Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Levina
Abstrak :
Rentang gangguan bahasa pada anak penyandang aulisme cukup luas, mulai dari yang perkembangan kemampuan bahasanya sama sekali lidak berkembang sampai pada ekstrim yang lain, di mana perkembangan kemampuan bahasanya baik, lala bahasa dan pengucapan jugs baik (Wing & Gould, dalam Jordan & Powell, 1995), Anak penyandang autisme yang mengalami hambatan dalam bahasa ekspresif dan bahasa reseptif akan sulit untuk menyampaikan isi pikirannya maupun memahami kata-kata yang diterimanva. Anak penyandang aulisme yang mengalami hambalan pada area bahasa reseptif,, dapat mendengar kata-kata tetapi mereka lidak selalu memahami arti kata seperti pada anak-anak normal lainnva. Kemampuan bahasa reseptif anak penyandang aulisme dapat ditingkatkan dengan menggunakan program Applied Behavior Analysis (ABA). Dalam program ABA, materi dasar untuk melalih kemampuan bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memperhatikan, kemampuan untuk meniru atau melakukan imitasi, kemampuan memasangkan, kemampuan mengidentifikasi (Maurice. 1996). Setiap sesi pengajaran terdiri dari beberapa siklus dan setiap siklus terdiri dari beberapa kali trial (Puspita, 2003) . Setiap trial memiliki awal dan akhir yang jelas (Leaf & McEachin, 1999). Sebuah trial terdiri dari satu unit pengajaran yang terdiri dari komponen-komponen presenlasi dari discrirninative stimulus atau instruksi guru, respon anak , dan konsekuensi (reinforcement). Selain itu terdapat jeda waktu (interlrial interval) sebelum terapis menyajikan stimulus berikulnya (Sympson. 2005). Penilaian dilakukan setiap 10 kali anak melakukan trial untuk memudahkan menghitung persentase keberhasilan. Anak dikalakan lulus bila mampu minimal 80% benar dari keseluruhan total trial. Setiap pertemuan berdurasi 90 menit. Setelah melakukan proses intervensi selama 3 minggu, terdapat peningkatan kemampuan subjek untuk memahami imitasi gerakan motorik kasar, Dalam hal perilaku imitasi gerakan mengangkal tangan telah melampaui kriteria keberhasilan. Perilaku imitasi gerakan tepuk tangan dan tepuk meja belum melampaui kriteria keberhasilan lelapi juga menunjukkan adanya peningkatan. Selama periode intervensi, subjek belum sepenuhnya mencapai kriteria keberhasilan gerakan imitasi motorik kasar dan halus. Dengan demikian tidak memungkinkan untuk melakukan intervensi kemampuan memasangkan dan kemampuan mengidentifikasi sebelum subjek menguasai gerakan imitasi karena untuk melatilh kemampuan reseptif lainnya, subjek harus menguasai kemampuan imitasi terlebih dahulu.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditha
Abstrak :
Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Agar interaksi berjalan dengan lancar dibutuhkan sikap saling memahami antara kedua belah pihak. Ketika individu memahami diri sendirilorang lain, mereka melakukan evaluasi/penilaian, yang merupakan bagian dari proses berpikir. Mereka membuat kesimpulan atau melakukan penalaran tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, niat, dan lain-lain, balk yang ada pada diri mereka sendiri maupun yang dialami oleh orang lain yang sedang berinteraksi dengan mereka. Sehingga interaksi dapat terjadi secara bermakna dan tujuan dari interaksi yang dilakukan dapat tercapai. Kemampuan dalam membuat kesimpulanlmelakukan penalaran tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, that, keyakinan, dan lain-lain, dikenal dengan istilah kemampuan mind-reading. Kemampuan mind-reading tumbuh secara spontan dan alamiah pada masa kanak-kanak. Lain halnya dengan anak yang memiliki gangguan autis. Anak autis dikatakan mengalami mindblindness. Mindblindness adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan penalaran mental stales, yaitu pemikiran, keyakinan, keinginan, niat, dan lain-lain, baik itu pada diri sendiri maupun orang lain (Baron - Cohen, Hadwin, & Howlin, 1999). Hal ini menyebabkan anak autis cenderung tidak sensitiflkurang empati pada perasaan orang lain, tidak mampu mernbayangkan apa yang diketahuildipikirkan oleh orang lain, tidak mampu memahami intensi orang lain, sulit memprediksi tingkah laku orang lain, dan lain-lain. Ketidakmampuan anak autis dalam penalaran mental-states dapat dibantu dengan pelatihan mind-reading. Pelatihan yang dikembangkan oleh Howlin, Baron-Cohen dan Howlin (1999), terbagi atas tiga komponen. Komponen tersebut adalah pemahaman tentang informational states, pemahaman emosi dan pemahaman pura-pura (pretence). Peneliti memfokuskan pelatihan pada satu komponen saja yaitu pelatihan memahami emosi. Anak autis mengalami kesulitan untuk memahami emosi orang lain maupun emosi din sendiri. Mereka juga memiliki keterbatasan dalam berbagi perasaan dengan orang