Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 8 Document(s) match with the query
cover
Rakhi Cintaka
"Pada terapi anak, terdapat peran orang tua yang biasanya mengambil keputusan terkait terapi. Ekspektasi orang tua terhadap terapi anak merupakan salah satu faktor yang ditemukan berkontribusi pada hambatan dalam terapi, kehadiran, dan terminasi dini, sehingga berpotensi juga berkaitan dengan hasil terapi anak. Namun, penelitian terkait hal tersebut masih sangat terbatas, khususnya di Indonesia. Ekspektasi orang tua dapat berkaitan dengan karakteristik yang dimiliki mereka, salah satunya adalah bagaimana cara mereka mengasuh anak. Gaya pengasuhan sendiri merupakan salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan terapi anak. Dengan demikian, ekspektasi dan gaya pengasuhan orang tua dapat menjadi penunjang atau sebaliknya, hambatan dalam mengoptimalkan hasil terapi anak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspektasi orang tua dan hasil terapi anak, serta peran gaya pengasuhan terhadap hubungan tersebut. Terdapat 97 partisipan orang tua dari anak yang mengikuti terapi di Klinik Tumbuh Kembang atau Biro Psikologi di Jabodetabek, yang diukur ekspektasinya dengan Parents Expectancies for Therapy Scale (PETS, Nock & Kazdin, 2001), hasil terapi anak dengan Outcome Rating Scale (ORS, Miller & Duncan, 2000), dan gaya pengasuhannya dengan The Parenting Styles and Dimensions Questionnaire-Short Version (PSDQ-Short Version, Robinson, Mandleco, Olsen, & Hart, 2001). Hasil penelitian tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspektasi orang tua dan hasil terapi anak, r(97) = .040, p > .05, dan gaya pengasuhan tidak memoderasi hubungan tersebut. Meskipun demikian, ekspektasi orang tua ditemukan memiliki hubungan positif yang signifikan dengan gaya pengasuhan authoritative, r(97) = .28, p < .01, dan permissive, r(97) = .22, p < .05. Selanjutnya, hasil terapi anak ditemukan memiliki hubungan positif yang signifikan dengan salah satu dimensi gaya pengasuhan authoritative, yaitu autonomy granting, r(97) = .25, p < .05. Hasil yang tidak signifikan dapat berkaitan dengan kekurangan pada penelitian ini, yaitu durasi dan waktu pengambilan data, pemilihan alat ukur, dan partisipan yang sangat bervariasi. Hasil penelitian dapat memberikan manfaat bagi peneliti selanjutnya, khususnya dalam memberikan saran terkait metodologi. Selain itu, hasil penelitian juga dapat bermanfaat secara praktis bagi praktisi anak dan orang tua dalam mengoptimalkan hasil terapi anak.

Parent expectancy and parenting styles can support or become an obstacle in optimizing outcome therapy. The purpose of this quantitative correlational study is to examine the relationship between parent expectancy and outcome therapy, also the role of parenting style as a moderator. Participants were 97 parents of children who participated in therapy located in Jabodetabek. Parent expectancy was measured with Parents Expectancies for Therapy Scale, outcome therapy with Outcome Rating Scale, and parenting style with The Parenting Styles and Dimensions Questionnaire. Results show no significant correlation between parent expectancies and outcome therapy, and parenting style does not moderate the relationship. Although, parent expectancies have a positive significant correlation with authoritative and permissive parenting. Furthermore, outcome therapy has a positive significant correlation with one of the authoritative dimensions, which is autonomy granting. The insignificant result could be related to the limitations in this study, such as duration and time of data collection, selection of measuring tools, and different criteria of participants. However, this study has implications for research and practice, regarding methodology and what practitioners and parents can do to optimize outcome therapy."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Pramudita
"ABSTRAK
Tugas Akhir ini membahas pelatihan komunikasi terhadap ibu dari anak
perempuan usia 7 tahun, menggunakan prinsip dalam P.E.T. (Parent Effectiveness
Training), mencakup pelatihan Active Listening dan I-Message. Pelatihan ini
terdiri dari 10 sesi, dalam bentuk pemberian materi, roleplay, dan praktik dengan
anak.
