Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mortensen, Kurt W.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2011
153.9 MOR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Lasmono
Abstrak :
Latar Belakang: Kemampuan empati dan sistemisasi sudah berkembang sejak masa kanak. Kedua kemampuan tersebut berkaitan dengan fungsi sosial serta pencapaian akademik pada anak, dapat dinilai menggunakan kuesioner Empathy Quotient (EQ) dan Systemizing Quotient (SQ). Dorongan untuk berempati dan sistemisasi selanjutnya dapat dijelaskan sebagai tipe otak, yang dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan perbedaan antara nilai EQ dan SQ terstandarisasi dari orang tersebut. Salah satu gangguan psikiatrik yang banyak ditemui pada layanan kesehatan jiwa anak dan remaja adalah GPPH. Adanya GPPH dapat berdampak pada fungsi sosial dan akademis anak. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui perbedaan tipe otak berdasarkan EQ dan SQ pada anak sekolah dasar (SD) dengan dan tanpa GPPH. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Sampel sebanyak 122 orang tua dan anak diambil dari Poli Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dari sekolah dasar di Jakarta. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) versi Bahasa Indonesia. Tipe otak dikelompokkan berdasarkan persentil dari nilai D, yaitu perbedaan antara EQ dan SQ terstandarisasi. Hasil: Tipe otak yang paling banyak ditemui pada anak tanpa GPPH adalah empathy (37,7%), sedangkan pada kelompok anak dengan GPPH adalah systemizing (39,34%). Dari hasil analisis, didapatkan perbedaan bermakna pada nilai D kedua kelompok (p=0,021). Studi ini juga mendapati perbedaan bermakna pada rerata EQ (p=0,000) dan rerata SQ (p=0,042) antara kedua kelompok. Simpulan: Terdapat kecenderungan tipe otak sistemisasi pada anak SD dengan GPPH, serta terdapat perbedaan bermakna pada rerata EQ dan SQ antara kedua kelompok. ......Background: Empathy and systemizing abilities have developed since childhood. These abilities are related to social and academic achievements in children, can be assessed by using the Empathy Quotient (EQ) and Systemizing Quotient (SQ) questionnaires. The drive to emphatize and systemize can further be described as brain type, which is divided into five groups based on the difference of the individual’s standardized EQ and SQ scores. One of psychiatric disorders commonly found in child and adolescent mental health services is ADHD. ADHD may have an impact on social and academic function in children. This study was conducted to determine the difference of brain type based on EQ and SQ in elementary school children with and without ADHD. Methods: This is an observational study with cross-sectional study design. Sample of 122 parents and children were included from Child and Adolescent Mental Health Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital, and elementary school in Jakarta. The data were taken using Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) questionnaire in Bahasa Indonesia. The brain types were classified according to percentile of D score, which is the difference between standardized EQ and SQ. Results: The most common brain type found in children without ADHD was empathy (37.7%), while in children with ADHD was systemizing (39.34%). From the analysis, there was significant difference in D score between both groups (p=0.021). Significant difference was also found in mean EQ score (p=0.000) and mean SQ score (p=0.042) between both groups. Conclusion: There was tendency toward systemizing brain types in elementary school children with ADHD. There were also significant differences in mean EQ and SQ score between both groups.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irfandi Aprianto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang gambaran adversity quotient dan Spiritualitas Islam terhadap aktivis lingkungan hidup Muslim. Aktivis lingkungan hidup menjadi salah satu profesi yang paling banyak mendapatkan kesulitan dalam menjalani perannya. Peneliti ingin memahami lebih jauh peran Adversity quotient (AQ) sebagai kekuatan untuk mampu bertahan menghadapi kesulitan dan bagaimana hubungannya dengan nilai spiritualitas para aktivis. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode mixed-method. Alat ukur kuantitatif menggunakan Adversity quotient Response Profile dari Paul G Stolz, sementara Spiritualitas Islam diadaptasi dari The Muslim ReligiosityPersonality Inventory (MRPI). Untuk kualitatif menggunakan wawancara mendalam semi-struktur. Hasilnya terdapat hubungan positif antara Adversity quotient dengan Spiritualitas Islam. Sementara hasil kualitatif mampu mengungkapkan alasan untuk menjelaskan hasil hubungan positif tersebut.  ......This study discusses to explain the results of the results of the difficulties and the spirituality of Islam towards Muslim environmental activists. Researchers see the role in the environment as needed. However, it is not easy to be an environmental activist. Various kinds of obstacles they face. Starting economic losses, legal threats, to loss of safety. In order for environmental activists to survive and be able to face their difficulties, readiness is needed to overcome, overcome, overcome the difficulties or problems they face. This is where the role of Adversity quotient (AQ) is needed to support the environment, such as the need to be able to overcome difficulties. Not only that, it turned into an activist. The environment also influenced activist spirituality. They are able to find the meaning behind their activities to become a supporter of the Environment. The method used in this study is a mixed-method method. Quantitative measuring instruments use the Adversity quotient. Profile of Responses from Paul G Stolz, while Islamic Spirituality was adapted from the Inventory of Muslim-Personality Religiosity (MRPI). For qualitative use semi-structured in-depth interviews. The result is a positive relationship between Adversity quotient and Islamic Spirituality. While qualitative results can be revealed the reasons for explaining the results of these positive relationships. 