lain. Keterbatasan dalam mengungkapkan dan memahami emosi seringkali menyebabkan anak autis mengalami kesulitan mengendalikan ekspresi emosi negatif yang sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga dapat berakibat buruk untuk anak itu sendiri dan orang di sekitamya. Selain itu respon emosi yang anak autis tampilkan seringkali tidak sesuai dengan situasi yang ada (Mash & Wolfe, 1999; Jordan & Powell, 1995). Peneliti tertarik memfokuskan pelatihan pada pemahaman emosi karena dirasakan masaial-i emosi rnerupakan salah satu hal yang cukup signifikan dalam menghambat interaksi sosial anak autis. Diharapkan pelatihan ini dapat membantu mereka untuk lebih memahami emosi dirt sendiri maupun orang lain, dan dapat mengekspresikan emosi secara lebih tepat mendekati apa yang diharapkan oleh lingkungan. Hasil pelatihan adalah subyek memahami perbedaan ekspresi wajah orang yang sedang mengalami emosi senang, sedih, marah dan takut, baik itu dalam bentuk foto maupun dalarn bentuk gambar skematik. la juga cukup memahami situasi-situasi yang dapat menimbulkan emosi senang, sedih, marah dan takut. Hanya saja is agak sulit membedakan antara emosi sedih dan takut. Subyek memahami jika keinginan seseorang terpenuhi maka ia akan merasa senang, begitu pula sebaliknya, jika keinginan seseorang tidak terpenuhi, maka ia akan sedih. Hanya saja jika keinginan tidak terpenuhi narnun dihadapkan oleh obyek pengganti yang juga menarik minatnya, maka subyek ragu dalam menjawab sehingga hares diingatkan lagi apa yang sebenamya ia inginkan. Subyek mengalami kesulitan untuk memisahkan antara keinginannya dengan keinginan tokoh dalam gambar. Subyek cukup memahami bahwa emosi dapat disebabkan oleh apa yang seseorang pikirkan, walaupun apa yang ia pikirkan berlawanan dengan realitas.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rd. Danianti K. P.
Abstrak :
Down Syndrome adalah kelainan yang terjadi pada anak yang mengalami keterbelakangan mental yang disebabkan oleh adanya kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari dua kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21), yang mengakibatkan anak mengalami penyimpangan fisik. Faktor spesifik yang diduga menjadi penyebab trisomi meliputi pengobatan dan obat-obatan, radiasi, zat-zat kimia, atau virus hepatitis, serta kemungkinan tidak adanya mekanisme kelahiran secara spontan (seperti melalui induksi, vaccum, dll) dan usia ibu waktu hamil dan melahirkan. Anak dengan down syndrome mudah dikenali karena karakteristik yang dimilikinya, antara lain seperti wajah mirip orang mongol atau datar, telinga kecil dan agak miring (seperti caplang), satu garis telapak tangan melewati telapak tangan, jarak antara ibu jari dan jari kedua terlalu renggang, kelingking hanya sate ruas jari. Selain itu anak dengan down syndrome juga memiliki karakteristik psikologis antara lain cenderung ramah, mudah bergaul, hangat dan memiliki sifat yang menyenangkan. Anak down syndrome biasanya lahir dengan berbagai gangguan medis, seperti gangguan jantung, leukemia, katarak, hypotonia, gangguan pendengaran, dan gangguan wicara. Selain itu, anak down syndrome jugs mengalami kerusakan fungsi otak dan kelainan sensorik dan neuromotor. Karakteristik anak down syndrome adalah terbatasnya kemampuan kognitif mereka. Dengan kemampuan kognitif yang terbatas, maka akan mempengaruhi akademik mereka. Anak dengan down syndrome ini biasanya mengalami kesulitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan belajar karena kemampuan atensi, metacognition, memory, dan generalisasi yang lambat dibandingkan dengan anak normal. Masalah ini dapat berasal d.ari lemahnya kemampuan persepsi dan menilai (judgement) suatu ingatan yang sudah disimpan dengan keadaan saat ini. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dalam menggunakan ingatan jangka pendek yang lemah pada anak down syndrome. Namun demikian anak-anak dengan down syndrome memiliki visual processing skills yang lebih balk. Oleh sebab itu diyakini gambar merupakan metode bagus untuk mengajarkan anak down syndrome belajar, berbicara, dan berinteraksi. Daya ingat jangka pendek anak dengan down syndrome ini menurut penelitian dapat ditingkatkan melalui pelatihan yang disebut sebagai Memory Skill Training. Pelatihan ini menggunakan dua program, yaitu rehearsal programme dan organisation programme. Pada penelitian yang peneliti lakukan, peneliti menggunakan program organisation, yaitu bertujuan mengajarkan anak untuk mengkategorisasikan dan mengelompokkan sebagai jalan untuk membantu dalam mengingat sesuatu. Pelatihan ini menggunakan gambar-gambar yang memudahlan anak dengan down syndrome untuk mengingatnya. Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, program Memory Skill Training dapat meningkatkan daya ingat jangka pendek anak dengan down syndrome. Program ini sebaiknya dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama dan dilakukan secara berkelanjutan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadilah
