Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Kurnia Eka Rusmiarti
Abstrak :
Pada sepsis terjadi inflamasi sistemik yang menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme hemostasis, yaitu, peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan antikoagulan alamiah, dan penurunan aktivitas fibrinolisis. Ketidakseimbangan ini bermanifestasi pada pembentukan trombus mikrovaskular yang menyebabkan perfusi jaringan menurun, terjadi disfungsi organ dan kematian. Tujuan penelitian ini mengetahui peranan kadar D-dimer, kadar FDP dan rasio FDP/D-dimer dalam memprediksi mortalitas 14 hari pada pasien sepsis. Penilaian skor Acute physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) digunakan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas. Desain penelitian potong lintang, penyajian data secara deskriptif. Subjek penelitian berjumlah 55 orang yang terdiri dari 32 laki-laki dan 23 perempuan dengan rerata usia 51,62 tahun. Pada subjek penelitian, dinilai korelasi kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II. Pada hasil penelitian, didapatkan 20 pasien hidup dan 35 pasien meninggal. Median kadar FDP (12,9μg/mL) dan kadar D-dimer (7μg/mL) subjek meninggal lebih tinggi dibandingkan median kadar FDP (10,9μg/mL) dan kadar D-dimer (5,2 μg/mL) subjek hidup. Median rasio FDP/D-dimer subjek meninggal (1,9) lebih rendah dibandingkan subjek hidup (2,1). Koefisien korelasi Spearman antara kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II berturut-turut 0,176, 0,187, dan -0,182. Ketiga korelasi itu secara statistik tidak bermakna (p ≥ 0,05). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer tidak dapat digunakan sebagai prognosis keluaran sepsis pada mortalitas 14 hari. ......Systemic inflamation in sepsis could leads to an imbalance homeostatic mechanisms including elevated coagulation activity, decreasing level of natural anticoagulant, and decreased fibrinolysis activity. This could leads to formation of microvascular thrombus which eventually will cause tissue hypoperfusion, organ dysfunction and death. The aim of this research is to understand the role of d-dimer and fibrin degradation products (FDP) and FDP/d-dimer ratio in predicting 14-days mortality rate on sepsis patient. The morbidity and mortality rate on this research were based on APACHE II scoring system. This is a cross sectional research and all data are presented in a descriptive report. Participant of this research was 55 people (32 male and 23 female), average age was 51,62 years old. This research evaluate the correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system. From all the participant we had 20 subject alive and 35 died during this research. The median level of FDP (12,9μg/mL) and d-dimer (7μg/mL) in those who die were higher than those who live (10,9μg/mL and 5,2 μg/mL). The median FDP/d-dimer ratio in those who die (1,9) was lower comparing to those who live (2,1). Spearman coefficient of correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system were 0.176; 0.187; and -0.182 repectively. This was not significant statistically (p ≥ 0,05). This research has come to a conclusion that FDP and d-dimer level, and FDP/d-dimer ratio cant be used as a prognostic outcome in sepsis on 14 days mortality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Kurnia Eka Rusmiarti
Abstrak :
Pada sepsis terjadi inflamasi sistemik yang menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme hemostasis, yaitu, peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan antikoagulan alamiah, dan penurunan aktivitas fibrinolisis. Ketidakseimbangan ini bermanifestasi pada pembentukan trombus mikrovaskular yang menyebabkan perfusi jaringan menurun, terjadi disfungsi organ dan kematian. Tujuan penelitian ini mengetahui peranan kadar D-dimer, kadar FDP dan rasio FDP/D-dimer dalam memprediksi mortalitas 14 hari pada pasien sepsis. Penilaian skor Acute physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) digunakan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas. Desain penelitian potong lintang, penyajian data secara deskriptif. Subjek penelitian berjumlah 55 orang yang terdiri dari 32 laki-laki dan 23 perempuan dengan rerata usia 51,62 tahun. Pada subjek penelitian, dinilai korelasi kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II. Pada hasil penelitian, didapatkan 20 pasien hidup dan 35 pasien meninggal. Median kadar FDP (12,9μg/mL) dan kadar D-dimer (7μg/mL) subjek meninggal lebih tinggi dibandingkan median kadar FDP (10,9μg/mL) dan kadar D-dimer (5,2 μg/mL) subjek hidup. Median rasio FDP/D-dimer subjek meninggal (1,9) lebih rendah dibandingkan subjek hidup (2,1). Koefisien korelasi Spearman antara kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II berturut-turut 0,176, 0,187, dan -0,182. Ketiga korelasi itu secara statistik tidak bermakna (p ≥ 0,05). