Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widiastuti S. Manan
"ABSTRAK
Telah dilakukan pemeriksaan terhadap 78 sampel tinja penderita tersangka HIV/AIDS yang berasal dari RS. Pemerintah dan RS Swasta di Jakarta.
Dengan menggunakan teknik Ritchie (Konsentrasi) dapat ditemukan berbagai spesies Parasit Usus yaitu telur Nematoda Usus dan Kista Protozoa usus. Kista Protozoa usus yang ditemukan adalah Entamoeba histolytica 32 (24,96%) ; Giardia Lamblia 41(31,98%); Blastocyctis hominis 5 (3,9%), sedangkan telur Nematoda Usus yang ditemukan adalah Ascaris lumbricoides 14 (10,92%) ; Trichuris trichiura 23 (17,94%) dan Cacing tambang 4 (3,12%). Dari sampel tinja yang diperiksa ditemukan 21 (26,91%) campuran antara telur Nematoda dan kista Protozoa.
Ditemukannya spesies Parasit Usus pada penderita tersangka HIV/AIDS sebagai indikator untuk diagnosis AIDS, karena Parasit usus dapat berperan dalam infeksi oportunistik tersebut pada penderita HIV/AIDS."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tutty Rajayu
"Hovarth, dkk mengevaluasi gastrointestinal pada 36 anak dengan gangguan autistik dan didapatkan adanya inflamasi kronis usus termasuk esofagus, lambung dan duodenum. Karena adanya defisiensi enzim yang menyebabkan gangguan pencernaan dan absorpsi karbohidrat yang mungkin menyebabkan adanya konstipasi dan terbentuknva gas. Abnormalitas ini mungkin berhubungan dengan dengan per ubahan tiba-tiba dari tingkah laku anak seperti iritabel, agresif dan bangun tengah malam. Malabsorbsi lemak, disfungsi pankreas, overgrowth bakteri di usus banyak ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.
Metoda untuk mengevaluasi permeabilitas usus masih dikernbangkan dalam beberapa tahun ini. Pemeriksaan permeabilitas usus dengan menggunakan laktulosa-maruitol dalam studi Minis menggambarkan perubahan yang sangat kecil dari permeabilitas usus, namun pemeriksaan ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Xilosa adalah suatu pentosa yang tidak dimetabolisme, diabsorpsi pada usus halus sehingga dapat digunakan untuk menentukan permeabilitas usus. Hasil absorpsi yang menurun dari pemeriksaan uji xilosa darah menggambarkan terdapatnya enteropati usus halus bagian atas yang terutama terdapat pada celiac disease, sindrom postgastroenteritis dan cow's milk protein intolerance (CMPSE).
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian adalah: Apakah terdapat peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan penelitian
Tujuan Umum
- Mengetahui terdapatnya peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan Khusus
- Menilai uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui batas nilai normal uji xilosa pada anak di Jakarta.
- Mengetahui angka kejadian peningkatan permeabilitas usus pada anak dengan gangguan autistik.
- Mengetahui hubungan gejala gangguan saluran cema pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui hubungan riwayat alergi pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Elina Dewi Sutyarjoko
"Infeksi parasit intestinal sering ditemukan pada masyarakat yang mempunyai perilaku kebersihan rendah dan sering kontak dengan tanah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi infeksi parasitik pada murid Madrasah Tsanawiyah X, di daerah perkebunan sayur di Kecamatan Pacet, Cianjur. Desain penelitian adalah cross sectional dan data diambil pada tanggal 10 September 2011. Semua murid (133 orang) diikutsertakan dalam penelitian ini. Subjek diminta mengumpulkan feses, yang kemudian dibawa ke laboratorium parasitologi FKUI untuk dibuat sediaan dengan pewarnaan lugol 1% dan diperiksa di bawah mikroskop. Data diproses menggunakan SPSS program ver. 17.0 dan dianalisis dengan metode Fisher Exact, menunjukkan bahwa terdapat 63 (54.3%) subjek terinfeksi parasit dengan rincian Blastocystis hominis 76,2%, Giardia lamblia 1,6%, Ascaris lumbricoides 4,8%, Entamoeba coli 3,2 % infeksi campur Blastocystis hominis + Ascaris lumbricoides 7,9 %, Blastocystis hominis + Entamoeba coli 4,8 %, Trichuris trichiura + Hymenolepis diminuta 1,6 %. Disimpulkan bahwa infeksi protozoa intestinal tergolong tinggi sedangkan prevalensi cacing tergolong rendah.

