Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Wicaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Di berbagai literatur, tumor meningioma sphenoid wing memiliki dua nama, yaitu meningioma en-plaque sphenoid wing dan meningioma spheno-orbita. Meningioma di regio sphenoorbita itu adalah tumor kompleks meliputi sphenoid wing, orbita, sinus cavernosus yang merupakan penyulit terhadap reseksi total. Presentasi klinis adalah klasik trias yaitu proptosis, gangguan visual, paresis okuler. Meningioma sphenoid wing ditemukan tersering adalah jenis en-plaque. Meningioma en-plaque adalah suatu subkelompok morfologis yang didefinisikan sebagai lesi tipis, menyebar luas, menyerupai karpet atau lembaran, yang menginfiltrasi dura dan terkadang menginvasi tulang dan tumbuh didalamnya sebagai tumor intraosseus sehingga menyebabkan hiperostosis. Meningioma juga memproduksi enzim yang mana diketahui secara tidak langsung menghasilkan proses penulangan. Berdasarkan literatur, dari seluruh tumor meningioma terdapat 15-20% yang ditemukan di sphenoid wing disertai hiperostosis pada regio frontotemporal-lateral orbita. Antara Januari 2010 dan Januari 2012, sebanyak 60 pasien meningioma di sphenoid wing atau sekitar 46,1% dari jumlah keseluruhan temuan meningioma intrakranial (130 pasien) menjalani operasi reseksi di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hiperostosis merupakan perubahan pada tulang cranium yang paling banyak ditemukan yang berhubungan dengan meningioma khususnya di regio sphenoid wing. Beberapa teori mengemukakan bahwa hiperostosis ini merupakan kejadian sekunder dari proses pembentukan tumor dan timbulnya dengan atau tanpa invasi tumor ke tulang. Banyaknya kasus pasien yang dikonsulkan oleh departemen Mata dengan keluhan proptosis yang datang ke departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo menjadikan hal tersebut menarik uuntuk diperhatikan dan untuk diketahui lebih jauh deskripsi datanya. Obyektif Studi ini bertujuan melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai meningioma sphenoid wing yang disertai hiperostosis mengenai data demografisnya. Studi ini ingin melihat tentang hubungan antara banyaknya insiden dengan sebaran usia, jenis kelamin dan keterkaitan dugaan penyebabnya, jenis tumor. Selain itu, studi ini ingin mengevaluasi hubungannya dengan pemakaian kontrasepsi khususnya KB suntik, hasil operasi serta komplikasi dan angka rekurensinya.Metode Studi ini adalah studi retrospektif dilakukan berdasarkan status rekam medis berupa data riwayat penyakit pasien, manifestasi klinis yang ada, tanda-tanda neurooradiologis dan teknik operasi, pada 60 pasien yang menjalani pembedahan secara kraniotomi dan lateral orbitotomi dari Januari 2010 sampai Januari 2012. Populasi sampel diambil dari pasien di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang didiagnosa dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis periode Januari 2010 - Januari 2012. Kriteria ekslusi adalah tumor meningioma di luar regio sphenoid wing dan meningioma sphenoid wing tanpa adanya hiperostosis. Hasil Pada studi ini terdapat rentang usia pasien: 31-60 tahun dengan rerata usia 44 tahun, jenis kelamin diantaranya 2 (3%) laki-laki dan 58 (96,7%) perempuan. Keluhan utama adalah proptosis yang progresif, penurunan tajam penglihatan disertai hiperostosis. Seluruh pasien dilakukan pembedahan melalui lateral orbitotomi dan kraniotomi fronto-temporal disertai dekompresi orbita. Pemantauan dilakukan terhadap derajat luas reseksi tumor dan komplikasi postoperatif. Semua pasien dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis pada lateral orbita telah menjalani pembedahan dengan reseksi subtotal atau parsial. Pemeriksaan patologi menunjukkan sebanyak 33 (55%) pasien adalah meningioma meningoteliomatosa. Setelah pembedahan, proptosis dilaporkan membaik secara klinis pada 54 (90%) pasien, tajam pengihatan meningkat secara klinis pada 18 (30%) pasien, perihal paresis okuler sulit didapatkan datanya. Lama follow-up adalah 3 bulan sampai 1 tahun, didapatkan rekurensi tumor pada 4 (6,6%) pasien dan 2 (3,3%) pasien menjalani pembedahan kedua. Sebanyak 2 (3,3%) pasien tidak terpantau. Ditemukan 51 (85%) pasien dengan riwayat penggunaan kontrasepsi KB yang menahun, non pengguna 