Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Risdi Martono
Abstrak :
Penataan kelembagaan Lembaga Non Struktural (LNS) merupakan salah satu program dalam Reformasi Birokrasi, yang dilakukan dengan mengambil langkah melakukan evaluasi kelembagaan LNS dengan hasil akhir rekomendasi penggabungan, penghapusan dan konsolidasi kelembagaan demi mewujudkan LNS yang right sizing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan status Depanri sebagai LNS dalam sistem ketatanegaraan RI dan menjelaskan proses penataan kelembagaan yang dilakukan pemerintah serta implikasi penggabungan Depanri kedalam Instansi serumpun. Penelitian dilakukan dengan menganalisa karakteristik Depanri dengan menggunakan teori pemisahan kekuasaan dan lembaga/organ negara serta mengkaji implikasi penggabungan Depanri ke Lapan dan Kemenristek menggunakan ketentuan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi masing-masing Instansi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa proses dan tahapan penataan kelembagaan LNS belum didasarkan pada grand design penataan kelembagaan-reformasi birokras. Selain itu rekomendasi penggabungan Depanri ke Instansi serumpun belum dilakukan pengkajian secara mendalam terkait potensi untuk mengoptimalkan peran Depanri, dengan terlebih dahulu meneliti faktor apa saja yang menyebabkan Depanri tidak optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini menyebabkan in-efisiensi dan in-efektifitas dalam pelaksanaan integrasi kelembagaan. Agar kebijakan penataan kelembagaan LNS khususnya Depanri dapat mewujudkan efisiensi dan efektifitas kelembagaan, maka perlu adanya kajian yang mendalam sebelum rekomendasi penggabungan dikeluarkan dan alternatif pembentukan Tim Ad Hoc yang menjalankan tugas dan fungsi Depanri menjadi pilihan yang perlu dipertimbangkan guna mewujudkan kelembagaan negara yang right sizing.
The management of Non Structural Institutions (LNS) is one of some programs in Birocracy Reform that be done by taking a step in doing evalution of LNS institutioalship by the end result : the recommedation of combination, abolition and consolidation of institution for realizing LNS which right sizing. The purpose of this research is in order to describe status of Depanri as LNS in system of management of the country of RI and to describe the procesas of management of instritutions that be done by government and also the implicatio of combination of Depanri in to the same institution The researh be done by analyzing the characteristic of Depanri by usin theory of authority separation and institution/organ of country and also to learn the implication of combination of Depanri into Lapan and Kemenristek use the rule of regulation that related to the task and function of each institution Base on the result of research can be said whereas the process and the step of management of LNS institution do not based to grand design of management of institution - Birocracy Reform. Beside that the recomendation of combination of Depanri into the same institution do not be done yet about the learning in depth related to the potency for optimalize the role of Depanri, by observing first the factor of the cause of Depanri which is not optimal in operating its task and finctions. This matter make in-effciency and in-efectifity in implementing the intefration of institution. In order that the policy og management of LNS institution specially for Depanri can realize \efficiency and effektifity of institution, so that it is important about the existence of in depth learning before the recommendation of combination be released and alternative of the establishing Ad Hoc Team that operate the task and function of Depanri become the alternative that important to be considered on order to realize the country institution which right sizing.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Handy Nurrachman
Abstrak :
Tesis ini membahas reformasi birokrasi bidang tata laksana terkait standar operasional prosedur di lingkungan Kementerian Sosial. Tesis ini menggunakan metode peneilitian yuridis normatif. Bagaimana kebutuhan PNS di lingkungan Kementerian Sosial penggunaan SOP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 32 Tahun 2012 serta bagaimanakah hukuman yang sebaiknya diterapkan terhadap pelanggaran SOP berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010? Keberadaan SOP bagi PNS merupakan pedoman dan panduan dalam melaksanakan kegiatan secara lebih efektif dan efisien. Keberadaan SOP tersebut membuat pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh PNS menjadi lebih terukur dan dapat dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaannya. SOP yang telah disusun dan ditetapkan tersebut juga sebagai pelindung bagi aparatur bagi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya tuduhan melakukan penyelewengan. Hukuman yang diterapkan terhadap pelanggaran SOP adalah hukuman disiplin yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 dengan melihat seberapa besar dampaknya terhadap organisasi. Kementerian Sosial perlu menyusun perencanaan yang lebih matang dan terintegrasi lintas sektor. Selain itu Kementerian Sosial juga perlu mengadakan sosialisasi dan internalisasi terkait SOP secara reguler dan periodik.