Dari hasil pelatihan, terlihat bahwa peningkatan kemampuan ibu dalam
menggunakan keterampilan Active Listening dan I-Message masih kurang baik.
Peningkatan yang dicapai oleh ibu lebih baik secara tertulis daripada dalam
praktiknya. Kemampuan ibu dalam menggunakan Active Listening dan I-Message
juga terlihat berbeda, dengan keterampilan I-Message lebih baik. Hal ini juga
terkait dengan ibu terlihat kurang memiliki motivasi untuk menjalani pelatihan
dan mengubah kebiasaan berkomunikasi dengan anak."
2010
T37869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha T. Kuera
2008
T37627
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Magdalena
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Parent-Child Interaction Therapy PCIT dalam mengurangi perilaku agresif anak usia sekolah. PCIT digunakan untuk meningkatkan keterampilan interaksi ibu dengan anak dan keterampilan dalam mendisiplinkan anak. Perilaku agresif diukur dengan menggunakan Eyberg Child Behavior Inventory ECBI . Keterampilan orangtua diukur menggunakan Dyadic Parent-Child Interaction Coding System III DPICS-III . Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCIT efektif dalam mengurangi perilaku agresif pada anak usia 9 tahun.

This research was conducted to evaluate the effectiveness of Parent Child Interaction Therapy PCIT to decrease a nine year old child aggressive behavior.The PCIT interaction was used to increase mother rsquo s interaction skills and her ability to discipline her child. The Eyberg Childhood Behavior Inventory ECBI was used to measure aggressive behavior and the Dyadic Parent Child Interaction Coding System III DPICS III is for mother child interaction. The result indicate that PCIT effective to decrease a nine years old child aggressive behavior."
2017
T49616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Mutiara Larassati
"Remaja yang tinggal di panti asuhan di Indonesia berisiko tinggi mengalami berbagai masalah psikologis seperti, rendahnya psychological well-being, masalah perilaku dan emosional, serta beberapa masalah perkembangan. Kesulitan ekonomi membuat single mother menjadi kurang dalam memberikan kehangatan dan perhatian kepada anak, dan terpaksa menitipkan anaknya di panti asuhan. Padahal, kehangatan (penerimaan) ibu berdampak pada perkembangan sosial-emosional yang sehat. Sebaliknya, penolakan ibu merupakan prediktor utama meningkatnya risiko psychological distress pada anak. Penolakan ibu berdampak lebih besar dibandingkan penolakan ayah. Meskipun demikian, penerimaan ayah dapat meringankan dampak negatif dari penolakan ibu. Akan tetapi, anak yatim yang telah kehilangan figur ayah dan merasa ditolak oleh ibu mereka, akan cenderung memiliki risiko psychological distress yang lebih tinggi. Penelitian ini ingin melihat bagaimana persepsi remaja yatim di panti asuhan akan kehangatan (penerimaan-penolakan) ibu berdampak pada psychological distress. Jenis kelamin, usia, dan waktu tinggal akan dikontrol pada penelitian ini karena juga berkontribusi dalam meningkatkan risiko psychological distress. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan partisipan remaja yatim (usia 12-18 tahun di panti asuhan N, Depok), yang berjumlah 70 anak. Instrumen PARQ dan YOQ-SR digunakan untuk mengambil data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin remaja yatim merasa memperoleh penerimaan ibu, maka risiko psychological distress akan semakin rendah. Begitu pun sebaliknya, semakin remaja yatim merasa memperoleh penolakan ibu, maka semakin tinggi pula risiko remaja mengalami psychological distress. Diduga ada kemungkinan faktor-faktor di dalam panti asuhan ikut berkontribusi dalam meningkatkan risiko psychological distress pada remaja yatim di panti asuhan N.