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer tidak dapat digunakan sebagai prognosis keluaran sepsis pada mortalitas 14 hari. ......Systemic inflamation in sepsis could leads to an imbalance homeostatic mechanisms including elevated coagulation activity, decreasing level of natural anticoagulant, and decreased fibrinolysis activity. This could leads to formation of microvascular thrombus which eventually will cause tissue hypoperfusion, organ dysfunction and death. The aim of this research is to understand the role of d-dimer and fibrin degradation products (FDP) and FDP/d-dimer ratio in predicting 14-days mortality rate on sepsis patient. The morbidity and mortality rate on this research were based on APACHE II scoring system. This is a cross sectional research and all data are presented in a descriptive report. Participant of this research was 55 people (32 male and 23 female), average age was 51,62 years old. This research evaluate the correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system. From all the participant we had 20 subject alive and 35 died during this research. The median level of FDP (12,9μg/mL) and d-dimer (7μg/mL) in those who die were higher than those who live (10,9μg/mL and 5,2 μg/mL). The median FDP/d-dimer ratio in those who die (1,9) was lower comparing to those who live (2,1). Spearman coefficient of correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system were 0.176; 0.187; and – 0.182 repectively. This was not significant statistically (p ≥ 0,05). This research has come to a conclusion that FDP and d-dimer level, and FDP/d-dimer ratio cant be used as a prognostic outcome in sepsis on 14 days mortality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ahmad Anzali
Abstrak :
Latar Belakang: Perbaikan dalam sistem, teknologi, dan farmakoterapi telah mengubah prognosis secara signifikan pada pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMAEST) selama beberapa dekade terakhir. Sekitar sepertiga pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) berisiko mengalami no-reflow (NR), suatu kondisi yang ditandai dengan perfusi miokard yang buruk meskipun aliran koroner epikardial berhasil dibuka. NR berdampak signifikan pada luaran klinis termasuk luas infark yang lebih besar, gagal jantung, dan kematian. Peningkatan D-Dimer dan Fibrinogen berkaitan dengan meningkatnya risiko NR. Beberapa publikasi telah menyimpulkan rasio D-Dimer dan Fibrinogen (DFR) memiliki spesifisitas yang lebih baik. Belum ada penelitian yang menilai hubungan DFR dengan NR pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara DFR dengan perfusi mikrovakular koroner yang dinilai dengan Quantitative Blush Evaluator (QuBE) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Kami mengevaluasi 61 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakukan penilaian myocardial blush menggunakan QuBE. Sampel pemeriksaan D-Dimer dan Fibrinogen diambil saat admisi. DFR dinilai hubungannya dengan nilai QuBE yang dikategorikan menjadi dua kelompok (QuBE <9 dan ≥9 unit arbiter). Hasil: Pasien dengan DFR ≥0,149 berisiko untuk memiliki nilai QuBE <9 unit arbiter sebesar 18,32 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan DFR <0,149 (IK 95% 2,49-134,68; p 0.004). Nilai batas DFR 0,149 memiliki sensitivitas 54,5% dan spesifisitas 82% untuk menggambarkan no-reflow pasca-IKPP (AUC= 0,665). ...... Background : Improvements in systems, technology, and pharmacotherapy have significantly changed the prognosis of STEMI patient over the past few decades. Approximately one third of patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) are at risk for no-reflow (NR), a condition characterized by poor myocardial perfusion despite successful opening