Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Korupsi sebagai suatu fenomena masalah transnasional terkait dengan teori sosial tentang konsep kemajuan. Masalah korupsi bersifat sistemik, melibatkan pemegang kekuasaan dan kekuatan dengan intelektual yang tinggi. Korupsi dilakukan dengan modus operandi yang rapi, tertutup dan sulit diungkapkan. Hal ini menimbulkan masalah bagaimana strategi penuntutan yang relevan dengan keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan normatif dengan menguasai secara teoritis dasar-dasar pelimpahan perkara, surat dakwaan, hukum pembuktian dan hukum pidana materiil tentang unsur-unsur tindak pidana diperlukan sebagai analisis penguatan melakukan tindak penuntutan. Paradigma pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi serta penyusunan pedoman atau standar penuntutan, pemidanaan yang menghapus lembaga, rencana tuntutan akan mendorong jaksa lebih mandiri, bertanggungjawab dan profesional."
JLI 8:2(2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ayernis Samah
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S25349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Wijanarko
"Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Azas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang- undangan, yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun 1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Azas oportunitas sampai sekarang tetap ada keberadaannya di Indonesia. Penggunaan azas ini harus memberikan manfaat pada kepentingan umum sebagai dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam menggunakannya. Azas tersebut sesuai dengan tujuan pidana, dalam hal ini azas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi ketajaman azas legalitas. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi pewujudan azas oportunitas.

The principle of discretionary prosecution the opportunity is owned institutions in the Attorney General that this implementation is only in the General Prosecutor. Opportunity principle is implemented through legislation, namely Law No. 15 of 1961, Act No. 5 of 1991 and Law No.16 of 2004 on RI Attorney, clearly authorizes the Attorney General to waive the case in the public interest. The principle of opportunity until now remained a presence in Indonesia. The use of this principle should provide benefits to the public interest as the basis for the attorney general considerations in using it. The principle is consistent with the purpose of criminal, in this case the principle of opportunity aims to offset the sharpness of the principle of legality. Based on the explanation of Article 77 Criminal Code, the implementation guidebook Criminal Procedure Code, Criminal Procedure Code recognizes the existence of realizing the principle of opportunity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1187
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Toton Rasyid
"ABSTRAK
Hubungan antara penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara
dijembatani dengan prapenuntutan. Dalam prapenuntutan ini tidak ada batasan
berapa kali bisa terjadi bolak-balik hasil penyidikan antara penyidik dengan
penuntut umum. Dampaknya adalah menumpuknya perkara tindak pidana di
Kejaksaan. Sehingga terjadi ketidakpastian hukum baik bagi tersangka maupun
korban, hal inilah yang akan dilihat dalam perspektif hak asasi manusia.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan desain preskriptif. Hasil
penelitian menyimpulkan prapenuntutan tidak dilakukan secara maksimal oleh
penuntut umum karena ketidaktegasan penuntut umum menyikapi suatu perkara.
Karenanya perlu ketegasan penuntut umum dalam menyatakan sikap terhadap
suatu perkara yang didukung oleh standar operasional prosedur, dengan demikian
kepastian hukum sebagai salah bentuk satu hak asasi manusia akan dapat
diperoleh oleh korban maupun tersangka.

ABSTRACT
The relation between investigators and prosecutors in case handling abridged with
pre-prosecution. In this pre-prosecution there is no limit how many times can
come back and forth between certified the results of the investigation by the
public prosecutor. The implications of this is the build up the matter of a criminal
offense in prosecutor ' s office. So happen uncertainty law good for the suspect, as
well as victims these matters would be seen in perspective human rights. This
research is research juridical normative with a design prescriptive. The results of
research concludes pre-prosecution not carried out optimally by the public
prosecutor because indecisiveness prosecutors due to a cause. Therefore need to
explicitness prosecutors in declaring attitude toward a cause that is powered by
standard operating procedures, thus legal certainty as any the form of a human
rights will be obtained by the victim, and suspect."
2013
T35992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nengah Gina Saraswati
"ABSTRAK
Dalam mengatur pola hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum, KUHAP
mengatur mengenai asas pemisahan fungsional (diferensiasi fungsional) yang
memisahkan secara tegas mengenai fungsi Penyidikan dan Penuntutan. Kedua
fungsi tersebutberdiri secara independenya itu bebas dari campur tangan institusi
lainnya. Menurut KUHAP hubungan fungsional antara Penyidik dan Penyidikdan
Penuntut Umum diselenggarakan melalui Prapenuntutan.Namun pada
pelaksanaannya hubungan fungsional tersebut tidak berjalan efektif dengan
adanya ego sektoral dan Prapenuntutan yang bersifat administratif. Selain itu
sering terjadi perbedaan pandangan antara penyidikdanpenuntut umum dalam
proses Prapenuntutan. Hal ini terjadi, ketikaPenuntut umum meneliti berkas
perkara ternyata Penuntut umum berpendapat bahwa Penyidik tidak tepat
mencantumkan Pasal dari suatu delik yang dipersangkakan pada berkas perkara
hasil Penyidikan. Sementara kewenanganPenuntut umum dalam meneliti dan
mengembalikan berkas perkara, hanyalah sebatas memberikan petunjuk untuk
melengkapi hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik sesuai ketentuan Pasal
14 huruf b KUHAP. Sedangkan KUHAP sendiri,t idak memberikan penjelasan
batasan definisi ?Petunjuk melengkapi berkas perkara hasil penyidikan? yang
merupakan wewenang Penuntut umum dalam proses Prapenuntutan. Dalam
prakteknya terjadi perbedaan penafsiran antara penyidik dan penuntut
umummengenaikelengkapan berkasperkara. Selain itu, KUHAP tidak mengatur
batasan sampai berapa kali petunjuk dapat diberikan Penuntut umum kepada
Penyidik. Hal ini tergambar dengan adanya ?bolak-balik berkas perkara? antara
penyidik dan penuntut umum sehingga mengakibatkan penanganan perkara yang
berlarut-larut.Oleh karena itu, maka jalan keluar yang ditempuh sebagai
penyelesaian permasalahan tersebut adalah dalam wujud diselenggarakannya
Gelar perkara, Forum Mahkumjapol, serta koordinasi dan konsultasi. Penelitian
ini merupakan penelitian yuridis normative yang data utamanya adalah data
sekunder sedangkan data primer digunakan sebagai pendukung, dengan
menggambarkan wewenang penuntut umum dalam Prapenuntutan dan melakukan
wawancara dengan narasumber yang terkai dengan kewenangan tersebut.
Penelitian bertujuan untuk mendapat bentuk-bentukperbaikan yang dapat
dilakukan dalam pengaturan pola hubungan antara Penyidik dan Penuntut umum,
yang dalam hukum acara pidana yang akan datang.

