Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Barton, Greg
Yogyakarta: LKiS, 2003
920 BAR b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ 6(3-4) 2001
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muradi
"Dua permasalahan utama yang yang menjadi pokok penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana perubahan sikap politik TNI dari kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri? Kedua, bagaimana perubahan dukungan TNI dari kepemimpinan Wahid ke sikap politik TNI yang resisten terhadap kebijakan Wahid?
Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut, digunakan jenis penelitian eksplanatif-analitis. Metode penelitian eksplanatif-analitis digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan sikap politik TNI terhadap pemerintahan pasca Orde Baru; Abdurrahman Wahid dan Megawati, serta bagaimana perubahan dukungan TNI dari kepemimpinan Wahid ke sikap politik TNI yang resisten terhadap kebijakan Wahid? Sedangkan pendekatan penelitian analisis kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang hendak diteliti. Sedangkan model analisisnya menggunakan tiga faktor-faktor yang masing-masing memberikan pengaruh bagi penyikapan TNI terhadap pemerintahan yang berkuasa. Model analisis ini akan memberikan gambaran bagi penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan topik penelitian.
Sementara itu, untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas digunakan beberapa teori antara lain; Pertama, teori transisi demokrasi yang dikemukakan oleh Huntington, dimana ia menyorot tentang faktor-faktor dan kemungkinan suatu negara transisi demokrasi kembali menjadi otoriter karena keterlibatan dan interupsi militer. Kedua, teori militer di dunia ketiga dari Morris Janowitz yang mengklasifikasikan hubungan sipil-militer di dunia ketiga dalam lima model. Ketiga, Finer melihat faktor internal militer berupa kepentingan militer yang menjadi penyebab terjadinya intervensi, serta ketidakmampuan sipil dalam mengendalikan pemerintahan. Keempat, sikap politik militer dapat dilihat dari pendapat Homans. Homans melihat bahwa sikap politik TNI dapat dilihat dari asumsi ekonorni. Kelima, kontrol sipil atas militer dapat dijelaskan dengan teorinya Huntington, yang melihat hubungan sipil-militer dari aspek sejauh mana kontrol sipil terhadap iniliter dilakukan_ serta sejauhmana otoritas sipil mengakui wewenang yang dimiliki militer. Menumt huntington, kontrol obyektif adalah pengakuan otonomi profesional militer, sedangkan kontrol subyektif adalah bentuk lain dari pengingkaran independensi profesionalitas militer.
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan beberapa hal yang menyangkut tentang sikap politik TNI dan perubahan sikap politik TNI dalam melihat kepemimpinan sipil. Pertama, bahwa perubahan dukungan politik TNI dari Pemerintahan Presiden Abdurralnnan Wahid tidak serta merta mengeras hanya karena kebijakan Wahid semata, melainkan juga dipicu oleh konflik antara eksekutif dengan anggota parlemen; Poros Tengah dan Partai Golkar. Poros Tengah merupakan aliansi longgar partai-partai berideologi Islam yang pada Sidang Umum MPR 1999 lalu mengusung Wahid ke kursi kepresidenan. Kedua, rencana dan ancaman pengadilan kejahatan kemanusiaan oleh Pemerintahan Presiden Wahid, yang dimulai dengan mencopot Wiranto dari jabatan Menkopolkam. Ketiga, pengurangan hak istimewa kepada TNI. langkah ini memang sejalan dengan komitmen masyarakat dan kalangani politisi untuk mengurangi jumlah anggota parlemen dari Fraksi TNI/Polri dari 75 orang menjadi hanya 38 orang saja. Keempat, melemahnya unsur TNI pada masa Pemerintrahan Presiden Abdurrahman Wahid, hal ini dapat dilihat pada perubahan faksi di TNI, yang sebelumnya dikenal adanya TNI Merah Putih dan TNI Hijau, namun pada perjalanan waktunya, faksi TNI berubah menjadi faksi TNI Reformis dengan faksi TNI Konservatif. Kelima, intervensi yang terlalu dalam oleh Wahid ke internal TNI. keenam, diterbitkannya Dekrit Presiden oleh Wahid. Sedangkan dukungan politik TNI kepada Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri disebabkan antara lain: Pertama, arus politik yang berjalan menuju pergantian kepemimpinan dari Pemerintahan Wahid ke Megawati Soekamoputri secara konstitusional. Kedua, Adanya kesepakatan