Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Supomo
Abstrak :
Setiap tahun 12 juta anak di dunia meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Sekitar 70% meninggal karena pnemounia, diare, campak, malaria dan malnutrisi, serta seringkali merupakan kombinasi dari keadaan penyakit tersebut diatas. Di Indonesia penyebab utama kematian bayi dan balita adalah Tetanus Neonatorum (TN) 19,3%, gangguan perinatal 18,4%, diare 15,5%, pnemounia 12,4% dan difteri pertusis, campak 9,4% (SKRT 1995). Pendekatan MTBS (Manajemen Terpadu balita Sakit) adalah suatu pendekatan keterpaduan tatalaksana balita sakit yang memadukan pelayanan promotif, preventif dan kuratif pada lima penyakit penyebab utama kematian pada bayi dan balita di negara berkembang yaitu: pneumonia, diare, malaria, campak dan malnutrisi. Pelaksanaan pendekatan MTBS sudah dilaksanakan sejak tahun 1997, dan dimulai di Jawa Timur pada dua kabupaten sebagai daerah percontohan yaitu Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Tulungagung. Suatu pendekatan baru yang diharapkan dalam pelaksanaan dan hasilnya akan lebih baik dari pada yang sebelumnya. Pendekatan MTBS diharapkan dapat memberikan kualitas penanganan terhadap balita sakit yang lebih baik, sehingga efektivitas penanganan penyakit pada balita dapat dilihat dari kemampuan petugas dimulai dari penilaian (Anamnesa dan pemeriksaan), menentukan klasifikasi (pengelompokan penyakit) dan menentukan tindakan dan pengobatan. Efektifitas dari penanganan penyakit pada balita sakit, pada penelitian ini tidak dilihat dari outcome-nya yang berupa kesembuhan. Penelitian ini merupakan suatu evaluasi ekonomi kesehatan, dengan menggunakan metode "Cost Efectivenes Analysis" terhadap Puskesmas yang melaksanakan pendekatan MTBS dan Non MTBS dengan judul "Analisis Biaya Pengobatan Kasus Penanganan Penyakit Pnemonia dan Diare di Puskesmas MTBS dan Non MTBS, di Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur Tahun 2001." Dengan tujuan mendapatkan gambaran alternatif terbaik dari kegiatan pelaksanaan pendekatan MTBS di Puskesmas Krian dan Puskesmas Sidoarjo, dengan membandingkan biaya satuan dengan cakupan kedua altematif tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penangan balita sakit dengan pendekatan MTBS yang dilaksanakan di Puskesmas Krian merupakan alternatif yang paling cost efektif ditinjau dari segi biaya pengobatan, dibandingkan dengan Puskesmas Non MTBS yaitu Puskesmas Sidoarjo. Dari hasil penelitian ini disarankan pendekatan MTBS perlu dikembangkan ke unit pelayanan kesehatan yang lain, yang belum melaksanakan dan disosialisaikan kepada legislatif, eksekutif / pemda, untuk mendapat dukungan dalam pencarian dana/anggaran agar penanganan balita sakit lebih cost effective. ......Cost Treatment in Case Handling Pneumonia and Diarrhea diseases in IMCI Health Center and non IMCI Health Center, Sidoarjo District, East Java Province, 2001Every year, 12 millions children die before they reach the age of 5 (five). Around 70 % of children pass away because of pneumonia, diarrhea, measles, malaria, malnutrition, and it is often because of combination of those diseases. In Indonesia, the main cause of infant and under-five children mortality is Tetanus Neonatorum (TN) 19,3 %, prenatal disorder 18.4 %, diarrhea 15.5 %, pneumonia and difteri pertusis 12.4 %, and measles 9.4 % (SKRT 1995). IMCI approach (Integrated Management of Childhood Illness) is an approach of managing integrity of childhood illness that combines promotive, preventive, and curative services in 5 (five) main cause diseases of infant and under-five children mortality in the developing countries, they are: pneumonia, diarrhea, malaria, measles, and malnutrition. The implementation of IMCI approach has been conducted since 1997, and in East Java, it is conducted in 2 (two) Districts as model region; Sidoarjo District and Tulungagung District. A new approach is looked forward to have better implementation and output than the previous approach. IMCI approach is expected to be able to give a better quality handling on childhood illness, so that the effectiveness of handling disease on under-five children can be seen from workers' capabilities starting from evaluation (Anamnesis and examination), determining classification (diagnosis), and determining actions and medical treatment. In this study, effectiveness of handling diseases on childhood illness cannot be seen from its outcome that is in the form of recovery. Cost Analysis Disease toward Health Center conducting IMCI and non IMCI approach by its title "Cost Treatment in Case Handling Analysis Pneumonia and Diarrhea diseases in Health IMCI Center and non IMCI Health Center, Sidoarjo District. East Java Province, 2001" with its purpose to be able to get best alternative description from implementation activities both in Krian and Sidoarjo by comparing unit costs with both alternative coverage. The result of this study shows that the handling of childhood illness by using IMCI approach conducted in Krian Health Center is the most effective alternative cost reviewed from medical treatment cost, comparing with non IMCI Health Center which is Sidoarjo Health Center. From the result of this study is advised that IMCI approach is needed to be developed in other health units that have not implemented and associated to legislative, executive 1 local government, in order to obtain support in achieving fund budget so that the handling of childhood illness can be more effective. This study is a health economy evaluation by using method.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T8330
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hudi. K. Wahyu
Abstrak :
