Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rr. Kirana Andranilla
Abstrak :
Pengembangan terapi berbasis protein meningkat signifikan selama 30 tahun terakhir untuk penyembuhan berbagai penyakit. Namun, sifat alami protein seperti berat molekul yang besar dan permeabilitas membran yang buruk menyebabkan terapi diberikan secara injeksi. Pemberian ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dan limbah jarum, sehingga diperlukan sistem penghantaran baru yaitu dissolving microneedles (DMN). DMN dibuat dengan cara two-step casting micromolding yang melokalisasi bahan aktif untuk berada di bagian jarum. Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai model protein, diformulasikan ke dalam DMN dengan polimer poli(vinil alkohol) (PVA) 1,25-5% dan poli(vinil pirolidon) (PVP) 30-40%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengevaluasi formula DMN yang mengandung BSA (DMN-BSA) dengan metode pembuatan two-step casting micromolding. Evaluasi sediaan DMN-BSA meliputi morfologis, kekuatan mekanis dan insersi, uji pelarutan dan insersi dalam kulit, pengukuran kadar BSA, uji pelepasan in vitro, serta uji iritasi secara in vivo. Berdasarkan keseluruhan evaluasi yang telah dilakukan, formula F15 dengan polimer kombinasi PVP 30% dan PVA 1,25% merupakan formula yang paling berpotensi untuk formulasi BSA ke dalam DMN. F15 memiliki morfologi yang baik, hasil penurunan tinggi jarum yang rendah dengan nilai 13,53 ± 0,03%, dan dapat masuk hingga lapisan keempat pada Parafilm M®. Selain itu, F15 dapat menembus ke dalam kulit dan memiliki kadar BSA yang tinggi setelah proses pembuatan, yaitu 91,91 ± 1,05 %. DMN-BSA dengan formula ini dapat menghantarkan BSA hingga 93,31 ± 5,49% dan tidak menimbulkan iritasi setelah diaplikasikan pada kulit tikus selama 24 jam. Sehingga, DMN dengan kombinasi polimer PVP-PVA berpotensi untuk menghantarkan BSA secara transdermal dan tidak menimbulkan iritasi. ......Over the last 30 years, there has been a significant increase in the development of protein-based therapies for the treatment of various diseases. However, due to the nature of the protein, such as its high molecular weight and poor membrane permeability, therapy must be administered via injection. This administration can be uncomfortable for the patient and generate waste needles, therefore a new delivery system, namely dissolving microneedles (DMN), is required. DMN is made using a two-step casting micromolding process that concentrates the active ingredient in the needle. As a protein model, bovine serum albumin (BSA) was formulated into DMN with poly(vinyl alcohol) (PVA) 1.25-5% and poly(vinyl pyrrolidone) (PVP) 30-40%. The goal of this study was to obtain and evaluate the DMN-BSA formula using the two-step casting micromolding method. Morphology, mechanical strength and insertion, dissolution and skin insertion tests, BSA level measurement, in vitro permeation tests, and in vivo irritation tests were all used to evaluate DMN-BSA preparations. Based on the evaluations, the F15 formula with a combination of 30% PVP and 1.25% PVA had the greatest potential for BSA formulation into DMN. F15 had good morphology, a low needles height reduction of 13.5±0.03%, and penetrated up to the fourth layer of Parafilm M®. Furthermore, F15 penetrated the skin and had a high BSA level after the manufacturing process of 91.91±1.05%. This formula of DMN-BSA delivered up to 93.31±5.49% BSA and did not cause irritation after 24 hours administered on rat skin. As a result, DMN with a PVP-PVA polymer combination had the potential to deliver BSA transdermally while causing no irritation.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faroland Dedy Koswara Debataradja
Abstrak :
ABSTRAK
Pasien rawat inap dengan malnutrisi dapat mengalami kehilangan albumin melalui saluran cerna yang ditandai dengan penurunan albumin serum dan peningkatan kadar AAT tinja. Tujuan penelitian ini untuk menilai kehilangan protein melalui saluran cerna pada pasien di ruang rawat inap RSCM. Penelitian menggunakan rancangan potong lintang dengan uji deskriptif analitik, dengan menilai kadar AAT tinja dan albumin serum penderita rawat inap. Hasil penelitian pada 41 subjek malnutrisi dan 33 subjek tidak malnutrisi mendapatkan nilai median AAT tinja pada kelompok malnutrisi sebesar 86,9 mg/dL dengan rentang 26,3 - 310,3 mg/dL. Pada kelompok tidak malnutrisi didapat median nilai AAT tinja 12,2 mg/dL dengan rentang 1,4 - 25,6 mg/dL. Rerata albumin serum pada kelompok malnutrisi adalah 2,6 ± 0,4 g/dL sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi 4,0 ± 0,4 g/dL. Terdapat korelasi kuat yang berlawanan arah antara kadar AAT tinja dan kadar albumin serum yang berarti terjadi kebocoran albumin serum melalui saluran cerna akibat gangguan integritas usus terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi.