of epicardial blood flow. NR has significant impact on clinical outcomes including greater infarct size, heart failure, and death. Increased D-Dimer and Fibrinogen are associated with an increased risk of NR events. Several publications have concluded that the D-Dimer and Fibrinogen ratio (DFR) has better specificity. There are no studies that have assessed the relationship between DFR and NR in STEMI patients undergoing PPCI. Objective: This study aims to determine the association between DFR and coronary microvascular perfusion using the Quantitative Blush Evaluator (QuBE) in STEMI patients undergoing PPCI. Methods: We evaluated 61 STEMI patients who underwent PPCI and met the criteria for myocardial blush assessment using the QuBE program. D-Dimer and Fibrinogen examination samples were taken at admission. DFR was assessed for its association with the QuBE score results which were divided into two groups (QuBE <9 arbitrary units and ≥9 arbitrary units). Results: Patients with DFR ≥0.149 had a 11.26 times greater risk of having QuBE <9 arbitrary units than patients with DFR <0.149 (CI 95% 2,49-134,68; p 0.004). The DFR cut point of 0.149 had a sensitivity of 54.5% and a specificity of 82% for predicting NR (AUC= 0.665; p 0.019).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jusup Endang
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Pada era sebelum tindakan reperfusi, kadar fibrinogen merupakan faktor independen terhadap mortalitas pada pasien-pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen-ST (IMA-EST) dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang normal. Dan kemudian era reperfusi dikatakan obstruksi mikrovaskular merupakan salah satu faktor menyebabkan kejadian mayor kardiovaskular. Dengan kemajuan teknologi dibidang kardiologi kejadian dan besaran MVO dapat di ketahui secara akurat dan pada fase akut. Dari studi terbaru dikatakan bahwa indeks resistensi mikrovaskular memiliki hubungan positif terhadap MVO dibandingkan dengan magnetic resonance imaging. Dan diduga faktor hemostasis terutama kadar fibrinogen diduga memiliki peran yang penting terhadap kejadian obstruksi mikrovaskuler melalui mekanisme hiperkoagulasi dan embolisasi distal. Metode: Sebanyak 55 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sejak 15 Oktober 2013 – 31 Maret 2014. Fibrinogen diambil saat masuk UGD, penilaian indeks resisten mikrosirkulasi (IMR) diambil segera pasca IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17. Hasil: Dari lima puluh lima pasien yang masuk dalam penelitian didapatkan proporsi laki-laki 87,3%, dengan rerata umur pasien adalah 53,1+8,9 tahun. Faktor risiko penyakit jantung koroner yang paling besar adalah merokok yaitu 76,36. Semua pasien menjalani IKPP dengan waktu perfusi 89.04+37.114 menit dan waktu Iskemia 458,69+170,709. Nilai rerata IMR 55,2 + 47,454 dengan nilai rerata fibrinogen 350,80+103,190. Melalui diagram scattered plot didapatkan kadar fibrinogen memilliki kecenderungan yang terbalik terhadap IMR, dengan kekuatan hubungan yang lemah dan secara statistik tidak bermakna. ( r = - 0,137 ; p = 0,319 ). Kesimpulan: Kadar fibrinogen saat admisi tidak memiliki hubungan terhadap IMR pada pasien pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
ABSTRAK
Background: In no coronary reperfusion era, fibrinogen is known as an indepndent risk factor for cardiac mortality in acute myocard infract patient. And in revascularization era, microvascular obstruction (MVO) is associated with adverse ventricular remodelling and patient prognosis. With the advanced technology in cardiology, MVO can be detected accurately in the acute phase. In recent study index microcirculatory resistance (IMR) show a positive correlation with magnetic resonance imaging while detecting and counting severity of MVO. It is suspected that hemostatic factor mainly fibrinogen play an important role in MVO due to hypercoagulable state and distal embolization. Methode: 55 STEMI patients undergoing primary PCI were consecutively recruited from October 15th, 2013 to march 31th, 2014. The fibrinogen was withdraw at admission. We evaluate the IMR immediately after PCI done. Statistical analysis was done by SPSS 17. Results: From fifty-five patients included in the study, there were 87,3% men, with mean age 53,1±8.9 years old, and smoker show the biggest proportion compare with risk factor for coronary artery disease. All the patient undergo primary percutaneus coronary intervention with mean door to ballon time 89.04+37.114 minute and ischemia time 458,69+170,709 minute. Mean IMR was 55,2 + 47,454 and mean fibrinogen level was 350,8+103,19. From the scaterred plot fibrinogen prone to had a weak negatif correlation with IMR and statistically non significant (r = - 0,137 ; p = 0,319) Conclusion: There is no correlation between fibrinogen level and IMR value in STEMI patients that undergoing PPCI