Abstrak :
Resiliensi bukanlah suatu hal yang bersifat magis (Masten, 2006) dan dapat dipelajari serta dikembangkan oleh setiap orang, meliputi tingkah laku, pikiran, dan tindakan (APA, 2004). Dalam penelitian ini, resiliensi didefinisikan sebagai proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk renghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif. Situasi sulit yang dimaksud tidak terbatas pada kesulitan yang luar biasa saja, seperti trauma akibat tindak kejahatan atau bencana alam, tetapi juga mencakup kesulitan yang ditemui ketika menghadapi tekanan dan tuntutan hid up sehari - hari. Individu dikatakan memiliki adaptasi yang positif jika dapat memenuhi harapan sosial yang dikaitkan dengan tahapan tugas perkembangan. Resiliensi akan lebih mudah untuk ditingkatkan jika dilihat sebagai fondasi dari pertumbuhan dan perkembangan (Grotberg, 2003). Fondasi resiliensi ini membentuk suatu paradigma yang mencakup tiga sumber resiliensi ketika individu menghadapi situasi sulit (Grotberg, 1999b), yaitu AKU PUNYA (I have), AKU ADALAH (I am), fondasi inisiatif dan AKU MAMPU (I can). Tiga komponen sumber resiliensi tersebut dapat membantu individu untuk menjadi resilien (dalam Grotberg, 1999b). Resiliensi pada anak berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu, hubungan kekerabatan keluarga yang erat, dan kesempatan individu dan orangtua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan niasyarakat (Mash, 2005). Shonkoff dan Meisels (2000) mengatakan bahwa resiliensi pada anak tidak dapat dipaksakan begitu saja meskipun orangtua sudah memberikan pola asuh yang baik. Masten (2005) berpendapat bahwa resiliensi dapat ditingkatkan melalui suatu program intervensi. Program intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat mengarahkan subyek menuju pencapaian adaptasi yang positif dengan segala faktor resiko dan pelindung yang dimilikinya. Program intervensi tersebut berupa pelatihan keterampilan sosial. Penelitian ini merupakan action research dengan pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran proses subyek dalam mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimiliki subyek. Penelitian ini menggunakan satu orang subyek yang dipilih berdasarkan kesesuaian teori atau konstruk operasional, yakni yang memilki lima faktor resiko dan lima faktor pelindung. Subyek merupakan klien Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI yang berusia 8 tahun dan sekarang sedang duduk di kelas 3 SD. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi langsung, dan dokumen tertulis. Adapun tahapan persiapan penelitiannya meliputi persiapan program intervensi dan alat ukur. Sebelum pelatihan, peneliti membina rapport dan menjalin rasa percaya dengan subyek dalam dua kali pertemuan. Selanjutnya, pelatihan dilaksanakan dalam lima kali pertemuan. Hasil pelatihan menunjukkan bahwa subyek dapat dilatih untuk mengidentifikasi mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Hal tersebut dapat dicapai melalui proses membentuk rasa percaya, mengidentifikasi perasaan da-i pikiran, gambaran situasi sulit, dan kemudian subyek bare dapat mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Hasil penelitian tersebut disampaikan kepada ibu subyek sehingga kaiak ibu dapat membantu subyek untuk menggunakan sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Dalam pertemuan tersebut peneliti memberikan saran praktis dan melakukan diskusi bersama ibu.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Citrasari
Abstrak :
Tidak semua anak lahir dan dapat berkembang secara normal, ada beberapa anak yang merupakan anak dengan kebutuhan khusus (exceptional children), diantaranya adalah keterbelakangan mental, carat fisik, kelainan belajar, gangguan emosional, kelainan bicara, gangguan penglihatan (visually impaired), dan gangguan pendengaran (hearing impaired). Anak-anak tersebut harus mendapat penanganan sedini mungkin agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Gangguan pendengaran (hearing impaired) atau dapat disebut juga tunarungu merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada masa perkembangan. Tunarungu dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan, mulai dari sangat ringanlminimal sampai total. Anak tunarungu memiliki beberapa hambatan, salah satunya adalah perkembangan bahasa. Hambatan dalam perkembangan bahasa membuat terhambatnya perkembangan inteligensi anak tunarungu. Walaupun demikian tidak semua aspek inteligensi terhambat