Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizqi Zulfa Qatrunnada
Abstrak :
ABSTRAK
Perusahaan membutuhkan karyawan yang tidak hanya bertalenta, tetapi juga memiliki keterikatan kerja. Keterikatan kerja dipengaruhi oleh sejumlah faktor diantaranya adalah keadilan interaksi dan persepsi dukungan organisasi (POS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji keterkaitan antar variabel tersebut dan menindaklanjuti hasil studi dengan suatu program intervensi pada karyawan Departemen R&A di PT X. Penelitian ini terdiri dari dua studi. Studi 1 adalah studi korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keadilan interaksi dan POS dengan keterikatan kerja. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner keadilan interaksi oleh Colquitt (2001), Short Version of Perceived Organizational Support (SPOS-8) oleh Rhoades dan Eisenberger (2002), dan Utrecht Work Engagement Scale versi singkat (UWES-9) oleh Schaufeli, Bakker, dan Salanova (2006). Data dari 66 responden yang diolah menunjukkan bahwa keadilan interaksi (r= .48, p < .05) dan POS (r= .50, p < .05) memiliki hubungan positif dengan keterikatan kerja. Berdasarkan hasil studi dan sebab kepraktisan, peneliti merancang studi dengan program intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan interaksi pada karyawan Departemen R&A. Program intervensi diberikan pada 5 partisipan yang merupakan atasan langsung dan dipersepsikan oleh bawahan memiliki skor keadilan interaksi rendah. Intervensi melalui serangkaian program WeCare4Share menunjukkan secara signifikan meningkatkan pengetahuan tentang keadilan interaksi (z = -2.07, p < .05) dan perubahan perilaku (z= -2.46, p < .05) pada atasan. Hasil uji perbedaan rata-rata variabel penelitian sebelum dan sesudah program intervensi menunjukkan terdapat peningkatan rata-rata skor yang signifikan pada keadilan interaksi (z= -3.31, p < .05) sesudah pelaksanaan intervensi. Dengan demikian, program WeCare4Share menunjukkan secara efektif dapat meningkatkan keadilan interaksi pada karyawan Departemen R&A di PT X.
ABSTRACT
An organization needs employees who are not only talented but also have an engagement in their work. Work engagement is influenced by some predictors include interactional justice and perceived organizational support (POS). The research aims to explain the relationship between these variables and examine the intervention program based on those results for R&A Department at PT X. This research consists of two studies. Study 1 is a correlational study that aims to explain the relationship between Interactional Justice, POS, and Work Engagement. Measurement instrument used Interactional Justice Questionnaire by Colquitt (2001), Short Version of Perceived Organizational Support (SPOS-8) by Rhoades and Eisenberger (2002), and Utrecht Work Engagement Scale Short Version (UWES-9) by Schaufelli, Bakker, & Salanova (2006). Data from 66 respondents showed that interactional justice (r= .48, p < .05) and POS (r = .50, p < .05) have a positive relationship with work engagement. Based on that result and practical reason, the researcher design an intervention program aims to increase interactional justice for R&A Department. The intervention program was given to 5 participants who were direct supervisors and perceived by their subordinates with low interactional justice scores. Intervention through WeCare4Share Program showed there was a significant increase in interactional justices knowledge (z = -2.07, p < .05) and behavioral change (z= -2.46, p < .05) in participants. The result of pretest and posttest variable also showed that there is a significant increase mean score in interactional justice (z= -3.31, p< .05) after the intervention program. Therefore, WeCare4Share Program succeeded to be effective in increasing interactional justice for R&A Department at PT X.