Intestinal parasitic infection are commonly found in society with low hygiene behavior and frequent contact with soil. The objective of this research is to know the prevalence of intestinal parasitic infection among tsanawiyah students in Madrasah Tsanawiyah X, plantation site Pacet subdistrict, Cianjur. The design method of this research is cross sectional where data was taken at 10 September 2011. All students (133 respondents) were included in this study. Subjects were instructed to collect feces specimen, which later was taken to parasitology laboratorium at FKUI. The specimen were then made into preparation with lugol 1% staining then observed under microscope. Data was processed using SPSS program ver. 17.0 and analyzed using Fisher’s Exact method. Results showed 63 (54.3%) infected subjects with each infection of Blastocystis hominis 76.2%, Giardia lamblia 1.6%, Ascaris lumbricoides 4.8%, Entamoeba coli 3.2 % mixed infection Blastocystis hominis + Ascaris lumbricoides 7.9 %, Blastocystis hominis + Entamoeba coli 4.8 %, Trichuris trichiura + Hymenolepis diminuta 1.6 %. In conclusion, prevalence of intestinal protozoan infections was high while helminthes infections were low."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dorothy
"Pendahuluan. Pada usus yang mengalami iskemia, maka tindakan reperfusi akan dapat membuat kerusakan yang lebih besar pada usus dan juga organ lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh destrangulasi intestinal terhadap organ yang dekat dengan organ yang mengalami iskemia yaitu usus halus, dan pada organ yang letaknya berjauhan yaitu gaster dan paru-paru, dibandingkan dengan subyek yang tidak mengalami destrangulasi sebelum reseksi usus.
Metode. Studi eksperimental yang bersifat deskriptif analitik pada 14 ekor tikus Sprague-Dawley jantan. Pada kelompok perlakuan destrangulasi-reseksi DR dilakukan strangulasi dengan meligasi satu loop usus selama 4 jam, kemudian dilakukan destrangulasi dan reseksi segmen usus yang iskemia. Pada kelompok perlakuan reseksi R dilakukan strangulasi usus selama 4 jam, kemudian segmen usus yang iskemia direseksi tanpa melakukan destrangulasi terlebih dahulu. Pada kelompok kontrol dilakukan laparotomi tanpa strangulasi maupun reseksi. Empat jam setelah intervensi kedua, tikus dimatikan, dan dilakukan pengambilan sampel dari usus halus, gaster, dan paru-paru untuk pemeriksaan histomorfologi dan biokimia dengan menggunakan malondialdehyde MDA.
Hasil. Pada pemeriksaan histomorfologi dan MDA, terdapat peningkatan kerusakan jaringan serta kadar MDA pada jaringan usus halus, namun perbedaannya tidak bermakna. Pada jaringan gaster dan paru-paru tidak ditemukan peningkatan kelainan histomorfologi maupun MDA.
Kesimpulan. Destrangulasi intestinal sebelum dilakukan reseksi menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan dan stress oksidatif pada usus yang berada di luar batas strangulasi, namun perbedaan yang didapatkan tidak bermakna secara statistik. Strangulasi terbatas pada satu segmen usus halus tidak selalu menimbulkan cedera iskemia-reperfusi pada organ gaster dan paru-paru.

Introduction. On the intestinal ischemia events, reperfusion towards the injured intestine can cause further damage to the bowel and other organ as well. This study aims to understand the influence of intestinal destrangulation before bowel resection towards organs that are near and far from the ischemic bowel, compared with subjects without intestinal destrangulation. The studied subject's organ was small bowel outside margin of strangulation, stomach, and lung.
Methods. Fourteen male Sprague-Dawley rats were randomized either to destrangulation-resection DR, resection R, or control group. One bowel loop was ligated for 4 hours. On the DR group the strangulated bowel was released for 5 minutes and then resected. On the R group the strangulated bowel was immediately resected without destrangulation. The control group received sham laparotomy. After four hours the animals were euthanasized and samples were drawn from small bowel, stomach, and lung for histologic analysis and biochemical analysis of malondialdehyde MDA level.
Results. The histologic injury and MDA level on the small bowel tissue is unsignificantly higher on the DR group compared to the R group p>0,05 . There was no significant injury to the stomach and lung tissue, or elevation of MDA level in both groups.