tetapi hanya yang bersifat verbal. Aspek inteligensi yang bersumber pada penglihatan dan berupa motorik dapat berkembang lebih cepat. Salah satu karakteristik perkembangan bahasa yang seharusnya sudah dicapai oleh anak pada masa toddler adalah anak dapat menyebutkan anggota tubuhnya. Dengan hambatan tersebut maka anak tunarungu tidak dapat menyebutkan anggota tubuhnya. Selain itu, dengan memahami anggota tubuhnya sendiri, seorang anak memiliki perasaan akan din mereka sendiri yang terpisah dari orang lain (self-awareness). PengenaIan diri secara fisik dapat membantu anak untuk menyadari diri mereka sendiri yang secara fisik berbeda dari orang lain, hal ini berkaitan dengan karakteristik perkembangan sosial seorang anak. Peneliti melakukan pelatihan mengenali anggota tubuh sebagai sarana untuk mengoptimalkan perkembangan sosial anak tunarungu pada masa toddler. Pelatihan mengenali anggota tubuh pada anak tunarungu dilakukan melalui strategi visual. Dalam penelitian ini, strategi visual yang digunakan yaitu dengan menunjukkan kartu-kartu bergambar anggota tubuh seorang anak. Saat anak ditunj ukkan kartu bergambar tersebut, anak diminta untuk menunjukkan anggota tubuhnya sendiri. Digunakan strategi visual karena dengan menggunakan alat bantu visual akan lebih mudah untuk dipahami oleh anak yang mengalami kelainan bahasa. Instruksi akan diberikan oleh peneliti (instruktur). Penelitian ini akan dilaksanakan dengan tujuan untuk melatih anak tunarungu usia toddler mengenali anggota tubuhnya melalui strategi visual. Apabila subjek berhasil menunjuk anggota tubuhnya sendiri saat diperlihatkan kartu bergambar anggota tubuh maka subjek akan mendapatkan reward. Hasil pelatihan memperlihatkan bahwa subjek mampu mengenali anggota tubuhnya sendiri. Namun demikian, dalam penelitian ini terdapat kelemahan dan kelebihan. KeIemahannya yaitu situasi pelatihan yang tidak terstruktur, tidak ada masa transisi dari situasi tidak terstruktur ke situasi yang terstruktur (pelatihan), dan pada sesi I instruksi yang diberikan oleh instruktur tidak jelas (instruktur tidak memperagakan) sehingga W tidak mengerti apa yang diharapkan darinya. Kelebihannya yaitu strategi visual (gambar) dirasakan sangat membantu dan mudah dipahami oleh anak yang mengalami tunarungu dan pemberian reward ditemukan cukup berhasil memaeu subjek untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan. Saran untuk penelitian ini, peneliti melakukan survey lapangan terlebih dahulu untuk mengetahui kegiatan anak sehari-hari sehingga dapat menetapkan waktu yang tepat untuk melakukan pelatihan. Adanya masa transisi dari situasi tidak terstruktur ke situasi terstruktur (pelatihan). Situasi pelatihan sebaiknya lebih tenang dan lebih terstruktur. Saran untuk penelitian selanjutnya, strategi visual dapat digunakan untuk membantu anak mengenali emosi, kegiatan yang dilakukan sehari-hari, aturan-aturan sosial, dan lain-lain.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18098
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Andriyanto Soetardhio
Abstrak :
Komunikasi dan bahasa merupakan hal penting dalam perkembangan dan kehidupan manusia. Bahasa dan komunikasi membantu seseorang dalam mengembangkan kognisi, mendapatkan informasi dan mengembangkan keahlian lainnya. Beberapa individu memiliki masalah dalam berkomunikasi, baik sejak lahir, akibat kecelakaan maupun disebabkan karena pengabaian atau kecemasan. Selective mutism merupakan salah satu gangguan yang disebabkan karena kecemasan, kurang rasa percaya diri dan rendahnya ego strength seseorang. Anak dengan gangguan selective mutism memilih untuk menolak bicara di lingkungan tertentu. Penolakkan untuk berbicara di lingkungan sekolah memiliki konsekuensi gangguan belajar sebagai akibat anak tidak mau menjawab pertanyaan lisan dan mengjukan pertanyaan guna mendapatkan informasi yang belum atau tidak dimengerti. Kegagalan yang dialami anak akan menambah kecemasan dan mengurangi rasa percaya diri, sehingga gangguan akan semakin parah atau menetap. Diperlukan intervensi sedini mungkin bagi anak-anak dengan gangguan selective mutism. Terapi bermain merupakan intervensi bagi anak pada tahap early childhood dengan gangguan selective mutism, bagaimana dengan anak-anak yang berada pada tahap pra remaja? Apakah fair play therapy dengan menggunakan media permainan papan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan ego strength anak? Apakah fair play therapy yang memadukan terapi bermain dengan menggunakan media pertmainan papan dan pemberian stimulasi di sekolah oleh guru wall kelas sebagai co-terapis dapat membantu anak pra-remaja dalam mengembangkan kemampuan komunikasinya sehingga anak tersebut tidak lagi mengalami gangguan selective mutism?