ABSTRACT
Hospitalized patients with malnutrition can have albumin loss through gastrointestinal tract characterized by the decreased of serum albumin and the increased levels of fecal AAT. The purpose of this study was to assess the loss of protein through the gastrointestinal tract in hospitalized patients at RSCM hospital. The study was a cross-sectional study with descriptive analytic approach, assessing the levels of fecal AAT and serum albumin from 41 malnourish and 33 non malnourish subject. Fecal AAT median scores among the malnourished group was 86.9 mg/dL with a range from 26.3 to 310.3 mg/dL. In the non malnourished group fecal AAT median value was 12.2 mg / dL with a range from 1.4 to 25.6 mg/dL. The mean serum albumin in malnourished group was 2.6 ± 0.4 g/dL, while in the non malnourished group was 4.0 ± 0.4 g/dL. There is a strong negative correlation between fecal AAT levels and serum albumin, which indicates that serum albumin leakage through the gastrointestinal tract was due to impaired intestinal integrity especially in malnourished patients.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muzna Anisah
Abstrak :
Latar belakang: Serum Albumin merupakan protein plasma yang jumlahnya paling melimpah dalam darah dan berkontribusi dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid dan juga mengikat substansi yang sukar larut dalam plasma dan membantunya agar dapat didistribusikan ke dalam tubuh. Protein dalam ASI kebanyakan disintesis oleh mammary epithelium namun serum albumin merupakan protein yang didapat langsung dari sirkulasi darah ibu dan disalurkan melalui blood-milk barrier. Kadar serum albumin yang ditemukan di dalam ASI jumlahnya dapat bervariasi, protein ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti masa menyusu bayi (fase laktasi), usia ibu, paritas, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar serum albumin pada ASI ibu yang menyusui bayi usia 1-3 bulan dan 4-6 bulan dan mencari hubungannya dengan  usia Ibu, jumlah paritas, dan IMT Ibu. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel ASI yang diperoleh dari 58 ibu dari Puskesmas Petamburan (Jakarta Pusat) dan Puseksmas Cilincing (Jakarta Utara). Sampel dikelompokkan  menjadi dua kelompok, yaitu usia bayi 1-3 dan 4-6 bulan.  Kadar serum albumin diukur dengan kit Bromocresol Green (BCG) menggunakan spektrofotometer dengan Panjang gelombang 628 nm. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI pada periode laktasi yang lebih awal yaitu pada 1-3 bulan memiliki kadar serum albumin yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kadar serum albumin ASI pada kelompok usia 4-6 bulan (p=0,002). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 1-3 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,881), dan juga paritas (p=0,428), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=000). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 4-6 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,581) dan juga paritas (p=0,823), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=0,000).  