Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Seorang wanita usia 22 tahun datang dengan keluhan utama timbul bercak kemerahan dan rasa gatal pada wajah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lainnya adalah timbul bengkak pada kedua tungkai, nyeri tenggorokan, dan batuk. Pasien sedang dalam pengobatan untuk lupus eritematosus sistemik dan tuberkulosis paru (sejak 12 hari yang lalu). Pada pemeriksaan fisik, pasien kompos mentis, hemodinamik stabil, dengan edema anasarka, lesi multipel makulo purpura yang tersebar pada tubuhnya, konjungtivis pada kedua mata, lesi multipel ulserasi di rongga mulut, dan tampak eritema pada mukosa genitalia. Hasil laboratorium menunjukkan anemia, lekopenia, hipoalbuminemia, proteinuria. Kami mencurigai pasien ini menderita sindrom Stevens Johnson akibat obat antituberkulosis. Selama perawatan, kami menghentikan pemberian obat antituberkulosis, dan memberikan metilprednisolon parenteral, serta terapi suportif lainnya. Pasien diizinkan untuk rawat jalan setelah terjadi perbaikan klinis dan dapat mobilisasi sendiri.

Abstract
A 22-year-old woman was admitted to the hospital because of 5-days history of redness and itch on her face. Additional complains were swelling on her feet, sore throat, and cough. Patient was on treatment for systemic lupus erythematosus and pulmonary tuberculosis (since 12 days). On physical examination, patient was alert, stable hemodynamic, anasarca edema, multiple purpuric macules lesion spread on her body, conjunctivitis of both eyes, multiple oral ulcers, erythema on genital mucosa. Laboratory results were anemia, leucopenia, hypoalbuminemia, proteinuria. We suspected this patient as Stevens Johnson syndrome due to tuberculostatic drugs. During treatment, we stopped the tuberculostatic drugs, and gave her parenteral methylprednisolone, with other supportive treatments. The patient was discharge after improvement of clinical condition and capable of self mobilization."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Atma Jaya. Fakultas Kedokteran], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Indriyani
"ABSTRAK
Latar belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun pada anak yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu faktor risiko yang diduga berdampak terhadap morbiditas pasien LES yakni penggunaan kortikosteroid dalam waktu lama. Anak dan remaja dengan LES merupakan populasi dengan risiko lebih besar terhadap morbiditas muskuloskeletal, dalam hal ini rendahnya densitas mineral tulang dan osteoporosis.Tujuan: 1 Mengetahui gambaran densitas mineral tulang pada pasien LES anak dan remaja usia 5-18 tahun yang mendapatkan terapi glukokortikoid dan 2 Mengetahui gambaran karakteristik dosis kumulatif dan harian kortikosteroid, IMT, SLEDAI dan asupan kalsium dan vitamin D pada pasien LES anak, serta 3 Mengetahui gambaran parameter laboratorium yang menggambarkan metabolisme tulang seperti kadar kalsium, vitamin D, alkali fosfatase, fosfor dan kortisol pada pasien LES anak dengan terapi kortikosteroid.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif dengan mengikutsertakan 16 pasien LES yang berobat di poliklinik anak RSCM selama November-Desember 2016 dengan diagnosis LES. Pengambilan data dilakukan dengan melihat data rekam medis, penilaian skor SLEDAI Systemic lupus erythematosus Disease Activity Index , asupan kalsium dan vitamin D, serta parameter laboratorium. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry DEXA dengan melihat skor Z.Hasil: Densitas mineral tulang yang rendah skor-Z