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Kurnaini
Abstrak :
Penelitian ini ditujukan untuk menjawah pertanyaan mengenai apakah pelaksanaan program terapi perilaku dengan metoda /Ipplied Behavior- Analysis (ABA) efektif meningkatkan kemampuan anak yang menderita gangguan autisme. Autisme adalah sualu gangguan pervasif yang tcrjadi di dalam masa perkembangan yang ditandai dengan adanya hendaya dalam bidang komunikasi, intcraksi sosial, kognitif, motorik, dan poly perilaku stercotipik dimana gejala-gejala tersebut muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Aspek perilaku pada anak penyandang autisme seringkali menghambat terealisasinya potensi anak. Karma itulah maka penanganan pada anak penyandang autisme seringkali dipusatkan pada terapi perilaku. Terapi perilaku bertujuan dasar membentuk perilaku yang lehih dapat diterima di lingkungan sosial dan mengurangi perilaku yang bermasalah (lovaas, 1981). Salah satu terapi perilaku yang sangal popular adalah Applied Behavior Analyisi (ABA) yang telah diteliti terbukti dapat membantu mcmbentuk perilaku yang dapat diterirna oleh Iingkungan sosial pada anak peyandang autisme. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang mcndalam mengenai efektivitas pclaksanaan program terapi perilaku dengan menggunakan metoda Applied Behcmiour Analysis (ABA) disertai panduan materi yang meugacu pada keterampilan dasar latihan pada anak penyandang autisme oleh Maurice (1996) yang disesuaikan pada kemampuan dan perkembangan subyck yang telah menjalani terapi perilaku dengan metoda ABA selama satu setengah tahun. Karma itu pendekatan penelitian yang dipilih adalah pendekatan kualitatif. Metoda pengumpulan data yang digunakan dalam penclitian ini adalah metoda wawancara mendalam terhadap of ang ua dan terapis serta observasi terhadap anak. Dad hasil penelitian dipcroleh basil bahwa terdapat peningkatan antara kondisi sebelum subyck mendapatkan terapi perilaku dengan metoda ABA dan kondisi subyck setelah mendapatkan terapi perilaku dengan metoda ABA. Selain itu didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan pada 3 aspek kemampuan yang diobscrvasi sclama 12 sesi pertemuan. Hasilnya adalah pada kemampuan meniru/imilasi subyek dapat melakukan gerakan menuang, memotong, mengetuk, putar tangan, berdiri, berputar, tepuk tangan, dan buka mulut. Pada kemampuan pra akademik, subyek dapat menyusun tujuh potongan bentuk menjadi gambar Benda utuh, subyek dapat mengenal ukuran bcsar dan ukuran kecil pada bendabenda idcntik yang sudah dikenalnya, dan subyek dapat menyusun 6 balok dengan susunan yang bervariatif Pada kemampuan bahasa reseptif, subyek dapat mengidentifikasi kursi, meja, lemari, pintu, TV, dan jendela, subyek dapat mengenali mama, papa, dan kiki (kakak pertama) melalui foto, dan subyek dapat mengenali anggota tubuh seperti tangan, kaki, mata, dan mulut.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munardyansih
Abstrak :
Orangtua sering mengalami kesulitan menanggulangi anak usia sekolah yang mudah marah, sering menentang dan menunjukkan reaksi emosi yang tak terkendali atau agresif. Tak jarang orangtua terjebak situasi konflik yang emosional dan terpancing melakukan tindak kekerasan yang menjadi model perlaku agresif pada anak sehingga masalah perilaku anak tak mudah diatasi. Kesulitan mengendalikan emosi demikian terjadi pada D (9 tahun) subyek penelitian ini yang terlihat sejak D memiliki adik pada usia 4 tahun dan orangtua lebih menaruh perhatian pada adiknya yang lahir dengan kelainan jantung bawaan. Pada masa usia sekolah frekuensi marah terjadi setiap hari, sering konflik dengan anggota keluarga dirumah, mengalami kesulitan dalam berteman dan kerap memperoleh hasil belajar yang kurang baik, sekalipun tergolong cerdas dan memiliki intelligensi diatas taraf rata-rata. Kemarahan dan perilaku menentang yang maladaptif menunjukkan D kurang memiliki kemampuan pengendalian emosi sesuai taraf perkembangan anak usia sekolah, yang umumnya mampu mengontrol dan mengarahkan tindakannya untuk menjalin kerjasama dengan oranglain. Perilaku demikian sexing terjadi pada anak