Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umi Basiroh
Abstrak :
Kamus secara konvensional, berisi leksem yang didaftarkan dalam susunan alfabetis dan mengakibatkan berbagai jenis hubungan leksikal tidak seluruhnya tergambarkan secara sistematis. Padahal kamus yang komprehensif, yang mencerminkan keseluruhan kosakata suatu bahasa hanya akan tergambar secara utuh bila kamus itu memuat semua jenis hubungan leksikal secara sistematis. Ada jenis kamus yang berbeda dari yang konvensional itu. Kamus itu mendeskripsikan leksem dalam kesatuan konseptual lebih daripada alfabetis. Kamus seperti itu disebut tesaurus (Ullmann 1983:255). Tesaurus yang terkenal dan yang dapat dianggap salah satu pelopor itu adalah Roget's International Thesaurus. Dalam buku itu kata dan rasa bahasa Inggris dikelompokkan menurut signifikasinya yang ditandainya. Roget membagi leksem dalam pengertian kehiponiman dan kuasi-kehiponiman ke dalam delapan kelas utama yaitu (1) hubungan abstrak (abstract relations); (2) ruang (space); (3) alam (physics) ; (4) materi, benda, unsur (matter) ; (5) daya cerap indera (sensation); (6) akal (intellect); (7) kemauan (volition); dan (8) daya cerap batin (affections) (Roget 1962:xiii-xx). Kamus sebagai perekam kosakata umumnya disusun menurut abjad Kamus Besar Bahasa Indonesia yang secara kuantitatif memuat 63.000 lema masih memerlukan penanganan yang serius dalam hal kekomprehensifan dan kesistematisan hubungan makna di antara leksem-leksemnya (Rahim 1989; Suprana 1990). Bahkan kamus yang sengaja dibuat dengan memperhitungkan hubungan makna yaitu Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (Harimurti 1989) masih perlu dibenahi karena tercampurnya hubungan makna hierarkis (kehiponiman, kemeroniman) dan hubungan makna simetris (kesinoniman). Misalnya, kata-kata melihat, celik, memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, mengetahui, maklum, melawat dan menziarahi dinyatakan sebagai sinonim (Harimurti 1989:87). Dari daftar sinonim yang diberikan dapat kita lihat tiga kelompok yang terpisah sebagai "sinonim" melihat. Pertama melihat, celik. Kedua melihat, memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, mengetahui, melawat, menziarahi. Ketiga melihat, maklum. Celik merupakan sinonim dari melihat. Hal ini dapat kita pertentangkan dengan buta. Memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, melawat, menziarahi merupakan hiponim dari melihat. Walaupun begitu, sebetulnya ada pengelompokan berdasarkan komponen maknanya. Misalnya, melawat, menziarahi tentu saja dapat dipisahkan dari memandang dan menatap. Melawat, menziarahi berkomponen mendatangi sasaran, sedangkan memandang dan menatap ± mendatangi sasaran. Maklum tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan kesinoniman maupun kehiponiman dengan melihat. Bahkan dalam kata kepala maklum tidak terdapat kata melihat sebagai sinonimnya (Harimurti 1989:87).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
Abstrak :
A deictic expression is an expression in a language, which has an indefinite referent. The indefinite nature of that referent is due to the situation of the encoder. The referent of a deictic expression will change if the speaker and the spatio-temporal reference of the deictic expression change. Thus, deictic expressions can be divided in three groups, person deixis, spatial deixis and time deixis. The interesting thing in Javanese deixis is the effect of speech levels. A speaker must choose speech level appropriate to his or her social level and that of the other participant in the conversation. Basically, Javanese speech levels can be grouped into three levels, ngoko (low level), madya (mid level) and krama (high level). Most Javanese deictic expressions are lexicalized in those three speech levels. For example, the demonstrative pronoun iki 'this', is lexicalized in three lexemes, iki, niki and menika in the levels ngoko, madya and krama respectively. Javanese