Conclusion. Intestinal destrangulation before resection of the bowel cause more tissue injury and oxidative stress on the bowel outside the limit of strangulation, but the difference is not statistically significant. Limited strangulation of one bowel loop do not always cause ischemia-reperfusion injury to stomach and lung.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rozana Nurfitri Yulia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik yang tetap menjadi masalah kesehatan global terutama di negara berkembang dan menjadi penyebab kematian kedua terbesar pada kelompok penyakit menular. Selain paru, kuman tuberkulosis dapat menginvasi hingga ke organ ektrapulmoner salah satunya usus. Infeksi kuman pada mukosa usus karena tuberkulosis usus dapat menyebabkab ulserasi hingga nekrosis lapisan mukosa yang akan memengaruhi absorpsi nutrisi. Malabsorpsi dan anoreksia dapat menjadi penyebab malnutrisi pada tuberkulosis usus. Terapi medik gizi bertujuan untuk menyediakan nutrisi adekuat, meningkatkan status gizi, menurunkan risiko kematian, memperpendek lama rawat inap, mencegah terjadinya penurunan massa otot, mendukung proses kesembuhan penyakit, memenuhi kebutuhan mikronutrien yang adekuat, dan meningkatkan sistem imunitas. Metode:Pada serial kasus ini, dilaporkan 4 kasus tuberkulosis usus pada pasien laki-laki dan perempuan yang berusia antara 24-31 tahun, dengan 1 pasien koinfeksi HIV. Keempat pasien mengalami malnutrisi, 3 diantaranya adalah malnutrisi berat dan juga didiagnosis kaheksia. Pada 3 kasus awal, tatalaksana tuberkulosis usus disertai dengan pembedahan akibat komplikasi obstruksi usus mekanik, perdarahan, dan fistula sedangkan kasus terakhir hanya diberikan AOT. Masalah nutrisi terjadi pada keempat kasus terkait dengan perubahan anatomi saluran cerna, fungsi fisologis, dan pemberian mikronutrien yang kurang adekuat. Terapi medik gizi telah diberikan sesuai rekomendasi untuk pasien dengan tuberkulosis usus dengan malnutrisi. Hasil :Kasus pertama dan keempat mengalami perbaikan keadaan klinis hingga diperbolehkan rawat jalan. Namun, kasus kedua dan ketiga meninggal dunia masing-masing pada hari perawatan ke-54 dan 28 akibat sepsis dan perdarahan. Kesimpulan:Terapi medik gizi yang diberikan telah membantu perbaikan kondisi klinis pada pasien tuberkulosis usus dengan malnutrisi.

ABSTRACT
Background:Tuberculosis is a chronic infection that remains a global health problem especially in developing countries and become the second leading cause of death in infectious diseases. Beside lung organ, the Mycobacterium tuberculosis can invade up to an extrapulmonary organ such as intestine. Infections in the intestinal mucosa due to intestinal tuberculosis may cause ulceration to necrosis of the intestinal mucose that will be affected to nutrient absorption. Malabsorption and anorexia can be the cause of malnutrition in intestinal tuberculosis. Nutritional medical therapy aims to provide adequate nutrition, improve nutritional status, reduce the risk of death, shorten the length of stay, prevent the decrease of muscle mass, support the wound healing, giving adequate micronutrients, and improve the immune system. Methods: In this series of cases, 4 cases of intestinal tuberculosis were reported in male and female patients between 24 and 31 years old, with 1 patient co-infected with HIV. The four patients were malnourished, 3 of them with severe malnourished and also diagnosed with cachexia. In the third initial cases, management of intestinal tuberculosis was surgery due to complications mechanical bowel obstruction, hemorrhage, and fistulas while the last one was given only DOT. Nutrition problems occur in all four cases associated with altered gastrointestinal anatomy, physiological function, and inadequate micronutrient administration. Medical nutrition therapy has been given as recommended for patients with intestinal tuberculosis with malnutrition. Result: The first and fourth cases had an improvement on clinical conditions. However, the second and third cases died on the 54th and 28th day of treatment due to sepsis and bleeding. Conclusion: Medical nutritional therapy has been provided to improve clinical conditions in intestinal tuberculosis patients with malnutrition. "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"The current study investigated the effect of temu ireng (Curcuma aeruginosa rhizome) sequester on parasitic worm infection in primary school students located in Kecamatan Taman Sari in West Jakarta........"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Arinda Putri
"Indonesia masih memiliki prevalensi kasus infeksi parasit usus pada anak yang tinggi karena berbagai faktor seperti iklim dan suhu yang mendukung perkembangan parasit hingga sosioekonomi yang rendah. Anak-anak di TPA Bantar Gebang memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi oleh karena sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menjaga kebersihan diri menjadi hal yang penting. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara angka infeksi parasit usus pada anak-anak di Bantar Gebang dan kebiasaan mencuci tangan yang termasuk pola hidup yang sehat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Pengambilan data dari 100 subjek penelitian dilakukan pada Mei 2012. Data diolah dengan program SPSS 21.0 dengan uji Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan angka infeksi parasit usus pada anak-anak di TPA Bantar Gebang adalah 80% dengan parasit penyebab infeksi terbanyak adalah Blastocystis hominis (59%). Berdasarkan hasil perhitungan data, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara angka infeksi parasit usus dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar. Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi angka infeksi melalui penyuluhan pola hidup bersih dan sehat oleh petugas kesehatan dan perbaikan sistem pengolahan sampah oleh pemerintah setempat.