Kesimpulan: Kadar serum albumin dalam ASI dipengaruhi oleh usia bayi atau fase laktasi, dimana kadar serum albumin lebih tinggi secara bermakna pada ASI kelompok bayi usia 1-3 bulan dibandingkan dengan ASI kelompok bayi usia 4-6 bulan. Kadar serum albumin berhubungan dengan IMT ibu yaitu kadar serum albumin akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya IMT Ibu. ......Serum albumin is the most abundant plasma protein in the blood and contributes to maintaining osmotic colloid pressure and also binds poorly soluble substances in plasma and helps them to be distributed throughout the body. Protein in breast milk is mostly synthesized by the mammary epithelium, but serum albumin is a protein that is obtained directly from the mother's blood circulation and is channeled through the blood-milk barrier. Serum albumin levels found in breast milk can vary in number, this protein is influenced by various factors such as breastfeeding period (lactation phase), maternal age, parity, and maternal body mass index (BMI). This study aims to determine the comparison of serum albumin levels in breast milk of mothers who breastfeed infants aged 1-3 months and 4-6 months and to find out the relationship with maternal age, parity, and maternal BMI. This study used breast milk samples obtained from 58 mothers from Petamburan Public Health Center (Central Jakarta) and Cilincing Public Health Center (North Jakarta). The samples were grouped into two groups, namely infants aged 1-3 and 4-6 months. Serum albumin levels were measured with the Bromocresol Green (BCG) kit using a spectrophotometer with a wavelength of 628 nm. The results showed that breast milk in the earlier lactation period at 1-3 months had significantly higher serum albumin levels than breast milk serum albumin levels in the 4-6 month age group (p=0.002). Serum albumin levels in breast milk in infants aged 1-3 months had no correlations on maternal age (p = 0.881), and parity (p = 0.428), but a significant positive correlation with maternal BMI (p = 000) . Serum albumin levels in breast milk in the infant age group 4-6 months had no correlations to maternal age (p=0.581) and parity (p=0.823), but had a significant positive correlation to maternal BMI (p=0.000). Serum albumin levels in breast milk are influenced by the infant's age or lactation phase, where serum albumin levels are significantly higher in the breast milk group of infants aged 1-3 months compared to the breast milk group of infants aged 4-6 months. Serum albumin levels are related to maternal BMI, namely serum albumin levels will increase with increasing maternal BMI.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uke Andrawina Utami
Abstrak :
Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan penyakit radang yang terjadi pada usus. Peradangan kronik yang terjadi dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut, tindakan bedah dilakukan untuk pengobatan ini. Obat antifibrotik diberikan pasca operasi, salah satu obat antifibrotik yang digunakan adalah pentoksifillin. Pengobatan pada lapisan mukosa usus akan lebih efektif, jika obat dapat dilepaskan ke tempat peradangan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat beads dengan metode gelasi ion menggunakan polimer alginat yang disambung silang dengan kation divalen seperti kalsium klorida yang akan membentuk gel tidak larut. Beads kalsium-alginat yang mengandung pentoksifillin dibuat dalam tiga formula dengan variasi konsentrasi kalsium klorida 2% (formula 1), 3% (formula 2), dan 4% (formula 3). Karakterisasi yang dilakukan meliputi bentuk dan morfologi, distribusi ukuran, efisiensi proses, efisiensi penjerapan, dan uji pelepasan in vitro. Beads yang dihasilkan berbentuk hampir bulat, distribusi berada pada ukuran 710 sampai 1180 μm. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 48,75%, 47,28%, dan 45,89%. Kandungan pentoksifillin dari ketiga formula berturut-turut yaitu 18,28%, 15,75%, dan 13,76%. Uji pelepasan zat aktif dari beads dilakukan pada medium asam klorida pH 1,2 dapar fosfat pH 7,4 dan dapar fosfat pH 6. Hasil penelitian menunjukkan, pelepasan pentoksifillin dari beads alginat pada ketiga medium dilepaskan dengan cepat. ......Inflammatory Bowel Disease (IBD) is an inflammatory that occurs in intestinal. Chronic inflammation that occurs can cause a fibrotic tissue, surgery is an action for the treatment of IBD. Antifibrotic drug is administered after surgery, pentoxifylline is one of an antifibrotic drugs. Treatment of the intestinal mucosa inflammation will be more effective if the drug can be released directly to the inflammation. The aim of this research is to prepare beads by ionic gelation method, where sodium alginate were crosslinked with divalen cations such as calcium ions to form an insoluble gel beads. Beads were characterized, include shape and morphology, size distribution, process efficiency, adsorption efficiency, and in vitro release test. Calcium-alginate containing pentoxifylline were prepared in three formulas which various concentration of calcium chloride 2% (formula 1), 3% (formula 3), and 4% (formula 3). The results shows that beads which produced have almost spherical form, most of particle size distribution is between 710-1180 μm. Adsorption efficiency from three formulas respectively are 48,75%, 47,28%, and 45,89%. Encapsulation efficiency from three formulas respectively are 18,28%, 15,75%, and 13,76%. The release test of active substance from beads performed in pH 1,2 hydrochloric acid, pH 7,4 phosphate buffer, and pH 6 phosphate buffer. Results showed the release of pentoxifylline from alginate beads was released fastly in three mediums.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42292
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Kaltha
Abstrak :
Latar belakang: Luka bakar masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien anak. Luka bakar dapat menyebabkan kehilangan cairan sehingga dapat terjadi syok akibat peningkatan permeabilitas vaskular dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat berpengaruh pada hemodinamik karena albumin berperan dalam mempertahankan tekanan onkotik plasma, sehingga hipoalbuminemia dapat berpengaruh terhadap keberhasilan resusitasi cairan pasien dengan luka bakar. Belum diketahui apakah kadar albumin awal berhubungan dengan keberhasilan resusitasi cairan pada pasien anak dengan luka bakar. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi pada pasien anak di Unit Luka Bakar RS Cipto Mangunkusumo. Metode: Desain penelitian kohort retrospektif berdasarkan data pasien anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM yang tercatat di rekam medis sejak Januari 2012-Maret 2018. Metode pengumpulan data dilakukan secara secara total sampling. Hasil: Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 61 pasien. Sebagian besar subyek berusia <4 tahun, derajat II, luas luka bakar >20%, rentang waktu antara kejadian dan resusitasi cairan yaitu 8-24 jam, status gizi baik, rerata albumin awal 3,1 g/dL, dan rerata laktat awal 2,5 mmol/L. Jumlah pasien anak dengan luka bakar yang menjalani resusitasi cairan dalam 24 jam pertama sebanyak 71,7%, dimana hampir seluruhnya berhasil diresusitasi dalam 24 jam pertama (95,1%). Tidak ditemukan hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi awal [RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812]. Pada analisa regresi cox, tidak terdapat juga hubungan antara ureum, creatinin, laktat, berat badan dan luas/derajat luka bakar dengan keberhasilan resusitasi awal. Simpulan: Angka keberhasilan resusitasi awal pasien anak di unit luka bakar RSCM masih tinggi. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi cairan 24 jam pada pasien anak dengan luka bakar.
