Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik Salamun
"Penelitian ini bertujuan merekonstruksi pola posesif bahasa Indonesia dialek Ambon dengan Indonesia baku. Penelitian ini merupakan kualitatif deskriptif. Data penelitian ini bersumber dari tuturan masyarakat Kota Ambon dan sekitarnya yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dialek Ambon. Data bahasa Indonesia diperoleh dari hasil terjemahan tuturan bahasa Indonesia dialek Ambon. Penelitan ini berlokasi di seluruh wilayah Kota Ambon dan sekitarnya. Waktu yang diperlukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data adalah selama dua minggu. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non-partisipan. Ada dua teknik yang digunakan untuk mendukung metode obeservasi non-partisipan, yaitu teknik rekam dan catat. Penelitian ini menggunakan dua metode dalam proses analisis data, yaitu metode padan dan metode agih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola konstruksi posesif (kepemilikan) antara bahasa Indonesia dialek Ambon dengan bahasa Indonesia baku. Perbedaan tersebut adalah letak possessor dan possessum yang berbeda. Pada bahasa Indonesia dialek Ambon, apapun kategori possessor baik pronima persona, nama diri, maupun bukan manusia selalu mendahului possessum. Hal itu berbeda dengan bahasa Indonesia baku, yaitu pada pola konstruksinya possessum-lah yang mendahului possessor. Perbedaan lain adalah pola konstruksi posesif pada bahasa Indonesia dialek Ambon mendapat penambahan kata pung di antara possessor dan possessum, sedangkan pada bahasa Indonesia baku tidak mengalami penambahan."
Ambon: Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019
400 JIKKT 7:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harbelubun, Yohanna Claudia Dhian Ariani
"Penelitian ini bertolak dari permasalahan sulitnya proses asimilasi antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan warga Negara Indonesia Keturunan(WNIK) yang telah lama diusahakan berbagai pihak. Salah satu usaha adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat asimilasi. Untuk mengusahakan itu, perlu diketahui sikap WNIK terhadap bahasa Indonesia.
Berpijak dari permasalahan itu, setakat ini berusaha mengetahui sikap bahasa pelajar berbahasa ibu bahasa Tionghoa. Selain itu, penelitian ini juga mengusahakan keberterimaan penggunaan kosakata baku bahasa Indonesia di kalangan pelajar tersebut. Dengan mengetahui sikap bahasa dan keberterithaan penggunaan kosakata baku bahasa Indonesia maka dapat diteliti pula hubungannya, apakah saling mempengaruhi atau tidak.
Penelitian ini merupakan studi kasus di SMU Tarsisius I Jakarta yang sebagian besar (94,88%) merupakan pelajar keturunan Tionghoa. Populasi penelitian ini berjumlah 482 orang yang berbahasa ibu bahasa Tionghoa. Karena cukup besamya populasi, penelitian ini menggunakan percontoh yang ditarik dengan teknik purposive sampling. Jumlah percontoh adalah 125 orang.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa sikap bahasa pelajar SMU Tarsisius I yang berbahasa ibu bahasa Tionghoa dapat dikatakan positif.Selain itu ditemukan pula rendahnya tingkat penggunaan kosakata baku bahasa Indonesia pada pelajar berbahasa ibu bahasa Tionghoa.
Berdasarkan variabel bebas jenis kelamin, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan pada sikap bahasa mereka. Namun, untuk penggunaan kosakata baku ditemukan perbedaan yang signifikan antara responden laki-laki dengan responden perempuan. Setelah diteliti, ternyata responden laki-laki lebih baik penggunaan kosakata bakunya daripada responden perempuan.
Berbeda halnya pada variabel bebas kesetiaan berbahasa Tionghoa, ditemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok yang setia berbahasa Tionghoa dengan kelompok yang tidak setia berbahasa Tionghoa. Semakin responden setia dengan bahasa Tionghoa maka semakin negatif sikapnya terhadap bahasa Indonesia. Demikian pula, semakin tidak setia responden berbahasa Tionghoa, maka semakin positif sikapnya terhadap bahasa Indonesia.