4 (6,6%), tidak diketahui 4 (6,6%) pasien. Dari jumlah 51 (85%) pasien pengguna KB, diantaranya 46 (90,2%) pasien menggunakan kontrasepsi suntik, 4 (7,8%) pasien dengan pil, 1 (1,9%) pasien dengan susuk. Sebanyak 41 (89,1%) pasien menggunakan kontrasepsi KB suntik selama lebih dari 10 tahun dan 5 (10,8%) pasien kurang dari 10 tahun. Meningioma pada sphenoid wing kebanyakan berjenis meningioma meningotelial dan neoplasma jenis ini cenderung menyebabkan hiperostosis setempat serta memiliki gambaran radiologi yang khas. Semua hiperostosis yang ditemukan pada sphenoid wing harus diangkat untuk mencegah rekurensi. Pengangkatan tumor secara luas disertai dekompresi tulang sphenoid wing memberi hasil fungsional dan kosmetik yang memadai. Tidak ada hubungan bermakna dari data meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis dengan usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan bermakna antara KB dengan jenis meningioma yaitu meningoteliomatosa. Kerjasama yang baik antara dokter bedah saraf dan dokter mata adalah penting untuk kelainan ini. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi KB suntik banyak didapat pada pasien meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis.
ABSTRACT
Sphenoid wing meningioma has two names, such as meningioma en plaque sphenoid wing and spheno-orbital meningiomas. Meningiomas in the sphenoorbita has its complex, includes sphenoid wing, orbit, cavernous sinus, which could complicate the total resection. Clinical presentation is the classic triad of proptosis, visual disturbance, and occular paresis. The most common sphenoid wing meningioma is en-plaque meningioma. En-plaque meningioma is a morphological subgroup defined as thin lession, widely spread, like carpet or sheet, which infiltrated dura and sometimes invading bone and grows inside the tumor intraosseus thus causing hyperostosis. Meningiomas are also produce enzymes, which indirectly cause calcification. Fifteen to twenty percent of meningiomas are found in sphenoid wing with hyperostosis in frontotemporal-lateral orbital region. Fourty six percents from all of intracranial meningioma patient cases were sphenoid wing meningioma with hyperostotic during Period January 2010 to January 2012. Hyperostotic is a change in the skull bones are most commonly found associated with meningioma especially in the region of the sphenoid wing. Some theories suggest this event is secondary to the process of tumor formation and could occur with or without tumor invasion to bone. Many cases of patients with proptosis who are consulted by ophtalmologists that come into the department of Neurological Surgery School of Medicine-Cipto Mangunkusumo, makes it interesting to be observed and explored further. Objective This study is performed to conduct further evaluation of the sphenoid wing meningioma with hyperostosis, regarding the demographic data. The study wanted to see the relationship between the number of incidents with the distribution of age, sex, causes, and the type of tumor. In addition, this study evaluated the relationship between the usage of injectable contraceptives in particular family planning, operating results, and the rate of complications and recurrence. Methods This study was a retrospective study conducted by collecting medical records of patients’ medical history, clinical manifestations, the neurooradiological sign, and engineering operations, in 60 patients who underwent surgery for a craniotomy and lateral orbitotomi from January 2010 until January 2012. Population samples were taken from patients in the department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo. Inclusion criteria were all patients diagnosed with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in the periods of January 2010 - January 2012. Exclusion criteria were meningioma tumor in the sphenoid wing and the outer region of the sphenoid wing meningioma without hyperostosis. In this study there were patients with age range from 31-60 years with the average age of 44 years old.There were 2 (3%) men and 58 (96.7%) female. The chief complaint is progressive proptosis and visual impairment. All of the patient undergo surgery through lateral orbitotomi and fronto-temporal craniotomy accompanied by orbital