Tingginya kunjungan pasien bayar karcis pada Balai Pengobatan Anak yang mencapai 8.744 kunjungan pada tahun 2001 merupakan peluang bagi Puskesmas Selabatu untuk meningkatkan pendapatan fungsionalnya melalui penyesuaian tarif, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat khususnya pelayanan pada BP Anak. Akan tetapi karena program kesehatan anak merupakan program yang mempunyai kontribusi terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat, maka besarnya tarif yang akan diberlakukan harus berdasarkan pada besarnya biaya satuan pelayanan serta mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Sedangkan permasalahan yang dihadapi untuk penyesuaian tarif tersebut adalah belum adanya informasi yang tepat tentang besarnya biaya satuan pelayanan khususnya pada Balai Pengobatan Anak, serta tingkat kemampuan dan kemauan membayar dari masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis tarif pelayanan pada Balai Pengobatan Anak serta mengukur tingkat kemampuan dan kemauan membayar dari masyarakat sehingga di peroleh informasi yang tepat utuk penyesuaian tarif yang rasional. Penelitian ini merupakan Penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengumpulan data biaya BP Anak dengan menggunakan data sekunder, sedangkan untuk data ATP/WTP masyarakat menggunakan data primer yang didapat dari wawancara langsung dengan rumah tangga terpilih. Perhitungan biaya satuan pelayanan didapatkan dari analisis biaya dengan metode double distribution. Kemudian untuk analisis tarif dikembangkan melalui simulasi tarif dengan menggunakan kurva ATP untuk memperkirakan besarnya penurunan utilisasi bila tarif dinaikkan. Hasil penelitian menunjnkkan bahwa biaya satuan aktual dengan investasi sebesar Rp. 4.442, biaya satuan tanpa investasi Rp.4.019, serta biaya satuan tanpa investasi dan gaji Rp. 2.559, dengan Cost Recovery Rate sebesar 24,68 %. Sedangkan biaya satuan normative sebesar Rp. 4.459 . Kenaikan tarif dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat, yang direkomendasikan pada BP Anak adalah untuk pemeriksaan oleh Dokter umum sebesar Rp 4.500,- dengan konsekuensi masyarakat tersingkir dari pelayanan sebesar 3 %. Sedangkan tarif untuk pemeriksaan oleh Dokter Spesialis Anak adalah Rp 4.500,- ke atas dengan catatan untuk jasa medisnya dilakukan perhitungan kembali . Dengan hasil tersebut disarankan bagi Puskesmas untuk mengusulkan kenaikan tarif kepada pengambil keputusan secara bertahap, dan untuk pemeriksaan oleh Dokter Spesialis Anak dibuka pada hari - hari tertentu, sedangkan untuk masyarakat yang tidak mampu diupayakan dengan pemberian kartu sehat. ......The high patient visit who reaches 8.744 in 2001 that paid by the ticket for the Children Medicine Hall of the opportunity income through the cost level, by aim to branch up the service quality to the community, specially the medicine service to the children. But the healthy program for the children showed the program that had the contribution for the high and low grade of the healthy community, so it's the big level that will be done must be base on the big maintenance the multi service of participant to consider the ability level and willingness to pay to the healthy service . While a problem which is stood before for the cost adaptation that is : it's not available the information which is exact about the big one of multi service, specially for the Children Medicine Hall, also the ability level and willingness to pay for community to the healthy service. So the public aim from research to analysis the cost of maintenance of the Children Medicine Hall so the ability level and willingness to pay from community so far as it's gained the information to get the exact to the rational cost adoption. This research showed the descriptive by the cross sectional design. The data collection only the Children Medicine Hall by using the secondary data, while for ATP/WTP community data uses the primer data that was gained from the direct interview with the selected house hold. The multi cost amount of service was obtained from the cost analysis by double distribution method, and then the cost analysis was branched up through the cost simulation by using curve ATP to think the big run down utilization if the cost was gotten an rise. The result research showed that the multi actual cost with the big infestation as much as Rp 4.442,- , the multi maintenance without infestation as much as Rp 4.019; also the multi cost out of infestation and salary as much as Rp 2.559,- by the cost recovery rate as much as 24,68 % , while the multi normative cost as much as Rp 4.459, The cost rise with consideration the ability level and willingness to pay the community that was recommended for the Children Medicine Hall was for checking up by the public doctor as much as Rp 4.500 ,- with consequence the community to get isolated from service as much as 3 % . While the cost for checking up by the specialist doctor as much as over of Rp 4.500,- with notice for the doctor incentive by doing the recounting. By the result was suggested for Public Health Centre to propose the cost rise up taking a decision in every phase, and to check up by the specialist doctor of children in the certain days was opened in exact days, while the community was not able to be effort by giving the healthy card.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T9879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neng Ulfah
Abstrak :
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat berperan dalam menunjang tercapainya tujuan pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang tangguh, mandiri serta berkualitas. Upaya peningkatan kualitas SDM ini harus dilakukan, dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan bebas pada era globalisasi. Penduduk yang sehat akan mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk. Salah satu misi yang ditetapkan dalam pembangunan kesehatan Indonesia adalah memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau. Hal ini mengandung makna bahwa salah satu tanggung jawab sektor kesehatan adalah menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat. Untuk mencapai nisi tersebut perlu didukung oleh berbagai sumber daya, diantaranya ketersediaan dana atau biaya yang cukup. Untuk menghasilkan suatu produk ( out put ) diperlukan sejumlah input. Biaya adalah nilai clari sejumlah input ( faktor produksi ) yang dipakai untuk menghasilkan suatu produk ( out put ). Out put atau produk bisa berupa barang atas jasa pelayanan Salah satu sarana kesehatan milik pemerirtah yang menghasilkan produk berupa jasa pelayanan kesehatan adalah rumah sakit, dimana jasa pelayanan kesehatan yang ada berupa pelayanan rawat jalan, rawat inap, laboratorium, radiologi dan lain-lain. Agar dapat menghasikan pelayanan tersebut, diperlukan sejumlah input antara lain fasilitas gedung, alat, obat, tenaga medis, serta input lainnya yang secara langsung digunakan oleh pasien, maupun yang secara tidak langsung menunjang kelancaran kegiatan seperti tenaga non medis, listrik, air, dan tenaga kebersihan. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta meningkatnya tingkat pendidikan dan pendapatan rnasyarakat, ternyata mempunyai pengaruh pada meningkatnya demand masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Selain terjadi peningkatan secara kuantitatif, juga terjadi peningkatan demand secara kualitatif, yaitu meningkatnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan yang lebih canggih dan bermutu. Hal ini disebabkan karena dengan makin meningkatnya taraf hidup masyarakat, maka makin meningkat jumlah penduduk usia lebih tua, sehingga jumlah penderita penyakit kardiovaskuter dan penyakit kronik degerenatif juga meningkat. Peningkatan demand masyarakat terhadap suatu produk, akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan sejumlah faktor produksi, diantaranya peningkatan kebutuhan akan biaya. Demikian pula fenomena yang terjadi pada pelayanan kesehatan Kebutuhan pembiayaan kesehatan terus meningkat. Dan ini menjadi beban tersendiri, terutama bagi sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah. Permasalahan pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit timbul karena adanya underfinancial, karena pemerintah menentukan tarif yang rendah bahkan gratis untuk beberapa pelayanan kesehatan. Kondisi demikian sebagian besar terjadi pada rumah sakit pemerintah pada beberapa negara berkembang, termasuk di Indonesia dimana tarif yang ditetapkan masih berada di bawah biaya satuan. Selain itu terjadi pula inefficiency ( ketidakefisienan dalam alokasi dana), dimana untuk dapat mempertahankan tarif yang rendah maka pemerlntah perlu mengeluarkan subsidi yang sangat besar di bidang pelayanan kesehatan. Selanjutnya permasalahan lain yang timbul dari kegiatan pembiayaan kesehatan adalah terjadinya inequites ( ketidakmerataan ), penetapan tarif yang sama mengakibatkan subsidi yang dikeluarkan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang relatif lebih mampu.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyantoro
Abstrak :
ABSTRAK Pelayanan kesehatan bagi peserta asuransi kesehatan (Askes) wajib, merupakan bagian dari pelayanan rumah sakit khususnya rumah sakit pemerintah (Departemen Kesehatan, Pemerintah Daerah, ABRI). Namun dalam pelaksanaannya sering terjadi perbedaan kepentingan yaitu pihak rumah sakit menganggap tarif yang diterapkan bagi peserta Askes wajib terlalu rendah sehingga menjadi beban biaya operasional, sedangkan pihak PT (Persero) Askes kemampuannya terbatas , karena premium yang diterima hanya sebesar 2% dari gaji pokok peserta. Supaya ada titik temu antara pihak manajemen rumah sakit sebagai penyedia pengelola dana Askes wajib, maka perlu dilakukan analisis terhadap biaya pelayanan sebagai pedoman dalam penentuan kebijakan tarif. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan melakukan analisis biaya terhadap salah satu bentuk pelayanan bagi peserta Askes wajib yaitu paket rawat inap harian yang terdiri atas kamar perawatan, paket ronsen, paket laboratorium, paket obat (sesuai DPHO / Daftar dan Plafon Harga Obat), jasa medik dan paket fisioterapi. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap pasien Askes wajib di ruang Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto pada Tahun Anggaran 1997/1998, menunjukkan bahwa tarif yang berlaku untuk paket rawat inap harian bagi pasien Askes wajib (Rp 35.000,00) masih lebih rendah sebesar Rp 11.200,55 dibanding biaya satuan aktual (Rp 46.200,55). Disamping itu bagi RSPAD Gatot Soebroto juga harus melaksanakan kebijakan MENHANKAM yaitu bagi peserta Askes wajib yang berasal dari pumawirawan ABRI dan pensiunan PNS Hankam / ABRI serta keluarganya, harus mendapatkan fasilitas rawat inap sesuai pangkat / golongan terakhir (kelas VIP, I, II, atau III), padahal hak semua pasien Askes wajib hanya di kelas Kebijakan tersebut tanpa disertai dengan dukungan dana / anggaran untuk subsidi biaya pelayanannya. Dengan demikian dalam memberikan pelayanan bagi peserta Askes wajib, RSPAD Gatot Soebroto harus menanggung beban subsidi ganda yaitu tarif Askes wajib yang lebih rendah dan biaya satuan dan beban dan pasien yang dirawat melebihi haknya sebagai peserta Askes wajib (lebih tinggi dari kelas III ). Untuk memecahkan masalah tersebut, perlu pengkajian ulang terhadap komponen paket dan nilai tarif Askes, serta kebijakan MENHANKAM terutama yang terkait dengan penambahan beban biaya. Kepustakaan : 36 (1982 - 1998)
ABSTRACT Every privileged health insured (ASKES) member is entitled to health care and services of government hospitals (Department of Health, Provincial Government, the Armed Forces). However, a conflict of interest arises between hospitals and the health insurance company (PT. ASKES). There former considers the tariff imposed on health insured members too low and a burdensome operational cost while the latter seems to have very limited funds out of the 2% premium levied on the basic salary of every health insured (ASKES) member. Hence, an analysis of medical service cost is necessary in formulating a good tariff policy agreeable to both parties. This research is an analytical descriptive research taking into consideration the cost analysis of medical services such as daily hospitalization package cost comprising wardroom, X-Ray package, laboratorium package, medicine package (According to Price List of Drugs) medical service fee and physiotherapy package for privileged health insured (ASKES) member. The research carried out on privileged health insured (ASKES) member hospitalized in the General Care Ward of the Central Army Hospital Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Soebroto) for the Fiscal Year 1997/1998, shows that the tariff for daily hospitalization package for privileged health insured (ASKES) by Rp. 11.200,55 compared to an actual cost of (Rp. 46.200,55). The Central Army Hospital Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Soebroto) is obliged to obey the policy of the Minister of Defense and Security (MENHANKAM) concerning medical care for privileged health insured (ASKES) members who are retired Armed Forces members and retired civilians of the Defense and Security Department / Armed Forces together with their family members. These people are entitled to hospitalization according to their ranks / last position (VIP Class, First Class, Second Class or Third Class). This instruction is contrary to the fact that all privileged health insured (ASKES) patients are only entitled to third class. Furthermore, no extra funds / budget / subsidy is provided for it Thus, the Central Army Hospital Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Soebroto) must bear the burden of double subsidy that is lower cost for privileged health insured (ASKES) members and the "Special Ones".