politik antara unsur di TNI dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Ketiga, kedekatan beberapa perwira TNI dengan Megawati. Keempat, kebijakan Pemerintahan Presiden Megawati dinilai akomodatif terhadap TNI. Kelima, kesamaan Platform antara TNI dengan PDI Perjuangan untuk terus menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari temuan yang didapat, maka dapat dilihat bahwa perubahan sikap politik TNI dari mendukung Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian menarik dukungannya, serta beralih mendukung Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri bersifat tidak drastis, dan tidak berdiri sendiri melainkan TNI melihat dan menunggu perkembangan konflik kepentingan di antara politisi sipil di parlemen dan eksekutif. Sehingga ketika angin politik lebih mengarah pada satu kubu politik yang memiliki dukungan lebih besar, TNI mengikuti arus besar politik tersebut. Hal ini tentu saja menjawab pertanyaan bahwa keinampuan TNI untuk melakukan bargaining position terhadap pemerintahan sipil dapat dikatakan lemah. Sehingga, upaya pembangkangan TNI terhadap paemerintahan sipil lebih banyak karana terprovokasi oleh perseteruan elit sipil yang berada di parlemen dan di eksekutif dari pada penolakan secara terbuka oleh TNI."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12123
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Prihatin
"Salah satu tokoh publik yang memiliki perhatian terhadap ide demokrasi adalah Abdurrahman Wahid. SeIain itu ia juga dikenal sebagai pemimpin organisasi. Tentu menjadi pertanyaan, sebagai pemimpin, apakah dia menunjukkan konsistensi antara pemikiran demokrasi yang dianutnya dengan perilaku politik individual yang dilakukannya? Pertanyaan lain, apakah dia tergolong pemimpin demokratis, atau justru sebaliknya pemimpin yang otoriter? Inilah pertanyaan kunci yang menjadi fokus pembahasan dalam tesis ini.
Untuk menjawab pertanyaan ini dibuatlah kerangka berpikir tertentu. Pertama, yang dimaksud perilaku politik Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin organisasi dibatasi pads tindakan politik berupa pengambilan keputusan tentang masalah-masalah penting dan strategis. Disebut penting dan strategis karena keputusan tersebut dapat mempengaruhi upaya-upaya pencapaian visi dan misi organisasi, platform dan program organisasi, juga mempengaruhi kinerja organisasi.
Pada sisi lain keputusan tersebut mempunyai dampak politis yang cukup besar, baik bagi posisi Abdurrahman Wahid sendiri maupun bagi organisasi yang dipimpinnya. Kedua, untuk menilai kepemimpinan Wahid tersebut dipilih beberapa kasus yang relevan selama dia menjadi pemimpin, baik di NU, PKB maupun pemerintahan. Ada tujuh kasus yang menjadi bahan analisis. Kasus tersebut adalah penetapan khittah NU tahun 1984, pengisian lowongan jabatan di PBNU tahun 1992, perseteruan dengan Abu Hasan tahun 1994, pengangkatan Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum DPP PKB tahun 1998, bongkar pasang kabinet di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, pemberhentian Surojo Bimantoro sebagai kapolri tahun 2001 serta keluarnya Dekrit Presiden 22 Juli 2001. Ketiga, untuk menilai perilaku politik Wahid dalam konteks pengambilan keputusan tersebut digunakan sudut pandang nilai-nilai demokrasi. Karena itu, elaborasi kerangka konseptual dan teoritis diambil dari teori-teori dasar tentang demokrasi. Untuk menetapkan parameter perilaku, maka dilakukan elaborasi terhadap pendekatan perilaku politik yang biasa digunakan dalam ilmu politik.
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian jenis ini bertujuan menyingkap informasi yang terperinci tentang gejala politik tertentu. Dalam penelitian ini gejala politik dimaksud adalah pengambilan keputusan tentang masalah-masalah penting dan strategis yang dilakukan oleh tokoh yang diteliti. Unit analisanya adalah individu, yakni Abdurrahman Wahid. Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Walau unsur subyektivitas peneliti tak mungkin dihilangkan sepenuhnya, sebuah deskripsi adalah representasi obyektif dari fenomena yang diteliti. Analisa dan interpretasi data menjadi unsur penting dalam penelitian ini. Data dikumpulkan melalui tiga cara, yakni pengamatan tak langsung, wawancara dan studi kepustakaan.
Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode berpikir induktif, yaitu suatu proses penalaran dari khusus ke umum. Tujuannya untuk memperoleh kesimpulan dari beberapa kasus yang diteliti. Generalisasi dilakukan dengan berpedoman pada nilai-nilai demokrasi sebagai instrumen pengukurnya.
Dengan sudut pandang nilai-nilai demokrasi, basil penelitian menunjukkan bahwa Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin organisasi cenderung bertindak otoriter dalam mengambil keputusan. Kecenderungan otoriter ini nampak lebih jelas lagi bila berkaitan dengan pemberhentian, penggantian dan pengangkatan orang dalam suatu jabatan tertentu.
Pada awalnya, dia itu demokratis sebagaimana terlihat dalam kasus penetapan khittah NU tahun 1984 dan ,kasus pengisian lowongan jabatan di PBNU tahun 1992. Namun dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan menguatnya posisi dan peran dia, kecenderungan otoriter mulai nampak.
Ini berarti Wahid tidak menunjukkan konsistensi antara pemikiran demokrasi yang dianutnya dengan tindakan politik individual yang dilakukannya. Namun demikian, penelitian ini memperlihatkan pula visi lain, bahwa dalam hal kebebasan, Wahid masih konsisten untuk menjaganya. Betapapun dia cenderung otoriter dalam lima kasus yang diteliti, Namun dia tak pernah mengurangi kadar kebebasan pihak lain. Dia tak pernah melarang apalagi membungkam pikiran dan pendapat orang, sekalipun itu berbeda dengan pikirannya.
Begitulah, kesimpulan ini hanya berlaku untuk kasus-kasus pengambilan keputusan yang dimaksud dalam penelitian ini. Namun demikian, satu hal bisa diambil generalisasi, sejauh keputusan itu menyangkut pemberhentian, penggantian dan pengangkatan orang dalam suatu jabatan tertentu, maka kesimpulan penelitian ini kemungkinan besar tak akan bertentangan bila diterapkan pada kasus lain di luar kasus-kasus yang diteliti di sini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010
920 GUS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Putra Diviantama
"Artikel ini membahas pemberitaan surat kabar kompas terkait pansus dalam skandal Buloggate pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid. Pada tahun 2000 awal pada bulan juni mulai muncul terbitan berita tentang isu keterkaitan presiden dengan skandal korupsi Buloggate yang menjadikan tidak stabilnya kursi pemerintahan pada masa tersebut sampai dengan dikeluarkannya memorandum oleh keputusan DPR kepada presiden pada 2 Februari 2001. Topik pembahasan yang menjadikan Kompas sebagai episentrum penelitian belum banyak dibahas karena penelitian-penelitian sebelumnya masih berfokus pada Abdurrahman Wahid. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah surat-surat kabar Kompas, serta berbagai buku, dan jurnal penelitian terkait. Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa pandangan berita yang diterbitkan Kompas terkait pansus dalam memberitakan proses skandal ini lebih kearah pro presiden dalam menunjukan pandangan-pandangannya dibandingkan DPR yang memang saat itu sering berkonflik dengan kubu presiden.

This article discusses the news of kompas newspaper related to pansus in the Buloggate scandal during the presidency of Abdurrahman Wahid. In early 2000 in June news began to appear about the issue of the president's connection to the Buloggate corruption scandal which destabilized the seat of government at that time until the issuance of a memorandum by a DPR decision to the president on February 2, 2001. The topic of discussion that makes Kompas the epicenter of research has not been widely discussed because previous studies have still focused on Abdurrahman Wahid. This research uses historical methods consisting of four stages, namely heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The sources used in this study are Kompas newspapers, as well as various books, and related research journals. In this study, it was found that the news views published by Kompas related to the committee in reporting on this scandalous process were more pro-presidential in showing their views than the DPR which at that time was often in conflict with the president's camp."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putri Indriany
"Abdurrahman Wahid adalah figur yang menarik dan pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara yang disertai argumen-argumen dan praksis yang sering kontroversial, telah menjadi salah satu arus besar dalam khasanah intelektual dan perpolitikan kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, selain mempunyai implikasi secara normatif-substansial, Abdurrahman Wahid secara empirik-prosedural memainkan peran yang lebih besar dan berimplikasi luas dalam realitas politik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid dalam aktivitasnya lebih kuat warna politiknya daripada warna akademisnya. Hal ini kemudian yang menyulitkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru bangsa, yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kelompok kepentingan.