ABSTRACT
Background Systemic lupus erythematosus SLE is an autoimune disease affecting children with significant numbers of morbidity and mortality. One of risk factors for morbidity is chronic corticosteroid use. Child and adolescent with SLE are susceptible population for musculosceletal morbidity especially low bone mineral density and osteoporosis. Aim 1 To determine the occurence of low bone mineral density among children with SLE, 2 to describe the characteristics, incuding cumulative and daily doses of corticosteroid, body mass index, SLEDAI, and calcium and vitamin D intake among children with SLE, and 3 to describe bone metabolism laboratory paramaters including serum calcium, vitamin D, ALP, phosphorus, and cortisol among children with SLE receiving corticosteroid. Method A descriptive cross sectional study involving 16 children with SLE attending child and adolescent outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital during November December 2016. Data were recorded from patients rsquo medical records, scoring SLEDAI, performing laboratory examinations, and measuring calcium and vitamin D intakes. Bone mineral density was measured using DEXA and reported using Z score. Result Low bone mineral density accured among 7 16 patients. The mean total bone mineral density was 0,885 0,09 g cm2. Children with SLE receiving corticosteroid had low calcium 8,69 0,50 mg dL , vitamin D 19,3 5,4 mg dL , ALP 79,50 43,00 164,00 U L , morning cortisol level 1,20 0,0 10,21 ug dL , and calcium 587,58 213,29 mg d and vitamin D 2,9 0 31,8 mcg d intake. Patients with low bone mineral density tend to had higher cumulative doses of corticosteroid with longer treatment duration. Conclusion The occurence of low bone mineral density was observed among children with SLE receiving corticosteroid treatment. Low bone mineral density tend to occur among patients with higher cumulative doses and longer duration of corticosteroid treatment."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arrum Shafa Maulidiazmi Umar
"Penelaahan ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai peran faktor stres terhadap kejadian Lupus Eritematosus Sistemik, khususnya pada aspek fisik dan aspek psikologis penyintas LES. Penelaahan kualitatif ini menggunakan desain literature review. Hasil penelaahan ditemukan 9 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek fisik, dan 11 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek psikologis penyintas LES. Sebagian jurnal internasional berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Hanya terdapat dua jurnal yang berasal dari Asia (Korea dan Jepang). Jurnal internasional terlama yang digunakan dalam penelaahan ini adalah jurnal oleh Wekking, et al yang dipublikasi pada tahun 1991. Sedangkan jurnal internasional terbaru adalah jurnal oleh Sumner, et al pada tahun 2019. Dampak dari faktor stres lebih mendominasi pada aspek psikologis pasien LES. Kesimpulan dari penelaahan ini, yaitu stres dapat memicu flare dan memperburuk gejala LES. Jenis stres yang paling berpengaruh dalam munculnya flare dan perburukan gejalanya adalah daily stress (interpersonal dan stres dari lingkungan pekerjaan). Daily stress juga menimbulkan dampak pada emosional, kognitif, dan perilaku pasien. Hal tersebut didukung oleh persepsi pasien, dan penelitian perbandingan antara pasien LES dengan kontrol maupun pasien penyakit autoimun lain. Intervensi kognitif-perilaku dan psikologis dapat menjadi alternatif dalam penurunan tingkat stres pasien LES.

The focus of this study is to know about the role of stress in Systemic Lupus Erythematosus, especially on the physical aspects and psychological aspects of SLE patients. This qualitative study uses a literature review design. The study found 9 international journals that discussed the role of factors in physical aspects, and 11 international journals that discussed the role of factors in the psychological aspects of SLE patients. Most international journals were from the United States and Europe. There were only two journals from Asia (Korea and Japan). The oldest international journal used in this study was journal by Wekking, et al published in 1991. The latest international journal used in this study was journal by Sumner, et al in 2019. The conclusion from this review, that stress can trigger flares LSE symptoms. Source of stress that can trigger flares and worsen symptoms most is daily stress (interpersonal and stress from the work environment). Daily stress also affects the emotional, cognitive, and behavior of patients. These facts supported by patients' perceptions, and studies between SLE patients and controls as well as other autoimmune disease patients. Cognitive-behavioral and psychological interventions can be alternatives in reducing the stress level of SLE patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Azizah
"Keikutsertaan peran keluarga dalam penatalaksanaan medis pada penderita Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) menjadi indikator penting dalam mempertahankan kualitas hidup yang baik untuk mencegah terjadinya eksaserbasi. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak yang menderita SLE, dan menyiapkan keluarga serta merawat anggota keluarga dengan SLE. Discharge planning sebagai salah satu bagian dari intervensi keperawatan untuk mempertahankan kontinuitas perawatan yang komprehensif dan aplikatif bagi perawat dan keluarga. Discharge planning memberikan dampak yang positif, yaitu dapat memastikan dengan aman kapan pasien siap untuk dipulangkan. Hasil karya ilmiah ini menyarankan instansi pelayanan dapat menjadikan discharge planning sebagai bagian dari proses keperawatan terintegrasi khususnya pada pasien dengan penyakit kronik.