2019
T55121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Elsa Putri
Abstrak :
Faktor yang berkaitan dengan usia seperti usia kronologis dan usia subjektif, memegang peranan penting dalam memengaruhi keterikatan kerja seseorang. Namun demikian, peran usia kronologis pada keterikatan kerja tidak konsisten pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kembali kondisi yang memengaruhi kekuatan prediksi usia kronologis pada keterikatan kerja dengan menguji usia subjektif pada konteks tempat kerja yaitu occupational future time perspective (OFTP) sebagai variabel moderator. Penelitian ini menggunakan teori conservation of resources (COR) sebagai kerangka penelitian. Berdasarkan kerangka teori yang digunakan, OFTP diduga berperan sebagai sumber daya motivasi dan kompensasi agar karyawan dapat terikat terhadap pekerjaan mereka. Data dikumpulkan menggunakan teknik survei paper and pencil pada pekerja kesehatan di enam rumah sakit swasta di Jabodetabek (N = 190). Data dianalisis menggunakan simple moderation test dari makro PROCESS Hayes’ (2008) pada perangkat lunak SPSS v25.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat efek moderasi dari OFTP yang signifikan pada hubungan usia kronologis dan keterikatan kerja, dimana usia kronologis memprediksi keterikatan kerja secara positif dan signifikan pada individu dengan OFTP yang tinggi. Sementara itu, usia kronologis tidak memprediksi keterikatan kerja secara signifikan pada individu yang memiliki OFTP yang rendah. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah pentingnya bagi organisasi untuk meningkatkan OFTP karyawan terutama pada karyawan yang lebih senior. ......Age-related factors such as chronological age and subjective age are one of the most important factors that influence work engagement. However, previous studies showed inconsistent results in revealing the relationship between chronological age and work engagement. We extend the previous research by arguing the relationship between chronological age and work engagement is moderated by subjective age in the workplace context, namely occupational future time perspective (OFTP) within the framework of conservation of resources (COR) theory. Built upon the framework, OFTP played a role as motivational and compensatory resources to be engaged. Data were collected using paper and pencil survey from healthcare employees at six private hospitals in Jakarta and its surroundings (N = 190). Using a simple moderation test with Hayes’ (2008) PROCESS macro on SPSS software v25.0, results showed that the moderating effect of OFTP on chronological age-work engagement relationship was positive and significant, such that the relationship between chronological age and work engagement is positive and higher on individuals with expansive OFTP. Meanwhile, chronological age couldn’t predict work engagement on low OFTP individuals. The results of this study are able to show the organization to highlight the OFTP variable, especially on the older workers.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Tommy Yudha Sumatera Suyasa
Abstrak :
Some behaviors such as arriving late, taking excessive breaks, leaving early, performing tasks not relevant to the interests of the organization during work hours, and performing poor quality work, are all examples of counterproductive work behaviors (CWB). The most common types of CWB are wasted work time (idle time) and making work-relevant mistakes (work errors). Both are treated as indicators of the CWB in this study. Feedback on CWB is one of the main subjects evaluated in this dissertation. The theory used in previous studies has not consistently explained whether negative-feedback can decrease or increase the amount of CWB (Belschak & Den Hartog, 2009; Chang & Smithikrai 2010; Kwok, Au, & Ho, 2005; Smithikrai, 2008). Based on the emotion-centered models, negative-feedback can increase the amount of CWB, because it causes individuals to experience a negative affect. This in turn can cause individuals to intend to or even actually engage in CWB. According to learning theory, negative-feedback is necessary to decrease the amount of CWB. By receiving negative-feedback, individuals learn that their targets have not been reached, that performance should be improved, and that the quality of work should be raised. In this study, researcher proposes a way of giving feedback (methods in giving feedback) as a concept that should be considered in explaining the CWB. Based on how the feedback is provided, negative-feedback can be either constructive or destructive. To understand the effects of methods in giving feedback on CWB, researcher performed two studies. Study 1 was carried out in a laboratory setting (experimental setting); 97 participants were involved and the study was performed at the Institute of Public Administration (IPDN). Study 2 was conducted in the field (field study), with the aim to better understand the results of Study 1. Participants in Study 2 included 185 civil servants from the local government. Results showed that negative-feedback without consideration of the manner in which it is given, can increase or decrease the amount of CWB. But negativefeedback given constructively lowers the amount of CWB; while negativefeedback given destructively can increase it. Under controlled circumstances, giving destructive-feedback may reduce the amount of time wasted; but in natural situations, it can increase the tendency of employees to withdraw; a behavior that ultimately wastes even more time. In addition, although destructive feedback in controlled situations can reduce idle time, the amount of work errors can increase.