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudio Agustino
Abstrak :
Sirosis hati adalah bentuk akhir perjalanan penyakit hati secara kronik dengan tanda klinis berupa kerusakan jaringan hati dan terbentuknya jaringan fibrosis serta nodul sehingga mengganggu fungsinya dalam menghasilkan albumin, protrombin, dan fibrinogen . Sirosis dapat dideteksi dan diklasifikasikan dalam 3 kelompok dengan teknik diagnostik non-invasif menggunakan skor APRI. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya perbedaan signifikan pada profil albumin, masa protrombin, dan fibrinogen dalam tingkatan sirosis hati berdasarkan klasifikasi dari skor APRI. Desain penelitian secara cross sectional dengan 60 pasien sesuai kriteria penelitian dari rekam medis laboratorium Patologi Klinik dan bagian pusat RSCM. Hasil penelitian dengan uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan kadar albumin, masa protrombin, dan fibrinogen median 2,.91 ;, 11,.8 ; , rata-rata 273,.7117 dan hasil dari uji Anova atau Kruskal Wallis memperlihatkan perbedaan bermakna antara ketiga kelompok hati berdasarkan skor APRI semua p. ......Cirrhosis is an end stage of chronic inflammatory disease with the destruction of liver tissue and fibrosis that impairs its function to synthesis albumin, prothrombin, and fibrinogen. Cirrhosis can be detected and classified into 3 groups with non invasive diagnostic technique by using APRI score. This study aims to find out the significant difference between albumin, prothrombin time, and fibrinogen profile within cirrhosis stages based on classification from APRI score. Design of the study is cross sectional with 60 patients which meet the criteria from the medical records in the Clinical Pathology Laboratory and center of medical record of RSCM. The results of the study were analyzed with Kolmogorov Smirnov test showed albumin level, prothrombin time, and fibrinogen median 2.91, 11.8, and mean 273.7117 , Anova or Kruskal Wallis test showed significant difference between these three components based on score APRI classification. all p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Clarisa Rumora Abigail
Abstrak :
Latar Belakang: Kebocoran plasma merupakan salah satu penanda dari derajat keparahan penyakit infeksi virus dengue (DENV). Kadar fibrinogen mengalami perubahan seiring dengan terjadinya kebocoran plasma. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar fibrinogen pada pasien infeksi DENV dengan derajat keparahan penyakit. Metode: Peneliti menggunakan desain studi kohort dari data sekunder komunitas di Jakarta pada tahun 2010. Jumlah sampel penelitian adalah 43 orang dengan total 38 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Kadar fibrinogen yang digunakan yaitu data pada demam hari ketiga dan keempat dari total tujuh hari ke tiga pemeriksaan, karena merupakan perkiraan hari terjadinya kebocoran plasma. Derajat keparahan penyakit infeksi DENV ditentukan berdasarkan klasifikasi WHO 1997 dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Hasil pemeriksaan kadar fibrinogen pada demam hari ketiga dan keempat dianalisis menggunakan Uji T Independen. Hasil: Hasil pemeriksaan demam hari ketiga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p=0,993), namun rata-rata kadar fibrinogen kelompok DBD (253,8 mg/dL) lebih rendah dibandingkan kelompok DD (253,9 mg/dL). Hasil pemeriksaan kadar fibrinogen demam hari keempat juga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p=0,437), namun rata-rata kadar fibrinogen DBD (218,7 mg/dL) lebih rendah dibandingkan DD (235,4 mg/dL). Kesimpulan: Kadar fibrinogen DBD lebih rendah dibandingkan DD namun tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga tidak