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Tanto
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Progresifitas sepsis menjadi syok sepsis yang berakhir pada mortalitas dalam waktu singkat, karena terjadi hipoperfusi jaringan. Hipoperfusi jaringan pada pasien sepsis dapat mengakibatkan metabolisme anaerobik. Petanda metabolisme anaerobik diketahui melalui rasio perbedaan antara selisih tekanan parsial karbon dioksida vena sentral ndash; arterial terhadap selisih kandungan oksigen arterial ndash; vena sentral, dan merupakan alternatif perwakilan dari Respiratory Quotient RQ . Oleh karena itu, peneliti mengevaluasi hubungan antara nilai RQ dengan mortalitas pasien sepsis dan membandingkan hubungan antara nilai ScvO2 dengan mortalitas pasien sepsis.Metode : Penelitian ini adalah penelitian klinis dengan metode uji klinis cross sectional propesktif yang dilakukan di ruang rawat intensif terhadap hubungan nilai RQ dengan mortalitas pasien sepsis, serta membandingkan dengan hubungan antara nilai ScvO2 dengan mortalitas pasien sepsis. Peneliti melakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri dan analisa gas darah vena sentral, yang diukur secara bersamaan pada saat pasien masuk T0 dan 6 jam T6 pasca resusitasi. Hubungan antara nilai RQ dan nilai ScvO2 dengan kematian dianalisa dengan menggunakan uji chi-kuadrat.Hasil : Sebanyak 47 pasien sepsis dilakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri dan analisa gas darah vena sentral pada saat pasien masuk T0 dan 6 jam T6 pasca resusitasi. Pasien sepsis dengan nilai RQ tinggi ge; 1,6 pada saat awal masuk berhubungan dengan mortalitas pasien sepsis P= 0,001 . Pasien sepsis dengan nilai ScvO2 tinggi ScvO2 ge; 75 pada saat awal masuk mempunyai hubungan dengan terjadinya mortalitas pasien sepsis P = 0,001 . Pasien sepsis dengan nilai RQ tinggi ge; 1,6 pada saat 6 jam T6 pasca resusitasi berhubungan dengan mortalitas pasien sepsis P = 0,001 . Pasien sepsis dengan nilai ScvO2 tinggi ScvO2 ge; 75 pada saat 6 jam T6 pasca resusitasi tidak berhubungan dengan terjadinya mortalitas pasien sepsis P = 0,102 . Pasien sepsis yang mempunyai konsistensi dalam tingginya nilai RQ ge; 1,6 baik awal masuk dan pasca resusitasi mempunyai hubungan dengan terjadinya mortalitas pasien tersebut P = 0,001 .Kesimpulan : Pasien sepsis dengan nilai RQ yang tinggi ge; 1,6 baik pada saat awal T0 dan 6 jam T6 pasca resusitasi mempunyai hubungan dengan mortalitas pasien sepsis. Nilai RQ dapat digunakan sebagai salah satu prediktor terjadinya mortalitas pasien sepsis. ABSTRACT
Background Sepsis progressively becomes septic shock that ends in mortality within a short time, due to tissue hypoperfusion. Tissue hypoperfusion in septic patients may results in anaerobic metabolism. Anaerobic metabolism markers are known by the ratio of the difference between the venous to arterial CO2 difference arterial central venous O2 difference ratio P v a CO2 C a v O2 or Respiratory Quotient RQ . Therefore, we evaluated the relationship between the RQ value with the mortality of the sepsis patient, the relationship between the ScvO2 value with the mortality of the sepsis patient and compared these two relationships.Methods This was a clinical study with a cross sectional propective clinical trial method, which conducted in intensive care unit ICU department. The investigators performed an arterial blood gas analysis and central venous blood gas analysis, measured simultaneously at the time of admission T0 and 6 hours T6 post resuscitation. In this study, the relationship between RQ value with mortality of sepsis patients compared to the relationship between ScvO2 with mortality of sepsis patients, which was analyzed by using chi square test.Results A total of 47 sepsis patients performed arterial blood gas analysis and central venous blood gas analysis at admission T0 and 6 hours T6 post resuscitation. Sepsis patients with a high RQ score ge 1.6 at admission T0 were associated with sepsis patient