decompression. Monitoring on a wide degree of tumor resection and postoperative complications is performed. All patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in lateral orbita have operated with subtotal or partial resection. Pathological examination showed 33 (55%) patients are meningothelial meningioma. After surgery, proptosis reduced in 54 (90%) patients, and increasing visus in 18 (30%) patients. Three months to one year follow-up found the tumorrecurred in 4 (6.6%) patients and 2 (3.3%) patients, who underwent a second surgery. Two (3.3%) patients were not monitored. No history of chronic use of contraception. A total of 42 (89.36%) patients using injectable contraception for more than 10 years and 5 (10.6%) patients less than 10 years. Reported contraceptive device users in52 patients (86%) patients, non-users in 4 (6.6%), and unknown in 4 (6.6%) patients. From a total of 52 (86%) patients with contraceptive users, 47 of them (90.38%) used injectable contraception, 4 (7.69%) consumed oral contraceptive pill, dan 1 (1.92%) patient with the implant contraception. Conclusion The most common type of sphenoid wing meningioma were menignothelial meningioma. This tumor is the most diversified and is tend to cause local hyperostosis and has a picture of a typical radiology. All hyperostosis found on the sphenoid wing must be removed to prevent recurrence. Wide removal of the tumor with decompression sphenoid wing bones gives the adequate functional and cosmetic results. There is no significant correlation of the data sphenoid wing meningioma with hyperostosis with age and sex. However, there was a significant relationship between the meningothelial meningioma with injecting contraception. Good cooperation between neurosurgeons and ophthalmologists is important for this disorder. History of the use of injectable contraception is obtained in patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
Abstrak :
Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang. ......The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rhiveldi Keswani
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi. Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi. Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
ABSTRACT
Introduction: Sphenoorbital meningioma is an exophytic tumor mass that infiltrates rthe bone at sphenoid wing, lateral orbital wall, orbital roof, and extending to superior orbital fissure. The classic triad of clinical features are proptosis, decrease visual acquity, and opthalmoplegia. Nowadays we have not eavaluating patient?s outcome after surgery. In the research, we would like to know the clinical characterisitc of the patient with sphenoorbital menigioma before and after surgey. Patients and Methods: The cross sectional study was performed. Subjects was the patiens with sphenoorbital meningioma who came to our clinic on January 2014 ? December 2015. All the patiens underwent craniectomy and lateral orbitotomy. We evaluated the visual acquity and proptotic index before and after surgery by measuring the protuded eye in a axial CT Scan. Result: There were 66 samples in this study, 65 of the samples were female. With afe range 31 to 64 years. The mean proptotic index pre-operative is 18,27 and the post operative is 16,43. With mean proptotic index reduction is 1,84 (p<0,05). Post Operative visual acquity were improved only 3 (9,7%) samples (p=0,0471) Conclusions: The sphenoorbital patients after surgery was showed markedly improvement in proptosis index. Hence the visual acquity were not markedly improved after surgery.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Giovano Andika Pradana
Abstrak :