This thesis discussed bureaucracy reform in Ministry of Social Affairs related to standard operational procedures. This thesis used normative juridicial research. How is the need of civil servants in the Ministry of Social Affairs using SOP as regulated in the Regulation of the Minister of Social Affairs No. 32 of 2012 and how the penalties should be applied to the violation of SOP rsquo s based on Goverment Regulation No 53 of 2010 The existence of SOP is a guide of for more effectivly and efficiently civil servant activities. With the presence of SOP the civil servants acitivies become more measurable and evaluatable. SOP could be protector for civil servant for the posibility of allegations abuse. The penalty could be applied to SOP violation based on the disciplinary punishment which refers to Government Regulation Number 53 of 2010 by seeing how bid its impact to the organization. The Ministry of Social Affairs needs to develope a more mature and integrated plan among sectors. In addition, the Ministry of Social Affairs also needs to hold socialization and internalization related to SOP regularly and periodically.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49436
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Eka Pramana
Abstrak :
Bentuk birokrasi Indonesia yang cenderung hierarkis, kaku, serta lamban dalam merespon kebutuhan masyarakat menjadi alasan utama dikeluarkannya kebijakan penyederhanaan birokrasi. Penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional adalah salah satu bagian proses penyederhanaan birokrasi sesuai dengan Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia tahun 2010-2025 yang kemudian secara spesifik dijabarkan dalam Roadmap Reformasi Birokrasi tahun 2020-2024. Implementasi penyetaraan jabatan di lingkup pemerintahan daerah dalam prakteknya banyak menemui tantangan dan masalah yang beragam, termasuk di Pemerintahan daerah kabupaten Ogan Komering Ilir. Adapun permasalahan yang diangkat berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan penyederhanaan birokrasi melalui penghapusan eselon III dan eselon IV di lingkungan pemerintahan daerah dan pelaksanaan penyetaraan jabatan di kabupaten Ogan Komering Ilir dikaji dalam perspektif adminitrasi publik dan teori Neo-Weberian State. Metode analisis menggunakan pendekatan doktrinal dengan didukung data wawancara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada prinsipnya penyetaraan jabatan merupakan sebuah kongkretisasi dari paradigma baru hukum administrasi publik dan memiliki korelasi yang sesuai dengan teori Neo Weberian State dari Pollit dan Bouckheart. Akan tetapi terdapat kompleksitas dalam pelaksanaannya ditingkat pemerintahan daerah berkaitan dengan tantangan terkait kualifikasi dan kecocokan jabatan, perubahan budaya organisasi dan resistensi terhadap perubahan. Penyetaraan Jabatan di pemerintahan daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam pelaksanaanya ditemui beberapa kendala. Pertama, sulitnya menemukan nama jabatan fungsional yang sesuai dengan tugas dan fungsi jabatan yang diduduki ataupun latar belakang Pendidikan yang dimilki. Kedua, motivasi pejabat hasil penyetaraan yang masih rendah berkaitan dengan pemahaman mengenai tugas dan fungsi sebagai pejabat fungsional seutuhnya, terlebih pejabat fungsional hasil penyetaraan masih menjalankan tugas koordinasi selayaknya pejabat administrasi sebelumnya. Ketiga, rendahnya informasi yang tersedia mengenai peningkatan kompetensi pejabat fungsional di lingkungan pemerintahan daerah. ......The hierarchical, rigid, and slow-responsive nature of Indonesia's bureaucracy serves as the primary rationale for the issuance of bureaucracy simplification policies. The alignment of administrative positions into functional roles constitutes a pivotal facet of the bureaucratic streamlining process in accordance with the Grand Design of the Indonesian Bureaucratic Reform spanning from 2010 to 2025, subsequently detailed in the Bureaucratic Reform Roadmap for the years 2020-2024. The practical implementation of position alignment within local government entities encounters diverse challenges and issues, notably in the Ogan Komering Ilir Regency. The issues addressed pertain to the execution of bureaucratic simplification policies through the elimination of echelons III and IV in the local government structure and the execution of position alignment in the Ogan Komering Ilir Regency, scrutinized from the perspectives of public administration and Neo-Weberian State theory. The research methodology employed is doctrinal research, complemented by interview data. The findings of this study indicate that, fundamentally, position alignment embodies a concretization of the new paradigm in public administrative law and correlates appropriately with the Neo-Weberian State theory propounded by Pollit and Bouckaert. Nevertheless, complexities