multivessel disease" (OR 7,1. p 0,07 .95%CI 0,85-59,21) dan adanya "diffuse disease" (OR 2,7. p 0,06 .95%CI 0,93-8,08) Simpulan Kami dapat mengidentifikasi adanya "multivessel disease" dan "diffuse disease" sebagai dua variabel prediktor kegagalan IKP pada sari pasien CTO tahun 2005. Kesuksesan IKP dicapai pada 73% pasien dengan angka komplikasi 1%. Saran Penelitian prospektif dengan jumlah sampel besar mungkin perlu dilakukan.
Background. Percutaneous coronary intervention (PCI) in patients with chronic total coronary occlusion (CTO) is associated with higher rate of failure and higher rate of complication compared to non-CTO angioplasty. Improvement in technique, logistic and patient's selection method lead to a better success rate. Identification of predictor of failure could be an important step in patient selection. Objective To study the predictors of failure of PCI in patients with CTO Method A retrospective analysis of clinical and angiographic data of 78 consecutive eligible CTO patients who underwent PCI selected in series of 1205 total occluded vessel of 3654 angiographic patients in the year of 2005 in our catheterization laboratory. We analyzed 25 variables, 12 clinical variables (age, sex, family history, smoking, diabetes mellitus, hypertension, history of myocardial infarction, history of coronary bypass operation, age of occlusion > 1 year, severe angina and poor left ventricle systolic dysfunction) and 13 angiographic variables (true CTO, CTO location, ostial lesion, calcification, tortoises, non-tapered type, side branch type, bridging collateral, diffuse disease, vessel diameter < 3mm, CTO length > 15mm, multi-lesion and multi vessel disease) by unvaried and multivariate analysis (logistic regression) in association between 21 cases of procedural failure group and 57 cases of procedural success group. Results Procedural success was achieved in 57 patients (73%) and complication occured in one patient (1%). Majority of patients are male with mean age 55 year. Presence of calcification is the only predictor identified by unvaried analysis (OR 3,28. p 0,04. 95%CI 1.05-10,18). Multivariate analysis identified multivessel disease (OR 7,1. p 0,07 .95%CI 0,85-59,21) and diffuse disease (OR 2,7. p 0,06 .95%CI 0,93-8,08) as predictors of procedural failure. Conclusions We identified multivessel disease and diffuse disease as two predictors of procedural failure of PCI in our series of CTO patient with 73% success rate and 1% complication rate in the year of 2005.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21234
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I.G.N. Putra Gunadhi
Abstrak :
Untuk menilai manfaat tindakan Kontra Pulsasi Extemal Diperkuat (KPEK - ’EECP’) pada penatalaksanaan penderita APS, telah dilakukan penelitian "pre-post uncontrolled clinical trials" terhadap 38 penderita APS (36 laki-laki, 2 wanita) berumur rata-rata 56,31±1,34 tahun dengan rentang usia 43 - 73 tahun, dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode 1 Desember 1992 sampai dengan 31 Agustus 1993. Semua penderita menjalani tindakan KPEK 36 jam, 1 jam setiap hari yang sama) pra dan pasca tindakan KPEK serta perubahan keluhan subyektif pasca tindakan. 35 orang diantaranya dievaluasi dengan uji latih Jantung beban dan skintigrafi talium 1 minggu pra dan pasca tindakan KPEK. Didapatkan perbaikan kelas angina sesuai kriteria CCS pada 32 (84,2%) penderita serta. Dari hasil skintigrafi talium 201, 9 penderita (23,6%) tidak didapatkan defek iskemi lagi, pengurangan area iskemi didapatkan pada 24 penderita (63,2%) dan hanya 5 penderita (13,2%) tidak mengalami perbaikan. Sehingga total penderita yang menunjukkan perbaikan defek iskemi adalah 33 orang (86,8%). Toleransi latihan (’exercise duration’) dari ULJB juga mengalami peningkatan pada kelompok penderita yang menunjukkan bebas defek iskemi dari 5,76±2,35 menjadi 7,78±2,28 menit (P<0,02), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 5,61±2,19 menjadi 6,65±1,85 menit ( P < 0,05 ). Sedangkan pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan tidak menunjukkan peningkatan toleransi latihan. Produk ganda pada ULJB pada kelompok penderita yang mengalami bebas defek iskemi menunjukkan penurunan dari 25166,67±4609,26 menjadi 24503,33±4012,03 ( P < 0,001 ), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 22910,48±6193,11 menjadi 21644,29±4227,46 ( P < 0,001 ), tapi sebaliknya pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan menunjukkan peningkatan dari 23392±4470,75 menjadi 26908±5738,59 mmHg LJ/menlt ( P < 0,001 ). Perbaikan defek reperfusi dan peningkatan toleransi latihan menggambarkan perbaikan perfusi koroner ke daerah miokard yang mengalami iskemi.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riawan