Selain temuan di atas, ditemukan pula hubungan antara sikap bahasa dengan penggunaan kosakata baku. Temyata sikap bahasa tidak memengaruhi tingkat penggunaan kosakata baku. Artinya, bila responden bersikap positif belum tentu responden mampu mengontrol penggunaan kosakata sesuai kaidah. Akan tetapi, bila responden mampu mengontrol penggunaan kosakata baku sesuai kaidah, ia memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

This research start from the problems how difficult are the process for assimilation between Naturalized Indonesia Citizen with Indonesia citizen of China descent, that' was be various side effort. Some effort is using the Indonesia language as tools for assimilation and for efforting that we had to know the attitude the Indonesia citizen of china descent toward the Indonesia language.
Base on that problem, this point trying to know the language attitude from the students who'm used the Tionghoa language. Beside that, this research try to acceptance using the Indonesia standard vocabulary in students circle. With knowing the language attitude and acceptance using the Indonesia standard vocabulary, then be able to research the relationship,which is influence each other or not.
This research was a case study in SMU Tarsisius 1 Jakarta,that almost(94,88%) the student is Indonesian citizen of China descent.This research population was big enough, this research used a Tionghoa language. Because the population was big enough, this research used some examples, with purposive sampling technique. Sum for one sample is 125 students.
The analysis data output shown that language attitude the students of from SMU Tarsisius I, which used Tionghoa language could be positively. Besides that, there is find also how low the step for using Indonesia standard vocabulary among the students who'm use the Tionghoa language.
Base on free gender variable, nothing fond the significant different to their language attitude. But for using standard vocabulary there is find the significant different between students boys respondent and students girl. respondent. After the research, it appears that the student boys respondent using standard vocabulary is better than the student girls respondent.
Base on a difference in free loyalty variable Tionghoa language, there is find significant different between the community whom don't loyal in use Tionghoa language. More and more the respondent loyal in use Tionghoa language so more negative the attitude to Indonesia language. Thus more the respondents not loyal in use Tionghoa language, then more positive the attitude to Indonesian language."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verheijen, Jilis A.J.
"mengenai pulau komodo, bahasa, dan masyarakat yang tinggal di sana"
The Hague: Martinus Nijhoff, 1982
R BLD 499.2 VER k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
"ABSTRAK
Eksistensi budaya masyarakat suatu wilayah bisa dilihat dari eksis tidaknya
bahasa daerah masyarakat tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, eksistensi bahasa daerah tersebut bisa saja hilang dan tergantikan dengan
bahasa lain karena adanya aturan agama yang mengikatnya, contohnya dalam
penggunaan bahasa pengantar khutbah Jum'at. Penelitian mengenai wilayah
penggunaan bahasa pengantar khutbah Jum'at dimaksudkan untuk melihat
eksistensi suatu budaya di Kota Serang dengan bahasa pengantar khutbah Jum'at
sebagai representasinya. Dengan metode wawancara dan observasi langsung di
lapangan pada sampel di wilayah penelitian, penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif eksploratif dengan pendekatan keruangan. Hasilnya didapat bahwa ada
empat bahasa yang eksis digunakan sebagai bahasa pengantar khutbah Jum'at di
wilayah penelitian yaitu bahasa Arab, bahasa Indonesia, gabungan bahasa
Indonesia dan Bugis serta bahasa Sunda. Bahasa yang eksis digunakan sebagai
bahasa pengantar khutbah Jum'at di Kota Serang adalah Bahasa Arab, Bahasa
Indonesia, Bahasa Bugis dicampur Bahasa Indonesia, dan Bahasa Sunda. Pola
keruangannya pun terlihat dengan jelas di mana bagian tengah wilayah penelitian
merupakan dominasi penggunaan bahasa Indonesia, sedangkan dibagian Selatan
dan Utara wilayah penelitian merupakan dominasi bahasa Arab, namun dibagian
Utara terdapat keunikan dengan adanya penggunaan bahasa Sunda serta gabungan
bahasa Bugis dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar khutbah Jum'at di
wilayah penelitian. Wilayah penggunaan bahasa tersebut juga diikuti oleh wujud
budaya yang beraneka ragam.