Adolescents in the orphanages in Indonesia are at higher risk of various psychological problems. Due to economic difficulty, many single mothers were forced to leave their children in the orphanage. However, many of these orphanage children feel abandoned and rejected by their mothers. Single mothers with economic difficulties tend to be less warm and attentive. Many studies indicated that maternal’s warmth and acceptance very important factors that influence healthy social-emotional development in adolescents. On the contrary, maternal’s rejection is one of the main factors that cause psychological distress in adolescents. The risk of experiencing psychological distress is even higher in orphaned adolescents who lost their father. This study will to investigate how perception of maternal acceptance and rejection have an impact on psychological distress among orphaned adolescents in the orphanage. Gender, age, and residence time will be controlled in this study, because these factors contribute to the risk of psychological distress. This study is a quantitative study. There were 70 orphaned adolescents between the aged of 12-18, from N orphanage (Depok), participated in this study. PARQ and YOQ-SR measurements were used to collect the data. The results showed the more orphaned adolescents felt acceptance by their mother, the risk of psychological distress become lower, and vice versa. It indicated there might be other factors in the orphanage that contribute to the increase of risks of developing psychological distress in orphaned adolescents in N orphanage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T52537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Naila
"Gejala kecemasan umum dialami oleh remaja, dan data di Indonesia juga menunjukkan tingginya angka kecemasan pada remaja. Penting bagi remaja untuk mencari bantuan profesional jika terkait gejala kecemasan yang dialami. Penelitian menunjukkan bahwa perceived social stigma adalah salah satu penghambat utama bagi remaja yang mengalami kecemasan dalam mencari bantuan psikologis. Banyaknya bermunculan layanan psikologis daring sejak pandemi COVID-19 berlangsung, diindikasikan oleh penelitian sebelumnya dapat menjadi alternatif jenis layanan yang diakses oleh remaja. Diduga pada konteks layanan daring, hambatan utama yaitu perceived social stigma dapat teratasi. Meski demikian, belum ada penelitian yang menguji apakah perceived social stigma tetap memperlemah hubungan antara gejala kecemasan dan intensi mencari bantuan pada remaja. Pada penelitian ini, akan diuji hubungan ketiga variabel tersebut. Partisipan penelitian berjumlah 751 remaja berusia 13-19 tahun. Analisis moderasi menggunakan PROCESS Hayes menunjukkan tidak adanya peran moderasi yang signifikan dari perceived social stigma. Ditemukan juga bahwa semakin tinggi gejala kecemasan, berhubungan dengan semakin tingginya intensi mencari bantuan profesional daring. Hasil ini menunjukkan potensi layanan daring untuk diakses oleh remaja dalam mengatasi gejala kecemasan.

Anxiety symptoms is common in adolescent, and data in Indonesia shows anxiety prevalence in adolescent which is quite high. It is important for adolescent to seek professional help when in need. Research shows that perceived social stigma is a big barrier for adolescent to seek professional help. COVID-19 pandemic situation shows the increase in online professional help, and research indicates that online professional help can be an alternative for adolescent. It is assumed that in online context, barrier to seek help will diminish. However, there is no research yet in Indonesia that examine about the role of perceived social stigma in moderating anxiety symptom and intention to seek online professional help in adolescent. In this study, participants were 774 adolescents between the ages of 13-19 years. Moderation analysis using PROCESS Hayes showed that perceived social stigma did not moderate the relationship between anxiety symptoms and online help-seeking intention. In this study, it is also found that the increase in anxiety symptom is followed by an increase in intention to seek online professional help. This result shows that online professional help can be a great alternative for adolescent experiencing anxiety symptom.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isyah Rodhiyah
"Transisi, pencarian identitas, dan perubahan besar dalam segala aspek membuat remaja lebih rentan memiliki penyesuaian psikologis yang buruk. Sementara itu, penting bagi remaja memiliki penyesuaian psikologis yang baik karena melindungi mereka dari depresi, kecemasan, dan efek jangka panjang yang lebih besar. Faktor yang paling fundamental berhubungan dengan penyesuaian psikologis adalah Mindset. Akan tetapi, hubungan antara mindset dengan penyesuaian psikologis masih terbilang lemah-sedang. Peneliti berasumsi resiliensi menjadi faktor yang menjelaskan mekanisme hubungan tersebut, sehingga penelitian ini bertujuan melihat peran resiliensi sebagai mediator pada hubungan antara mindset dan penyesuaian psikologis remaja. Partisipan pada penelitian ini berjumlah 377 orang dengan rentang usia 12-18 tahun. Penyesuaian psikologis diukur menggunakan Brief Adjustment Scale–6 (BASE-6), Mindset diukur dengan Dweck Mindset Instrument (DMI), dan resiliensi diukur dengan Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA). Melalui analisis mediasi ditemukan peran sense of mastery, sense of relatedness, dan emotional reactivity, sebagai mediator pada hubungan antara mindset dengan penyesuaian psikologis remaja secara penuh. Hasil ini memberikan implikasi bahwa peningkatan growth mindset perlu dibarengi dengan peningkatan terhadap resiliensi untuk menunjang penyesuaian psikologis yang baik pada remaja.