Background: Burn injury in children has great mortality and morbidity rate. Burn injury can cause lost of fluid quickly, leading to dehydration and shock. Hypoalbuminemia is an important factior in fluid haemostasis, maintaining the oncotic pressure gradient to favor intravascularly. Hypoalbuminemia in a burn injury is a common occurence, and have the potential to impede the fluid resuscitation process. It is still unclear whether serum albumin has a role in the success of fluid resuscitation in children with burn injury. Objective: To find out the association between serum albumin and the success of fluid resuscitation in children hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre. Method: This is a retrospective cohort study based on medical record of children hospitalized with burn injury at Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre from January 2012-March 2018. The subjects collected with the total sampling method. Result: Sixty one subjects were enrolled in this study. Burn injury mostly occured in the age group of <4 years old, grade II burn injury, >20% TBSA, normal nutritional status, mean albumin level 3,1 g/dL, mean lactate level 2,5 mmol/L. Almost all subjects was succesfully resuscitated in the first 24 hour (95,1%). No association was found between the success of fluid resuscitation with either serum albumin[RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812], or with ureum, creatinin, lactate level, weight and the degree/extent of the burn injury. Conclusion: The success rate of fluid resuscitation in pediatric burn injury was quite high in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre. No association was found between serum albumin and the success of fluid resuscitation during the first 24 hour period.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fahmi
Abstrak :
Sekretom merupakan medium kultur sel punca (stem cells) yang berisikan molekul-molekul protein yang disekresikan oleh sel. Pengaplikasian sekretrom dalam dunia medis dapat menggantikan terapi sel punca karena jauh lebih aman dan memiliki fungsi penyembuhan yang hampir sama dengan terapi sel punca. Dalam suatu penyembuhan atau terapi menggunakan obat atau bahan aktif, faktor transfer obat menjadi salah satu parameter keberhasilan. Untuk mengoptimalkan transfer obat maka obat atau bahan aktif yang digunakan dapat dienkapsulasi dalam suatu vesikel, salah satunya adalah transfersom. Transfersom merupakan vesikel berbasis lipid yang tersusun atas fosfolipid dan surfaktan sebagai edge activator. Dengan menggunakan transfersom memungkinkan obat atau bahan aktif dihantarkan secara transdermal, tanpa melalui injeksi, operasi, maupun pemasangan implan. Pada penelitian ini, transfersom dibuat untuk enkapsulasi bovine serum albumin sebagai model protein sekretom. Bahan penyusun transfersom yang digunakan dalam penelitian ini adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) dan Tween 80 dengan perbandingan fosfolipid dengan surfaktan adalah 97,5:2,5 %w/w. Pada penelitian ini partikel transfersom dibentuk dengan melibatkan siklus freeze-thaw untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik transfersom. Perlakuan siklus freeze-thaw tersebut terbukti dapat memengaruhi karakteristik transfersom. Dalam penelitian ini, siklus freeze-thaw dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi hingga 81,63 ± 0,004% dengan ukuran partikel sekitar 180,70 ± 0,87 nm. Selanjutnya, protein yang dilepaskan secara in-vitro selama 78 jam mencapai 52,80%, lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan freeze-thaw. Dengan demikian, perlakuan siklus freeze-thaw dapat digunakan untuk meningkatkan karakteristik partikel transfersom. ......The secretome is a stem cell culture medium containing protein molecules that are secreted by the cells. In the medical field, secretome can substitute stem cell therapy because it is safer and almost has the same function as stem cell therapy. In a cure or therapy using drugs or active ingredients, the drug transfer factor is one of the parameters of success. To optimize drug transfer, the drugs or active compounds can be encapsulated into a vesicle, one of which is transfersome. Transfersome is a lipid based vesicle composed of phospholipid and surfactant as an edge activator. By using transfersome, drugs or active compounds can be transferred transdermally without any injection, operation, or implant placement. In this research, transfersome is made for encapsulating bovine serum albumin as a secretome protein model.  The building blocks for transfersomes used in this study were dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) and Tween 80 with a 97.5:2.5 %w/w ratio of phospholipids to surfactants. In this research, transfersome is fabricated with involving the freeze-thaw cycles method to study its effect to transfersome characteristics. The freeze-thaw cycles that are involved in transfersome fabrication is proved affecting to transfersome characteristics. In this research, freeze-thaw cycles can increase particle encapsulation to 81.63 ± 0.004% with a particle size of 180.70 ± 0.87 nm. Furthermore, the protein released from transfersome particle for 78 hours reached 52.80%, more than without freeze-thaw cycles treatment. Hence, freeze-thaw cycles treatment can be used to improve transfersome particle characteristics.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Amin