ABSTRACT
The existence of a society's culture can be seen from the existence and frequency
of its traditional languages used in daily life. However, the existence of traditional
languages can be subsided or substituted by other languages because of religious
rules that bind, as we can see in the use of languages during the Friday sermon.
This research about the region of the used of languages during Friday sermon in
Serang city is aimed to see and analyses the existence of a culture in the city of
Serang through the languages used in Friday sermon as a medium of its
representation. Interview and direct observation method to the samples were used
as data collection technique while spatial descriptive exploitative analysis was
used as the data analysis method. The languages used as the instructional language
in Friday sermon in Serang city are Arabic, Bahasa Indonesia, Sundanese, and
Bahasa Indonesia mixed with Bugis language. Arabic represents the indigenous
population of Javanese-Serang, while Bahasa Indonesia represents various
cultures of inbound migrants in Serang city. Sundanese and Bahasa Indonesia
mixed with Bugis Language represent the culture of indigenous population of non
Javanese-Serang. The spatial pattern was clearly visible that Bahasa Indonesia
was majorly used in the center region of the research area, while the Arabic was
dominantly used in the northern and southern region. Uniqueness noted here that
in the northern region, there was a prominent pattern of the use of Sundanese
mixed with Bugis language as the instructional language during the Friday
sermon. Territory the use of language was also followed by the manifestation of
diverse cultures.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1908
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Almira Sagitta
" ABSTRAK
Kota Makassar adalah pusat pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian di Sulawesi Selatan. Hal ini menjadi daya tarik masyarakat untuk menetap di Kota Makassar. Kota Makassar didiami oleh berbagai macam etnis dan dapat dibuktikan dari adanya perkampungan etnis atau suku tertentu yang ada di Kota Makassar seperti Kampung Toraja dan Kampung Mandar. Hal tersebut mempengaruhi kondisi kebahasaan di Kota Makassar. Atas dasar tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan variasi bahasa apa saja yang terdapat di Kota Makassar dan menjelaskan letak batas bahasa dan dialek di Kota Makassar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan penghitungan dialektometri, ditemukan dua bahasa yang terdapat di Kota Makassar, yakni bahasa Makassar dan bahasa Mandar.

ABSTRACT Makassar City is the center of government, education, and economy in South Sulawesi. This becomes a public appeal for citizens to settle in Makassar City. Makassar inhabited by various ethnic and can be proven by the existence of ethnic villages in Makassar such as Toraja Village and Mandar Village. It affects the language situation in Makassar city. Based on that, this study was conducted to describe any language variation in Makassar and explain where the limits of language and dialect in Makassar. The method used in this study are qualitative and quantitative. Based on the dialectometry calculation, two languages are found in Makassar City, which is Makassar language and Mandar language."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Khoirunnada
"Penelitian ini mengkaji pemertahanan bahasa Madura di Desa Manduro. Fokuspenelitian ini adalah sikap bahasa dan penggunaan bahasa Madura. Penelitian inididasarkan pada teori penggunaan bahasa dari Fishman 1972c dan Greenfield 1972 , dan pemertahanan bahasa dari Holmes 2013 . Metode yang dipakaiadalah kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dengan menerapkan metodepengamatan langsung, kuesioner dan wawancara. Data dianalisis denganmenggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Hasil dari penelitian inimenunjukkan bahwa penggunaan bahasa Madura pada semua ranah masihdipertahankan. Pemertahanan bahasa Madura di Desa Manduro, KabupatenJombang ini ditopang oleh tiga hal penting, yaitu: 1 sikap positif masyarakatManduro terhadap bahasa Madura, 2 bahasa Madura dianggap sebagai pemarkahidentitas kelompok sebagai Oreng Manduro, dan 3 adanya letak pemukimanDesa Manduro yang secara geografis terkonsentrasi mdash;agak terpisah dari letakpemukiman masyarakat mayoritas.Kata kunci: Pemertahanan bahasa, sikap bahasa, dan ranah.