Tujuan: Menilai kesintasan hidup (OS) dan kesintasan bebas progresivitas (PFS) pasien meningioma intrakranial yang menjalani radioterapi di RSCM dan mengetahui faktor klinis yang dapat dijadikan faktor prognostik. Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif yang menyertakan 61 subjek meningioma intrakranial yang terdiagnosis secara radiologis maupun histopatologis yang menjalani radioterapi di IPTOR RSCM pada Januari 2014 – Desember 2019. Hasil: OS 1, 2, dan 3 tahun adalah 98,1%, 87,8%, dan 77,1%. PFS 1, 2, dan 3 tahun adalah 84%; 72,4%; dan 58,2%. Faktor yang memperburuk OS adalah jenis kelamin laki-laki (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor di konveksitas/falx/parasagittal (p <0,016), tumor derajat II dan III (p <0,001) dan BED ≥85,74 Gy3,7. Faktor yang memperburuk PFS adalah jenis kelamin laki-laki (p = 0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor konveksitas/falx/parasagittal (p = 0,002), tumor derajat III (p <0,001), volume GTV ≥46,35 cm3 (p = 0,026), dan BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02). Pada analisis multivariat, faktor independen yang mempengaruhi OS adalah jenis kelamin, dan faktor yang mempengaruhi PFS adalah jenis kelamin dan KPS. Kesimpulan: Jenis kelamin merupakan faktor prognostik independen terhadap OS pasien meningioma yang menjalani radioterapi. ......Aims: To assess overall survival (OS) and progression-free survival (PFS) of patient with intracranial meningioma who underwent radiotherapy in RSCM and to find clinical factors that contribute as prognostic factors. Methods: Patient with radiologically or pathologically-confirmed intracranial meningioma who underwent radiotherapy in our department from January 2014 to Decemer 2019 were retrospectively analyzed. Results: OS in 1, 2, and 3 year were 98,1%; 87,8%; dan 77,1%; and PFS in 1, 2, dan 3 year were 84%; 72,4%; dan 58,2%. Male (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), convexity/falx/parasagittal tumor (p <0,016), WHO grade II dan III tumor (p <0,001) and BED ≥85,74 Gy3,7 were associated with poor OS. Male (0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor convexity/falx/parasagittal (p = 0,002), WHO grade III (p <0,001), GTV volume ≥46,35 cm3 (p = 0,026), and BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02) were associated with poor PFS. Male is independent factor associated with poor OS in multivariate analysis, wherase male and KPS <70 were associated with poor PFS. Conclusions: Male is an independent prognostic factor affecting OS and PFS in meningioma patients underwent radiotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Tjuatja
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi. ......Aims: Identifying the role of the Ki-67 proliferation index as a prognostic factor in estimating radiation therapy response in meningiomas. Methods: A systematic review of PubMed, Scopus, EBSCOhost/CINAHL was performed following the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guideline. Data extraction was completed manually from selected studies. Results: 465 of the literature were compiled from a literature search for the two study questions and finally, 15 articles met the eligibility criteria. Twelve studies demonstrated that Ki-67 proliferation index had a significant correlation with the grade in meningiomas. Meanwhile, two studies reported that in meningiomas treated with radiation therapy a higher Ki-67 proliferation index would provide better local control than a lower Ki-67 proliferation index. One other study found no correlation between Ki-67 and radiation response. Conclusion: Ki-67 proliferation index has a unidirectional correlation with the grade of meningioma. A total of two out of 3 studies on the correlation of Ki-67 with radiation response in meningiomas reported that higher Ki-67 responded better to radiation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhudy Marseno
Abstrak :
Latar Belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang lazim dijumpai sebagai tumor jinak karena pertumbuhannya yang lambat, memiliki tingkat kelangsungan hidup yang cukup tinggi, dan memiliki peluang besar untuk dilakukan pembedahan secara lengkap.1,2 Namun, komplikasi dan disabilitas jangka panjang sering terjadi yang dapat menurunkan kualitas hidup.2 Penelitian ini meneliti luaran jangka panjang status neurologis pasca pembedahan dan bagaimana hubungan antara tingkat ekstensi pembedahan terhadap status neurologis pasca pembedahan meningioma di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Metode: Penelitian kohort historis terhadap 142 pasien dengan menggunakan rekam medis dan data registrasi onkologi dari Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2014 hingga Desember 2021. Tingkat ekstensi pembedahan dikategorikan menjadi (1)Tingkat reseksi tinggi dan (2)Tingkat