Penjelasan teoretis pada penelitian sebelumnya (Belschak & Den Hartog, 2009; Chang & Smithikrai, 2010; Kwok, Au, & Ho, 2005; Smithikrai, 2008) kurang menjelaskan secara konsisten apakah negative-feedback menurunkan atau meningkatkan CWB. Berdasarkan emotion-centered model, negative-feedback dapat meningkatkan CWB, karena akan membuat individu mengalami negativeaffect; yang selanjutnya akan membuat individu berniat ataupun melakukan CWB. Sedangkan, berdasarkan learning-theory, negative-feedback justru diperlukan untuk menurunkan CWB. Dengan mendapatkan negative-feedback, individu belajar mengetahui target yang belum tercapai, kinerja yang harus dilakukan, dan kualitas kerja mana yang harus diperbaiki. Dalam studi ini, peneliti mengajukan konsep cara menegur (method of giving feedback) yang tampaknya perlu dipertimbangkan dalam menjelaskan CWB. Berdasarkan konsep cara menegur, negative-feedback dapat diberikan secara konstruktif (constructive feedback [CF]) maupun secara destruktif (destructive feedback [DF]). Konsep cara menegur diharapkan dapat memperjelas hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan dapat melengkapi theoretical gap dari kelompok teori yang menjelaskan CWB. Untuk memahami pengaruh cara menegur terhadap CWB, peneliti mendekatinya melalui Studi 1 dan Studi 2. Studi 1 dilakukan dalam situasi laboratorium (experimental setting); dengan jumlah partisipan 97 praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Studi 2 dilakukan dalam situasi lapangan (field study), untuk lebih memahami hasil penelitian Studi 1 secara alami. Partisipan dalam Studi 2 adalah 185 orang pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teguran yang diberikan secara destruktif (pemberian negative-feedback yang dilakukan tanpa postive-feedback, tanpa pemilihan kata yang tepat, kurang disertai solusi, dan bahkan disertai ancaman) dapat meningkatkan atau menurunkan CWB. Sedangkan teguran yang diberikan secara constructive (pemberian negative feedback yang disertai positive feedback, dilakukan dengan pemilihan kata-kata yang tepat, didasarkan rasa percaya, dan disertai solusi yang memungkinkan) akan menurunkan CWB. Pemberian teguran secara destruktif meningkatkan negative-affect dibandingkan secara konstruktif. Pemberian teguran secara destruktif, dalam situasi terkontrol (experimental setting) boleh jadi menurunkan kesantaian-kerja (idle time); namun belum tentu menurunkan kesalahan-kerja (work errors). Pemberian teguran dengan cara destruktif dalam situasi terkontrol, boleh jadi justru meningkatkan. Dalam situasi alami, pemberian teguran secara destruktif berpotensi meningkatkan kecenderungan menarik diri (withdrawal). Perilaku menarik diri yang dilakukan, pada akhirnya menambah kesantaian-kerja. Di samping itu, pegawai yang diberikan teguran secara destruktif, mempersepsi bahwa dirinya banyak melakukan kesalahan atau mempersepsi bahwa tidak ada hal benar yang telah dilakukannya.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2003
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Maulany Din El Fath
Abstrak :
ABSTRAK
Organisasi dituntut dapat bersaing pada era revolusi industri 4.0. Kondisi ini menyebabkan organisasi membutuhkan karyawan dengan keterikatan kerja tinggi sebagai aset yang menentukan arah kinerja dan daya saing perusahaan. Dukungan sosial merupakan salah satu prediktor yang diduga berperan kuat pada keterikatan karyawan. Penelitian ini terdiri atas dua studi, yaitu studi pertama bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial terhadap keterikatan di PT XYZ dan studi kedua bertujuan untuk memberikan intervensi berupa program peningkatan dukungan sosial. Studi 1 terhadap 11 karyawan Departemen F PT XYZ menggunakan kuesioner Utrecht Work Engagement Scale 9 Version (UWES-9) oleh Schaufeli, Bakker dan Salanova (2006) dan kuesioner Coworker Support oleh Tews, Michel dan Ellingson (2013). Hasil Studi 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dari dukungan sosial terhadap keterikatan kerja (r0.64, p .05). Hasil Studi 1 kemudian dilanjutkan dengan melakukan Studi 2 yakni melaksanakan intervensi berupa program peningkatan dukungan sosial antar rekan kerja yang diberi nama We4Us. Hasil evaluasi pembelajaran menunjukkan adanya peningkatan mean pengetahuan tentang dukungan sosial yang signifikan (Z -1.99, p.05). Hasil evaluasi perilaku terhadap dukungan sosial menggunakan metode time series, ditemukan tidak terdapat peningkatan yang signifikan ( X4.34, p.05), dan terakhir uji beda sebelum dan sesudah intervensi pada variabel dukungan sosial tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan (Z -0.17, p.05).