Oppositional Defiant Disorder (ODD) yaitu gangguan perilaku yang ditandai oleh pola perilaku menentang, menantang dan memusuhi (hostile) yang terutama ditujukan pada orangtua (APA, 2000). D memenuhi kriteria diagnosa ODD. Kemarahan anak ODD disebabkan oleh proses kognitif yang disfungsi dan mengalami defisit kognitif yang herdampak pada keterbatasan kemampuan mengendalikan emosi dan mengatasi masalah sosial (Mash & Wolfe, 1999). Disfungsi dan defisit kognitif merupakan fokus masalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan intervensi kognitif yang secara emperis telah terbukti efektif untuk mengelola kemarahan dan menanggulangi anak yang mengalami masalah interpersonal (Stallard 2005) Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana teknik CBT dapat diterapkan untuk mengendalikan marah pada anak ODD usia sekolah dengan menggunakan metode yang dikembangkan Stallard. Intervensi ditujukan untuk meningkatkan kesadaran diri, pemahaman lebih baik mengenai perasaan dan pemikiran negatif yang menimbulkan kemarahan, dan mengembangkan pengendalian din melalui ketrampilan kognisi dan perilaku yang sesuai. Intervensi terbagi atas kegiatan untuk mengendalikan emosi dan kognisi. Fokus intervensi masing-masing melalui tahapan Identifikasi masalah (mengenali pencetus dan reaksi kemarahan D, pemikiran negatif yang disfungsi dan defisit kognitif), mengembangkan ketrampilan yang sesuai untuk mengendalikan marah (menurunkan ketegangan dengan latihan relaksasi, pengaturan pemahman dan mengganti pemikiran negatif dengan pemildran yang menenangkan atau menurunkan reaksi marah dengan 'self instructional ), mengenali dan menguji disfungsi kognisi yang mempengaruhi kehidupan anak. Pada penelitian menunjukkan bahwa tehnik CBT yang digunakan memudahkan D untuk menyadari serta memahami kesulitannya dan mengetahui langkah untuk melakukan perubahan atau mengendalikan reaksi marahnya. Hasil penelitian menunjukkan perubahan pada D, dimana ia lebih mampu mengendalikan perasaannya ketika menyadari mulai timbul perasaan marah dengan berusaha menurunkan ketegangan dan menenangkan diri dengan pemikiran yang positif Selama periode penelitian frekuensi marah tidak terjadi setiap hari. Namun pada penelitian ini penerapan keterampilan bare yang dikuasai D belum menetap sehingga untuk mencegah terjadinya relaps diperlukan program untuk evaluasi berkala dan melibatkan peran aktif orangtua sebagai co-clinician. Kelemahan lainnya dalam penelitian ini adalah pada desain penelitian yang belum meneakup pelatihan keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan sosial. Kelemahan lainnya adalah jumlah perencanaan sesi dan jangka waktu pertemuan untuk dapat mempertahankan dan mengevaluasi keterampilan kognisi baru yang telah dipelajari. Saran dalam penelitian ini adalah terkait dengan perencanaan desain penelitian, perencanaan jumlah sesi dan peningkatan peran orangtua dalam program CBT.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Hartiani
Abstrak :
ABSTRAK
Tidak semua anak beruntung dapat berkembang secara normal. Pada masa perkembangannya, seorang anak yang oleh sebab-sebab tertentu dapat rnengalami hambatan sehingga aspek-aspek perkembangannya tidak berfungsi sebagaimana anak lain seusianya Anak-anak yang tidak berkembang secara normal disebut juga dengan anak dengan kebutuhan khusus. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut antara lain adalah anak retardasi mental. Sesuai dengan defsnisi dari retardasi mental menurut The American Association on Mental Retardation (AAMR 1992), maka anak retardasi mental mengalami keterbatasan dalam fungsi intelektual yang dibawah rata-rata dan memiliki defisit dalam dua atau lebih area perilaku adaptilnya seperti: komunikasi, perawatan diri, tempat tinggal. keterampilan sosial, kemasyarakatan, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang dan pekerjaan serta retardasi ini terjadi sebelum usia 18 tahun (dalam Smith et al, 2002). Perilaku adaptif ini penting karena dengan adanya defisit pada dua atau lebih area dalam perilaku ini maka seorang anak akan sulit untuk mengembangkan kemandirian dan