Family role of medical management in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) to be an important indicator in maintaining a good quality of life to prevent exacerbations. The purpose of this papers is intended to provide an overview of nursing care to children with SLE, and set up a family in caring for family members with SLE. Discharge planning as a part of nursing interventions to maintain continuity and comprehensive care applicable to nurses and families. Discharge planning have a positive impact, can ensure the safety when the patient is ready to be discharged. The results suggest that health care providers can make discharge planning as a part of an integrated nursing process especially in patients with chronic disease.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah M. Saleh
"Latar belakang. Penilaian aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) dengan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) berperan penting dalam pemantauan atau follow up aktivitas penyakit LES pada anak. Saat ini belum ada data mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia.
Tujuan. Memantau aktivitas penyakit LES anak dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan.
Metode. Studi deskriptif untuk memantau aktivitas penyakit LES anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara retrospektif menggunakan data rekam medis dari bulan Juli 2005 hingga Juli 2013.
Hasil penelitian. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 30 pasien. Mayoritas penderita LES adalah perempuan. Rerata usia awitan 11,23 (SD 2,88) tahun dan rerata usia saat diagnosis ditegakkan 11,79 (SD 2,69) tahun, terbanyak didiagnosis di atas usia 10 tahun dan tidak ada yang di bawah usia 5 tahun. Median (rentang) waktu antara timbulnya gejala sampai diagnosis ditegakkan adalah 3 (1–84) bulan dan terbanyak pada jarak kurang dari 5 bulan. Terapi inisial yang paling banyak diberikan adalah kortikosteroid dalam bentuk metilprednisolon. Manifestasi klinis awal tersering adalah artritis, rash, dan demam, sedangkan untuk laboratorium adalah peningkatan dsDNA dan komplemen darah yang rendah. Perbedaan skor SLEDAI terutama terlihat antara pengamatan bulan ke-0 dengan bulan ke-3. Skor SLEDAI yang dinilai setiap 3 bulan menunjukkan perubahan aktivitas penyakit LES yang bermakna, dengan mayoritas high activity pada awal pengamatan menjadi no activity pada akhir pengamatan.
Simpulan. Penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit LES anak.

Background. Assessment of disease activity in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE) with SLEDAI scoring system has an important role in monitoring or follow up disease activity of pediatric LES. Currently no available data that assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months in Indonesia.
Objective. To assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months for one year observation.
Methods. Descriptive study to assess disease activity of pediatric SLE at Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record retrospectively from July 2005 until July 2013.
Results. Thirty patients were included in this study. Majority of SLE subjects were girls. Mean age at symptoms onset was 11.23 (SD 2.88) y.o and mean age at diagnosis was 11.79 (SD 2.69) y.o, most of them were diagnosed above 10 y.o and no one had below 5 y.o. The median of duration between symptoms onset and diagnosis was 3 (1–84) months, most of them had duration below 5 months. Majority of the subjects received corticosteroid in the form of methylprednisolone as initial therapy. Most common clinical manifestations were arthritis, rash, and fever, for laboratorium results were elevation of dsDNA and low complement level. The difference of SLEDAI score were especially obtained between the initial month with the 3rd months. SLEDAI score that assessed every 3 months showed significant disease activity changes, with majority of patients had high activity in the beginnning and became no activity in the end of observation.
Conclusions. Assesment of SLEDAI score every 3 months is useful for monitoring disease activity of pediatric SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elli Arsita
"Latar Belakang. Peran infeksi sebagai penyebab kematian telah banyak diteliti namun peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pada pasien lupus eritematosus sistemik (SLE systemic lupus erythematosus) yang dirawat inap masih kontroversi pada penelitian luar negeri dan belum pernah diteliti di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pasien SLE yang dirawat inap.
Metodologi. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan terhadap 181 episode perawatan pasien SLE yang dirawat di RSCM pada kurun waktu Januari 2008 - Desember 2012. Data dikumpulkan dari rekam medik. Variabel bebas infeksi dan perancu lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS, onset muda dan jenis kelamin laki-laki serta variabel tergantung mortalitas pasien SLE dianalisis bivariat dengan Chi-square. Variabel yang memiliki nilai p<0,25 dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah dari variabel infeksi dan perancu sehingga didapatkan crude OR serta adjusted OR.
Hasil. Mortalitas pasien SLE yang dirawat inap 22%. Pasien SLE yang dirawat dengan infeksi 90 orang (49,7%) dan 91 orang( 50,3%) tanpa infeksi. Jenis infeksi dari yang terbanyak pada pasien SLE yang dirawat inap adalah community acquired pneumonia.(CAP) (64,4%), HAP (18,8%), HCAP (5,6%), skin and soft tissue infection (5,6%). Pasien SLE yang dirawat dengan TB paru ada 14 orang(7,7%), riwayat TB paru 7 orang (3,9%). Penyebab kematian pada 40 pasien SLE yang dirawat yaitu syok sepsis irreversible 25 (62,5%), gagal napas 9 (22,5%), dan herniasi cerebri 2 (5%). Pada analisis bivariat infeksi, lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, dan steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS memiliki nilai p<0,25 sehingga dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE dengan adjusted OR adalah 7,4 (IK 95% 2,8 – 19,6).
Kesimpulan. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE yang dirawat inap.

