Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dudi Akasyah
"Masalah dewasa ini merupakan masalah yang perkembangannya sangat memperihatinkan melanda generasi muda. Pemakai narkotika, bukan orang jauh yang tak dikenal, ataupun orang jahat yang menjadi incaran polisi, tapi seringkali pengedar dan penggunanya adalah keluarga kita sendiri. Tidak berhenti sampai di sana, adik atau kakak pelaku penyalahguna narkotika malahan mempengaruhi anggota keluarga lain. Hal ini pula yang terjadi pada keluarga Bapak Sani yang mempunyai dua orang anak yang semuanya terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana proses yang sesungguhnya dari terlibatnya kakak beradik dalam penyalahgunaan narkotika, dengan mengambil contoh kasus pada keluarga Sani di Kelurahan Borju Atas Jakarta Selatan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan mempelajari life history pelaku. Wawancara mendalam dilakukan terhadap Joe dan adiknya Yono beserta kedua orang tuanya Bapak Sani dan Ibu Atun. Sedangkan life history dilakukan terhadap Joe dan Yono, sebagai informan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi suatu proses pembelajaran sosial (social learning) yang dilakukan Joe terhadap Yono sebagai kakak beradik melalui interaksi dengan cara face to face communication (komunikasi langsung). Joe (kakak) mengajari Yono (adik) teknik menggunakan narkotika dan cara menghemat dana untuk membeli narkotika. Kondisi-kondisi yang mencakup frekuensi, intensitas, durasi dan prioritas hubungan sosial yang terjadi pada Yono terhadap Joe, telah membuat Yono menjadi pengguna narkotika.
Ada beberapa tahap yang dilalui keduanya sehingga terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Pertama, Joe terlebib dahulu menggunakan narkotika. Sebagai kakak, Joe dekat dengan adiknya, Yono (Tahap Peer Group). Dari sana muncul keisengan-keisengan Yono untuk mencoba narkotika (The Experimental Stage). Selanjutnya, di antara kakak beradik ini semakin akrab. Keduanya lebih dekat dan intensitas pertemuannya pun lebih tinggi (The Social Stage). Keduanya secara aktif mulai mencari obat untuk mendapat emosi tertentu dan efek tertentu (The Instrumental Stage). Kemudian mereka masuk pada tahap The Habitual Stage, yakni tahap pembiasaan. Hingga pada akhirnya mereka sampai pada tingkat total (The Compulsive Stage), kedua kakak beradik ini menjadi pecandu yang sulit untuk dibongkar dan diketahui oleh kedua orang tuanya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar Sukmawati
"LATAR BELAKANG: Di Indonesia faktor yang mempengaruhi terkendalinya gejala putus opiat belum diketahui. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut dapat dipakai untuk prognostik terkendalinya gejala putus opiat, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian hal tersebut.
METODE: Penelitian kohor historikal pasien ketergantungan opiat yang dirawat inap di RS Ketergantungan Obat 1 Januari 2000-31 Desmber 2001. Semua pasien wanita (60 orang) yang memenuhi kriteria inklusi diambil, dan pasien laki-laki diambil 130 secara sistematik dari 914 pasien laki-laki yang masuk kriteria inklusi. Analisis data dengan survival analysis menggunakan cox proportional hazard untuk mencari perhitungan pengendalian gejala putus opiat.
HASIL: Waktu yang diperlukan untuk terkendalinya gejala putus opiat antara 3 - 16 hari dengan rata-rata 9 hari. Umur terbanyak 21-30 tahun dengan rata-rata 23 tahun. Umur termuda pertama kali menyalahgunakan opiat adalah 12 tahun, lama penyalahgunaan antara 6 bulan sampai 15 tahun, cara pakai sebagian besar (88,4%) menggunakan jarum suntik. Kebanyakan adalah pengangguran (54,2%). Faktor pemberian terapi tidak bermakna secara statistik dalam pengendalian gejala putus opiat. Gender laki-laki lebih mudah terkendali 1,71 kali dibanding gender perempuan (CI 95% 1,17; 2,49; p O,006).