terdapat hubungan antara kadar fibrinogen dengan derajat keparahan penyakit pada pasien infeksi DENV. ......Background: Plasma leakage is one of the degree of severity disease determinants in patients with dengue virus (DENV) infection. Fibrinogen levels changes due to plasma leakage in DENV infection. Objective: Investigate the association of fibrinogen level and the degree of severity disease in patients with DENV infection in Jakarta, Indonesia. Methods: Author used a cohort study from secondary data on community in Jakarta at the year of 2010. The total sample is 43 persons, of whom 38 persons met the inclusion criteria. Next, author chose the third and fourth days of a total of seven days fever examination of fibrinogen levels because these days are the estimated days of plasma leakage. The severity of DENV infection is determined based on the 1997 WHO Classification which is divided into two group namely Dengue Fever (DF) and Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). The results of examination of fibrinogen levels on the third and fourth day of fever were analyzed using the Independent T Test Results: The results in the third day of fever were no significant difference in the DD and DHF groups (p = 0.993), but the fibrinogen levels in the DHF group (253.8 mg/dL) were lower than those in the DF group (253.9 mg/dL). The results of the examination of fibrinogen levels on the fourth day of fever were also analyzed using the Independent T Test, the results were no significant difference in the DF and DHF groups (p = 0.437), but DHF fibrinogen levels (218.7 mg / dL) were lower than DF (235.4 mg / dL). Conclusion: Fibrinogen levels in DHF were lower than DF but did not show a significant difference so there was no association between fibrinogen levels with the severity of the disease in patients with DENV infection.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Purcahyo
Abstrak :
Tujuan akhir yang diharapkan dari pemberian trombolitik adalah terbukanya arteri koroner penyebab infark (Patency Infarc Related Artery), perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan penurunan angka kematian. Pada saat pemberian trombolitik yaitu dengan streptokinase terjadi defibrinasi awal yang hebat yang dapat dievaluasi dengan pemeriksaan waktu trombin dan kadar fibrinogen. Defibrinasi awal yang hebat setelah pemberian streptokinase yang ditunjukkan dengan adanya perpanjangan waktu trombin merupakan jaminan lebih efektifnya trombolisis dan lebih besar terbukanya arteri koroner penyebab Infark (Patency Infarc Related Artery) sehingga dengan demikian lebih baik menjaga fungsi ventrikel kiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara waktu trombin dan kadar fibrinogen dengan fungsi ventrikel kiri pada infark miokard akut yang diberikan streptokinase. Dilakukan penelitian pada 24 pasien penderita IMA yang diberikan streptokinase dengan onset kurang dari 12 jam, terdiri dari laki-laki 22 orang (91, 8%) dan wanita 2 orang (8,28) dengan umur rata-rata 57,7 (SD 9,89) tahun. Pemeriksaan dilakukan terhadap waktu trombin dan kadar fibrinogen sebelum pemberian streptokinase dan 1 jam setelah selesai pemberian streptokinase. Didapatkan penurunan yang bermakna kadar fibrinogen dari 360,4 (SD 100,5) mg/dl menjadi 32, 10 (SD 7,52) Mg/d1 setelah pemberian dengan p < 0,001. Waktu trombin memanjang secara bermakna dari 12,95 (SD 1, 11) detik menjadi 51,5 (SD 23,9) detik setelah pemberian (p < 0,001) Terdapat hubungan antara waktu trombin setelah pemberian streptokinase dengan FEVK pada seluruh pasien infark, dengan r = 0, 42 dengan nilai kemaknaan p = 0,04 dan lebih bermakna pada pasien infark anterior, r = 0,59 p = 0,023. Berarti bahwa perpanjangan waktu trombin berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai FEVK walaupun hubungan tersebut tidak kuat. Sedangka untuk infark inferior hubungan tersebut r = 0,48 lemah namun p = 0,1 tidak bermakna. Terdapat hubungan lemah tidak bermakna antara variabel fibinogen dengan FEVK, dengan r = -0,18, p = 0,39. Tidak terdapat hubungan bermakna antara onset dengan perpanjangan waktu trombin (p=0, 36) dan tingginya nilai FEVK (p = 0,24). Kesimpulan: Perpanjangan waktu trombin 1 jam setelah pemberian streptokinase berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library