This research discusses about language maintenance of Madurese language in Manduro Village. The focus of this research is the attitude of language and the use of Madurese language. This research is based on the theory of language use from Fishman 1972c and Greenfield 1972 , and language maintenance from Holmes 2013 . The method used is qualitative and quantitative. Data were obtained by applying direct observation methods, questionnaires and interviews. Data were analyzed using descriptive and inferential statistic analysis. The results of this study indicate that the use of Madurese language in all domains is maintained. The defense of Madurese language in Manduro Village, Jombang Regency is supported by three important things, namely 1 positive attitude of Manduro society toward Madurese language, 2 Madurese language is considered as marker of group identity as Oreng Manduro, and 3 Manduro Village which is geographically concentrated somewhat separated from the location of the majority community settlements.Keywords Language maintenance, language attitudes, and domains.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
T51461
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Talia
"Rewang dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai kegiatan bergotong-royong terutama ketika adanya hajatan. Upaya pelestarian rewang sebagai hasil budaya terlihat mulai dari adanya penelitian, hingga produksi film pendek. Namun, apakah makna rewang yang dikenal dalam masyarakat Jawa memiliki pengertian yang sama dari masa ke masa? Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya perubahan makna pada kata rewang dalam masyarakat Jawa. Data dalam penelitian ini diperoleh dari Serat Centhini Jilid 1 (Pupuh 1-29) tahun 1922 oleh H. Buning, dua film pendek Jawa dengan tema rewang tahun 2021 dan 2022, dan wawancara kepada masyarakat pelaku rewang di Desa Sidomulyo, Jember-Jawa Timur pada tahun 2022. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teori semiotika Peirce yang dikembangkan oleh Hoed (1994), serta teori perubahan makna Chaer (2009) untuk menemukan adanya perubahan makna dalam kata rewang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyempitan makna kata rewang, dari tiga makna yang diasosiasikan dengan kata rewang dalam serat Centhini yaitu ‘pengiring’, ‘teman’, dan ‘perewang’, menjadi satu makna utama yaitu ‘perewang’, sebagaimana dikenal dalam masyarakat Jawa melalui film pendek dan wawancara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bahasa bersifat dinamis dan adanya perubahan makna kata seperti pada kata rewang, dapat terjadi karena perubahan faktor waktu, ekonomi dan perkembangan pikiran dalam masyarakat.