ABSTRACT
Organizations were in high demand to compete in the 4.0 industrial revolution. This era made the organization needs employees with high work engagement as assets that determine the competitiveness and performances of the company. Social support as predictors that suspected of having a substantial role in employee engagement. This research consisted of two studies the first study aimed to see the effect of social support on engagement at PT XYZ and the second study designed to provide an intervention in the form of a program to increase social support. Study 1 consisted of 11 employees from the F Department of PT XYZ with the used of The Utrecht Work Engagement Scale 9 Version (UWES-9) questionnaire by Schaufeli, Bakker, and Salanova (2006) and the Coworker Support Questionnaire by Tews, Michel, and Ellingson (2013). Study 1 showed that there is a significant relationship between social support to work engagement (r 0.64, p .05). The results of Study 1 then continued with Study 2, which carried out an intervention program to increase social support among the employees named We4Us Workshop. Evaluation of learning showed a significant increase in employees knowledge of social support (Z -1.99, p .05). Evaluation of behavior using time series method revealed no significant increment (X2 4.34, p .05). The last is pretest-posttest of social support did not show any considerable increment (Z -0.17,p .05).
2019
T55174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Wastiani
Abstrak :
Guru di Sekolah Penggerak memiliki tantangan untuk melakukan continuous improvement, sehingga diperlukan engagement sebagai kunci keberhasilan Sekolah Penggerak. Berdasarkan data survey, engagement guru di Sekolah Penggerak XYZ berada dalam kategori sedang sehingga ada ruang untuk peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti peran Grit Sebagai Mediator Pengaruh Growth Mindset terhadap Work Engagement Pada Guru di Sekolah Penggerak XYZ dan menindaklanjuti hasil yang diperoleh dengan membuat suatu program intervensi. Dalam penelitin ini Work Engagement diukur dengan Utrecht Work Engagement Scale-9 (UWES-9) (Schaufeli & Salanova, 2003), growth mindset diukur dengan Growth Mindset Scale (Dweck, 2013), grit diukur dengan Short Grit Scale (Duckworth & Quinn, 2009). Partisipan penelitian adalah 197 guru Sekolah Penggerak XYZ. Hasil membuktikan grit dapat berperan sebagai mediator secara parsial pada pengaruh growth mindset terhadap work engagement (indirect effect = 0,2152, SE = 0,0501, LLCI = 0,1180, ULCI = 0,3157). Studi lanjutan berdasarkan hasil penelitian, didesain program intervensi training growth mindset yang diikuti 12 partisipan dari 25 orang dengan skor growth mindset rendah. Hasil membuktikan terdapat pengaruh positif signifikan training growth mindset terhadap peningkatan skor growth mindset, grit dan work engagement pada guru di sekolah penggerak XYZ (Skor Wilcoxon Asymp. Sig (2-tailed) 0,005 < 0,05). Dengan demikian, training growth mindset perlu diterapkan pada guru di Sekolah Penggerak. ......Teachers in ‘Sekolah Penggerak’ have challenges to carry out continuous improvement, so engagement is needed as the key to the success of ‘Sekolah Penggerak’. Based on survey data, teacher engagement at ‘Sekolah Penggerak’ XYZ is in the moderate category so there is room for improvement. This study aims to examine the role of Grit as a Mediator for the Effect of Growth Mindset on Work Engagement in Teachers at ‘Sekolah Penggerak’ XYZ and to follow up on the results obtained by creating an intervention program. In this study Work Engagement was measured by the Utrecht Work Engagement Scale-9 (UWES-9) (Schaufeli & Salanova, 2003), growth mindset was measured by the Growth Mindset Scale (Dweck, 2013), grit was measured by the Short Grit Scale (Duckworth & Quinn, 2009). The research participants were 197 teachers of the ‘Sekolah Penggerak’ XYZ. The results prove that grit can act as a mediator partially on the effect of growth mindset on work engagement (indirect effect = 0.2152, SE = 0.0501, LLCI = 0.1180, ULCI = 0.3157). A follow-up study based on research results, designed a growth mindset training intervention program which was followed by 12 participants out of 25 people with a low growth mindset score. The results prove that there is a significant positive effect of growth mindset training on increasing the growth mindset, grit and work engagement scores of teachers in ‘Sekolah Penggerak’ XYZ (Wilcoxon Asymp. Sig (2-tailed) score 0.005 <0.05). Therefore, growth mindset training needs to be applied to teachers in ‘Sekolah Penggerak’.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belavita Dwi Jayanti
Abstrak :