tanggung jawab pribadi yang sesuai dengan usia dan budaya tempat anak tersebut tinggal. Untuk dapat mengembangkan salah satu area perilaku adaptif di atas diperlukan suatu perencanaan program untuk mengajarkan perilaku baru yang sebelumnya belum dikuasai anak. Pada anak dengan kebutuhan khusus seperti anak retardasi mental sedang, program tersebut perlu dilatihkan agar anak mampu mandiri dalam melakukan tugas merawat diri. Salah satu bentuk perilaku adaptif yakni ranah fungsi berdikari sub ranah makan akan dilatihkan dengan metade successive approximation atau shaping (Morris, 1985 ; Martin & Pear 2003). Perilaku yang menjadi target untuk dikembangkan melalui program pelatihan ini adalah keterampilan makan dengan sendok tanpa tumpah. Penelitian yang dilakukan ini merupakan suatu studi kasus. Subyek pada penelitian ini adalah anak retardasi mental sedang usia 7 tahun 8 bulan, dengan IQ 51 menurut skala Binet. Keterampilan ini merupakan bidang yang memungkinkan untuk dikembangkan dikarenakan karakteristik anak retardasi mental sedang yang mampu untuk dilatih keterampilan menolong diri, khususnya dalam hal makan. Pelatihan mengembangkan perilaku baru yakni makan sendiri dengan sendok tanpa tumpah dilakukan dalam 9 sesi. Dalam penelitian ini digunakan tipe disain AB3. Dalam disain ini suatu fase baseline diikuti dengan suatu fase tretment dan akan dilakukan suatu perbandingan antara frekuensi perilaku selama baseline dan treatment. Sebelum sesi pelatihan dilakukan pengambilan data base line sebanyak 10 kali observasi dan menghitung frekuensi perilaku menumpahkan makanan. Selanjutnya observasi saat pelatihan dilakukan dan melakukan penghitungan frekuensi perilaku mernunpahkan makanan kemudian kedua data tersebut diperbandingkan. Effektivitas suatu treatment diukur melalui jumlah meningkatnya perilaku yang tepat yakni perilaku makan sendiri dengan sendok tanpa tumpah. Kerajuan dari program pelatihan dicatat melalui observasi perilaku yang dapat dicapai anak pada tiap sesi pelatihan berdasarkan urutan kompleksitas tugas yang dapat dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan makan sendiri dengan sendok tanpa tumpah dapat diterapkan pada anak retardasi mental sedang dengan metode shaping. Pada dua sesi terakhir pelatihan terlihat frekuensi perilaku menumpahkan makanan sudah tidak ada. Namun demikian pelatihan ini memiliki banyak kelemahan. Kelemahan utama dari penelitian ini adalah dalam hal tipe disain yang dipilih, yaitu disain AB. Disain ini terlalu sederhana umuk melihat efek treatment terhadap suatu perubahan perilaku. Banyak kejadian di War program treatment yang mungkin berpengaruh pada perubahan perilaku yang diobservasi. Peneliti juga tidak boleti begitu saja menyatakan bahwa perubahan perilaku merupakan efek dari program treatment. Kelemahan lain adalah dalam hal kejelasan penentuan target behavior yang stabil, penentuan ukaran langkah perilaku awal hingga terbentuk stabil, perencanaan tentang banyaknya sesi pelatihan yang akan diiakukan, pemilihan bentuk reinforcernent rnaupun prompting yang benar-benar efektif, menu dan peralatan makan yang terbatas variasinya. Saran penelitian terutama adalah dalam hal pemilihan tipe disain penelitian yang sebaiknya dipilih pada penelitian selanjutnya. Saran lain menyangkut penentuan reinforcement maupun prompting yang lebih efektif, penentuan ukuran langkah yang jelas untuk perilaku awal hingga terbentuk stabil, perencanaan yang matang tentang jumlah sesi, penambahan waktu pengambilan data base line dart adanya menu dan alat makan yang bervariasi. Pembentukan perilaku dengan metode shaping perlu dicoba dilatihkan pada perilaku adaptif anak retardasi mental sedang yang mengalami defisit selain perilaku makan.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17816