Rewang in Javanese society is known as a mutual cooperation activity, especially when there is a celebration. Efforts to preserve rewang as a cultural product can be seen from the existence of research, to the production of short films. However, does the meaning of rewang known to the Javanese people from time to time have the same meaning? This study aims to show the changing meaning of rewang in Javanese society. The data in this study were obtained from Serat Centhini Volume 1 (Pupuh 1-29) in 1922 by H. Buning, two short Javanese films with the theme rewang in 2021 and 2022, as well as interviews with the rewang community in Sidomulyo Village, Jember-East Java in 2022. This study uses a qualitative descriptive method with Peirce's semiotic theory developed by Hoed (1994) and Chaer's (2009) meaning change theory to find changes in the meaning of the word rewang. The results of this study show the meaning of the rewang, of the three meanings associated with the word rewang in the Serat Centhini, namely 'accompaniment', 'friend', and 'perewang', one of the main meanings of which is 'perewang', as known by Javanese people through short films and interview. This study concludes that language is dynamic and changes in the meaning of words, such as the word rewang, can occur due to changing times, the economy and the development of thought in society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanik Indrayani
"Sebagai warga negara yang baik, ketika kita berkumpul antara sesama pengguna bahasa yang saling berbeda bahasa daerah, kita harus selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bagaimana perilaku berbahasa antara karyawan suku Buton dan suku Buru di Koperasi Serba Usaha Buru Jazirah Namlea dan bagaimana hambatan-hambatan perilaku berbahasa antara karyawan suku Buton dan suku Buru di Koperasi Serba Usaha Buru Jazirah Namlea di Namlea Kabupaten Buru, Maluku. Penelitian deskriptif kualitatif ini mengkaji tentang fenomena kebahasaan. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang digunakan antara karyawan suku Buton dan suku Buru di Koperasi Serba Usaha Buru Jazirah Namlea yang mengandung bahasa daerah kedua suku tersebut. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi nonpartisipasi. Sementara teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Data yang sudah diklasifikasi kemudian dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa perilaku berbahasa antara karyawan suku Buton dan suku Buru di Koperasi Serba Usaha Buru Jazirah Namlea pada awalnya kurang begitu baik mengingat mereka saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing, namun seiring dengan berjalannya waktu hal tersebut bisa teratasi sehingga antara suku Buton dan suku Buru terjalin kerja sama dengan baik. Temuan berikutnya hambatan-hambatan yang terjadi dalam perilaku berbahasa antara karyawan suku Buton dan suku Buru di Koperasi Serba Usaha Buru Jazirah Namlea yaitu pengaruh bahasa daerah masing-masing antara kedua suku tersebut tidak bisa saling memahami karena kedua suku tersebut menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing ketika berinteraksi"
Ambon: Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019
400 JIKKT 7:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Multamia Retno Mayekti Tawangsih
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Munawarah
"Depok berbatasan langsung dengan Jakarta dan menjadi daerah penyangga untuk diarahkan sebagai kota pemukiman, pendidikan, perdagangan, dan pariwisata, Bertambahnya sarana pendidikan dan sarana umum, seperti sekolah, universitas, mal, pertokoan, dan hotel, juga memberikan dampak yang signifikan dalam hubungan komunikasi antardaerah. Struktur demografi Depok yang disertai dengan semakin banyaknya alat transportasi memungkinkan tingkat interaksi yang tinggi bahkan hingga ke pelosok. Beberapa perguruan tinggi dan hotel berbintang telah menjadikan Depok sebagai tujuan urbanisasi. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana situasi kebahasaan di Depok dengan latar belakang perkembangan Kota Depok tersebut. Penelitian ini mengungkapkan distribusi dan variasi bahasa di Depok—sebagai daerah urban—yang terjadi akibat kontak bahasa antarpenutur bahasa di kota tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berancangan sosiodialektologi, yaitu ancangan penelitian yang menggabungkan sosiolinguistik dengan dialektologi. Data bahasa dijaring dengan menggunakan kuesioner yang berisi 235 daftar tanyaan, yang dikumpulkan dari 63 kelurahan di Depok sebagai titik pengamatan (TP) dengan menggunakan metode pupuan lapangan dengan teknik bersemuka dan perekaman, lalu dianalisis dengan menggunakan metode berkas isoglos penghitungan jarak kosakata dengan menggunakan metode dialektometri melalui teknik segitiga antardesa dan etima. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kajian dialektologi terdapat dua bahasa yang berbeda digunakan di Depok, yaitu bahasa Betawi dan bahasa Sunda. Selain itu, ditemukan tiga daerah pakai bahasa di Depok, yaitu bahasa Sunda, bahasa Betawi Pinggiran, dan bahasa Betawi, dengan daerah pakai terluas bahasa Betawi Pinggiran. Namun, berdasarkan penghitungan dialektometri, perbedaan bahasa hanya ditemukan pada kosakata kata ganti, sapaan, dan acuan dengan hasil penghitungan dialektometri mencapai 70%, Sementara itu, pada kosakata dasar Swadesh, kosakata sistem kekerabatan, dan kosakata secara keseluruhan hanya ditemukan perbedaan dialek. Hasil penghitungan dialektometri tertinggi pada kosakata dasar Swadesh sebesar 55%. Adapun hasil penghitungan dialektometri tertinggi pada kosakata sistem kekerabatan ditemukan sebesar 48%. Sementara itu, hasil penghitungan dialektometri keseluruhan tertinggi sebesar 53%. Dengan demikian, rumusan persentase dialektometri yang diajukan Lauder, yaitu di atas 70%, tidak semuanya tercapai, padahal mereka mengaku berbahasa yang berbeda sebagai masyarakat penutur bahasa Betawi dan penutur bahasa Sunda. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi pembuktian adanya kontak bahasa yang intens antarpenutur bahasa di Depok. Berdasarkan analisis sosiodialektologi, dapat disimpulkan bahasa Betawi Pinggiran yang secara definitif memakai kata ora sudah mulai luntur dan tidak banyak digunakan pada masyarakat Depok, namun bahasa Betawi Pinggiran yang memakai kata khas, seperti nomina umum (common noun) yang merujuk pada sebutan orang berdasarkan jenis kelamin dan usia (wadon, lanang, bocah), menempati areal pemakaian terluas di Depok. Temuan sosiodialektologi lainnya memperlihatkan adanya saling meminjam kata sapaan antara bahasa Betawi dan bahasa Sunda akibat kontak bahasa.

Depok City, bordered to the north by Jakarta, serves as its buffer and is intended to be residential, educational, commercial, and tourism areas. The increase in educational and public facilities (schools, universities, malls, shops, and hotels) in Depok also has a significant impact on its interregional communication relations. The demographic structure of Depok and the growing number of transportation modes allow high levels of interactions even to its remote areas. Also, top universities and starred hotels have made Depok an urbanization destination. This background has triggered the interest to study the linguistic situation in Depok City by considering its development. This study reveals the variations and distribution of languages in Depok emerging as the results of language contacts between speakers of the languages in this urban area. This study used the qualitative research method with a sociodialectological design, combining sociolinguistics with dialectology. Using the field survey method (with face-to-face and recording techniques), the data were collected from questionnaires containing 235 questions, distributed to 63 subdistricts as the observation points. The data were analyzed by using the isogloss bundle method to calculate the vocabulary distance by utilizing the dialectometry method, specifically the inter-village triangles and etyma technique. The findings on the dialectological study indicate that there are two languages ​​used in Depok: Betawi and Sundanese. In addition, three language-speaking areas in Depok were identified: Sundanese, Peripheral Betawi, and Betawi, in which the Peripheral Betawi language occupies the largest area of use. However, with a dialectometry calculation reaching 70%, the language differences were only found in pronouns, address terms, and references, whereas, only dialect differences were found in the Swadesh basic vocabulary, kinship system vocabulary, and overall vocabulary. The highest dialectometry calculation of the basic Swadesh vocabulary reached 55%, whereas the highest dialectometry calculation result in the kinship system vocabulary stood at 48%. Furthermore, the highest overall dialectometry calculation was 53%. Thus, the dialectometric percentage formula (>70%) proposed by Lauder (2007) is not entirely proven in Depok although the inhabitants claim to speak different languages as members of Betawi-speaking and Sundanese-speaking community. This can also prove that there have been intense language contacts between speakers of the languages in Depok. The results of the sociodialectological analyses concluded that the definitive use of the word ora by the speakers of Peripheral Betawi language has begun to fade and is not widely used in Depok; however, the Peripheral Betawi language using distinctive words, such as common nouns or address terms based on gender and age (wadon, lanang, bocah) has occupied the largest area of ​​use. Finally, another sociodialectological finding shows there is a mutual borrowing of address terms between Betawi and Sundanese due to the language contacts."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>