KESIMPULAN: Perempuan lebih susah dikendalikan gejala putus opiatnya, oleh karena itu memerlukan perhatian lebih banyak dibandingkan gender laki-laki.

Gender and Risk That Can Handle Opiate Withdrawal Syndrome for Opiate DependencyBACKGROUND: Factors can influence opiate withdrawal syndrome in Indonesia there is no detail data. With the most important factor, could be better to manage them especially when they are being hospitalized.
METHODS: Cohort historical study about opiate dependence patients who are being hospitalized in Drug Dependence Hospital Jakarta from January 1st 2000 to December 31st 2001. All the women include in criteria as a sample (60 patients), and 130 male patients as a sample with systematic sampling from 914 patients can include in criteria. Data analysis with the survival analysis, using cox proportional hazard to find number of controlled opiate withdrawal syndrome.
RESULTS: The opiate withdrawal syndrome can be controlled in 3 - 16 days and 9 days in average. The range of age is 2151 to 30 years old and 23 years old in average. The youngest age using opiate is 12 years old. The length of abuse is between 6 month to 15 years, using needle is 88,4 %, mostly is jobless (54,2%). Treatment factor is not significant statistically. Men is easier to control, it's about 1,71 times than women (CI 95 % 1,71;2,49, p = 0,006)
CONCLUSIONS: Women need more attention to get at the best results opiate withdrawal syndrome.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir
"Fenomena-fenomena mengenai kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia telah sangat memprihatinkan. Dalam pemberitaan tentang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di media-media massa tidak pernah putus dan selalu terjadi setiap hari. Bahkan dengan terungkapnya kasus-kasus tentang keberadaan pabrik-pabrik yang memproduksi narkoba dalam jumlah besar di Tanggerang dan Bogor, menunjukan terjadi peningkatan kerawanan kejahatan narkoba di Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas.
Wilayah hukum Polres Metropolitan Jakarta pusat, sebagai daerah yang paling rawan terjadinya aktivitas kejahatan di bidang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba, dinilai sebagai daerah yang tepat untuk dilakukan sebuah penelitian mengenai peran orang tua dalam ikut mengawasi tindakan anak-anaknya dari pengaruh penyalahgunaan narkoba. Dalam ketentuan Undang-undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 Pasal 88 ayat (2) diatur mengenai kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang mengalami ketergantungan atau kecanduan narkotika. Akan tetapi, selama ini tidak pernah ada kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika yang dijerat dengan ketentuan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan pada tindakan penyidik terhadap keluarga pecandu narkotika di Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat.
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang tindakan-tindakan dalam penanganan kasus narkotika yang melibatkan kesalahan orangtua yang tidak melaporkan anaknya yang mengalami kecanduan narkotika. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, agar hasil dari penelitian tersebut mendapatkan gambaran mengenai tidak diterapkannya ketentuan yang mewajibkan orang tua melaporkan anaknya yang mengalami kecanduan narkotika.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak dilakukanya penyidikan yang berkaitan dengan Undang-undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 Pasal 88 ayat (2) tentang kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang mengalami ketergantungan atau kecanduan narkotika, yaitu (1) Ketidaktahuan pihak keluarga tentang adanya kewajiban untuk melaporkan kepada pihak kepolisian mengenai anaknya yang mengalami kecanduan narkotika, (2)Tindakan tidak melaporkan permasalahan tersebut oleh orang tua ditujukan dengan maksud untuk melindungi anggota keluarganya dari jeratan hukum, (3) penyidik kurang menguasai mengenai Undang-Undang Narkotika khususnya ketentuan yang mengatur tentang kewajiban orang tua tersebut, (4) Kesulitan yang dialami penyidik dalam melakukan proses penyidikan berkaitan dengan persyaratan dari pihak kejaksaan yang mengharuskan setiap kasus yang dilimpahkan harus memenuhi bukti-bukti yang benar-benar dapat menjerat kesalahan tersangka, yaitu berupa saksi, barang bukti, dan pengakuan tersangka.
Dengan kondisi tersebut, maka perlu adanya peningkatan kualitas dari aparat penegak hukum dan koordinasi yang baik agar upaya penanggulangan kejahatan di bidang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba dapat dilaksanakan secara baik dan konsisten serta diberlakukan tindakan yang tegas dan tanpa pandang bulu terhadap para pelakunya.

