Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asro
"Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 60 telah mengatur secara tegas praktek bisnis ekonomi. Para nasabah yang berperkara pada perbankan syariah dan ekonomi Iainnya berkewajiban mengacu kepada klausa perjanjian; apakah menggunakan jasa Arbitrase Syariah atau Peradilan Agama. Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah dan ekonomi lainnya bukan berarti eksistensi arbitrase syariah yang juga mengacu kepada UU No. 30 Tahun 1999 tidak mempunyai peran dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama. Arbitrase Syariah tetap mempunyai peran penting dalam menyelesaikan perkara-perkara perbankan syariah dan ekonomi lainnya; sebab para pihak yang berperkara babas memilih peradilan yang ada. Sistem arbitrase syariah dengan menggunakan pendekatan pactum the corpromittenda yang mempunyai putusan sifat final and binding oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) dirasakan sangat tepat karena cara tersebut sekaligus dapat berfungsi sebagai bagian dari usaha penyaringan terhadap calon-calon nasabah yang memiliki i'tikad balk, yang berfungsi juga sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak Direksi Bank Muamalat Indonesia secara finansial yang berkaitan dengan penyelesaian tagihan kredit macet. Sebelum lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, BAMUIIBasyarnas dipergunakan sebagai satu-satunya lembaga/ badan yang ditunjuk untuk menyelesaikan perkara sengketa sesuai dengan klausa perjanjian antara perbankan syariah dan nasabahnya. Namun setelah diberlakukannya Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006, Peradilan
Agama diberi kewenangan untuk penyelesaian perkara sengketa Perbankan Syariah. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BamuiBasyarnas) semula mengacu pada rechtes for dering yang secara prinsip adalah sama dengan yang diatur dalam UU No. 30/1999 dengan mengutamakan perdamaian/ islah. Peraturan prosedur ini tidaklah berbeda secara significan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANT). Perbedaan yang terjadi hanyalah terletak pada hukum acara yang dipergunakan. Untuk mengetahui eksistensi dan peran sistem arbitrase syariah dengan menggunakan pendekatan pactum the comprornittendo, klausa perjanjian, dan prosedur penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah; Tesis ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan pendekatan historis dan komparatif untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan), bahan hukum sekunder (buku-buku, tulisan, dan pendapat para ahli), dan bahan hukum tersier (kamus hukum)."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti Absyari
"Notaris adalah jabatan kepercayaan dan untuk kepentingan masyarakat, oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Tindak lanjut dari tugas yang diemban oleh Notaris mempunyai dampak secara hukum, artinya setiap pembuatan akta Notaris dapat dijadikan sebagai alat pembuktian, apabila terjadi sengketa di antara para pihak. Persengketaan tersebut tidak menutup kemungkinan melibatkan Notaris untuk memberikan suatu kesaksian, namun terdapat permasalahan mengenai batasan hukum keterangan Notaris dalam proses hukum. Metode pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah metode kualitatif, yaitu dengan menyajikan dalam bentuk uraian dan konsep. Menurut ketentuan Pasal 1909 KUHPerdata, setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka Hakim. Bagi mereka yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut Undang﷓undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, dapat minta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya. Notaris sebagai Warga Negara Indonesia berkewajiban memberikan keterangan dalam proses hukum dengan persetujuan Majelis Pengawas daerah. Hal tersebut diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 66 ayat (1) yang merupakan aplikasi dan Pasal 1909 KUHPerdata. Notaris pada waktu memberikan keterangan dalam proses peradilan, berhak untuk merahasiakan hal-hal yang berkaitan dimulai dari proses pembuatan hingga selesainya proses suatu akta, juga semua yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai Notaris, sebagaimana dinyatakan dalam sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mewajibkan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya. Kewajiban tersebut mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata, untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dalam suatu akta."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Rony Agustinus
"Upaya paksa dan tidak ditahannya terdakwa atau penangguhan penahanan banyak menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat, yang dalam batas-batas apakah upaya paksa penahanan diperlukan dalam proses pemeriksaan terdakwa di peradilan. Suatu hal yang menarik perhatian apabila penangguhan penahanan tidak diperlukan lagi ditingkat peradilan, mengingat pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa dan penuntut umum diwajibkan menghadirkan terdakwa di persidangan. Di dalam upaya penangguhan penahanan paling tidak terkait oleh dua kepentingan yaitu apabila dilihat dari hak terdakwa adalah memperjuangkan asas praduga tidak bersalah sedangkan disisi aparat penegak hukum upaya paksa penahanan adalah guna kepentingan proses pemeriksaannya yang patutnya dalam rangka perlindungan masyarakat dimana sifat dari pelaksanaan upaya paksa di satu sisi adalah upaya untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal kaburnya terdakwa di perlukan perhatian dalam hal perlunya dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan atau penuntutan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangatlah penting. Menjadi keharusan dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang lama, untuk mencapainya dibutuhkan mekanisme yang terarah, kitidakpaduan antara sub system administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Wahyono
"Demokratisasi di Indonesia telah merebak disegala bidang, bukan saja dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi lebih jauh lagi, pemilihan kepala daerah pun sudah memakai mekanisme pemilihan langsung. Dengan payung hukum yang sudah disediakan dalam hal mekanisme, mulai dan langkah-langkah persiapan sampai dengan saat pemilihan kepala daerah, bahkan antisipasi bila terjadi sengketa pun sudah dibuatkan peraturan perundangannya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, untuk sengketa Pilkada telah diatur bahwa kewenangan penyelesaiannya oleh Panwas untuk sengketa dalam proses penyelenggaraan Pilkada, sedangkan untuk sengketa hasil penghitungan suara Pilkada, ditangani oleh Lembaga Peradilan. Lembaga peradilan yang ditunjuk oleh Undang-Undang tersebut adalah Mahkamah Agung. Dalam hal pemilihan kepala daerah Kabupaten dan Kota, Mahkamah Agung dapat mendelegasikan kewenangan penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara pilkada Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi, dalam lingkup Peradilan Umum, yang putusannya bersifat final dan mengikat, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketika putusan Pengadilan Tinggi dalam sengketa pilkada tersebut dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, apa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan masalah sengketa tersebut. Pada kenyataannya dalam menyelesaikan persoalan diatas, para pihak dapat melakukan terobosan hukum dengan melakukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memang mendapatkan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pilkada, pendelegasian kewenangan dan Mahkamah Agung kepada Pengadilan Tinggi dalam hal kewenangan menyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pilkada dapat ditarik kembalildiambil alih oleh Mahkamah Agung dan kemudian diselesaikan sendiri oleh Mahkamah Agung, bilamana Pengadilan Tinggi telah melampaui kewenangan yang diberikannya, yaitu hakim telah melakukan kesalahan yang nyata. Dan ini juga merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan dan mahkamah Agung kepada lembaga peradilan dibawahnya. Menjadi permasalahan berikutnya adalah selama proses peninjauan kembali dalam hal sengketa pilkada tentunya didaerah yang sedang bersengketa tersebut belum ada kepala daerah yang difinitif. Ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja dari pemenntahan daerah, apalagi kalau putusan peninjauan kembali berlarut-larut tidak kunjung selesai. Untuk itu perlu dibuat aturan baru atau diamandirnya peraturan yang sudah ada, dan dimasukkan klausul yang berkenaan dengan berapa lama proses peninjauan kembali yang berkenaan dengan sengketa pilkada tersebut dapat diselesaikan oleh Mahkamah Agung."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library