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanun Ernatyaswati
Abstrak :
Krisis moneter yang tidak kunjung selesai bahkan diikuti dengan krisis yang lainnya, memicu timbulnya dampak yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah peningkatan biaya kesehatan, sehingga menimbulkan beban ekonomi bagi orang yang membutuhkan. Begitu pula bagi perusahaan yang menjamin kesehatan para pegawainya seperti PT Pelindo II. RS Pelabuhan Jakarta yang merupakan penyelenggara pelayanan kesehatan bagi pegawai dan pensiunan berserta keluarganya dari PT Pelindo R juga merupakan salah satu anak perusahaan dari PT Pelindo II ikut bertanggung jawab untuk mengendalikan besarnya biaya yang timbul akibat kenaikan biaya pelayanan kesehatan. Sebelum diterapkan sistem kapitasi, PT Pelindo II melakukan cara pembayaran atas jasa pelayanan yang diberikan rumah sakit berdasarkan jasa per-pelayanan (fee-for-service). Sehingga anggaran setiap tabus untuk jaminan kesehatan parapegawai dan pensiunan berserta keluarganya meningkat terus tanpa dapat diprediksi. Sejak bulan April, PT Pelindo II yang merupakan salah satu pelanggan utama dari RS Pelabuhan Jakarta menjadi peserta JPKM sehingga berkewajiban membayar premi kepada Badan Penyelenggara (Bapel) RS Pelabuhan, dirnana Bapel merupakan badan penyelenggara asuransi kesehatan/lembaga pembayar kepada provider (RS Pelabuahn Jakarta). Sementara itu RS Pelabuhan Jakarta menerima pembayaran kapitasi dari Bapel RS Pelabuhan. Agar sistem pembayaran kapitasi berjalan sesuai seperti yang diharapkan, maka manajemen rumah sakit mengeluarkan beberapa kebijakan untuk membantu pelaksanaan kapitasi sehingga dapat membantu rumah sakit merencanakan pelayanan kesehatan yang akan diberikan tanpa menanggung kerugian dan tidak mengurangi. kualitas pelayanan kepada pasien. Perubahan pembayaran dari fee-for-service menjadi kapitasi, diharapkan dapat menunutkan biaya pemeliharaan kesehatan. Disini peneliti menyoroti biaya resep obat yang ditulis oleh dokter baik full timer maupun part-tinter dalam menangani kasus 10 penyakit terbanyak kunjungannya di rawat jalan RS Pelabuhan Jakarta untuk pelanggan dari JPKM (pegawai dari pensiunan berserta keluarga dari PT Pelindo II). Penurunan biaya resep obat rawat jalan diharapkan dapat ikut mengendalikan biaya pemeliharaan kesehatan bagi peserta JPKM tersebut karena biaya obat rawat jalan untuk pasien kelompok ini menyerap 75% lebih dari keseluruhan biaya untuk pemeliharaan kesehatan selama 5 tahun terakhir, bahkan sampai 80% untuk tahun 2001. Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi berbentuk "pre post test evaluation" yang bersifat kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari base data komputer Sistem Informasi RS Pelabuhan Jakarta Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah angka pemanfaatan di rawat jalan sesudah kapitasi mengalami penurunan sedikit dibandingkan sebelum kapitasi, yakni hanya 0,5%. Terjadi kenaikan penulisan obat generik baik oleh dokter full-timer maupun part-timer, masing-masing sebesar 4% dan 8%. Biaya rata-rata obat/resep yang ditulis dokter full-timer menurun secara bermakna terutama untuk penyakit hipertensi (p=0), gastritis (p=0)dan influenza (p=0,01).Jumlah resep yang bernilai lebih dan Rp. 200.000,- mengalami penurunan, dokter full timer sebesar ±6%, dokter part-timer 21,87%. Jumlah resep bernilai kurang atau sama dengan Rp. 200.000; meningkat untuk dakter 54,54%, perubahan ini dibuktikan bermakna terutama untuk penyakit hipertensi dan gastritis dan dokter part-timer sebesar 50,82%, yang bermakna pada 8 penyakit kecuali pharyngitis dan asthma bronchiale. Kesimpulan utama adalah tingkat pemanfaatan rawat jalan menurun kurang berarti sesudah diterapkan kapitasi dengan kebijakan pembatasan biaya resep terutama untuk penyakit kronis. Kenaikan penulisan obat generik terutama oleh dokter part-timer (8%), penurunan biaya rata-rata obat per-resep baik oleh dokter full-timer maupun part-timer serta terjadi penurunan jumlah resep obat yang mempunyai nilai biaya rata-rata obat per-resep lebih dari Rp. 200.000; untuk kedua jenis dokter. Peran dokter pengendali sangat besar dalam penurunan biaya resep obat rawat jalan. Saran peneliti, perlu dilakukan penelitian lanjutan dan peninjauan kembali kebijakan pembatasan obat terutama untuk pasien yang mempunyai penyakit kronik Daftar bacaan :23 (1985-2001)
The unfinished problem of the monetary crisis has triggered the development of other crisis where all together have brought about some unexpected impacts to the society_ One of the impacts is an increase in the health cost which creates a significant financial burden for those in need as well as for those companies which provide health insurance service for their employees. Pelabuhan Hospital, Jakarta, as an institution which provides health services for its employees and pensioners together with their families from PT Pelindo II, it also having a responsibility to manage its total cost as a consequence of the increase in the health cost. Prior to the application of the capitation system, PT Pelindo II had used the fee for service payment system. As the result, the management was not able to forecast the total health insurance cost for its employees and their families per year. Since the beginning of April 2002, PT Pelindo II, as one of the main customers of Pelabuhan Hospital, Jakarta, has become a JPKM member. As the consequence, PT Pelindo II is obliged to pay the premium to the organizing committee of Pelabuhan Hospital, Jakarta whereas, the organizing committee itself is a committee that manages the payment of the insurance to the Pelabuhan Hospital, Jakarta En order for the capitation system to work as expected, the hospital management has released a number of policies to support the implementation of this particular system as well as in planning the type of health service to be provided without affecting the quality of the services. The transformation of the fee for service type payment into the capitation system is expected to reduce the health cost. In the thesis, the writer highlights the prescription cost written by both fish-timer and part-timer doctors in handling 10 (ten) most common cases reported by the Out- patient Department of Pelabuhan Hospital, Jakarta for its customers from JPKM (employees, pensioners and theirs families from PT Pelindo II). The management expects that decline in the prescription costs at the out-patient department could provide a .contribution in controlling the health cost for JPKM members as the prescription cost for this particular group absorps more than 75% of the total health cost for the last five years period and the number once reached 80% in the year 2001. The study in thesis can be classified as a quantitative pre-post