Abstrak :
ABSTRAK
Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering diteuka di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Hipoalbuminemia telah lama diketahui sebagai pertanda prognosis buruk pada pasien dengan penyakit kritis, namun peranannya pada pasien VAP belum jelas diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan albumin serum inisial dalam memprediksi mortalitas pasien VAP. Metode: Kami melakukan penelitian kohort retrospektif dengan menganalisis data pasien VAP yang dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo selama kurun waktu tahun 2003- 2012. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kadar albumin serum inisial: Grup-1 (kurang dari 2,7 g/dL), Grup-2 (2,7-3,5 g/dL), Grup-3 (lebih dari 3,5 g/dL). Risiko mortalitas selama perawatan dianalisis dengan Cox propotional hazard model. Hasil: Dari 194 pasien yang diikutsertakan, sebanyak 95 (49%) pasien termasuk dalam Grup-1, 83 (42,8%) pasien termasuk dalam Grup-2 dan 16 (8,2%) pasien termasuk dalam Grup-3. Mortalitas selama perawatan terjadi terjadi pada 58,2% subjek. Rasio hazard terjadinya mortalitas untuk Grup-1 dan Grup-2 adalah 2,48 (IK 95% 1,07 sampai 5,74; p = 0,033) dan 1,42 (IK 95% 0,60 sampai 3,34; p = 0,43) apabila dibandingkan dengan Grup-3. Simpulan: Adanya hipoalbuminemia akan meningkatkan risiko mortalitas. Kadar serum albumin inisial sebaiknya dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien VAP.
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
Abstrak :
Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif. ......Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beryl Alodia
Abstrak :
ABSTRACT
Penelitian ini menganalisis kemampuan Human Serum Albumin (HSA), Umbilical cord blood (UCB) serum dan Fetal Bovine Serum (FBS) dalam menjaga stabilitas ekspansi ex vivo kultur sel punca hematopoetik (SPH). Sel yang digunakan adalah sel mononuklear dan sel CD34+ dari darah tali pusat yang disimpan beku dalam lingkungan nitrogen. Medium basal kultur yang digunakan adalah RPMI 1640 Biowest dan Stemspan. Jumlah sel hidup dihitung menggunakan metode eksklusi tryphan blue dan fenotipe sel CD34+ dianalisis menggunakan flow cytometry. Pewarnaan Giemsa dilakukan pada sel-sel yang dipanen pada hari ketujuh kultur untuk menganalisis morfologi sel. Besar sampel dalam penelitian ini adalah tiga dan jumlah pengulangan adalah dua kali. Penelitian ini menunjukkan bahwa kultur dengan suplementasi HSA menghasilkan jumlah sel yang lebih rendah namun memiliki persentase CD34+ yang lebih tinggi dibandingkan UCB serum dan FBS. Pewarnaan Giemsa menunjukkan sel-sel darah yang terdiferensiasi paling sedikit ditemukan pada HSA. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, medium dengan suplementasi HSA lebih unggul dari UCB serum dan FBS dalam mempertahankan kepuncaan sel punca hematopoetik.
ABSTRACT
This study analyzed the ability of serum Human Serum Albumin (HSA), Umbilical cord blood (UCB) and Fetal Bovine Serum (FBS) to maintain the stability of ex vivo expansion of hematopoietic stem cell (SPH) cultures. The cells used are mononuclear cells and CD34 + cells from cord blood which are frozen in a nitrogen environment. The basal culture medium used was RPMI 1640 Biowest and Stemspan. The number of living cells was calculated using the tryphan blue exclusion method and the CD34 + cell phenotype was analyzed using flow cytometry. Giemsa staining was carried out on cells harvested on the seventh day of culture to analyze cell morphology. The sample size in this study was three and the number of repetitions was twice. This study shows that culture with HSA supplementation results in lower cell counts but has a higher CD34 + percentage compared to serum UCB and FBS. Giemsa staining shows the least differentiated blood cells are found in HSA. These results indicate that, medium with HSA supplementation is superior to serum UCB and FBS in maintaining hematopoietic stem cell stem cells.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library