reseksi rendah. Fungsi saraf kranialis, motorik, dan sensorik dikategorikan menjadi (1) Defisit tambahan atau persisten dan (2)Tidak ada defisit atau perbaikan. Penelitian ini menggunakan data yang diolah secara deskriptif dan analitik. Hasil: Sebagian besar responden yang menjalani pembedahan memperoleh tingkat reseksi tinggi (62%). Berdasarkan follow up 2 tahun pasca pembedahan, sebagian besar responden tetap tidak terdapat defisit atau mengalami perbaikan fungsi nervus kranialis (67,6%), fungsi motorik (95,1%), dan fungsi sensorik (99,3%) dibandingkan sebelum pembedahan. Analisis bivariat menunjukkan bahwa proporsi kejadiannya tetap tidak terdapat defisit atau mengalami perbaikan fungsi nervus kraniaisl (p = 0,114) dan fungsi motorik (p = 0,295) pasca pembedahan pada responden dengan angka reseksi tinggi. Kesimpulan: Terdapat peningkatan status neurologis, yaitu fungsi nervus kranialis, motorik dan sensorik, yang lebih baik diperoleh pada tingkat ekstensi pembedahan tinggi (Simpson grade I-II) daripada tingkat ekstensi pembedahan rendah (Simpson grade III- V), meskipun secara statistik perbedaannya tidak signifikan. ......Background: Meningioma, is an intracranial tumor that is commonly found as a benign tumor because of its slow growth, has a fairly high survival rate, and has a great chance for complete removal.1,2 However, complications and long-term disabilities often occur which can reduce the quality of life.2 This study examines the long-term outcome of postoperative neurological status and how the relationship between the degree of surgical extension and the postoperative neurologic status of meningioma at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital as a National Referral Hospital in Indonesia. Methods: Historical cohort of 142 patients using medical records and oncology registration data from the Department of Neurosurgery Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 to December 2021. The degree of Surgical extension was categorized into (1) High resection rates and (2) Low resection rates. Cranial nerve, motor, and sensory functions were categorized into (1) Additional or persistent deficit and (2) No deficit or had improved. The study used data that was processed descriptively and analytically. Results: Most of the respondents underwent surgery obtained a high resection rate (62%). Based on the 2-year follow-up after surgery, respondents still had no deficit or had improved cranial nerve function (67.6%), motor function (95.1%), and sensory function (99.3%) compared with before surgery. Bivariate analysis showed that the proportion of the occurrence was still no deficit or had improved cranial nerve function (p = 0.114) and motor function (p = 0.295) after surgery in respondents with a high resection rate. Conclusion: There was an improvement in neurological status, namely cranial nerve function, motor and sensory, which was better obtained at a high level of surgical extension (Simpson grade I-II) than at a low level of surgical extension (Simpson grade III-V), although statistically, the difference was not significant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Kristiningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Kanker merupakan penyakit genetik dimana pengaturan sel, karakteristik sel dan fungsi sel normal berubah. Penyakit kanker terus menjadi masalah kesehatan yang signifikan di masyarakat di seluruh dunia dan di Indonesia. Salah satu kanker yang berdampak pada kerusakan sistem neurologis dan menurunkan kualitas hidup adalah meningioma. Praktik asuhan keperawatan pada pasien kanker memerlukan pendekatan teori keperawatan. Karya Ilmiah Akhir merupakan laporan praktik residensi keperawatan medikal bedah peminatan onkologi di rumah sakit kanker Dharmais. Karya ilmiah ini terdiri dari: (1) penerapan theory of comfort, (2) penerapan program orientasi pasien pra kemoterapi sebagai evidence based nursing, serta (3) modified early warning score sebagai proyek inovasi kelompok. Kesimpulan theory of comfort tepat digunakan dalam perawatan pasien kanker. Intervensi pemberian program orientasi pasien pra kemoterapi dan inovasi modified early warning score dapat diaplikasikan dalam perawatan pasien kanker baik dirawat inap maupun rawat jalan.