has many personal pronoun lexemes, which are related to the three speech levels mentioned above, and which vary according to whether, the pronoun is in the first person, second person or third person. There are eight lexemes, which refer to the first person (singular and plural), forteen lexemes for the second person (singular and plural) and five lexemes for the third person (singular). All of those lexemes can be grouped according to its speech level. Any personal pronoun lexeme will imply the social status of the speaker using it. Spatial deixis in Javanese distinguishes between local deictic domains which are in the speaker's vicinity, outside the speaker's vicinity and remote from the 'speaker. In the time deixis can be found lexemes which refer to the time of speaking, the past time and future time. There are lexemes which be used only to convey a time point, a time period or both. In the Javanese deixis we find deixis neutralization. This term may be illustrated by an example the word menika 'this', from the high speech level, corresponds to the words iki, kuwi and kae from the low speech level. Iki 'this' (to refer to the vicinity of the speaker), kuwi 'that' (to refer to domains outside the vicinity of the speaker) and kae 'that' (to refer to domains remote from the speaker). The' fact that the word menika has three equivalents, iki, kuwi, kae shows that there is no deictic distinction of demonstrative pronouns in the high speech level. However, neutralization of this type only occurs in the spatial deixis. This investigation of invariant meanings of deictic expressions can find the appropriate referent of the deictic words and their constraints of the acceptability in the practice. Furthermore, we can also know the application's rule of the non-deixis words used as deictic words. The most important conclusion of this investigation is that Javanese speech levels are a semantics problem, particularly in the case of social deixis. The three speech levels refer to the referent, which in turn implies different social status.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Lamria
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan secara luas penerjemahan unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dalam novel Absolute Power, Remember Me, dan Heart Beat serta terjemahannya Kekuasaan Absolut, Rumah Kenangan, dan Debar Hati, Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif melalui kajian teks. Metode ini diterapkan dalam liga tahap, yaitu pengumpulan data, kiasifikasi data, dan analisis data. Penelitian ini merupakan penelitian terjemahan. Konsep padanan merupakan tumpuannya. Dalam penerjemahan unsur leksikai kebudayaan material bahasa Inggris ke bahasa Indonesia untuk konsep yang dikenal dalam budaya Indonesia ditemukan padanan leksikal harfiah, padanan leksikal tidak harfiah, padanan dengan hubungan leksikal sinonim, padanan dengan kata generik-spesifik, dan padanan figuratif. Untuk konsep unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris yang tidak dikenal dalam budaya Indonesia ditemukan padanan dengan frasa deskriptif, padanan dengan kata generik yang dimodifikasi, padanan dengan kata BSu yang dimodifikasi, padanan dengan kata serapan, dan padanan substitusi kultural. Sebagai akibat peggunaan padanan tersebut terlihat adanya pergeseran bentuk, pergeseran makna, pengupayaan padanan kultural, dan pemberian konteks. ......This study is aimed at discribing in general the translation of material culture lexical items of English into Indonesian in English? novels Absolute Power, Remember Me, and Heart Beat and the Indonesian translation versions Kekuasaan Absolute, Rumah Kenangan, and Debar Hati. The problem to be investigated is how the English material culture lexical items are translated into Indonesian. The descriptive method through text surveys is employed in this work. The method is applied in three stages, i.e. data collection, data