Indonesia still has high prevalence of intestinal parasitic infections in children due to various factors such as climate and temperature which supports the development of parasites, to low socioeconomic class. Children in TPA Bantar Gebang have a greater risk for infection because of poor environmental sanitation, so that maintaining personal hygiene is important. The purpose of this study is to determine the relationship between the prevalence of intestinal parasitic infections in children in Bantar Gebang and the habit of washing hands as one of hygiene practices. The study design was cross sectional. The data was collected from 100 subjects in May 2012. The data was then processed with SPSS 21.0 program with Fisher test.
The results showed that intestinal parasite infection rates in children in TPA Bantar Gebang was 80% with the highest rate of infection caused by Blastocystis hominis (59%). Based on calculations, we found no significant association between the prevalence of intestinal parasitic infections and washing hands before eating and after defecation. Efforts should be made to reduce the number of infections through counseling about clean and healthy lifestyle by health workers and improvement of waste management system by the local government.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlien Widjaja
"ABSTRAK
Diagnosis infeksi parasit usus dilakukan menggunakan pemeriksaan mikroskopik feses, akan tetapi pemeriksaan mikroskopik memiliki banyak metode dan belum ditentukan metode mana yang merupakan baku emas. Laboratorium Departemen Parasitologi FKUI menggunakan dua metode pemeriksaan mikroskopik, yaitu metode langsung dan metode konsentrasi formalin-eter Ritchie untuk pemeriksaan rutin pada sampel feses. Penelitian ini pun disusun untuk membandingkan efektivitas kedua metode tersebut dalam diagnosis parasit usus. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan data berupa data sekunder, yaitu hasil pemeriksaan dari sampel feses yang dikirim ke Laboratorium Parasitologi FKUI. Data kemudian dianalisis dengan uji Fisher dan ditentukan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya dengan pengganti baku emas berupa nilai positif gabungan kedua metode. Hasil didapatkan pemeriksaan mikroskopis menggunakan metode langsung memiliki sensitivitas 100 dan spesifisitas 100 , sedangkan metode konsentrasi formalin-eter Ritchie memiliki sensitivitas lebih rendah yakni 98 dan spesifisitas 100 . Uji Fisher menyatakan perbedaan bermakna untuk hasil pemeriksaan kedua metode

ABSTRACT
Microscopic stool examination has been used for diagnosing intestinal parasite infection. However, there are lots of methods for stool preparation prior to examination and a definite gold standard have yet to be determined. Laboratory of Parasitology FKUI has been using two methods, which are direct method and formol ether concentration method Ritchie . This study compared the effectivity of both method in diagnosing intestinal parasite infection. This was a cross sectional study that use secondary data which were result for examination of stool samples sent to Laboratory of Parasitology FKUI. The collected data would then be analyzed using Fisher test. The sensitivity and specifity of each method were determined using the total positive result from both methods as replacement for gold standard. It was found that direct method had the sensitivity of 100 and specificity of 100 when Ritchie method had lower sensitivity 98 and specificity 100 . Result from Fisher test showed that the difference in the two method was statistically significant "
2016
S70374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Firstivia Seafty
"ABSTRAK