Transition, search for identity, and major changes in all aspects make adolescents more vulnerable to poor psychological adjustment. Meanwhile, it is important for adolescents to have a good psychological adjustment because it protects them from depression, anxiety, and greater long-term effects. The most fundamental factor related to psychological adjustment is Mindset. However, the relationship between mindset and psychological adjustment is still relatively weak to moderate. Researchers assume that resilience is a factor that explains the mechanism of this relationship, so this study aims to look at the role of resilience as a mediator in the relationship between mindset and adolescent psychological adjustment. There were 377 participants in this study with an age range of 12-18 years. Psychological adjustment was measured using the Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6), Mindset was measured with the Dweck Mindset Instrument (DMI), and resilience was measured with the Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA). Through mediation analysis it was found that the role of sense of mastery, sense of relatedness, and emotional reactivity, as mediators in the relationship between mindset and full psychological adjustment of adolescents. These results imply that an increase in growth mindset needs to be accompanied by an increase in resilience to support good psychological adjustment in adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita Estikasari
"Pandemi COVID-19 menyebabkan berbagai dampak negatif dengan menurunkan level kesehatan mental remaja. Selain itu ditemukan bahwa pandemi COVID-19 juga meningkatkan level distres psikologis remaja yang ditandai dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan. Meskipun demikian, ditemukan bahwa resiliensi keluarga dapat berperan sebagai buffer remaja dalam beradaptasi dengan situasi distres sehingga memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Penelitian ini ingin melihat peran resiliensi keluarga sebagai moderator dalam memperkuat atau memperlemah hubungan antara distres psikologis dan kesehatan mental pada remaja. Kuesioner penelitian diberikan secara online melalui google form. Analisis data menggunakan analisis multiple regression dan analisis moderasi PROCESS pada 400 remaja terdiri dari 119 laki-laki dan 281 perempuan berusia 11-19 tahun (M=15,2). Hasil analisis multiple regression menunjukkan bahwa distres psikologis dan resiliensi keluarga memiliki sumbangan sebesar 35,3 persen terhadap kesehatan mental remaja setelah mengontrol jenis kelamin, usia, dan status pernikahan orang tua. Hasil analisis moderasi menemukan bahwa resiliensi keluarga secara signifikan memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesehatan mental remaja (t-1.983 dan p≤ 0,05) meskipun peran resiliensi keluarga sebagai moderator tergolong lemah.

The COVID-19 pandemic causes various negative impacts by reducing the mental health level of adolescents. In addition, the COVID-19 pandemic has also increased the level of psychological distress for adolescents, which is marked by an increase in symptoms of depression and anxiety. However, it was found that family resilience can act as a buffer for adolescents in adapting to difficult situations so that they have better mental health. This study wants to see the role of family resilience as a moderator in strengthening or weakening the relationship between psychological distress and mental health in adolescents. The research questionnaire was administered online via a google form. Data analysis used multiple regression analysis and PROCESS moderation analysis on 400 adolescents consisting of 119 boys and 281 girls aged 11-19 years (M=15.2). The results of the regression analysis showed that psychological distress and family resilience contributed 35.3 percent to adolescent mental health after controlling for gender, age, and marital status of parents. The results of the moderating analysis found that family resilience significantly moderated the relationship between psychological distress and adolescent mental health (t=-1.983 and p≤ 0.05) although the role of family resilience as a moderator was weak. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library