mortality P 0.001 . Sepsis patients with a high ScvO2 score ScvO2 ge 75 at admission T0 were associated with sepsis patient mortality P 0.001 . Sepsis patients with a high RQ score ge 1.6 at 6 hours T6 post resuscitation were associated with sepsis patient mortality P 0.001 . Sepsis patients with high ScvO2 score ScvO2 ge 75 at 6 h T6 post resuscitation were not associated with sepsis patient mortality P 0.102 . Sepsis patients with consistency in high RQ ge 1.6 values both early admission and post resuscitation have been associated with the patient 39 s mortality P 0.001 .Conclussion Sepsis patients with a high RQ value ge 1.6 at both the initial T0 and 6 hours T6 post resuscitation sites were associated with sepsis patient mortality. RQ values can be used as one of the predictors of sepsis patient mortality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : a) kecerdasan emosional , kepercayaan diri da produktivitas kegiatan penelitian dosen STT YBSI Tasikmalaya, (b) pengaruh dimensi-dimensi dalam kecerdasan emosional terhadap produktivitas kegiatan penelitian dosen STT YBSI Tasikmalaya .
330 JMM 6:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indah Rizki Maulia
Abstrak :
ABSTRAK
Seiring dengan adanya persaingan dalam bidang pendidikan baik secara nasional maupun internasional antara Perguruan Tinggi, maka perguruan tinggi negeri dituntut untuk lebih berbenah diri agar dapat meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas ini juga mencakup peningkatan kualitas mahasiswanya. Mahasiswa tidak hanya diharapkan dapat lulus tepat waktu, tapi juga dapat meraih prestasi yang maksimal. Dweck (dalam Snyder, 2002) menegaskan bahwa keberhasilan siswa di kelas tidak hanya ditentukan oleh faktor kecerdasan dan kemampuan. Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi siswa adalah motivasinya dalam meraih hasil yang maksimal dalam bidang akademis. Dahulu diyakini bahwa kesuksesan siswa di kelas bergantung pada Intelligence Quotient dan Emotional Quotient yang dimiliki siswa, namun hal tersebut tidak terbukti. Paul G. Stoltz (1997) mencoba menjembatani antara konsep kedua konsep ini dengan menciptakan konsep Adversity Quotient yaitu suatu ukuran untuk mengetahui respons manusia terhadap kesulitan. Adversity Quotient (AO) diajukan sebagai prediktor global terhadap kesuksesan antara lain sebagai prediktor dari motivasi. Dalam penelitian ini Adversity Quotient akan diuji apakah benar memiliki hubungan dengan motivasi yang salah satu bentuknya adalah motivasi berprestasi dalam bidang akademis. Penelitian ini berusaha untuk. lebih mengembangkan penelitian mengenai Adversity Quotient dan motivasi berprestasi dengan sampel warga Indonesia, khususnya mahasiswa. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan khususnya oleh bangsa Indonesia. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel mahasiswa Universitas Indonesia angkatan 2001, 2002, 2003 yang mengikuti program SI reguler. Peneliti juga akan mencoba melihat apakah ada perbedaan pada mahasiswa yang berasal dari Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) dengan yang berasal dari luar Jadebotabek dalam hal Adversity Quotient dan motivasi berprestasi akademis. Dugaan akan adanya perbedaan muncul karena adanya asumsi bahwa mahasiswa yang berasal dari daerah lain mengalami krisis yang lebih berat dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari kota/daerah dimana universitas itu berdiri, antara lain berupa tekanan akulturasi yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan dengan lingkungannya yang baru dan sebagainya. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan sampel sebesar 87 orang, 60 orang berasal dari Jadebotabek dan 27 orang berasal dari luar Jadebotabek. Alat ukur Adversity Quotient dan motivasi berprestasi yang digunakan dibuat sendiri oleh peneliti. Kedua alat ukur ini berbentuk skala tipe Likert. Alat ukur Adversity Quotient terdiri dari dimensi Control, Ownership, Reach, Endurance dan alat ukur motivasi berprestasi akademis terdiri dari dimensi Risiko Pemilihan Tugas, Kebutuhan akan Umpan Balik, Tanggung Jawab, Ketekunan, Kreatif/Inovatif, dan Keinginan untuk Unggul. Ternyata motivasi berprestasi akademis tidak hanya dipengaruhi oleh Adversity Quotient maka faktor-faktor lain yang memiliki pengaruh terhadap motivasi berprestasi akademis juga dianggap sebagai variabel bebas/independent variable (IV). Faktor-faktor lain ini diperoleh melalui data kontrol. Dengan demikian hubungan antara Adversity Quotient juga IV-IV lainnya (jenis kelamin, angkatan, fakultas, jenis ilmu yang ditekuni di fakultas, asal SMU, jalur masuk UI, pilihan fakultas dalam UMPTN/SPMB, urutan kelahiran, jumlah anak dalam keluarga, pendidikan terakhir ayah, pendidikan terakhir ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, tempat tinggal keluarga, saat ini tinggal bersama siapa, dan keikutsertaan di seminar/pelatihan motivasi) dengan motivasi berprestasi akademis diuji melalui perhitungan statistik Multiple Regression. Dari hasil penelitian terhadap sampel tidak ditemukan adanya hubungan antara Adversity Quotient dengan motivasi berprestasi akademis. Juga tidak ada perbedaan pada mahasiswa yang berasal dari Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) dengan yang berasal dari luar Jadebotabek dalam hal Adversity Quotient dan motivasi berprestasi akademis. Untuk IV lainnya seperti di atas juga tidak ditemukan adanya hubungan dengan motivasi berprestasi akademis. Walaupun dari hasil perhitungan didapatkan besarnya peran dari tiap IV terhadap motivasi berprestasi akademis, namun ternyata tidak signifikan pada level of significance 0,01 dan level of significance 0,05 sehingga probabilitanya lebih kecil daripada probabilita yang diharapkan. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab terjadi hal tersebut, antara lain adalah : Skor Adversity Quotient dan motivasi berprestasi pada sampel penelitian kurang bervariasi. Sampel kurang representatif. Ada faktor lain diluar IV-IV yang diperhitungkan yang lebih besar pengaruhnya terhadap DV
2004
S3327
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Hardaningsih
Abstrak :
Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik LES) merupakan kelainan autoimun sistemik kronik yang dapat melibatkan susunan saraf pusat sehingga terjadi gangguan neurokognitif yang memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual. Berbagai marker biologis terkait penyakit LES dapat memegaruhi fungsi neurokognitif. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerdasan intelektual anak dengan LES dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Studi potong lintang terhadap 62 anak usia 7-18 tahun dengan LES. Pemilihan subyek secara consecutive sampling mulai September-Desember 2019. Tingkat kecerdasan intelektual ditetapkan dengan Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV melalui penilaian Intelligence Quotient (IQ). Analisa korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kadar hemoglobin terhadap IQ dilakukan uji korelasi Spearman. Analisa bivariat marker autoantibodi antiphospholipid syndrome (APS) terhadap IQ dilakukan dengan uji Chi Square. Hasil: Prevalens subjek dengan IQ di bawah rata-rata (IQ<90) sebesar 73%. Nilai rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES secara berurutan adalah 85,02 ; 84,37 dan 83,11. Hasil korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, IMT dan kadar hemoglobin terhadap IQ total secara berurutan r=-0,029; r=-0,063; r=0,03; r=0,014; r=0,108 dengan P>0,05). Proporsi marker autoantibodi APS terhadap IQ verbal, IQ performa dan IQ total dibawah rata-rata dibandingkan rata-rata tidak berbeda bermakna secara berurutan p=0.18; p=0,57; dan p=0.854. Kesimpulan: Rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES di bawah nilai normal. Lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, marker autoantibodi APS, IMT dan kadar hemoglobin pada LES tidak memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual.
Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic systemic autoimmune disorder that can involve central nervous system resulting in neurocognitive disorder that affect the level of intellectual intelligence. Various biological markers associated with LES can influence neurocognitive function. Objective: This study was conducted to determine the level of intellectual intelligence of children with LES and the factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted on 62 children aged 7-18 years with SLE by consecutive sampling from September to December 2019. The level of intellectual intelligence was determined by the Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV with an Intelligence Quotient (IQ) level. Correlation of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, body mass index (BMI) and hemoglobin level to IQ was analyzed by Spearman test. Bivariate analysis autoantibody markers of antiphospholipid syndrome (APS) on IQ was performed with Chi Square test. Result: The prevalence of IQ below average (IQ < 90) was 73%. Mean value of verbal, performance and full IQ were 85.02 ; 84.37 and 83.11,respectively. The correlation results of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, BMI and hemoglobin level werent statistically significant to full IQ respectively (r =-0,029; r=-0,063; r=0.03; r=0.014; r=0.108 with p>0.05). The proportion of autoantibody markers of APS to verbal, performance and full IQ below average compared to average didt significantly difference (p=0.18; p=0.57; p=0.854, respectively). Conslusion: Average of verbal, performance and full IQ in children with SLE is below normal level. Neither duration and activity of disease, cumulative dose of steroid, autoantibody markers of APS, BMI nor hemoglobin level are correlated to intellectual intelligence in children with SLE
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Agung Rahmadi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kecerdasan adversity dan motivasi hidup Jemat Ahmadiyah di tengah arus informasi hoax, karena diasumsikan bahwa adanya kesenjangan antara fenomena kecerdasan adversity dan motivasi hidup Jemaat Ahmadiyah dengan Teori Adversity Quotient Paul G. Stoldz dan Teori Motivasi Abraham A. Maslow. Metode Penelitian adalah metode fenomenologi kualitatif di mana data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi non partisipatif. Lokasi penelitian berada di dua wilayah yaitu wilayah diskriminatif dan wilayah kondusif. Data primer diperoleh dari wawancara dan observasi psikologi yang dilakukan untuk sepuluh orang seagai perwakilan dari lima kelompok informan penelitian, yaitu Atfal, Nasirat, Ghudam, Lajna Imailah, Anshar, kemudian data sekunder berasal dari buku / jurnal. Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa Jemaat Ahmadiyah Manislor memiliki kecerdasan adversity yang kurang baik sebab adanya trauma yang timbul karena diskriminasi, dan memiliki motivasi yang melompati hirarki motivasi seharusnya, sedangkan Jemaat Ahmadiyah Lenteng Agung memiliki kecerdasan adversity yang kurang baik sebab lingkungan yang terlalu kondusif serta berada pada hirarki motivasi yang sesuai teori. Kesimpulan ini dapat ditarik sebab pada Atfal dan Nasirat Jemaat Ahmadiyah Manislor yang belum mengalami diskriminasi terdapat kecerdasan adversity yang tidak terganggu oleh trauma dan memiliki gejala psikologi yang serupa dengan Jemaat Ahmadiyah dalam lingkungan kondusf seperti di Lenteng Agung. Lompatan hirarki dalam motivasi konatif pada Jemaat Ahmadiyah Manislor timbul sebab dalam tradisi Jemaat Ahmadiyah penanaman nilai being tidak harus melewati hierarki motivasi sebelumnya.
ABSTRACT
This study aims to get an overview of the adversity quotient and life motivation of Ahmadiyya Jama'at in the middle of hoax information flow, because it is assumed that there is a gap between the phenomenon of adversity quotient and the life motivation of the Ahmadiyya Jema’at with Paul G. Stoldz's Adversity Quotient Theory and Abraham A. Maslow's Motivation Theory. The research method is a qualitative phenomenology method, where primary data is obtained from the results of in-depth interviews and non-participatory observation. The research locations are in two regions, namely discriminatory regions and conducive regions. Primary data were obtained from interviews and psychological observations conducted for ten people as representatives of five research subject groups, namely Atfal, Nasirat, Ghudam, Lajna Imailah, Ansar, then secondary data came from books / journals. The results of the study describe that the Ahmadiyya Jamaat Manislor has poor adversity quotient because of the trauma that arises due to discrimination, and has the motivation to leapfrog the motivational hierarchy should, while the Lenteng Agung Ahmadiyya Jama'at has less adversity quotient because the environment in too conducive while the Lenteng Agung Ahmadiyah Community is at the hierarchy stage of motivation that fits the theory. This conclusion can be drawn because the Atfal and Nasirat of the Ahmadiyya Jamaat that have not experienced discrimination have adversity quotient that is not disturbed by trauma and has psychological symptoms similar to the Ahmadiyya Jema’at in a conducive environment such as in Lenteng Agung. The leap of hierarchy in the conative motivation of the Ahmadiyah adherents arises because in the tradition of the Ahmadiyya Jama'at, planting the value of being done does not have to go past the previous hierarchy of motivation.
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T51942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>