evaluation study where the data used are the secondary data taken from the database of the Information system department in Pelabuhan Hospital, Jakarta The result of this study shows that there is a minor change in the rate- utilization after the implementation of the capitation system (0,5%). There is also an increase in the generic type of medicine in the prescription for both full-time and part-time doctors, 4% for the full-timer and 8% for the part-timer. However, the average prescription written by full-time doctors has decrease significantly in particular for hypertensi (p=0), gastritis (p=0) and influenza (p=0,0l). In addition to that, there is also a decrease in the prescription with value of the Rp 200,000,- or more as prescribed by full-timer ( approximately 6%) and part-timer (21.87%). Meanwhile, there is an increase for the prescription with values less or equal to Rp 200,000, - for full-time doctor (64,34%) in cases like hypertension and gastritis, and this also happens for part-time doctor (50.82%) in 8 (eight) cases except for pharyngitis and asthma bronchiale. The main conclusion that can be drawn from this study is that the usage level of the capitation system in the out-patient department would only have a small impact to the rate-utilization. This small impact is mainly due to the management policy that restrict the prescription cost particularly for chronic cases, the increase in the prescription of the generic type medicine by the part-time doctor (8%), the decrease in the average medicine cost in prescription written by both full-time and part-time doctors, and the decrease in the prescription cost with average cost of more than Ap. 200,000,- for both full-timer and part-timer. In addition to that, it is also clear that the doctors, both full-timer and part-timer, play a significant role in reducing the prescription costs. Last but not least, the writer suggests that there is still a need for an advanced study in this system together with the review in the policy for the medicine restriction especially for those patients with chronical diseases. Bibliography :23 (1985-2001)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T12644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Purwanti
Abstrak :
Biaya pelayanan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat adanya krisis ekonomi yang terus berlanjut sehingga merupakan beban pembiayaan kesehatan bagi pemerintah daerah, hal ini berdampak pada puskesmas. Sementara itu belum diketahui biaya satuan pelayanan Balai Pengobatan di Puskesmas Lemah Abang II. Padahal ini perlu dilihat sebagai salah satu altenatif mobilisasi dana untuk mencukupi kebutuhan biaya operasional maupun pemeliharaannya dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, Pemilihan Puskesmas Lemah Abang sebagai tempat penelitian karena merupakan salah satu dari 5 Puskesmas dengan kunjungan terbanyak di Kabupaten Bekasi, salah satu puskesmas yang berada antara wilayah industri dan pertanian. Sedangkan Pemilihan unit Balai Pengobatan adalah unit yang paling banyak kunjungannya. Penelitian ditakukan untuk mengetahui biaya total, biaya satuan aktual, dan normatif, CRR ATP/WTP dan tarif pesaing setara Metode penelitian yang digunakan studi kasus dengan pendekatan kuantitatif, sedangkan metode analisis biaya yang digunakan Activity Based Costing. Untuk survei ATP/WTP sampel yang digunakan sampel 66 orang pengunjung pelayanan Balai Pengobatan digunakan Activity Based Costing. Untuk survei ATP/WTP sampel yang digunakan sampel 66 orang pengunjung pelayanan Balai Pengobatan. Hasil Penelitian memperlihatkan bahwa biaya satuan aktual pelayanan pengobatan di BP di Puskesmas Lemah Abang II adalah Rp 16.175,5 Biaya satuan aktual pengobatan tanpa AIC Rp 15.032,3 Biaya satuan pengobatan tanpa AIC dan gaji Rp 7.912,6 Sedangkan biaya satuan normatif adalah Rp 15.633,4 Perhitungan dan tarif yang berlaku saat ini ternyata hanya mencapai 15,5 % Cost Recovery Rate (CRR) artinya yarif yang berlaku saat ini masih jauh dibawah total biaya Puskesmas. 'Dari berbagai penelitian sejenis di berbagai wilayah Jawa Barat terlihat Biaya yang paling besar adalah biaya operasional. Komponen biaya yang terbesar adalah gaji yang diikuti dengan biaya obat-obatan. Mengenai ATP/WTP didapatkan basil bahwa ATP pengunjung Balai Pengobatan di wilayah Puskesmas Lemah Abang II menyatakan 100 % mampu membayar sebesar Rp 5.000,- padahal tarif yang berlaku Rp 2.500,- Hal ini berarti bahwa ATP lebih besar dari WTP sehingga peluang untuk menaikkan tarif masih ada Sedangkan tarif pesaing setara semuanya berada diatas tarif pengobatan di BP Puskesmas Lemah Abang II. Dari hasil simulasi tarif berdasarkan biaya satuan aktual dan normatif, ATPIWT,.CRR dan tarif pesaing setara didapatkan usulan tarif pengobatan di Balai Pengobatan sebesar Rp 7,500 setiap kunjungan. Sedangkan CRR dapat ditingkatkan dari masyarakat yang mampu sedangkan bagi yang miskin ditanggung oleh pemerintah dalam bentuk kartu sehat. Dalam meningkatkan tarif harus diperhatikan tarif pesaing setara agar peningkatan tarif tidak mengganggu utilisasi dari PKM Lemah Abang II Dari basil tersebut disarankan bagi Puskesmas melakukan pengendalian biaya (cost containment) dan efisiensi biaya operasional, meningkatkan jangkauan pelayanan pengobatan di Balai Pengobatan dan mengoptimalkan penggunaan laboratorium. Untuk mendapatkan tarif pelayanan kesehatan secara menyeluruh perlu dilakukan analisis tarif pada unit pelayanan yang lain. ......Cost of health services in Indonesia is more increases time to time caused by economic crisis and still going up to now. The economic crisis is burdening the government for health financing. Meanwhile not knowing unit cost for health services this research is carried out in Public Health Center Lemah Abang II in Bekasi region. Bekasi Regional Government has to try alternative to mobilize the public funds to fulfilled operational and maintenance cost to give quality health services. This PHC which have been selected purposively and among five PHC who had been many patient. Selection sample this PHC Lemah Abang II because located between agricultural area and industrial area. Clinical treatment is area of this research. Moreover to find out total cost clinical treatment , actual unit cost and normative unit cost with tool coat analysis called Activity Based Costing. It is also aimed knowing the illustration of ability to pay (ATP) and willingness to pay (WTP) of patient PHC considering the competitors tariff as the basis of the suggest tariff. For survey ATPIWTP take proportional sample amount 66 persons who has take among the patient PHC Lemah Abang II Result of the research can figured that unit cost clinical treatment Rp 16,175,5 , unit cost without depreciation Rp 