Kelelahan emosional (emotional exhaustion) merupakan suatu proses psikologis yang dihasilkan akibat adanya beban kerja yang berlebihan (work overload) dan konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict). Konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi saat seseorang sulit untuk membagi waktunya dalam memenuhi kedua peran dalam waktu yang bersamaan. Perawat dapat menderita kelelahan emosional karena memiliki intensi emosional dalam pekerjaannya. Adanya beban kerja yang berlebihan menyebabkan perawat cenderung memiliki kelelahan emosional dan dalam jangka panjang dapat memicu terjadinya turnover intention. RS Harima merupakan salah satu RS Swasta di Depok yang mengalami peningkatan turnover setiap tahun khususnya perawat, sehingga hal ini menjadi suatu permasalahan yang harus diselesaikan oleh RS Harima. Penelitian ini bertujuan untuk mempertegas peran emotional exhaustion sebagai variabel mediasi pada hubungan work overload dan work-family conflict terhadap turnover intention. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 148 perawat yang bekerja di RS Harima. Peneliti menggunakan kuesioner untuk pengambilan data yang kemudian dianalisis dengan menggunakan SEM. Hasil pada penelitian ini menunjukkan emotional exhaustion memediasi hubungan work overload dan work-family conflict terhadap turnover intention. Selanjutnya work overload berpengaruh positif tidak signifikan terhadap turnover intention ......Emotional exhaustion is a psychological process that results from excessive workload and work-family conflict. Conflict between work and family occurs when a person is difficult to divide his time in fulfilling both roles at the same time. Nurses can suffer from emotional exhaustion due to having an emotional feeling at work. Excessive workload causes nurses to tend to have emotional fatigue and in the long run can trigger turnover intention. Harima Hospital is one of the Private Hospitals in Depok that experiences an increase in turnover every year, especially nurses, so this becomes a problem that should be solved by Harima Hospital. This study aims to reinforce the role of emotional exhaustion as a mediating variable in the relationship of work overload and work-family conflict to turnover intention. The respondents involved in this study were 148 nurses working in Harima Hospital. Researchers used a questionnaire for data retrieval which was then analyzed using SEM. The results of this study indicate that emotional exhaustion mediates the relationship of work overload and work-family conflict to turnover intention. Furthermore, work overload has no significant positive effect on turnover intention
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Debora Uliana
Abstrak :
Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) selama pandemi COVID-19 meningkat, khususnya untuk membantu karyawan mengerjakan pekerjaannya. Berdasarkan literatur sebelumnya, penggunaan TIK dalam dunia kerja berpengaruh negatif pada karyawan, antara lain dapat menimbulkan stres (technostress) dan memengaruhi keterikatan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hubungan kedua konstruk dari technostress, yaitu technostress creators dan technostress inhibitors, dengan keterikatan kerja. Penelitian menggunakan teori Job Demands – Resources untuk menguji technostress creators dalam memprediksi keterikatan kerja dengan hubungan yang negatif dan technostress inhibitors dalam memprediksi keterikatan kerja dengan hubungan yang positif. Penelitian merupakan penelitian korelasional dengan sampel karyawan di Indonesia (N=256) yang menggunakan TIK ketika bekerja sehari-hari. Data diambil melalui penyebaran kuesioner daring yang berisikan alat ukur UWES-9 (Schaufeli et al., 2006) untuk mengukur keterikatan kerja dan technostress scale (Ragu-Nathan et al., 2008). Hasil analisis menunjukkan bahwa technostress creators tidak mampu memprediksi keterikatan kerja, sedangkan technostress inhibitors mampu memprediksi keterikatan kerja secara positif. Keduanya secara bersama mampu memprediksi 11% variansi dari keterikatan kerja (F (2,253) = 16,19, p < 0,01, R2 = 0,11). Implikasi dari hasil penelitian adalah organisasi dapat menyediakan layanan bantuan teknis dan pelatihan pengadopsian TIK terbaru yang dipakai untuk bekerja. Pada tingkatan individual, karyawan dapat menetapkan batasan dalam pekerjaan dan rumah, serta menambah pengetahuan tentang pengaplikasian TIK. ......The use of Information and Communication Technology (ICT) during the COVID-19 Pandemic has increased, especially to help employees do their tasks. Based on previous literatures, the use of ICT has negative impacts in the work-field, for instance, it can cause stress (technostress) dan affect job engagement. This study aims to examine the relationship between two constructs of technostress, namely technostress creators and technostress inhibitors, and job engagement. This study uses Job Demands-Resources theory to test if technostress creators negatively predicts job engagement; and technostress inhibitors positively