ABSTRACT
In regulating the relationship between The Investigator and The Prosecutor, The
Criminal Procedure Code regulates theprinciple of separation of functional
(functional differentiation) which explicitly separating the functions of
investigation and prosecution. Both of these functions independently standing free
from interference by other institutions. According to The Criminal Procedure
Code, the functional relationship between The Investigators and The Prosecutors
organized through Pre-prosecution. However, in practice the functional
relationship was not effective because of sectoral ego and administrative processs
of pre-prosecution. Besides frequent disagreements between The Investigators
and The Prosecutors in Pre-prosecution process.This occurs when The
Prosecutor examined the case file, The Prosecutor found that The Investigator
write down the not right article of a offence which presupposed in the out come
investigation case files.While the authority of The Prosecutor to examine and
return the case file, only limited in clues to complete the results of investigations
conducted by The Investigators in accordance with Article14 letter of the
Criminal Procedure Code. While the Criminal Code it self, does not provide an
explanation limits the definition of "Complete results of the investigation case
file" whichis the authority of the Prosecutor in Pre-prosecution process. In
practice there is a difference of interpretation between the investigator and the
public prosecutor about the completeness of the case file. In addition, the
Criminal Code does not set limits to how many times the prosecutor guidance can
be given to the investigator.This is illustrated by the "case file back and forth"
between The Investigator and The Prosecutor handling the case, resulting
handling of criminal cases that is drag on. Therefore, the solution to complete the
case file is in ?Gelar Perkara?, Mahkumjapol Forum, as well as coordination
and consultation.This research is normative juridical research that the main data
is the secondary data while the primary data used as a support, by describing
theauthority ofThe Prosecutor in Pre-prosecution process and conducting
interviews with sources associated with such authority. The objective was to get
the pattern to dorepairs in the regulation ofthe relationship between The
Investigator and The Prosecutor in the future."
2013
T35106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Ridhan Zhafari
"Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks yang berkaitan dengan pasal tersebut juga dapat dilihat dengan adanya sebuah negara hukum tentunya harus dihadirkan pula kepastian hukum sehingga tidak ada terjadi kesalahan-kesalahan dalam penegakan hukum baik dari segi prosedural, bentuk penindakan pelanggarannya, ataupun untuk dapat mengatakan mana yang merupakan pelanggaran dan mana yang bukan. Hal ini juga bertujuan untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, dan ketertiban dalam bermasyarakat. Dalam penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya, tidak sedikit pengguna kendaraan bermotor yang memodifikasi motornya dengan cara mengganti knalpot dengan tujuan meningkatkan performa ataupun mendapatkan suara yang lebih berisik demi kepuasan pribadi penggunanya. Dalam hal penggunaan knalpot yang sudah dimodifikasi ini pun menimbulkan keluhan dari sebagian masyarakat yang merasa terganggu dengan suara yang dihasilkan knalpot tersebut sehingga aparat kepolisian melakukan penindakan terhadap penggunaan knalpot yang sudah dimodifikasi tersebut. Permasalahan yang timbul pula adalah mengenai penindakan knalpot yang sudah dimodifikasi tersebut karena masih cukup menimbulkan pro dan kontra oleh sebagian pihak. Penelitian ini akan meneliti mengenai apakah sebenarnya penggunaan knalpot tersebut diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana dengan kondisi penindakan pelanggaran penggunaan knalpot tersebut oleh aparat kepolisian di DKI Jakarta.

The State of Indonesia is a legal state as stated in Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In the context related to the mentioned article, it can also be seen that there are In a state of law, of course, legal certainty must also be presented so that there are no errors in law enforcement both in terms of procedural terms, the form of taking action against violations, or to be able to say which are violations and which are not. It also aims to create security, comfort, and order in society. In the use of motorized vehicles on the highway, not a few motorized vehicle users modify their motorbikes by changing the exhaust with the aim of improving performance or getting a louder sound for the personal satisfaction of the user. In terms of the use of a modified exhaust, it also caused complaints from some people who felt uncomfortable with the sound produced by the exhaust so that the police took action against the use of the modified exhaust. The problem that arises is also regarding the handling of the modified exhaust because it is still enough to cause pros and cons by some parties. This study will examine whether the actual use of the exhaust is allowed in the laws and regulations and what about the conditions for prosecuting violations of the use of the exhaust by the police in DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwan Effendy
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
347.01 MAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>