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Terdapat kebutuhan yang mendesak unluk mengerti proses perkembangan scperti apa yang memberikan kontribusi timbulnya conduct disorder pada anak- anak. Conduci disorder sendiri adalah suatu sindrom yang dikenal pada bidang psikialri yang tetjadi pada masa anak-anak dan remaja, serta memiliki karakteristik adanya suatu bentuk perilaku yang tidak mengikuti aturan-aturan dan perilaku antisosial dalam jangka waklu tertentu (Searight, Ronnek, & Abby, 2001). Tcrdapat beberapa penjelasan leori mengenai agresifitas yang rnenjadi salah sam ciri dari anak conducz disorder. Menurut tend belajar, perilaku agresif yang tampil dipelajari anak melalui berbagai tindakan agresif yang mereka amati dari orang Iain, rnisalnya dari orang tua, saudaranya dan ternan-teman sepemmainan. Selain itu, perilaku agresif ini juga dipelajari saat anak diberi perhatian karena perilaku agresif yang dia lakukan, dimana hal itu menjadi caranya mendapalkan perhatian dari orang dewasa Keadaan sehari-hari yang Lidak mengunlungkan juga diyakini menimbulkan reaksi agzresif saat individu merasakan suatu kesulitan unluk rnendapatkan pemuasan kebutuhan atau mencapai tujuarmya (Schaefer & Millrnan, 1981). Baum (1989, dalam Wenar, 1994) melaporkan hahwa pada populasi yang mengalami conduct disorder sebanyak satu-perlima hingga satu-peniganya mengalarni masalah deprcsi. Conduct disorder sendiri dapat dipengaruhi baik oleh faktor genetik maupun Iingkungan. Resiko rnunculnya perilaku conduci disorder ini lebih besar texjadi pada anak yang orang tuanya atau saudara kandungnya mengalami anrisociai personality disorder clan conduct disorder. Conduci disorder ini juga sering muncul pada anak dengan oraug ma yang mengalami iccterganmngan alkohol, gangguan mood, schizophrenia, ADHD dan conductdisorder (DSM-IV- TR, 2000). Dari berbagi sumber, conduct disorder pada anak sering dikaitkan karcna adanya rnasalah-masalah yang limbul dalam keluarga, psikoparologi pada orang tua, dan kondisi yang tidak menglunungkan dalarn linglcungan (Schachar & Tannock, 1995, dalam Mash & Wolf, 1999). Hal ini lnenimbulkan keterrarikan untuk meneliti dinamika yang terjadi dalaln keluarga dari anak yang didiagnosis memiliki masalah atau kecenderungan conduct disorder melalui gambaran pola asuh yang diterapkan orang tua. Penclitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data yang bersumber dari 5 orang anak sesuai dengan data kasus yang ada pada Klinik Anak F. Psikologi UI dari tahun 2000 - 2003. Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua pasangan orangtua pada anak-anak dengan masalah atau memiliki kecendenmgan conduct disorder yang menjadi subjek dalam penclitian ini menerapkan pengasuhan yang tidak sama (inkonsisten), dimana antar orangtua sendiri ndak didapatkan kesepakatan mcngenai pola asuh yang diberikan kepada anak. Pola asuh yang diterapkan kepada anak pada umumnya adalah pola HSU11 otoriter, pemmisif dan rejecfing./bzogiecling, dan tidak ditemukan orangtua yang menggunakan pola asuh otoritatif. Pada dimensi kontrol, seluruh subjek mendapatkan hukuman sebagai benluk usaha orangtua untuk mendapatkan perilaku yang dihampkan, berupa bentakan-bentakan dan kata-kata kasar sampai dengan hukuman tisik mulai dari mengisolasi anak di ruangan, tidak mcmperbolehkan masuk rumah hingga pukulan di badan. Tunlutan-tuntutan yang diberikan pun tidak disertai dengan pengawasan yang terus-menerus (konsisten) oleh orangtua. Ditemukan bahwa anak-anak disorder yang menjadi subjek penelilian ini kurang mendapatkan pcmenuhan aftksi dari orangtuanya. Kurangnya pemberian afeksi kepada anak-anak oleh orangtua dikarenakan kcsibukan orangtua dengan pekerjaannya atau dikarenakan orangtua yang cenderung menutupi perasaannya sehingga iidak lancarnya interaksi dengan muatan cmosi antara oraugtua dan anal; Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan data sekunder, dimana wawancara klinis tidak dilakukan langsvmg oleh peneliti sehingga terdapat kemungkinan adanya data-data yang belum tergali. Selain itu, sampel yang digunakan terbatas hanya 5 subjek sehingga tidak dapat di generalisasi pada semua anak dengan masalah conduct disorder. Sehingga, untuk lebih mempemaya pengetahuan masalah conduct disorder ini, penelitian selanjutnya disarankan dilakukan secara kuantitatif sehingga dapat dilihat seperti apa kecenderungan pada populasi.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>