Abstrak :
Latar belakang: Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko independen penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan penyakit pembuluh darah. Kadar homosistein di dalam darah dikendalikan oleh beberapa enzim salah satunya adalah enzim cystathionine synthase (CBS). Enzim ini mengubah homosistein menjadi sistein. Vitamin B6 (pyridoxal phosphate) berfungsi sebagai kofaktor enzim CBS. Defisiensi enzim CBS dan vitamin B6 dapat meningkatkan kadar homosistein. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu gambaran kadar homosistein, enzim CBS dan vitamin B6 serta menganalisa hubungan antara kadar homosistein dengan kadar enzim CBS serta hubungan kadar homosistein dengan kadar vitamin B6 pada populasi PJK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta (PJNHK). Metode dan Hasil: Tiga puluh pasien (usia rata-rata 47 tahun = 4,93) yang dilakukan kateterisasi dengan hasil angiografi positif PJK berdasarkan kriteria American College of CardiologylAmerican Heart Association (AHA). Sampel darah vang diambil diperiksa kadar homosistein dengan menggunakan metode High Pressure Liquid Chromatografy (HPLC) sedangkan enzim CBS dan vitamin B6 masing masing mengounakan metode spectrophotometer dan microparticle enzyme immunoassay. Kadar homosistein sebagian besar 83% (24 orang) dalam batas normal 5-15 mmoll, 3% (2 orang) <5 mmoll dan 14% (4 orang) kadarnya> 15mmol. Kadar enzim CBS dalam standar normal 1.27-1,34 IU terdapat pada 50% (15 orang), <1,27 IU pada 20% (6 orang) dan 30 % (9 orang) kadarnya> 1,34 IU. Enam puluh persen subyek (18 orang) kadar vitamin B6 dibawah nilai standar normal < 20 nmol/l, 20% (6 orang) dalam standar normal (20-30 nmol/1,) dan 20% (6 orang) kadanya> 30 nmol. Dari hasil analisa statistik terdapat hubungan negatif yang lemah (r = -0,36; p <0,05) antara kadar homosistein dan kadar enzim CBS dan tidak ada hubungan antara kadar homosistein dan vitamin B6 (r = 0,13; p>0,05). Kesimpulan: Pada populasi PJK yang diteliti sebagian besar kadar homosistein, kadar enzim CBS dalam batas normal tetapi lebih dari 50 % subyek mengalami defisiensi vitamin B6. Terdapat hubungan terbalik antara homosistein dan enzim CBS dan tidak ada hubungan antara homosistein dan vitamin B6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjatur Yoga Utaman
Abstrak :
Untuk mengetahui sejauh mana peranan arteri karotis membantu deteksi dini penyakit jantung koroner, telah dilakukan penelitian terhadap 200 orang Indonesia yang diotopsi di Jakarta. Dilakukan pemeriksaan indeks ater o sklerosis secara langsung terhadap arteri karotis komunis dan arteri koronaria pada semua golongan umur, jenis kelamin, sosial ekonomi dan suku bangsa. Hubungan antara aterosklerosis arteri karotis dan arteri koronaria dianalisa secara regresi. Juga dilakukan analisa statistik pengaruh umur, jenis kelamin, sosial ekonomi dan suku terhadap aterosklerosis arteri karotis dan arteri koronaria. Sebagai hasil ternyata didapatkan hubungan yang sangat kuat antara aterosklerosis arteri karotis dengan aterosklerosis arteri koronaria ( r = 0,96 ). Faktor umur saja hanya berpengaruh 42 % terhadap aterosklerosis arteri koronaria. Umur rata-rata saat timbulnya aterosklerosis untuk orang Indonesia adalah 28 tahun. Hanya sosial ekonomi tinggi saja yang berhubungan secara bermakna terhadap aterosklerosis, sedangkan sosial ekonomi sedang dan rendah tidak berhubungan secara bermakna. Jenis kelamin juga tidak berhubungan secara bermakna terhadap aterosklerosis. Sedang faktor suku terhadap aterosklerosis dalam penelitian ini tidak dianalisa karena penyebaran sampel yang tidak merata.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjahrir Nurdin