arise in its implementation at the local government level, particularly concerning challenges related to job qualifications and appropriateness, organizational cultural shifts, and resistance to change. The execution of position alignment in the Ogan Komering Ilir Regency encounters several impediments. Firstly, the difficulty in identifying functional position titles commensurate with the duties and functions of the occupied positions or the educational background of the incumbents. Secondly, the low motivation of officials resulting from position alignment, rooted in a limited understanding of the duties and functions as full-fledged functional officers, especially when these officials continue to perform coordination duties akin to their previous administrative roles. Thirdly, the scarcity of information available regarding the enhancement of competencies for functional officers within the local government milieu.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudiman
Abstrak :
Relasi birokrasi dengan politik di Indonesia selalu mengalami Huktuatif. Pada masa Orde Baru, dengan kebijakan monoloyalitasnya, mesin birokrasi (baca: PNS) senantiasa dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk melakukan mobilisasi politik, dalam rangka mcndukung kekuatan status quo. Setelah rezim Orde Baru jatuh, dan digantikan oleh era reformasi tahun 1998, terjadilah perubahan sistem politik yang sangat fundamental, terutama menyangkut hubungan pusat dan daerah. Dari pola yang sentralistik, menjadi lebih otonom dan terdesentralisasi. Demikian juga dengan pemilihan kepala daerah yang semula dipilih oleh DPRD, menjadi dipilih Iangsung oleh rakyat. Perubahan ini disatu sisi memberikan arti positif yaitu untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, tetapi disisi lain adalah terfragmentasikannya PNS kedalam kepentingan politik praktis. Penelitian disertasi ini berupaya melihat bagaimana pelaksanaan dari netralitas birokrasi dalam kontestasi politik lokal yaitu pemilihan kepala daerah pasca Orde Baru. Studi kasus yang dipilih adalah pemilihan Gubemur Sulawesi Selatan dan Gubernur Banten. Permasalahan utama yang ingin diketahui adalah (i) Bagaimana implementasi netralitas PNS dalam pilkada Sulsel dan Banten, (ii) apa bentuk terjadinya pelanggaran netralitas PNS dalam Pilkada Sulsel dan Banten, dan (iii) apa dampak dari pelanggaran netralitas PNS terhadap (i) hasil Piikada, (ii) pelayanan publik, dan (iii) perubahan jabatan structural di kedua provinsi tersebut. Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), sludi dokumentasi (library research), Focused Group Discussion (FGD), dan media review. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pada kedua kasus Pemilihan Gubernur di Sulawesi Selatan dan Banten, hampir semua mesin birokrasi selalu dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya. PNS banyak melakukan pelanggaran dan terlibat dalam politik praktis, sehingga hasil pilkada menuai gugatan dan menyebabkan tidak berjalannya sistem pembinaan pegawai (merit sysrem) Serta tidak optimalnya pelayanan publik. Ada faktor intemal yang mempengaruhi netralitas birokrasi yaitu sentimen primordialisme, logika kekuasaan. Secara ekstemal adalah adanya ambiguitas regulasi yang membuat birokrasi menjadi tidak netrai dan independen. Faktor primordialisme lebih kepada kedekatan etnisitas, kesukuan dan agama. Sedangkan faktor Iogika kekuasaan dikarenakan adanya ketidakpastian sistem dalam penjenjangan karir seorang PNS. Ada sebuah spekulasi politik dan kekuasaan yang diharapkan dari PNS yang memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada, yaitu akan meningkatkan karir di birokrasi ketika calon yang didukung menang. Hal yang sama juga terjadi dalam pilkada Banten, dimana ada shadow stare yaitu kekuatan diluar birokrasi yang mampu mengendalikan birokrasi. Kekuatan dominan muncul dari kelompok jawara dan pemilik modal yang memilki akses politik dengan pusat kekuasaan. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa liberalisasi dan reformasi politik, ternyata tidak diikuti oleh reformasi perubahan ditingkat regulasi. Pada satu sisi PNS diharapkan bersikap professional, akan tetapi dalam penjenjangan karirnya, karir PNS sangat ditentukan oleh pejabat Pembina PNS, dalam hal ini Gubernur, Bupati atau Walikota. Sementara mereka kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme politik. Oloh sebab itulah kepala daerah torpilih dari partai politik, memiliki kekuasaan yang sangat kuat (powerfull authority) untuk menarik PNS dalam politik praktis. Faktor budaya politik dan budaya birokrasi di Indonesia temyata tidak sejalan dengan proses liberalisasi politik dan system demokratisi secara langsung. Pada masyarakat yang masih menganut patronase politik dan budaya feodalislik, netralitas birokrasi monjadi sesuatu yang sangat utopia. Pola hubungan patron-client serta politik balas jasa, membuat posisi PNS menjadi lebih mudah torkooptasi oloh kepentingan polilik rezim tingkat lokal. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah dekonstruksi konsop birokrasi tentang makna profesionalitas, netralitas, rasionalitas. Konstruksi teoritik Weber tentang birokrasi yang sangat ideal, seolah menatlkan adanya intervensi politik. Padahal birokrasi yang ada seringkali dihasilkan dari proses politik. Sedangkan konsep Carino tentang ascendancy dan sublasi birokrasi, Iebih realistis dan empiris dalam melihat persoalan birokrasi. Carino mellhat bahwa birokrasi tidak steril dari intervensi politik, karena birokrasi merupakan produk dari proses politik melalui mandar pemilihan. Oleh sebab itu pejabat politik dalam sebuah birokrasi dari sebuah produk mandat pemilihan, akan membuat birokrasi berada dalam posisi tarik menarik dengan kepentingan politik. Hasil penelitian ini secara khusus menegaskan bahwa sebuah modernitas dalam kultur budaya birokrasi dan budaya politik masyarakat seperti yang dipahami dan diterapkan oleh negara maju, ketika diimplementasikan pada negara berkembang dengan segala dinamika internalnya, harus mengalam re-intepretasi dan indegeneisasi. Ada konteks dan nilai-nilai lokalitas yang mempengaruhi makna netralitas birokrasi. ......The relationship between bureaucracy and politics in Indonesia always fluctuates. ln the New Order Era with mono loyalty policy, the bureaucratic machine was constantly manipulated by the ruling regime to conduct political mobilization in order to support the status quo. Alter the fall of the New Order regime, the Refomt Era reigned in 1998 with fundamental changes occurring in political system, particularly those concerning with the relationship between the central and local government, from centralistic to a more autonomous and decentralized system. Similarly, the local leaders were previously elected by the Regional House of Representatives, but they are now elected directly by their constituents. On one hand the change gives a favorable meaning that is to increase society?s political participation, the civil servants, on the other hand, are fragmented into practical political interest. This dissertation endeavored to see to what extent the neutrality of bureaucracy in the local political contest, that is, the election of local leaders post the New Order regime. The opted case study was the Govemor?s election in South Sulawesi and Banten. The main issues to address wcrc: (i) what factors influenced the civil servants? neutral behavior in the political contest at local level, (ii) what l`om1 were civil servants? biases, and (iii) what were the impacts of the civil servants? biases towards (i) results of local leaders? election, (ii) public services, and (iii) the change in structural positions in those two provinces. This research used qualitative approach. The data were collected by using such techniques as in-depth interview, library research, focus group discussion, and media review. The results of this study elaborated that nearly all bureaucratic machines in both cases of Govemcrs? election in South Sulawesi and Banten were manipulated by the rulers to prolong their authority. The were so many civil servants breaking the rules and involving in the practical politics that the results of regional leaders' election were claimed. This made the civil servant?s career development with the merit system could not be implemented. There were internal factors influencing the neutrality of bureaucracy, such as primordial sentiment, the logic of power. Externally, there were ambiguous regulations that made the bureaucracy bias and independent. The primordial factors inclined towards the proximity of ethnics, race and religions. Whereas the logical power was applied because there was the inconsistent system in the civil service career path. There was a political and power speculation from the side of civil servants who were expected to provide political support to the contestant of the local leaders? election, that is, the feasibility of improving their career in the bureaucracy when their candidates won. Similarly, Banten had shadow state, namely, the power outside bureaucracy that was able to control bureaucracy. The dominant power emerged from groups of the "jawara? and investors that possessed political access to central power. The research also elaborated that political liberalization and reform was, in fact, not followed by the reform at regulation level. On one hand the civil servants were expected to have professional attitude in their career path. On the other hand, they are very much dependent on the civil service authorized officials, in this context, the Govemor, the Regent or the Mayor who are political officials elected by political mechanism. Therefore the elected local leaders