classification, and data analysis. The result shows that in the translation of English material culture lexical items into Indonesian, the lexical equivalents when concepts are shared in Indonesian are literal lexical equivalents, nonliteral lexical equivalents, equivalence involving synonyms, generic-spesific equivalents, and figurative equivalents. The lexical equivalents when concepts of English material culture lexical items are unkonwn in Indonesian are descriptive phrases equivalents, equivalence by modifying a generic word, equivalence by modifying a source language word, eguivalence by loan word, equivalence by cultural substitute, and equivalence by underlining a source language word. There are four , i.e. transposition, modulation, cultural substitution, and Contextual conditioning from the concequences of the equivalents.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar Ruskhan
Abstrak :
Kontak bahasa yang terjadi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain akan berpengaruh pada bahasa yang bersangkutan. Kontak bahasa itu tidak dapat dipisahkan dengan kontak budaya yang terjadi, bahkan dipandang sebagai salah satu aspek kontak budaya. Weinreich (1953:5) menyebutkan bahwa pengaruh bahasa lain ke bahasa tertentu merupakan difusi dan akulturasi budaya. Menurut Schuchardt seperti yang dikutip Haugen (1992:198), pengaruh tersebut terlihat pada kosakata yang dipungut oleh bahasa tertentu. Hal itu merupakan ciri keuniversalan bahasa. Tidak ada satu bahasa pun yang luput dari pengaruh bahasa atau dialek lain. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka, misalnya, memungut tidak kurang dari separuh kosakatanya dari bahasa Latin, Yunani, Skandinavia, dan Perancis (Robins, 1991:438; Gonda, 1973: 26; Moeliono, 1968:441; 1981:162). Bahkan, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa Eropa yang terbuka terhadap pungutan (Jespersen, 1955; Baugh, 1968; Ahmad, 1992). Masalah pemungutan ke dalam suatu bahasa berkaitan dengan tingkat kedwibahasaan masyarakat yang melakukan perriungutan itu (Haugen, 1950; 1973; Broselow, 1991:200--201). Pada awalnya pemungutan terbatas pada penutur dwibahasawan. Setelah meniadi pungutan ("barang jadi"), penutur ekabahasawan memanfaatkannya meniadi kata sehari-hari (Moeliono, 1989: 162; Samsuri, 1980:58). Hal itu ditandai pula oleh penggunaan dua bahasa secara bergantian dan berturut-turut oleh penutur dwibahasawan atau alih kode (Haugen, 1992:198), baik dalam bentuk sebuah kalimat maupun di antara kalimat sehingga menghasilkan butir pungutan baru ke dalam perbendaharaan bahasanya (Clyne, 1987). Kondisi yang demikian berlaku pula di dalam bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat yang multibahasa, alih kode yang menghasilkan pemungutan itu berlangsung dalam kehidupan berbahasa. Hal itu terlihat dengan cukup banyaknya pungutan dari berbagai bahasa, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Salah satu pungutan itu berasal dari bahasa Arab. Pengaruh Bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu--yang kemudian bernama Bahasa Indonesia--bersamaan dengan masuk agama Islam ke Nusantara. Berkaitan dengan pengaruh bahasa Arab itu, ada baiknya dikemukakan pandangan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara. Ada dua pandangan mengenai masuknya agama Islam ke Nusantara ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-7 (Baried, 1982; Sudarno, 1990; Dasuki et al., 1993; Azmi, 1993; Tiandrasasmita, 1993) dan pandangan lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi (Tiandrasasmita, 1993; Abdulgani, 1993).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanisyah Fahmi
Abstrak :
Penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan yaitu dengan menggunakan kamus ekabahasa bahasa Perancis dan kamus ekabahasa bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketepatan padanan yang diberikan pada satuan leksikal perumahan dan melihat apakah kamus tersebut dapat disebut sebagai kamus produksi. Pengumpulan data dilakukan dengan memilih kata kepala yang padanannya mengacu pada perumahan dan terdapat pada kamus umum Perancis-Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito dan Hartono Ruslan D.E.S. Data dikelompokkan menurut kiasifikasi bangunan tempat tinggal yang dikemukakan oleh Dewey (1965:113). Penelitian tentang ketetapen padanan dilakukan dengan menggunakan teori analisis sem yang dikemukakan oleh Tutescu (1979:75). Penelitian untuk melihat apakah kamus tersebut dapat disebut sebagai kamus produksi (bahasa Perancis bahasa ibu pemakai kamus) dilakukan dengan membandingkan cara penyajian padanan, tipe padanan, bahasa yang digunakan dalam keterangan penjelas, dengan kaidah-kaidah penyusunan kamus dwibahasa serta dengan melihat ketepatan padanan yang diberikan. Teori yang dipergunakan dalam analisis Cara penyajian padanan dan bahasa yang dipergunakan dalam keterangan penjelas adalah teori yang dikemukakan oleh Al-Kasimi {1977:68 dan 23). Teori yang dipergunakan dalam analisis tipe padanan adalah teori tipe padanan pada kamus dwibahasa yang dikemukakan oleh Zgusta (1971:32) dan A1-Kasimi (1977:61). Hasil penelitian menunjukan bahwa 33,33% dari padanan yang diberikan adalah merupakan padanan yang tepat, 65,31% padanan yang kurang tepat dan 1,36% padanan yang salah. Sebagai sebuah kamus produksi, kamus tersebut kurang memadai karena: 52,38% dari padanan yang diberikan merupakan padanan tipe penjelasan yang tanpa disertai keterangan penjelas, 4,76% padanan tipe penjelasan yang disertai keterangan penjelas, hanya 40,14% padanan tipe sinonim tanpa keterangan penjelas dan 2,72% padanan tipe sinonim yang disertai keterangan penjelas. Sebagai sebuah kamus produksi, penyusun kamus harus mengutamakan padanan tipe sinonim agar padanan tersebut dapat dipersiapkan dalam kalimat-kalimat yang mempergunakan bahasa Indonesia. b. Padanan yang berasal dari satuan leksikal bahasa sumber yang merupakan polisemi tidak diberi keterangan penjelas yang menunjukkan perbedaan makna padanan.Sebagai sebuah kamus produksi, padanan yang demikian harus diberi keterangan penjelas agar pemakai kamus dapat membedakan makna padanan yang diberikan dari padanan lain yang juga dimiliki oleh kata kepala yang sama dan dapat mempergunakannya dalam konteks yang tepat. c. Bahasa yang digunakan dalam keterangan penjelas adalah bahasa Indonesia. Sebagai sebuah kamus yang ditujukan bagi pemakai kamus yang bahasa ibunya bahasa Perancis, keterangan penjelas harus disajikan dalam bahasa Perancis agar pemakai kamus dapat memahami penjelasan yang diberikan penyusun kamus.d. Sebagian besar {65,31%) dari padanan yang diberikan merupakan padanan yang kurang tepat. Sebagai sebuah kamus produksi, padanan yang. diberikan harus merupakan padanan yang tepat agar kalimat-kalimat yang dibentuk dengan mempergunakan padanan tersebut merupakan kalimat yang baik dan memiliki makna yang sama dengan pesan yang ingin disampaikan penulis atau pembicara. Satuan leksikal bahasa sumber yang padanannya mengacu pada perumahan sebaiknya diteliti kembali dan diadakan perbaikan. Sebaiknya penulis kamus mengaktifkan penggunaan keterangan penjelas agar padanan yang maknanya hanya mencakup sebagian maknasatuan leksikal bahasa sumber dapat sepadan dengan makna sebenarnya. Kamus yang ditujukan bagi pemakai kamus yang bahasa ibunya bahasa Indonesia sebaiknya tidak disatukan dengan kamus yang ditujukan bagi pemakai kamus yang bahasa ibunya bahasa Perancis, agar bentuk penyajian kamus tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan pemakai kamus dan kaidah-kaidah penyusunan kamus dwibahasa yang berlaku.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinasti Prabandari
Abstrak :
Penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu dengan menggunakan kamus ekabahasa bahasa Perancis dan kamus ekabahasa bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai padanan dan tipe padanan yang diberikan oleh penyusun kamus. Pengumpulan data dengan memilih satuan leksikal nomina bahasa Perancis yang mendapat padanan makna kiasan (berlabel kias) dalam Kamus Umum Perancis-Indonesia. Data yang diperoleh berjumlah 86 satuan leksikal dengan 114 padanan. Penelitian terhadap padanan dilakukan dengan menggunakan teori analisis sem yang dikemukakan oleh Tustescu (1979:75). Penelitian terhadap tipe padanan dilakukan dengan menggunakan teori pembagian tipe padanan oleh Zgusta (1971:319) dan Al-Kasimi (1977:60). Hasil analisis padanan menunjukkan bahwa 31,58 % dari padanan yang diberikan merupakan padanan yang tepat, 39,47 % padanan kurang tepat dan 28,95 % padanan yang menyimpang. Adapun hasil analisis tipe padanan menunjukkan bahwa 83,33 % dari padanan yang diberikan penyusun kamus menggunakan tipe padanan terjemahan, 14,04 % tipe penjelasan dan 02,64 % tipe padanan terjemahan yang disertai keterangan penjelas. Tingginya frekuensi pemakaian tipe padanan terjemahan ini menunjukkan bahwa prosedur penyusunan kamus dwibahasa yang dimaksudkan sebagai kamus produksi, yaitu dengan mengutamakan padanan tipe terjemahan, telah dipenuhi oleh penyusun kamus. Namun, sayangnya penyusun kamus masih kurang cermat dalam menyelaraskan satuan leksikal bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang makna leksikalnya sama.
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S14555
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Shastrini
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian dilakukan berdasarkan penelitian kepustakaan, yaitu dengan menggunakan kamus ekabahasa BP dan kamus ekabahasa BI. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tepat, kurang tepat atau menyimpangnya padanan yang diberikan pada satuan leksikal yang mengacu pada ekologi dan melihat apakah kamus tersebut dapat disebut sebagai kamus produksi.

Pengumpulan data dilakukan dengan memilih satuan leksikal yang padanannya mengacu pada ekologi, yang terdapat dalam Kamus Umum Perancis - Indonesia susunan Prof. Drs. S. Wojowasito dan Hartono Ruslan D.E.S. Data yang diperoleh berjumlah 1117 satuan leksikal. Mengingat terbatasnya waktu penelitian, data dibatasi hanya 10% dari jumlah satuan leksikal yang ditemukan dalam setiap abjad. Jumlah akhir data yang diperoleh adalah 112 satuan leksikal dengan 114 padanan. Data dikelompokkan menurut konsep ekologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986: 330-331).

Penelitian padanan dilakukan dengan menggunakan teori analisis sem yang dikemukakan oleh Tutescu (1979: 75) serta Nida dan Taber (1969: 71). Penelitian untuk melihat apakah kamus tersebut dapat disebut sebagai kamus produksi dilakukan dengan membandingkan tipe padanan yang terdapat dalam KUPI dengan teori-teori penyusunan kamus dwibahasa serta dengan melihat tepat, kurang tepat atau menyimpangnya padanan. Teori yang dipergunakan adalah teori tipe padanan pada kamus dwibahasa oleh Zgusta (1971: 32) dan Al-Kasimi (1977: 61).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Padanan satuan leksikal yang mengacu pada ekologi sebagian besar tepat (58 buah atau 50,88%). (2) Tipe padanan yang diberikan sebagian besar (76 buah atau 86,67%) merupakan padanan bertipe sinonim. Sebagai sebuah kamus produksi, penyusun kamus harus mengutamakan padanan tipe sinonim agar padanan tersebut dapat dipersiapkan dalam kalimat yang menggunakan BI. (3) Padanan yang berasal dari satuan leksikal BSu yang merupakan polisemi tidak diberi keterangan penjelas yang menunjukkan perbedaan makna padanan. Sebagai kamus produksi, padanan yang demikian harus diberi keterangan penjelas agar pemakai kamus dapat membedakan padanan yang diberikan dari padanan lain yang juga memiliki kata kepala yang sama dan dapat mempergunakannya dalam konteks yang tepat. (4) Padanan yang diberikan seringkali menggunakan kata-kata sejenis, sebangsa', semacam dan sebagainya. Dalam menyusun sebuah kamus penyusun kamus sebaiknya menghindari pemakaian kata-kata tersebut.