15.032,3 and unit cost without depreciation and salary Rp 7,912,6. Even though normative unit cost Rp 15.633,4 . The tariff and unit cost has been found only reached 15,5 % Cost Recovery Rate it means that tariff government rule is far below unit cost .From the other many researcher in West Java found that operational cost the biggest coat from total cost. Cost component who have biggest contribution was salary, behind that its cost of medicine. Based on ATP/WTP figured that patient on PHC Lemah Abang II declared 100 % able to pay health treatment Rp5.000; it means ATP patient more higher than tariff who had point out amount Rp 2.500, . This issue can give opportunity to increased tariff. On the other hand services from time to time undergo the increasing cost. In line with autonomy district make the Regional s, especially those who are dealing with the health service financing are bearing greater responsibilities. Bekasi Regional Government has to try mobilized the public funds for raising income collected from the society to cover their health service The tariff of Public Health Center Lemah Abang II should be viewed as one alternative to increase the income of PHC to cover operational and maintenance cost so that it can give more quality services. However in the welfare policy the public goods services should be finance collectively through the government subsidy collected from the society it self. From the tariff simulation on unit cost, ATPfWTP, CRR and considering the competitor tariff , the suggested tariff for clinical tariff is Rp 7.500,- per visit, With tariff 93,9 % of the society can afford it and 6,1 % cannot afford it so that they need to be subsidized. One way of giving the subsidy is providing them with the health cards. Tariffs other than the clinic production unit should refer to the unit cost which have been calculated in this research 2001 We suggested that the price charged by PHC Lemah Abang II must be based on unit cost health services and for more accurate the research from the other unit health services must be done. So that this research must be follow up with another research.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T13028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjakra Narayana
Abstrak :
Penelitian ini berlatar belakang perubahan besar-besaran yang terjadi di PT.Pertamina (Persero) dan beban biaya kesehatan PT.Pertamina (Persero) pada umumnya dan di Poliklinik Mundu PT.Pertamina (Persero) DOH JBB pada khususnya dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang tajam dan signifikan. Kondisi ini mendorong PT.Pertamina (Persero) pada umumnya dan Poliklinik Mundu pada khususnya untuk meninjau ulang konsep pembiayaan kesehatan bagi PWT (Pekerja Waktu Tertentu), PWTT (Pekerja Waktu Tidak Tertentu) dan Keluarganya serta pensiunan. Konsep yang alternative yang dipilih adalah cara pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi. Sistem kapitasi masih dalam tahap pengembangan di PT.Pertamina (Persero) pada umumnya dan di Poliklinik Mundu pads khususnya karena dianggap mampu mengendalikan biaya kesehatan Pekerja (PWT & PWTT) dan Keluarganya serta pensiunan, setelah fee for service dan cara lainnya dianggap gagal. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh nilai kapitasi pembiayaan layanan kesehatan bagi PWT dan Keluarganya yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di Unit Rawat Jalan Poliklinik Mundu tahun 2002. Untuk Poliklinik Mundu Sub Fungsi KesehatanlSDM PT.Pertamina (Persero) Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat, Sistem Kapitasi adalah sesuatu yang sama sekali baru. Pelaksanaan pembiayaan layanan kesehatan secara kapitasi diutamakan untuk PWT dan Keluarganya sebagai "Pilot Project?, sesuai dengan yang telah digariskan dalam TKO Juklak Kesehatan Pertamina Tahun 2000. Dari analisis situasi diketahui bahwa di Poliklinik Mundu Sub Fungsi KesehatanlSDM PT_Pertamina (Persero) Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat belum mempunyai perhitungan biaya satuan, karakteristik, utilisasi, proporsi kemungkinan sakit dan besaran kapitasi bagi PWT dan Keluarganya, penelitian dilakukan dengan mengambil data pusat-pusat biaya penunjang dan produksi di Poliklinik Mundu periode tahun 2002 dan diolah menggunakan metoda Distribusi Ganda sehingga diperoleh biaya satuan pelayanan/tindakan yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan Kapitasi. Dari hasil perhitungan diperoleh biaya Kapitasi bagi PWT dan Keluarganya adalah sebesar Rp.12,099,877/Orang/Tahun. Besarnya biaya kapitasi oleh karena tingkat pemanfaatan Unit Rawat Jalan di Poliklinik Mundu tahun 2002 masih sangat rendah, antara lain juga dipengaruhi oleh biaya-biaya operasional dan pemeliharaan serta biaya investasi tahunan yang cukup tinggi. Dari basil penelitian direkomendasikan bahwa pembiayaan layanan kesehatan secara Kapitasi bagi PWT dan Keluarganya di Poliklinik Mundu lebih efisien dialihkan kepada pihak ke III atau asuransi yang mampu menanggung resiko dengan biaya rendah. Daftar Bacaan : 33 (1984 - 2003)
Analysis of Capitation Day Care Service at Policlinic Mundu Indramayu East Java Year 2002This research has the background of the massive changes happened in PT.Pertamina (Persero) DOH JBB and the health care cost paid by PT.Pertamina (Persero) in general and especially by Policlinic Mundu PT.Pertamina (Persero) DOH JBB which has shown a sharp and significant increase from time to time. This condition leads PT.Pertamina (Persero) especially Policlinic Mundu to review its health care financing concept for the Part Time and Full Time Workers including their families as well as its pension plan. Capitation system in PT.Pertaiina (Persero) especially in Poliklinik Mundu is still at its development stage. This system is chosen as it is believed to be able to control the health care cost for its workers (Part timer and Full tinier) and their family as well as its pensioners, after fee for service and other systems are considered to have failed. This research objective is to fmd out the value of capitation cost of health care service for Partime workers and their family who utilize health service in Day Care Unit of Policlinic Mundu in 2002. For Policlinic Mundu Sub Function of Human Resources Health Care of PT.Pertamina (Persero) DOH JBB the capitation system is totally hew. Capitation systems is mainly for Part Time Workers and their Family as "a pilot project" in line with the guidelines of operational Health Care of PT.Pertamina (Persero) year 2002. From situational analysis it is known that Policlinic Mundu sub function of Human Resources Health Care of PT.Pertamina (Persero) DOH JBB doesn't have calculation of unit cost, characteristic, utilization, probability of illness and capitation cost for its Part time Workers and their family. This research is carried out by collecting data of cost centers from support and production units of Policlinic Mundu for period of 2002 and analysed using. Double Distribution Method so that we obtain the cost of each service action which will be used as the basis for capitation calculation. From the calculation we see that the capitation cost for Part Time Workers and their family is Rp.12,099,877,-/personlyear. The high cost of capitation is due to the utilization rate of day care unit of Policlinic Mundu is still very low and other factors including operational and maintenance cost as well as annual investment which are relatively high. The research result recommends that the health care service financing using capitation system for the Part time Workers and their family in Policlinic Mundu is better transferred to a third party or an insurance company which is to can bear the risk with low cost. References : 33 (1984-2003)