Background. The role of infection as a cause of death is well known but the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is debatable due to variable results from prior studies in foreign country and never been done in Indonesia.
Objective. Investigating the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
Methods. A retrospective cohort study was conducted in 181 hospitalization episode of patients with SLE in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from January 2008 until December 2012. Data was collected from medical records. The independent variable was infection, confounders such as neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge, young onset, and male gender. Those variables were analysed bivariately using Chi-square test with mortality as the dependent variable. Variables with p<0.25 were analysed using multivariate logistic regression step by step until we got crude OR and adjusted OR of infection.
Results. Mortality of hospitalized patients with SLE is 22%. Infection was found in 90 patients (49.7%). The most common infection was community acquired pneumonia (64.4%). The most common cause of death was irreversible septic shock. Bivariate analysis showed that infection, neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, and use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge had p<0.25. Multivariate analysis showed that infection had crude OR 8.60 (CI 95% 3.39 – 21.83) and adjusted OR 7.4 (CI 95% 2.8 – 19.6).
Conclusion. Infection is a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Sukry Asdar Putra
"Pendahuluan. Sel punca mesenkimal (SPM) sangat menjanjikan dalam bidang rekayasa jaringan karena sifatnya yang multipoten, cepat berproliferasi, dan berkemampuan tinggi untuk beregenerasi. SPM sumsum tulang dapat menjadi terapi pilihan nekrosis avaskular (AVN) kaput femur yang banyak diderita oleh pasien lupus eritematosus sistemik (LES) pada masa sekarang ini. SPM sumsum tulang penderita LES mengalami gangguan fenotip, proliferasi, diferensiasi. Terapi SPM pada AVN kaput femur dapat menggunakan donor otologus yang dilaporkan memberikan hasil luaran yang baik dan keamanan yang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui potensi, karakteristik, dan diferensiasi SPM sumsum tulang pasien LES yang dihubungkan dengan usia.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian in vitro yang meneliti 4 subjek penderita LES di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Aspirat SPM sumsum tulang dilakukan isolasi, ekspansi dan diferensiasi. Analisis statistik menggunakan uji korelasi spearman untuk melihat hubungan usia pasien LES dengan waktu konfluensi, jumlah sel konfluens dan waktu diferensiasi osteogenik, kondrogenik, dan adipogenik.
Hasil dan Diskusi. Rerata jumlah sel konfluens adalah 7.44 x 105 ± 3.06 x 105 sel/ml, rerata waktu konfluens adalah 20.75 ± 4.99 hari, median waktu diferensiasi adipogenik yaitu 17.5 hari (rentang 14-21), waktu diferensiasi osteogenik dan kondrogenik yaitu 21 hari. Terdapat korelasi positif bermakna antara usia penderita LES dengan waktu konfluens SPM (p<0.001) dan korelasi negatif bermakna antara usia penderita LES dengan jumlah sel konfluens SPM (p<0.001).
Simpulan. SPM sumsum tulang krista iliaka penderita LES mampu diisolasi, berproliferasi dan berdiferensiasi. SPM sumsum tulang penderita LES memiliki waktu konfluens dan waktu diferensiasi yang lebih lama dan jumlah sel konfluens yang lebih sedikit.

Introduction. Mesenchymal stem cells (MSC) is very promising in the field of tissue engineering because it is multipotent, rapidly proliferate, and high ability to regenerate bone marrow. BM-MSC may be treatment of choice of avascular necrosis (AVN) of femoral head that affects many systemic lupus erythematosus (SLE) patients at the present time. BM-MSC of SLE patients has impairment in phenotype, proliferation, and differentiation. Mesenchymal stem cell therapy on femoral head AVN which use autologous donors are reported deliver good outcomes and safety. Therefore, research is needed to determine the potency, characteristics, and differentiation of BM-MSC in patients with SLE and related with age.
Methods. This study is in vitro study that examined four subjects as SLE patients in Cipto Mangunkusumo Hospital. BM-MSC of SLE patients is performed isolation, expansion and differentiation. Statistical analysis using pearson and spearman correlation test to see the correlation of age of SLE patients with confluence time, the number of confluence cells and differentiation time.
Result and Discussion. Mean of confluent cell numbers is 7.44 x 105 ± 3.06 x 105cells/ml, mean of confluent time is 20.75 ± 4.99 days, median of adipogenic differentiation time is 17.5 days (range 14-21), osteogenic and chondrogenic differentiation time is 21 days. There is a positive correlation between patient?s age with confluence time (p <0.001) and negative correlation with MSC confluence cell count (p <0.001).
Conclusion. BM-MSC form iliac crest in patients with SLE can be isolated, proliferated and differentiated. BM-MSC of SLE patients has longer confluence time and differentiation time and lower confluence cell count.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>