ABSTRACT
Cancer is a genetic disease in which the composition of cells, cell characteristics and normal cell function has been changed. Cancer continues to be a significant health problem in communities throughout globally and specifically in Indonesia. Type of cancer which affects the damage of neurological system and degrade the quality of life called meningioma. The practice of nursing care in cancer patients requiring nursing theory approach. Scientific final paper is type of report of residency medical-surgical nursing practice specialization in oncology at the Dharmais Cancer Hospital. This scientific work consists of: (1) The application of comfort theory, (2) The application of pre-chemotherapy patient orientation program as evidence based nursing practice, and (3) modified early warning score as an innovation of the group project. It conclude the theory of comfort is appropriate to use in the treatment of cancer patients. The Intervention of prechemotherapy patient orientation program and modified early warning score innovation could be applied in the treatment of care for cancer patients both hospitalized and outpatients.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anja Hesnia Kholis
Abstrak :
ABSTRAK
Karya ilmiah akhir ini merupakan laporan praktik klinik lanjut keperawatan medikal bedah pada sistem neurologi yang terdiri dari pengelolaan kasus utama meningioma dan 30 resume menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, penerapan Evidence Based Nursing (EBN) skrining kognitif Montreal Cognitive Assesment (MoCA), serta inovasi keperawatan pemberdayaan caregiver melalui edukasi terstruktur. Masalah keperawatan terbanyak akibat perilaku maladaptif pada mode fisiologis adalah risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, mode konsep diri yaitu cemas, mode fungsi peran adalah perubahan fungsi peran, dan mode interdependensi yaitu ketidakefektifan koping keluarga. Penerapan skrining fungsi kognitif MoCA lebih sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi gangguan fungsi kognitif pada pasien stroke. Pemberdayaan caregiver melalui edukasi terstruktur di rawat inap dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam merawat anggota keluarga pasien stroke, sehingga terjalin komunikasi, persiapan, dan kontiunitas perawatan sampai di rumah. Perawat diharapkan mampu menerapkan teori keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan EBN, dan melakukan inovasi untuk meningkatkan asuhan keperawatan yang berkualitas.
ABSTRACT
This final scientific paper is a report of advanced clinical practice of medical surgical nursing in neurological which consists of the management of meningioma as main case and 30 summaries using Roy Adaptation Model approach, the screening cognitive Montreal Cognitive Assessment (MoCA) as the application of Evidence Based Nursing (EBN), and the caregiver empowerment through structured education as nursing innovation. Majority of nursing problems are due to the maladaptive behavior in physiological mode was risk for ineffective cerebral tissue perfusion, self-concept mode was anxiety, role function mode was ineffective role performance, and interdependence mode was ineffective family coping. The application of cognitive function screening MoCA was more sensitive and specific to identify cognitive function impairment in stroke patients. Caregiver Empowerment through structured education during hospitalization can improve knowledge and skills in caring for stroke family members, thus established communication, preparation, and continuity of care in their home. Nurses are expected to apply nursing theory, implement nursing interventions based on EBN, and make innovations to improve the quality of nursing care.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kumara Wisyesa
Abstrak :
Latar Belakang. Meningioma memiliki jumlah kasus yang cukup banyak dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien karena adanya gejala nyeri dan gangguan emosional. Karena itu, penting diketahui luaran dari hasil tindakan operasi pada pasien meningioma. Penulis menggunakan instrumen EORTC QLQ C-30 untuk menilai kualitas hidup pasien dengan meningioma sphenoorbita setelah operasi. Metode. Penelitian ini adalah studi cross sectional. Subyek adalah penderita meningioma dengan hiperostosis sphenoorbita yang dilakukan pembedahan di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Oktober hingga Desember 2016 sebanyak 40 orang. Data diambil dari rekam medis pasien dan kuesioner EORTC QLQ-C30 yang mencakup status