The phenomenon of illicit drug abuse and trafficking has been in an alarming condition in Indonesia. The media reporting on such an issue never fades away its frequency, even on daily basis. In fact, the numerous disclosures of ecstasy's key laboratories in Tangerang and Bogor, has proved that the crime quality and quantity in Indonesia have equally been escalating.
The jurisdiction of Central Jakarta's Police, a district of where is known for its high amount illicit drugs abuse and trafficking activities, is considered to be the most accurate location for this research, which focuses on the role of parent in effectively overseeing their offspring against illegal drug abuse and trafficking. The Narcotics Law No.2211997, Part 88/2, rules that parent is responsible to report to police should their children is an illicit-drug user. Yet, there has not been any file on the case applying this regulation. Hence, based on this fact, this thesis principally concentrates on the proceedings of police investigators, within the Narcotics Unit of Central Jakarta's Police, toward the family of drugs addict.
This thesis illustrates various narcotics cases, which enclose parent's injudiciousness for not reporting their addicted offspring to the police. The research method used in this thesis is qualitative approach. It aims to provide an outcome with models that the parents obligation to report their addicted offspring to police is not putting into practice.
The finding of this thesis shows that there are 4 factors that prevent parent from reporting their offspring to police, as associated with the Narcotics Law No.22/1997, Part 88/2, namely: 1). A lack of parents knowledge about the Narcotic Law No.22/1997, Part 88/2; 2). A sense of protecting their offspring from legal punishment 3). A lack of police investigator's knowledge about the Narcotic Law No.22/1997, Part 88/2, especially on part of the parent's obligation ; 4). Difficulties faced by the police investigators in finding the evidence, witness, & suspects confession, as part of the requirements for the court.
With these 4 conditions rest in front, an improved quality of the law enforcement personnel and a better coordination among the law enforcement are necessity in fighting the problem of drug abuse and trafficking in Indonesia. Law enforcement would be able to perform better and in consistent, of where the charges and law are being practiced in a fair order.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiz Khanza
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan relasi antara mahasiswa dan aktan dibalik kecanduan judi slot online yang terjadi pada mahasiswa. Studi-studi terdahulu yang membahas tentang kecanduan judi online dapat dipetakan menjadi dua, yaitu berdasarkan aspek intrapersonal dan aspek interpersonal. Berdasarkan aspek intrapersonal, kecanduan judi online disebabkan adanya impulsivitas dalam urgensi negatif dan positif serta adanya depresi yang dirasakan oleh penjudi. Kemudian berdasarkan aspek interpersonal, kecanduan judi online disebabkan adanya norma di dalam kelompok judi online di ruang digital. Studi-studi terdahulu tersebut belum mengeksplorasi lebih dalam mengenai aspek sosiologis terkait relasi mahasiswa dengan aktan lain, baik itu aktan manusia ataupun non-manusia yang dapat mendorong mereka menjadi kecanduan terhadap judi slot online. Melalui penerapan Actor-Network Theory (ANT), peneliti berargumen bahwa kehadiran berbagai aktan seperti kerabat, kemenangan, uang, kekalahan, waktu luang, fitur visual, suara, dan free spin memberikan kontribusi baik itu sebagai perantara ataupun mediator yang memberikan terjemahan kepada mahasiswa dalam membentuk dan menguatkan jaringan kecanduan judi slot online. Selain itu, penciptaan jaringan kecanduan judi slot online yang stabil terjadi karena proses adaptasi yang dilakukan oleh para aktan melalui empat tahapan translasi, yaitu problematisasi, interessement, pendaftaran, dan mobilisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan pengumpulan data melalui wawancara mendalam yang dilakukan terhadap mahasiswa yang mengalami kecanduan judi slot online dan observasi digital terhadap situs judi slot online.