Horn the political party hold a powerful authority to retain the civil servants in practical politics. Political and bureaucratic culture factors in Indonesia were, in fact, directly incompatible with the process of political liberalization and democratic system. In the society still adopting political patronage and feudalistic culture, bureaucratic neutrality remained very utopian. The relationship pattem of patron-client and in-return-favor politics made the civil servants? position vulnerable to be co-opted by the interest of political regime at local level. The theoretical implication of the research was the deconstruction ofthe concept of bureaucracy conceming with the meaning of professionalism, neutrality, rationality. Weber?s theoretical construction about bureaucracy is very ideal. lt seemingly ignores the availability of political intervention. The fact is that the bureaucracy is often produced by the political process. Carino?s concept about bureaucracy ascendancy and sublation is more realistic and empirical in viewing the bureaucratic issues. Carino understands that bureaucracy is not free from political intervention because bureaucracy is the product of political process based on the election mandate. Therefore, a political ofiicer in a bureaucracy elected based on election mandate makes the bureaucracy in the position of vulnerably being directed to meet the political interests. The results of this study particularly elaborated that modernization in the culture of bureaucracy and that of society politics as understood and applied by the developed countries had to undergo re-interpretation and indigenousness when implemented in the developing countries with all their intemal dynamics. There were contexts and local values that influenced the meaning of bureaucracy neutrality.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D978
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Natalia
Abstrak :
Pemerintah Indonesia melalui penyederhanaan birokrasi berusaha untuk mencapai birokrasi yang ramping, lincah, dan profesional. Penyederhanaan birokrasi merupakan perwujudan dari praktik delayering diterapkan di Indonesia melalui pengalihan jabatan administrasi ke jabatan fungsional, penyederhanaan struktur, dan penyesuaian sistem kerja baru. Namun, masih terdapat permasalahan yang dihadapi dalam penyederhanaan birokrasi, seperti pengalihan jabatan yang tidak sesuai sistem merit, struktur organisasi yang baru hanya formalitas, dan adanya ketidakpahaman terhadap esensi sistem kerja yang baru. Penerapan penyederhanaan birokrasi merupakan perwujudan perubahan kelembagaan. Penelitian bertujuan menganalisis dinamika proses penyederhanaan birokrasi di Indonesia dalam perspektif institutional formation. Penelitian ini menggunakan kerangka institutional formation yang menggambarkan hubungan antara aturan, aktor, dan konteks dalam formasi kelembagaan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interpretasi, intervensi, dan kontestasi aktor merupakan aspek paling memengaruhi dinamika penyederhanaan birokrasi sebab terdapat perbedaan interpretasi dari instruksi pimpinan sebagai cikal bakal kebijakan dan kontestasi aktif dari para aktor dalam mempertahankan kepentingan instansi masing-masing. Kemudian, ditemukan adanya hubungan konteks organisasi dan aturan terhadap dinamika penyederhanaan birokrasi. Dengan demikian, dinamika dalam penyederhanaan birokrasi dipengaruhi oleh aturan, aktor, dan konteks. ......The Indonesian government, through simplification of the bureaucracy, seeks to achieve a lean, agile and professional bureaucracy. The simplification of the bureaucracy is a manifestation of the delayering practice implemented in Indonesia through the transfer of administrative positions to functional positions, simplification of structures, and adjustments to new work systems. However, there are still problems encountered in simplifying the bureaucracy, such as transferring positions that are not in accordance with the merit system, the new organizational structure is only a formality, and there is a lack of understanding of the essence of the new work system. The application of bureaucratic simplification is a manifestation of institutional change. This study aims to analyze the dynamics of the bureaucratic simplification process in Indonesia from the perspective of institutional formation. This study uses an institutional formation framework that describes the relationship between rules, actors, and context in institutional formation. This research uses a qualitative approach. Data collection techniques using in-depth interviews and literature studies. The results of the study show that actors' interpretation, intervention, and contestation are the aspects that most influence the dynamics of bureaucratic simplification because there are different interpretations of the leadership's instructions as the forerunner of policies and active contestation from actors in defending the interests of their respective agencies. Then, it was found that there was a relationship between organizational context and rules on the dynamics of bureaucratic simplification. Thus, the dynamics in bureaucratic simplification are influenced by rules, actors, and context.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