predicts job engagement. This study is a correlational research with a sample of employees in Indonesia (N=256) who use ICT when working on a daily basis. The data were collected through online survey containing the UWES-9 (Schaufeli et al., 2006) to measure job engagement and technostress scale (Ragu-Nathan et al., 2008). The results indicated that technostress creators did not predict job engagement, whereas technostress inhibitors predicted job engagement positively. Together, both predictor variables predicted 11% variance of job engagement (F (2,253) = 16,19, p < 0,01, R2 = 0,11). The implication of this study is that organizations can provide help-desk service and training of the newest ICT adoption for work-related tasks. On an individual level, employees can set boundaries in using ICT after work hours and increase computer literacy.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Adziani Hapsari
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran mediator dari harmonious work passion HWP dan obsessive work passion OWP dalam hubungan antara work engagement dan kinerja pada organisasi pemerintahan. Penelitian menggunakan responden PNS sebanyak 415 orang. Analisis pengujian hipotesis menggunakan macro PROCESS pada SPSS yang dikembangkan oleh Hayes. Hasil penelitian membuktikan bahwa work engagement berpengaruh positif dan signifikan pada HWP. HWP juga berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja. Namun OWP tidak berhubungan secara signifikan baik dengan work engagement maupun kinerja. Selanjutnya, HWP berperan sebagai mediator dalam hubungan antara work engagement dan kinerja. Akan tetapi peran mediator pada OWP tidak terbukti. Penelitian ini memberikan kontribusi secara empiris dan menambah literature mengenai hubungan work engagement, harmonious work passion, obsessive work passion dan kinerja. ...... This research aims to examine the role of harmonious work passion and obsessive work passion as mediators in the relationship between work engagement and job performance at government organizations. Data are taken from 415 governmental employees. Data are analysed using Hayes rsquo PROCESS macro on SPSS. Results showed that work engagement was positively related to harmonious work passion but was not related to obsessive work passion. Job performance was predicted by harmonious work passion but not obsessive work passion. Harmonious work passion mediated the effect of work engagement on job performance. This study contributes to the work engagement and job performance literatures by empirically addressing the complex relationship between work engagement, work passion and job performance.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T48550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Aninidha
Abstrak :
ABSTRAK
Work-life balance, emotional exhaustion, dan komitmen afektif dapat memengaruhi in-role performance seorang pekerja. Profesi perawat memiliki potensi untuk memiliki permasalahan work-life balance dan kondisi emotional exhaustion karena banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Untuk dapat menjaga in-role performance dari para perawat, rumah sakit tempat perawat bekerja dapat mempertimbangkan untuk memberikan work-life balance dan meminimalisir terjadinya emotional exhaustion yang dialami perawat melalui penciptaan komitmen afektif para perawat. Sampel dalam penelitian ini adalah 195 perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta. Data diolah menggunakan Structural Equation Modeling SEM . Hasil penelitian menunjukkan bahwa work-life balance dan penurunan emotional exhaustion untuk mencapai in-role performance dapat tercipta jika pengelola rumah sakit dapat membentuk komitmen afektif para perawat.
ABSTRACT
Work life balance, emotional exhaustion, and affective commitment can influence in role performance of a worker. Nurses has the potential to experience work life balance problems and emotional exhaustion conditions because they spend a lot of time at workplace. To maintain performance of the nurses, the hospital may consider to provide work life balances and minimizing the occurrence of emotional exhaustion experienced by nurses through the creation of affective commitment of the nurses. The sample in this study was 195 hospital nurses in D.I Province. Yogyakarta. The data were processed using Structural Equation Modeling SEM . The results showed that work life balance and decreased emotional exhaustion to achieve in role performance can be created if hospital managers can establish affective commitment of nurses.
2017
S68237
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maxwell, John C.
Abstrak :
Buku ini membahas tentang kualitas yang haus dimiliki oleh sebuah team dan diuraikan menjadi 17 bgian.
Surabaya: Menuju Insan Cemerlang (MIC), 2013
658.403 6 MAX t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>