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Septijanto
Abstrak :
Penetapan tarif Puskesmas selama ini belum mengacu pada suatu hasil analisis tingkat kernampuan & kemauan masyarakat dan biaya satuan pelayanan. Apakah dengan tarif yang sekarang berlaku sudah mendekati dengan biaya satuan pelayanan dan tingkat kemampuan & kemauan masyarakat membayar, maka dilakukanlah suatu penelitian/analisis tentang tarif ini di wilayah kerja Puskesmas Pesisir Kotamadya DT II Cirebon yang secara pusposif dipilih mewakili daerah yang kumuh dan miskin dengan tingkat penghasilan masyarakat yang rendah. Penelitian ini merupakan analisis diskriptif dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dihitung dari total biaya Puskesmas biaya satuan untuk BP adalah Rp.7.488,77, KIA/KB adalah Rp.18.666,86, Imunisasi adalah Rp.1.789,98 dan Laboratorium adalah Rp.2.654,94. Sedangkan kalau dihitung dari biaya operasional & pemeliharaan (tanpa Annualized Fixed Cost + gaji) biaya satuan untuk BP Rp.6.251,40, KIA/KB Rp.15.038,71, Imunisasi Rp.836,21 dan Laboratorium Rp.943,14. Mengenai kemampuan masyarakat, pengeluaran bukan makan sebesar Rp.123.959,83, pengeluaran bukan makanan tanpa pasta sebesar Rp.120.326,00, dan pengeluaran non esensial sebesar Rp.31.648,93. Dilihat dari 5% pengeluaran bukan makanan, kemampuan masyarakat adalah Rp.6.197.99. Kemauan masyarakat pada pengandaian sakit rata-rata adalah Rp.995,83 dan pengandaian periksa KIA rata-rata sebesar Rp.813,21. Titik temu dengan kemampuan berdasarkan pengeluaran non esensial pada nilai Rp.800,00 dengan menyingkirkan 28% masyarakat. Sedangkan kemauan masyarakat dilihat dari pengandaian peningkatan kualitas pelayanan Puskesmas rata-rata sebesar Rp.1844,00, titik temu dengan kemampuan masyarakat berdasarkan pengeluaran non esensial pada nilai Rp.1000,00 dengan menyingkirkan 28% masyarakat. Tarif Rp.800,00 ini ternyata merupakan tarif maksimal di Puskesmas Pesisir. Tarif dapat ditingkatkan menjadi Rp.1000,00 asakkan kualitas pelayanan ditingkatkan tetapi dengan tetap menyingkirkan sebagian masyarakat. Masyarakat yang tersingkir perlu didukung dengan program Kartu Sehat. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan oleh Pemenntah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon dalam menetapkan tarif pelayanan di Puskesmas. ......The Analysis of Health Care Fee Viewed from the Level of Peoples Affordability in The Job Area of Puskesmas Pesisir Kotamadya DT II CirebonThe determining of health care fee has not so far been referred to the result of analyzing the level of affordability/ability and people's willingness to pay and the unit cost of service. To find are wether the current fee has approached the unit cost of health service and the affordability and willingness of the people, the research on the health care fee is conducted in the area of Puskesmas Pesisir Kotamadya DT II Cirebon, which is purposively selected to represent the vile and poor people with their very low income. This research is a descriptive analysis using cross sectional design. The research points out that the unit cost of BP, KIAIKB, Immunization and laboratory are respectively Rp.7.488,77, Rp.18.666,86, Rp.1.789,98, Rp.2.654,94 counted from the total cost of the Puskesmas. On the other hand, if it is counted from the operational cost and maintenance (without Annualized Fixed Cost t salaries), the unit cost of BP, KIAIKB, Immunization and laboratory are Rp.6.251,40, Rp.15.038,71, Rp.836,21, Rp. 943,14 respectively. Concerning to the people's affordability, they spend Rp.123.959,83 for their non food need, Rp.120.326,00 for non food excluding their need for entertainment, and Rp.31,648,93 for the essential need. Viewed from 5% of the non food budget, the affordability is Rp.6.197,99. The people's willingness to pay for health care service in ill condition is Rp.995,83 at the average and Rp.813,21 for KIA examination, The meeting point with the affordability based upon the non essential budget is at the value Rp.800,00 by rejecting 28% of the people. Mean while, the people's willingness viewed from the condition that the quality of health services is improved is Rp.1.844,00 at the average. The meeting point with the affordability based upon the non essential budget is at the value of Rp.1000,00 by rejecting 28% of the people. The health care fee as much as Rp.800,00 proved to be maximum in Puskesmas Pesisir. This fee can be amounted to Rp.1000,00 provided that the quality of health service is improved. Nevertheless, a number of the people are kept to be rejected. The rejected people are necessarily supported with the program of Health card (Kartu Sehat). The result of the research can be a consideration for the local goverment in determining the health care fee in Puskesmas.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhi Setiawan
Abstrak :
Latar belakang penelitian ini ialah besarnya biaya kesehatan dan berkurangnya kemampuan pemerintah untuk membiayai kegiatan rumah sakit yang juga dialami oleh RSU Tangerang. Sementara itu di RSU Tangerang didapatkan adanya kecenderungan tunggakan pasien rawat inap semakin meningkat yang disebabkan oleh beberapa kelompok penunggak. Secara umum penelitian ini ingin melihat kecenderungan besarnya tunggakan pasien, karakteristik penunggak bayaran, perbedaan antar kelompok penunggak pembayaran serta perbedaan karakteristik penunggak dan besarnya tunggakan antar perawatan. Hasil penelitian ini menunjukan adanya peningkatan jumlah tunggakan kµrang lebih sebesar Rp. 151.030.447 setiap tahunnya, dan dalam hal besarnya.tunggakan, kelompok Askes berbeda bermakna terhadap kelompok surat perjanjian, pasien lari dan pasien kurang mampu, serta tidak berbeda bermakna dengan kelompok surat lurah. Dilihat dari besarnya tunggakan kelas perawatan, ternyata kelas perawatan VIP berbeda dengan kelas I, kelas II, dan kelas III. Kelas perawatan I, berbeda bermakna dengan kelas III serta kelas II berbeda dengan kelas III. Sebagai saran dari hasil penelitian ini, maka perlu kelompok penunggak dipilah-pilah berdasarkan antara lain Charitty allowance, contractual allowance, social cost dan bad debt yang berguna untuk penelitian tentang pengaruh bad debt terhadap kinerja rumah sakit. Selanjutnya dalam perencanaan pengeluaran rumah sakit tunggakan tersebut dapat dialokasikan. Disamping itu, perlu adanya evaluasi harga paket Askes untuk disesuaikan dengan pola tarif rumah sakit. Daftar bacaan : 27 ( 1971 - 1994 )