Satuan leksikal BSu yang mengacu pada ekologi sebaiknya diteliti kembali dan dilakukan perbaikan. Sebaiknya penyusun kamus memperhatikan analisis komponen makna satuan leksikal BSu dengan cermat sehingga akan didapat padanan yang tepat. Penggunaan keterangan penjelas dan contoh-contoh kalimat dirasa perlu sehingga dapat memperjelas perbedaan makna padanan yang polisemi dan untuk memberikan informasi semantik satuan leksikal BSu. Penggunaan kata-kata sejenis, sebangsa, _semacam dan sebagainya sebaiknya dihindari, karena selain menunjukkan ketidakpastian dalam analisis komponen makna, hal tersebut juga menyalahi kaidah-kaidah penyusunan kamus.
1989
S14275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Prisilla
Abstrak :
Dalam skripsi ini saya menganalisis realisasi leksikal onomatope dalam komik bahasa Jerman dan komik bahasa Indonesia. Fokus penelitian saya adalah membandingkan persamaan dan perbedaan realisasi leksikal onomatope yang muncul dalam komik berbahasa Jerman dan realisasi leksikal onomatope yang muncul dalam komik berbahasa Indonesia, dari segi semantik dan fonologi. Skripsi ini terdiri dari empat bab. Teori-teori yang tersaji dalarn bab II terdiri dari teori struktur teks dalam komik dari Noth, teori konsep dasar tanda Peirce, teori penandaan makna dari Humboldt, teori tiruan bunyi dari Gross, serta teori sistem bunyi bahasa Jerman dan sistem bunyi bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa, pada realisasi leksikal onomatope dalam komik, baik komik berbahasa Jerman maupun komik berbahasa Indonesia, terdapat persamaan bunyi dominan dan kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata onomatope, yang mengacu pada makna referensial yang sama. Kesamaan yang dimiliki oleh kata-kata onomatope berbahasa Jerman maupun onomatope berbahasa Indonesia tersebut, menunjukkan bahwa meskipun dalam kedua bahasa tersebut memiliki tafsir yang berbeda satu sama lain terhadap suatu realita bunyi yang sama, tetap terdapat kemiripan dalam onomatope pada keduanya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S15149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Rudi Hartono
Abstrak :
[ABSTRAK
Tesis ini akan membahas tentang konsep jogekankei yang ada dalam gaya bahasa enkyokuhou. Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah memaparkan adanya konsep jougekankei didalam percakapan yang menggunakan gaya bahasa enkyokuhou yang dilakukan kebanyakan oleh bawahan (buka) kepada atasan (joshi). Untuk penelitian ini pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan kulitatif dengan menggunakan novel Nihon Kogyou Ginkou karya Ryo Takasugi untuk memahami konsep jougekankei yang ada didalam gaya bahasa enkyoukuhou. Untuk metode pengumpulan data penulis menggunakan metode kepustakaan. Untuk menganalisis penulis akan menggunakan dua metode yaitu Metode Interpretatif dan Metode Deskriptif. Dalam Metode Deskriptif Analisis ini penulis akan memamparkan hasil pemahaman penulis setelah menganalisis data agar dapat dipahami oleh pembaca.Metode yang ketiga adalah metode wawancara. Data yang dianalisis ada sepuluh buah. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Engkyokuhou terbagi dalam dua kelompok besar yaitu enkyokuhou berjenis Gramatikal dan enkyokuhou berjenis Leksikal. Enkyokuhou berjenis Gramatikal terdapat dua fungsi dan enkyokuhou berjenis Leksikal terdapat empat fungsi.