Terdapat beberapa prinsip pemeriksaan mikroskopis feses yaitu dengan metode langsung, sedimentasi formalin-eter Ritchie , flotasi, dan biakan. Metode yang digunakan untuk mendiagnosis parasit usus yang biasa digunakan di Laboratorium Parasitologi FKUI yaitu pemeriksaan langsung dan formalin-eter Ritchie . Namun, belum diketahui apakah metode lainnya seperti flotasi memiliki efektifitas yang lebih baik atau buruk untuk mendiagnosis infeksi parasit usus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan efektifitas metode formalin-eter Ritchie dengan flotasi gula jenuh dalam deteksi parasit usus. Desain penelitian yang digunakan merupakan studi potong-lintang. Dari 32 pasien yang diperiksa fesesnya dengan metode flotasi gula jenuh ditemukan hasil positif sebanyak 27 sampel 84 dan hasil negatif sebanyak 5 sampel 16 . Dengan metode formalin-eter Ricthie didapatkan hasil positif sebanyak 24 sampel 75 dan hasil negatif sebanyak 8 sampel 25 . Nilai sensitivitas metode flotasi gula jenuh menunjukan hasil yang lebih besar daripada metode formalin-eter 95 vs 90 . Sedangkan nilai spesifisitas metode flotasi gula jenuh lebih rendah daripada formalin-eter 33,3 vs 50 . Pada uji Fischer untuk metode flotasi gula jenuh didapatkan nilai p=0,049

ABSTRACT
There are several principles of microscopic examination of stool, such as the direct method, formalin ether sedimentation Ritchie , flotation, and culture. The method used to diagnose intestinal parasites commonly used in the Laboratory of Parasitology FKUI is direct examination and formalin ether Ritchie . However, flotation method for intestinal parasitic infections diagnosis is unknown. This study aims to compare the effectiveness of formalin ether Ritchie and flotation saturated sugar method in the detection of intestinal parasites. This study was conducted by using cross sectional design. From 32 patients examined with saturated sugar flotation method found 27 samples 84 with positive results and 5 samples 16 with negative results. Formalin ether Ricthie method found 24 samples 75 with positive results and 8 samples 25 with negative results. Sensitivity of saturated sugar flotation method shows greater results than formalin ether method 95 vs 90 . Specificity of saturated sugar flotation method is lower than the formalin ether 33.3 vs 50 . Fischer test for saturated sugar flotation method p 0.049 "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cesilia Permatasari
"ABSTRAK
Frekuensi pengambilan sampel tinja dalam pemeriksaan mikroskopik mempengaruhi hasil pemeriksaan, namun sampai saat ini belum ada pedoman jumlah pengambilan sampel tinja untuk deteksi infeksi parasit usus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi pengambilan sampel tinja yang lebih efektif untuk deteksi infeksi parasit usus dengan pemeriksaan mikroskopik. Penelitian dilakukan dengan desain cross sectional. Data pada penelitian merupakan hasil pemeriksaan dari sampel tinja yang dikirim ke Laboratorium Parasitologi FKUI tahun 2006-2015. Teknik sampling yang digunakan ialah non probability sampling yaitu consecutive sampling dengan mengambil sampel tinja dari subjek yang memeriksakan tinjanya 3 kali di hari yang berbeda dengan dengan interval pemeriksaan sampel pertama dan ketiga kurang dari 10 hari. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan dengan pengambilan sampel tinja dua kali meningkatkan hasil positif dibandingkan pengambilan sampel tinja satu kali 30,9 vs 34,1 uji Fisher

ABSTRAK
The sampling frequency of obtaining stool from patient rsquo s samples will determine the microscopic examination result, however the frequency of taking stool samples from a patient for detecting intestinal parasites has not been standardized. The aims of this study was to determine the most effective frequency of stool sampling for intestinal parasites detection by microscopic examination. The study was conducted by using cross sectional design. Data of this study were obtained from the examination result of stool samples sent to the Laboratory of Parasitology, FKUI from 2006 2015. The sampling technique used was consecutive sampling, which was done by taking stool samples from subjects being examined for three different days. The examination of three samples should not exceed ten days. This study showed that examination of stool samples taken twice increased positive outcomes compared to samples taken once 30.9 vs 34.1 Fisher 39 s exact test"
2016
S70388
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>