The background which lead to this study is the magnitude of the hospital health cost and the insufficient government budget to finance this ever increasing cost of running the hospitals is also experiencing by the R.S.U Tangerang. Further more at this R.S.U Tangerang the number of patients unable to pay the cost of hospitalization keep increasing every year. Basically the aim of this study is to show the correlation between, debt patients, their characteristics, the different between each group of debt patients and the size of each debt patients for each medical service. This study shows that there is an increase of the debt by Rp 151.030.447 each year and as far as the size of debt is concern, the Askes group is significantly less patients with debt than those from contractual allowance, social cost and bad debt, also the charity allowance are less likely to have payment problem. The study also shows how the size of debt distinct from one service to the others such VIP vs First class, Second class and Third class patients. First class vs Third class as well Second class Vs Third class. There for it is recommended; The need to classify bad debt patients based on how there were' financed, such as through charity allowance, contractual allowance, social cost and bad debt, which is useful for study to determine the affect of bad debt on the hospitals operation. In addition, this type of bad: debt should also he incorporated into the hospitals budget. Another point not less important is to evaluated the Askes cost tariff to be aligned with the overall hospitals costs. Biblography : 27 / 1971-1994.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugianto Soehana
Abstrak :
Analisis tarif Puskesmas ditinjau dari tingkat kemampuan masyarakat bertujuan untuk mendapatkan gambaran berapa tarif puskesmas yang realistis untuk suatu wilayah kerja tertentu dengan mempertimbangkan biaya satuan dan kemampuan serta kemauan masyarakat di wilayah kerja tersebut. Tarif' yang berlaku sekarang untuk suatu daerah tingkat II diberlakukan sama. Satu tahun sebalumnya berlaku sama untuk suatu daerah tingkat I. Penelitian dilakukan secara purposive di wilayah kerja Puskesmas Kalitanjung, Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon, yang merupakan salah satu wilayah kerja lapisan masyarakat perkotaan golongan menengah. Analisis Biaya Puskesma menggunakan data tahun anggaran:1995/1996, sedangkan kemampuan dan kemauan masyarakat dilakukan dengan cara survei. Sampel adalah rumah tangga yang berada dalam radius satu kilometer dari Puskesmas. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner, yang pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara. Hasil penelitian analisis biaya dideskripsikan dalam biaya operasional dan pemeliharaan serta biaya satuan 5 program yaitu BP, KIAIKB, Kesehatan Gigi, imunisasi dan Laboratorium. Hasil survei kemampuan dan kemauan masyarakat dideskripsikan melalui analisis persentase masyarakat yang "tersingkir" pada tarif tertentu. Hasil temuan dalam penelitian antara lain: Tarif Puskesmas BP/KIA - KB sebesar Rp. 800,- yang baru diberlakukan bulan Oktober 1996 berada di bawah biaya satuan dan di bawah kemampuan masyarakat Kemauan membayar masyarakat meningkat, kalau kualitas pelayanan di tingkatkan. Dengan hasil terscebut kiranya tarif Puskesmas yang realistis harus disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan masyarakat setempat, sehingga pemerataan pelayanan kesehatan dasar dapat dicapai. Peraturan Daerah Tingkat II mengenai tarif Puskesmas yang akan datang sebaiknya berlaku secara regional sesuai dengan kelompok lapisan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas, dengan mengacu pada kemampuan dan kemauan masyarakatnya. Dengan demikian dapat terjadi lebih dari satu pola tarif Puskesmas dalam satu Daerah Tingkat II. ......The objective of analyzing Puskesmas health care fee viewed from the level of people's affordability is to obtain the description on realistic fee in certain area with regard to the unit cost and the affordability and willingness of the people to pay for the fees in that area. The current fee of all Puskesmas throughout Dati II is applied the same. In the previous year, the fee was applied the same too for the Puskesmas in Dati I. The research is conducted purposively in the area of Puskesmas Kalitanjung, Kotamdya Dati II Cirebon, which is one of the municipals' areas of the middle class. The analysis of Puskesmas cost used in the research is taken from the fiscal year of 19951 1996, while the affordability and willingness of the people is obtained by doing a survey. The sample of the research are the households live approximately one kilometer from the Puskesmas. The tool of the research is in the form of questionnaires, the data gathering of which is carried out through interviews. The results of the cost analysis is described in the operational cost and maintenance and the unit cost at 5 programs i.e. BP, KIA/KB, Tooth care, Immunization, and Laboratory. The result of surveying the affordability and willingness of the people is described by means of the analysis of percentage of individuals "rejected" at a certain fee. One of the findings of the research is as the following. The health care fee at Puskesmas BP/KIA-KB as much as Rp 800.-, which was set in October 1996, is below the unit cost and is also below the people's affordability. The people's willingness to pay for the fees increases when the quality of health service is improved. Based upon the finding, the realistic Puskesmas health care fee should be adjusted to the affordability and willingness of local people so that the even distribution of health service can be achieved. The regulation of the local government on the Puskesmas health care fee in the future time had better be applied regionally in accordance with the classification of people in the area of the Puskesmas considering the affordability and willingness of the to pay for the fees. Thus, there can be more than one structure of Puskesmas health care fees in a Dati II.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>