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian terhadap beberapa variabel dari penderita-penderita infark miokard akut pertama, dalam hubungannya sebagai prediktor terhadap kejadian komplikasi gagal jantung dengan uji statistik secara analisis univariat. Penderita terdiri dari 85 (82,52%) pria dan 18 (17,48%) wanita dengan infark miokard akut pertama yang dirawat di-Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta antara 1 Januari 1991 sampai dengan 31 Desember 1992. Umur penderita berkisar antara 30 tahun sampai dengan 95 tahun (rata-rata 57,20 ± 14,06 tahun). Dari 103 penderita yang masuk dalam penelitian ini, 60 orang (58,25%) yang mengalami komplikasi gagal jantung akut. Sisanya 43 orang (41,75%) tanpa komplikasi gagal jantung akut berfungsi sebagai kontrol. Kelas gagal jantung akut yang terjadi terdiri dari : 35 orang (30,3%) Killips 2, 7 orang (11,7%) Killips 3 serta 18 orang (30,0%) Killips 4. Dari 13 macam variabel yang diuji secara univariat , hanya variabel frekuensi denyut jantung yang kemaknaannya <0.05. Sebagai kesimpulan bahwa: 1. Aplikasi klinik dari penelitian ini bagi dokter di daerah bila tidak ada peralatan penilai fungsi ventrikel , maka frekuensi denyut jantung lebih dari 85 kali permenit pada saat pertama pemeriksan merupakan tanda awal yang perlu dipantau. Tentu saja parameter yang lain perlu diperhatikan. 2. Variabel-variabel lainnya (lokasi infark miokard di anterior, hematokrit > 48 vol.%, riwayat diabetes melitus, umur, rasio kolesterol total/HDL 5, hipertrofi ventrikel kiri, riwayat hipertensi, kadar kolesterol total > 240 mg/dl, rasio kardio toraks > 55%, terapi trombolitik, riwayat nyeri dada dan kadar serial enzim CKMB 160 IU/L) statistik belum bermakna. Saran diperlukan suatu penelitian prospektif dengan jumlah sample yang besar.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustine Purnomowati
Abstrak :
Beberapa peneliti telah berusaha menentukan penderita mitrai stenosis yang “ideal” untuk BMV tetapi belum ada keseragaman pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV; sedangkan kepustakaan di Indonesia mengenai hal ini masih sedikit. Untuk mengetahui variabel-variabel prediktor keberhasilan dini BMV, diteliti ulang hasil dini BMV pada 228 penderita stenosis mitrai yang menjalani BMV selama periode tahun 1993 dan 1994. Mereka terdiri dari 74.6% perempuan dan 25.4% laki-laki, berusia rata-rata 36.8 tahun dengan lama gejala rata-rata 23.7 bulan ( median 12 bulan ). Hipertensi pulmonal terdapat pada 95% kasus, 51,3% diantaranya menunjukkan hipertensi pulmonal berat. Fungsi jantung NYHA kias 1,11,III dan IV berturut-turut ditemukan pada 4.4%, 58,3%, 32,9% dan 2.2%. Gambaran EKG menunjukkan irama sinus normal pada 54.8% dan 45.2% fibrilasi atrium. Skor mitrai 8 terdapat pada 67.8% (97 dari 143 penderita) dan > 8 pada 32.2 % ( 46 dari 143 penderita ). Sesuai dengan kriteria penelitian, sebanyak 52.6% kasus menunjukkan hasil dini BMV optimal, sub-optimal pada 46% dan gagal pada 1.3% kasus. Pencapaian hasil dini BMV optimal adalah sebanding dengan peneliti lain bila memakai kriteria sesuai peneliti yang bersangkutan. Segera pasca-BMV terjadi perubahan hemodinamik yang sangat bermakna ( p < 0.001). Melalui analisa logistik regresi ganda terdapat 4 variabel yang bermakna yaitu : EKG, penebalan katup mitrai, tekanan rata-rata atrium kiri pra-BMV dan regurgitasi mitrai pra-BMV sebagai variabel prediksi keberhasilan dini BMV. Dibandingkan peneliti-peneliti lain, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV. Segera pasca-BMV terjadi penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis yang sangat bermakna (p < 0.001 ). Analisa logistik regresi ganda menunjukkan tekanan rata-rata arteri pulmonalis pra-BMV sebagai variabel prediktor penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis pasca-BMV. Mengenai variabel prediktor penurunan tekanan arteri pulmonalis ini, sayang sekali belum ditemukan kepustakaan yang dapat dijadikan pembanding. Komplikasi yaitu regurgitasi mitrai teijadi pada 24.5% kasus, angka ini lebih rendah dibandingkan peneliti-peneliti lain yang mendapatkan angka MR pasca-BMV sebesar 35- 46%. Seperti halnya peneliti lain, melalui analisa logistik regresi ganda tidak ditemukan variabel prediktor regurgitasi mitrai pasca-BMV. Komplikasi lain yaitu udem paru akut pada 1.7% dan 1.3% tamponade jantung yang teijadi segera setelah pungsi transeptal. Melihat perubahan hemodinamik yang sangat bermakna pasca-BMV dan frekwensi komplikasi yang relatif kecil, maka BMV merupakan terapi alternatif yang cukup efektif dan aman bagi penderita mitrai stenosis simtomatis tertentu. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kejadian restenosis, mengevaluasi peijalanan klinik penderita dengan regurgitasi mitrai pasca BMV dan hipertensi pulmonal yang menetap.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library