kesehatan global, fungsi fisik, fungsi peran, fungsi emosional, fungsi kognitif, fungsi sosial, dan gejala-gejala klinis. Hasil. Berdasarkan perhitungan skor EORTC QLQ-C30 didapatkan adanya kenaikan yang bermakna secara statistik p-value ......Background. Meningioma has a considerable number of cases and can affect patients quality of life due to pain and emotional disturbance. Therefore, it is important to know the outcome of surgical procedures in patients with meningioma. The authors use the EORTC QLQ C 30 instrument to assess the quality of life of patients with sphenoorbital meningioma after surgery. Method. This study was a cross sectional study. The subjects were patients with meningioma with hyperostosis sphenoorbita who underwent surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital from October to December 2016 as many as 40 people. Data were taken from the patient's medical record and the EORTC QLQ C30 questionnaire. Results. Based on the calculation of EORTC QLQ C30 score, there was a statistically significant increase p value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Marhami Iskandar
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang paling sering ditemukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang diketahui memiliki luaran baik apabila derajat keganasannya rendah dan dapat dilakukan reseksi total. Namun demikian, tingkat rekurensi masih cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko rekurensi.Metode penelitian: Desain penelitian adalah potong lintang, dengan populasi mencakup semua pasien di atas usia 18 tahun yang didiagnosis dengan meningioma intrakranial sejak Januari 2010 sampai Juni 2015. Faktor inklusi yaitu yang mampu dilakukan follow-up dan memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian. Rekurensi pada dua tahun pascaoperasi dinilai secara klinis dan radiologis. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia, yaitu ekspresi progesterone receptor PR , vascular endothelial growth factor VEGF , dan Ki67. Faktor-faktor lain yang dinilai yaitu derajat WHO, derajat Simpson, dan lokasi tumor. Pengolahan data dilakukan dengan analisis bivariat dan multivariat.Hasil : Tingkat rekurensi adalah sebesar 16,1 . Derajat Simpson yang lebih tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya rekurensi p=0.041, OR 20,34 95 CI 1.13-367.62 . Beberapa faktor dianalisis bersama, dan didapatkan bahwa ekspresi VEGF yang sedang-kuat apabila disertai dengan ekspresi PR yang negatif juga meningkatkan risiko rekurensi p=0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439-481.307 .Kesimpulan : Tingkat rekurensi meningioma intrakranial pada dua tahun pascaoperasi adalah sebesar 16,1 . Berdasarkan faktor-faktor yang dianalisis dalam penelitian ini, didapatkan bahwa risiko rekurensi meningkat secara signifikan pada derajat Simpson yang lebih rendah, dan juga dengan ekspresi VEGF yang lebih kuat jika disertai dengan ekspresi PR yang negatif.
ABSTRACT Background. Meningioma is the most frequently found intracranial tumor in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, which is known have good outcome if the tumor is benign and total resection is possible. Nevertheless, recurrence is still commonly found, warranting further investigation on other factors that may increase the risk of recurrence. Method. This is a cross sectional study. The population consists of all patients aged 18 years old, diagnosed with intracranial meningioma between January 2010 ndash June 2015, among whom follow up and informed consent are possible. Recurrence at two years post surgery is assessed by clinical and radiological presentation. Immunohistochemistry expressions, along with WHO grade, Simpson grade, and tumor location, are then analyzed with bivariate and multivariate correlation. Results. Recurrence rate at was 16,1 . The factor found to significantly increase risk for recurrence is Simpson grade p 0.041, OR 20,34 95 CI 1.13 367.62 . Some variables are analyzed together, and it is also found that moderate strong VEGF expression when found together with negative PR expression increases also significantly increases recurrence rate p 0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439 481.307 . Conclusion. Recurrence rate of meningioma two years post surgery is 16,1 . Among the factors assessed within this study, recurrence risk is found to be increased with higher Simpson grade, and stronger VEGF expression when found together with negative PR expression.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>