This study aims to explain the relationship between students and actant behind online slot gambling addiction what happened to students. Previous studies discussing online gambling addiction can be mapped into two, namely based on intrapersonal aspects and interpersonal aspects. Based on the intrapersonal aspect, online gambling addiction due to impulsivity in negative and positive urgency as well as the presence of depression felt by gamblers. Then based on the interpersonal aspect, online gambling addiction due to norms in the gambling group online in the digital space. These previous studies have not explored more deeply the sociological aspects related to student relations with other actants, both human and non-human actant that can encourage them to become addicted to online slot gambling. Through the application of Actor-Network Theory (ANT), the author argues that the presence of various actants such as relatives, wins, money, losses, free time, visual features, sound, and free spins contribute either as intermediaries or mediators who provide translations to students in forming and strengthening the online slot gambling addiction network. In addition, the creation of a stable online slot gambling addiction network occurs due to the adaptation process carried out by actants through four stages of translation, namely problematization, interessement, enrollment, and mobilization. This study uses a qualitative approach by collecting data through in-depth interviews conducted with students who are addicted to online slot gambling and digital observation of online slot gambling sites."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditha Anjani Nabiilah
"Latar Belakang: Kecanduan smartphone baru-baru ini mendapat perhatian ilmiah yang meningkat sebagai potensi kecanduan perilaku. Perilaku adiktif secara tradisional telah dikaitkan dengan citra diri yang rendah. Langkah pertama menuju mitigasi konsekuensi kecanduan smartphone adalah deteksi dini, dan itu harus mempertimbangkan faktor risiko individu; citra diri adalah salah satu faktor risiko tersebut. Citra diri adalah penilaian individu secara keseluruhan atas nilai atau nilai seseorang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara citra diri dan kecanduan smartphone di kalangan mahasiswa di Jakarta, Indonesia.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dan menggunakan teknik simple random sampling. Rosenberg Self-Esteem Scale versi Indonesia dan Smartphone Addiction Scale versi Indonesia digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Uji korelasi pearson dilakukan untuk mengetahui hubungan antara citra diri dengan kecanduan smartphone, sedangkan analisis regresi logistik multivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara faktor demografi, pola penggunaan smartphone, dan kerentanan terhadap kecanduan smartphone.

Hasil: Analisis data menunjukkan nilai signifikansi (p =<0.05, r =-0,345), hal ini berarti tingkat citra diri berkorelasi negatif dengan kecanduan smartphone. Temuan menunjukkan bahwa citra diri yang rendah merupakan ciri penting dari kecanduan smartphone. Mayoritas dari 192 peserta ditemukan memiliki tingkat citra diri rata-rata (72,3%). Mayoritas peserta menggunakan smartphone lebih dari 6 jam setiap hari (74,2%). Rata-rata usia pertama kali menggunakan smartphone adalah 10,69 tahun (SD = 1,99). Sebagian besar responden menggunakan smartphone untuk berkomunikasi dengan orang lain (63,2%) dan mengakses media sosial (16,1%). Usia partisipan, jenis kelamin, usia pertama kali menggunakan smartphone, durasi penggunaan smartphone setiap hari, dan tujuan utama penggunaan smartphone tidak memengaruhi hubungan tersebut.

Konklusi: Secara keseluruhan, studi ini membuktikan bahwa ada korelasi negatif lemah yang signifikan antara citra diri dan kecanduan smartphone. Selain itu, studi ini menekankan pentingnya mengatasi citra diri dan keyakinan inti yang sesuai dalam pencegahan dan pengobatan kecanduan smartphone.


Background: Smartphone addiction has recently received increased scientific attention as a potential behavioral addiction. Addictive behaviors have traditionally been associated with low self-esteem. The first step toward the mitigation of the smartphone addiction consequences is early detection, and it should take individual risk factors into consideration; self-esteem is one such risk factor. Self-esteem is individual's overall assessment of one's worth or value. The goal of this study is to examine the correlation between self-esteem and smartphone addiction among university students in Jakarta, Indonesia.

Methods: The research study adopted a cross-sectional research design and used a simple random sampling technique. The Indonesian versions of the Rosenberg Self-Esteem Scale and the Smartphone Addiction Scale were used to measure the study variables. Pearson correlation test was conducted to acknowledge the correlation between self-esteem and smartphone addiction, while multivariate logistic regression analysis was conducted to examine the relationships between demographic factors, patterns of smartphone use, and vulnerability to smartphone addiction.