ABSTRACT
This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech. The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors (joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method, the writer describes his understanding of the data . The third data collection method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech. The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors (joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method, the writer describes his understanding of the data . The third data collection method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech. The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors (joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method, the writer describes his understanding of the data . The third data collection method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech. The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors (joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method, the writer describes his understanding of the data . The third data collection method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has two functions and lexical has four functions.;This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech. The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors (joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method, the writer describes his understanding of the data . The third data collection method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has two functions and lexical has four functions., This thesis will discuss the concept of jogekankei in enkyokuhou figure of speech. The study aims to describe the jougekankei concept in conversation that uses jougekankei conducted mostly by subordniates (buka) to their superiors (joshi). For this research, the writer uses the qualitative approach, by using Nihon Kogyou Ginkou novel by Ryo Takasugi to to understand the jogekankei concept in enkyoukuhou figure of speech . To collect the data, the writer uses literary analysis method. To analyze the data, the writer uses two methods: Interpretative Method and descriptive methods. When using Descriptive Analysis Method, the writer describes his understanding of the data . The third data collection method is interview. There are ten collections of data to be analyzed. In general, it can be concluded that Engkyokuhou is divided into two major groups, namely grammatical enkyokuhou and lexical enkyokuhou . Grammatical Enkyokuhou has two functions and lexical has four functions.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Bayu Nugroho
Abstrak :
Pemarkah gaya bahasa (PGB) adalah tanda atau fenomena kebahasaan khusus dalam wacana yang digunakan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan maksud tertentu dan yang memungkinkan peneliti atau pembaca untuk mengidentifikasi atau mengenali gaya bahasanya. Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai PGB dalam swaterjemah karya sastra. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan variasi PGB TSu dan TSa yang berdampak pada persepsi ideologis pengarang-penerjemah. Penelitian ini menggunakan rancangan yang sesuai dengan metode kualitatif dengan analisis wacana kritis atas novel The Question of Red sebagai TSu dan novel Amba sebagai TSa. Data penelitian berupa pemarkah gaya bahasa yang termasuk kategori leksikal di dalam TSu dan terjemahannya di dalam TSa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan dengan pola PGB tertentu di dalam TSu diterjemahkan menjadi ungkapan dengan pola PGB yang sama, menjadi ungkapan dengan pola PGB yang berbeda, menjadi ungkapan dengan pola PGB yang diperluas atau direduksi, atau tidak diterjemahkan. Fenomena ini disebut sebagai variasi PGB yang dapat diklasifikasikan menjadi (1) invariasi pemarkah, (2) ekstensi pemarkah, (3) reduksi pemarkah, (4) transposisi pemarkah, (5) penambahan pemarkah, dan (6) eliminasi pemarkah. Sebagai sebuah penciptaan ulang novel Amba mengalami sejumlah besar pengubahan pola PGB kategori leksikal. Namun, secara umum narasi ideologis yang dibangun tidak berubah meskipun variasi eliminasi pemarkah mengakibatkan banyak kategori leksikal yang mengandung persepsi ideologis pengarang penerjemah tidak diungkapkan di dalam TSa. ......Style markers are specific linguistic markers or phenomena in a group of discourse used by an author to achieve certain intentions and allow researchers or readers to identify or recognize his/her style. This research is a case study of the style markers in a literary self-translation. The purpose of this study is to identify variations of the style markers of the ST and TT which affects the ideological perception of the self-translator. This study uses a qualitative method design by applying a critical discourse analysis on the novel The Question of Red as the ST and Amba as the TT. The research data are in the form of lexical category markers in the ST and their translations in the TT. The results show that expressions with certain style markers patterns in the TT are translated in various ways, such as translated into expressions with the same patterns, translated into expressions with different patterns, translated with extension or reduction of the patterns, or left untranslated. These phenomena can be classified into six variations of style markers as (1) invariance, (2) extension, (3) reduction, (4) transposition, (5) addition, and (6) elimination of the markers. As a re-creation, Amba undergoes a large number of variations of lexical categories of style markers. However, in general the ideological narrative constructed does not change even though elimination of markers results in the presence of many lexical categories containing ideological perceptions of the self-translators that are not expressed in the TSa.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>