302.35 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Thoha
Jakarta: Rajawali, 1991
351.001 MIF p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Kusuma Wardhani
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pelayanan publik yang disosialisasikan STAN kepada mahasiswa dan proses pembentukan nilai melalui praktek budaya sekolah. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembentukan nilai pelayanan publik melalui budaya sekolah di STAN, berimplikasi pada reproduksi aspek kepatuhan dan loyalitas berdasarkan jenjang hirarki wewenang dan hubungan formalisasi antar aktor di sekolah (STAN). Minimnya pengembangan budaya sekolah disebabkan inefektifitas jalur komunikasi oleh Lembaga STAN kepada mahasiswa, kemudian memberikan ruang terbentuknya subkultur. Subkultur yang terbentuk berorientasi pada kelompok kedaerahan dan iklim entrepreneurship di kalangan mahasiswa menjadi aspek produksi (kontra) terhadap karakter pegawai negeri sipil. Hal ini yang menjadi dinamika perubahan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Lembaga STAN di masa prajabatan pegawai negeri, terutama di Era Reformasi yang terbuka pada penyerapan nilai-nilai modern dan peran swasta bagi praktik pendidikan kedinasan (STAN). ......The aims of this study is describing public services values which had been socialized by STAN to students and explaining value construction process through school culture practice. The approach used in this study is a qualitative approach. Results of this study indicate that the process of construction the value of public services through school culture in STAN, affect for the reproductive aspects of obedience and loyalty based on the level of the hierarchy of authority and the formalization of relations among actors in the school (STAN). The lack of school because of ineffectiveness of cultural development of communication and coordination by the Institute of STAN to students which give a space formed subculture. Subcultures formed ethnic group-oriented and entrepreneurship climate is conceptualized as an aspect of production (contra) to the value and character of public service.This has become dynamics of changes in the values instilled by the STAN in the civil service, especially in the Reform Era to the absorption of modern values and the role of the private practice of education service (STAN).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Surat sangat identik dengan sebuah informasi yang di dalamnnya ada makna dan nilainya termasuk surat-surat kendaraan bermotor yakni SIM, STNK, BPKB dan sebagainya. Surat-surat kendaraan bermotor ini setiap saat mengendarai sebuah kendaraan motor milik kita atau dalam hal ini digunakan pribadi harus membawa surat-surat penting ini untuk kelengkapa sesuai yang tertera dalam Uu Lalu Lintas Nomor peraturan perundang-undangan 22 tahun 2009 Pasal 288 ayat (1) dan (2) yang mengatur, seseorang lupa membataanya, sanksi kuranganpaling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000 akan dikenakan bagi pelanggartya bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah dipidana dengan pidana kurangan paling lama satu bulan danatau denda paling hanyak Rp250.000.
JPAN 4:4 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Ahmad
Abstrak :
Revitalisasi kelembagaan birokrasi dilakukan guna mengembalikan birokrasi kepada fungsi dukungannya dengan dasar pencapaian Nawacita, penegakkan hukum dan peraturan perundangan dengan memperhatikan aspek dukungan politik dan legitimasi, serta duk ungan sumber-sumber daya organisasi. Revitalisasi yang dilakukan meliputi dimensi filosofi, paradigmatik, kelembagaan, ketatalaksanaan dan dimensi sumber daya manusia. Di sisi lain pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang dimandatkan oleh UUD 1945 yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, konstitutif dan auditif diselenggarakan dalam bentuk kelembagaan tinggi negara sesuai tugas dan fungsinya masing-masing yang dijalankan secara independen. Walaupun demikian, seluruh lembaga negara terkoneksi satu sama lain berdasarkan keeratan tugas dan fungsi yang saling melengkapi, maupun berdasarkan kesamaan karakteristik kelembagaan birokrasi dari masing-masing lembaga negara sebagai unit pemberi dukungan administratif dan teknis operasional.
Jakarta: Biro Hukum dan Komunikasi Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2018
320 JPAN 8 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>