Result: Data analysis shows significance value (p =<0.05, r =-0.345), this means the level of self-esteem is negatively correlated with smartphone addiction. The findings show that low self-esteem is an important hallmark of smartphone addiction. A majority of 192 participants were found to have average self-esteem level (72.3%). The majority of participants use smartphone more than 6 hours daily (74.2%). The average of age at first smartphone use was 10.69 years (SD = 1.99). Most of the respondents used smartphone to communicate with other people (63.2%) and access social media (16.1%). Participant’s age, gender, age at first smartphone use, duration of daily smartphone use, and primary purpose of smartphone use did not moderate the association.

Conclusion: Overall, this study proves that there is a significant weak negative correlation between self-esteem and smartphone addiction. Moreover, our findings emphasize the importance of addressing self-esteem and corresponding core beliefs in the prevention and treatment of smartphone addiction."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Masdalina
"Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) merupakan salah satu masalah besar dan kebanyakan terjadi pada kelompok usia produktif yang sampai saat ini belum dapat diatasi. Pada tahun 2001 pengguna Napza di Indonesia mencapai lebih dari 2 juta jiwa dengan kematian akibat Over Dosis sebanyak 17.16 %. Sebagian besar pengguna yaitu 1.3 juta jiwa tinggal di wilayah Jakarta dan diperkirakan 35 % siswi SMU dari 64 sekolah di Jabotabek ditemukan sebagai pengguna berat dan pengedar Napza.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat berapa besar kontribusi penggunaan tehnik parenteral terhadap kejadian terpapar virus Hepatitis B dan C pada populasi pengguna Napza di Pusat Pemulihan Napza di wilayah Jabotabek. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan cross sectional, dengan jumlah sampel 201 orang di dapat dari catatan medis penderita yang dirawat dari Januari - November 2001.
Hasil penelitian didapatkan Prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis B sebesar 43.6% dan prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis C sebesar 69.1%, untuk hubungan kejadian terpapar virus Hepatitis B didapatkan hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis B setelah dikontrol variabel lain dengan risiko 2A68 (CI 0.893-5.262). Untuk Hepatitis C ada hubungan bermakna secara statistik antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis C setelah dikontrol variabel lain dengan risiko lebih tinggi yaitu 37.334 kali lebih tinggi (CI 12.455 - 11L911). Dapat disimpulkan bahwa tehnik parenteral memberikan kontribusi sebesar 44.7 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis B dan 92 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis C.
Saran yang diberikan berupa : informasi tentang bahaya penggunaan Napza dan bahaya tambahan dari penggunaan jarum suntik dan alat sayat (tehnik parenteral) bersama-sama, gerakan lintas sektor untuk meminimasi distribusi dan utilisasi Napza, saat ini kita mungkin harus mulai terbuka untuk membuat klinik-klinik khusus yang dapat mengakomodasi kepentingan pengguna melalui kontrol terhadap pemakaian dan tehnik penggunaan terutama untuk pengguna lama yang sulit direhabilitasi dan untuk pengguna kambuhan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah memperkuat fungsi dan peran keluarga agar keluarga dapat melakukan deteksi dini terhadap tanda-tanda penggunaan Napza untuk mencegah penggunaan berlanjut.
Daftar bacaan: (1976 - 2001)

Contribution of Parenteral Technique due to Hepatitic B and Hepatitic C Viral Expose at Drug Users in Centre of Rehabilitation 2001Narcotics, Psychotropic and others addictives (NAPZA) abuse problem is one of the biggest problems and it's happen to productive period in life and have not solved yet. In 2001 there is more than 2 million people use NAPZA with 17.16% mortality caused over dose. A lot of drug users about 1.3 million people live in Jakarta and estimated at 35% of them are SMU students from 64 schools in Jabotabek as chronic users and seller.
Objective for this research to know contribution of parenteral technique due to Hepatitic B and C Viral expose at drug users population whom rehabilized in centre of rehabilitation in Jabotabek. This research use cross sectional design, sample size 201 users have been rehabilized, collecting data come across Laboratories examinations and justify with medical diagnose in medical records.
Results from this research are Prevalence rate for Hepatitic B viral expose occur to 43.6% and Prevalence rate for Hepatitic C viral expose occur to 69.1%. There are not significant relationships between parenteral techniques to be Hepatitic B Viral expose after controlled by another variables with 2.168. 95% CI (0.893-5.262) and There are a significant relationships between parenteraI technique to be Hepatitic C Viral expose after controlled by another variables with 37. 95% CI (12.55-111.911). Conclusion for this research are : Parenteral technique gives 44.7 % contribute to Hepatitic B viral ekspose and 92% contribute to Hepatitic C viral expose.
Suggestion of this research are: Give right information about effect using NAPZA and addictive hazard from use parenteral technique and laserate aids together. Intersector action to minimize distribution and utilization drugs. Today we must be make specialize clinics to accommodate users by control about using and parenterel technique to chronical users and relapse users. But one of very important thing are makes family function and role to early detection the symptom of using drugs to prevent chronic users.
References: 30 (1976-2001)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrus
"Fenomena penyalahgunaan Narkoba di Indonesia sudah cukup menghawatirkan, terutama di kota-kota besar jumlah penyalahguna secara siginfikan mengalami peningkatan lebih dari 3,3% setiap tahunnya (data BNN, 2004). Sehingga diperlukan sebuah intervensi guna mengendalikannya, seperti dalam bentuk pemberantasan dan penanggulangan terpadu dalam segenap aspek baik dari segi pencegahan, penegakan hukum maupun upaya-upaya terapi rehabilitasi. Pembinaan terhadap narapidana khusus Narkoba sebagai salah satu WBP yang dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), merupakan suatu alternatif yang mutlak pelaksanaannya, apabila upaya Penanggulangan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) ingin berhasil, di samping adanya upaya-upaya lain dibidang pencegahan dan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Dalam penempatan, perawatan dan pembinaan terhadap narapidana khusus Narkoba, tidak dapat disamaratakan dengan narapidana tindak pidana konvensional lainnya (seperti perampokan, pencurian dengan pemberatan dan kejahatan dengan kekerasan lainnya). Namun demikian keberadaan Lapas Khusus Narkotika di Indonesia masih sangat terbatas, baik secara kuantitas maupun kualitas operasionallpelayanannya; sehingga banyak narapidana khusus Narkoba yang di tempatkan di dalam Lapas-lapas yang diperuntukkan bagi narapidana tindak pidana konvensional. Lapas Klas IIA Bogor merupakan salah satu Lapas yang mempunyai kategori fungsi ganda tersebut.
Keefektifitasan sebuah Lapas mensyaratkan bagi adanya keterpaduan antara budaya, strategi, lingkungan dan teknologi organisasinya; dan semakin kuat suatu budaya organisasi, maka semakin panting bagi adanya kecocokan terhadap variable-variabel tersebut. Karena keberhasilan sebuah Lapas akan terwujud apabila terdapat keterpaduan ekrternal - budaya yang terbentuk sesuai dengan strategi dan lingkungannya; dan keterpaduan internal - budaya organisasi disesuaikan dengan teknologi yang digunakan (Robbins, 1994 : 484). Dengan kata lain keefektifan sebuah Lapas sangat tergantung dari kecocokan kebudayaan/struktur normative yang menjadi kaidah organisasi dalam mempertahankan eksistensi organisasi secara internal dan kemampuannya berintegrasi dengan Iingkungan eksternalnya (Yuchman dan Seashore, 1967). Di sisi lain, keefektifan suatu Lapas juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengidentifikasikan dan menilai pola referensi konstituensi yang panting serta sejauh mana kualitas layanan yang dapat diberikan untuk memenuhi tuntutan konstituensinya tersebut (Miles, 1982).
Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, penilitian ini berusaha mengungkap budaya organisasi Lapas Klas IIA Bogor, dan kualitas layanan pembinaan terhadap narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan. Indikator penelitian budaya organisasi, akan menggunakan tujuh karakteristik primer organisasi (Chatman dan John, 1994), yang mencakup inovasi dan pengambilan risiko, perhatian pada rincian, orientasi pada hasil, orientasi pada orang, orientasi pada tim, tingkat keagresifan, dan tingkat kemantapan. Sedangkan indikator kualitas layanan pembinaan, akan menggunakan lima dimensi kualitas layanan yang dikemukakan Parrasurahman, Zeithaml, dan Berry (1988), yaitu aspek penampilan fisik (tangible), keandalan (reliability), tingkat ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (emphaty).
Populasi penilitian budaya organisasi adalah petugas Lapas Klas IIA Bogor. Sedangkan populasi penelitian kualitas layanan pembinaan, hanya mencakup narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan. Pengambilan jumlah sampel digunakan tabel penentuan jumlah sampel yang dikembangkan Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5%. Adapun instrumen penelitian menggunakan kuisioner yang dikembangkan melalui menjabarkan dari indikator-indikator setiap variabel, dengan merujuk skala pengukuran Likert. Selanjutnya data terkumpul diuji validitas dan realibilitasnya, serta dianalisis berdasarkan frekuensi, median, dan modus untuk mendeskripsikan setiap variabel penelitian. Dalam menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap kualitas layanan narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney U (U test); kemudian analisis perbedaan antara kualitas layanan pembinaan terhadap narapidana Narkoba dengan narapidana pencurian dengan kekerasan, melalui Uji Wilcoxon Signed Ranks Test.
Hasil penelitian dengan derajad kebenaran 99%, menunjukkan bahwa budaya organisasi Lapas Klas Bogor tergolong kategori kuat (skor 72%); sedangkan kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba 70% telah terpenuhi dari yang diharapkan (gap 30%), dan narapidana pencurian dengan kekerasan 79% telah terpenuhi dari yang diharapkan (gap 21%), sehingga kedua kualitas layanan pembinaan tersebut termasuk dalam kategori kualitas tinggi. Analisis korelasi menunjukkan, bahwa tidak ada pengaruh budaya organisasi yang psoitif dan signifikan terhadap kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba, dan sebaliknya terdapat pengaruh budaya organisasi yang psoitif dan signifikan terhadap kualitas layanan pembinaan narapidana pencurian dengan kekerasan. Analisis komparasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang positif dan signifikans antara kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba dengan kualitas layanan pembinaan narapidana pencurian dengan kekerasan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Mustikarini
"Penelitian ini meneliti tentang motivasi ex-user untuk tetap bersih dari narkoba. Jumlah subyek pada penelitian ini adalah empat orang. Kriteria subyek adalah seorang ex-user yang sudah menjalani minimal 5 tahun bersih total dari narkoba, hal ini berdasarkan metode tehnik purposive sampling yang digunakan penelitian ini. Tehnik pengambilan data dilakukan dengan interview dan digali lebih dalam dengan probing. Tinjauan pustaka yang dilakukan penelitian ini mencakup teori-teori dan penelitian-penelitian tentang persepsi, motivasi dan goal setting. Hasil dari penelitian ini adalah, pengenalan masalah yang dihadapi pada periode masih tergantung pada narkoba waktu dulu dapat merubah persepsi subyek tentang narkoba dan persepsi diri. Kondisi tersebut meningkatkan motivasi mereka untuk menjaga diri tetap clean dari narkoba. Perubahan persepsi yang terjadi pada ex-user dapat membantu mereka untuk menetapkan dan memantapkan tujuan yang mereka ingin capai, hal ini memotivasi diri mereka untuk tetap bersih total dari narkoba.

The aim of the study was to investigate ex-users? motivation due to keep their self clean from drugs relapses. Ex-users? perception and goal setting had been tested regarding their motivation in facing drugs? addiction and craving after their processed 5 years life clean without drugs. The study categorized as qualitative study, used purposive sampling method and interview collected data. They were 4 participants in the study. Perception, motivation and goal setting research had been reviewed from previous study. The study found that perceptions change toward drugs influence and enhance participants? goal setting. These were increase participants? motivation. These were also increase participants? health care behavior in maintaining self motivation and goal setting to keep them self clean forever from drugs."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S2428
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Somar
Jakarta: Grasindo, 2001
362.293 LAM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Somar
Jakarta: Grasindo, 2001
362.293 LAM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>