Penelitian yang dititikberatkan pada library research ini dimaksudkan untuk memetakan, menggambarkan dan menganalisis penolakan Abdurrahman Wahid terhadap negara Islam di Indonesia. Dari pemetaan ditemukan bahwa penolakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam satu pemahaman, 'secara normatif-substansial atau secara empirik-prosedural; karena pemikiran Abdurrahman Wahid secara normatif dan empirik, ditemukan butir-butir pemikirannya yang berkelindan satu sama lain.
Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk finalitas negara bangsa di Indonesia, dan masyarakat Indonesia demokratis yang dicita-citakannya; adalah wujud dari penolakannya terhadap gagasan masyarakat atau negara Islam di Indonesia dari kalangan Islam modernis.
Walaupun secara umum, praktek politik Abdurrahman Wahid liberal dan sekuler, tetapi gagasannya tentang negara berakar dan dielaborasi dari keyakinan Abdurrahman Wahid terhadap Islam, baik Islam sebagai nilai-nilai ajaran maupun Islam sejarah. Sikap Abdurrahman Wahid yang moderat, inklusif, dan eklektis pada dasarnya adalah pengaruh ke-NU-annya yang sangat diwarnai oleh tradisi Sunni."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novieta Hardeani Sari
"Seorang Presiden, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintah, dalam menjalankan roda pemerintahan membutuhkan dukungan penuh, tidak hanya dari orangorang didalamnya namun juga dari masyarakat. Beliau sebagai Presiden dituntut memiliki adanya kredibilitas yang positif. Dalam melakukan tugasnya sehari-hari dia harus memiliki strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana yang dilakukan oleh Public Relations/Humas. Dengan seringnya terjadi kerancuan informasi dan berita, Presiden merasa perlu untuk menyesuaikan diri agar tidak terjadi kesenjangan terutama untuk kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Maka pada Surat Keputusan Presiden No. 255/M/2000 tanggal 9 Oktober 2000, Presiden resmi mengangkat tiga orang juru bicara dan satu institusi pendukung yang menjadi satu kesatuan tim, Tim Media/Juru Bicara Kepresidenan, untuk membantu Presiden dalam mengelola informasi dan hubungan dengan media massa, mewakili apa saja yang menjadi keinginan Presiden yang layak diketahui masyarakat pada umumnya. Hal ini juga sebagai langkah menyikapi tekanan masyarakat yang meminta agar Presiden memiliki seorang juru bicara.
Karena Presiden mempunyai 'kekurangan' dalam masalah penglihatan, maka dengan keberadaan juru bicara akan banyak membantu tugas Presiden sehari-hari. Dalam menentukan suatu strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana, sehingga dapat menunjang tujuan, visi dan misi organisasi, juru bicara perlu menguasai teknik-teknik kehumasan. Penjabaran teknik-teknik kehumasan, dijelaskan didalam kerangka pemikiran yang berisi tentang teori-teori manajemen komunikasi, meliputi reposisi, komunikasi internal, media relations, manajemen berita (cara mengemas pesan), dan manajemen fungsi human.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat evaluatif, dimana pengambilan datanya melalui wawancara tidak berstruktur tetapi terfokus kepada permasalahan, serta studi kepustakaan yang dapat memberikan kelengkapan data penelitian.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwasanya penyusunan strategi komunikasipada Tim Medial juru Bicara Kepresidenan masih belum maksimal dan efektif. Dimana pada level individu, permasalahan timbul karena kurangnya pengalaman yang dimiliki masing-masing anggota Tim Media/juru Bicara Kepresidenan dalam hal kejuru bicaraan.
Pada level insitusi, permasalahan yang timbul banyak berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah yang lebih memperhatikan masalah-masalah politis dibandingkan masalah substantif Selain itu, balk Presiden maupun para juru bicara kepresidenan itu sendiri masih kurang memiliki sense of human relation, dimana mereka lebih mendahulukan emosi dari pada rasionalitas, yang tergambar pada pernyataan-pernyataan Presiden yang sering kali kontroversial.
Opini publik yang seharusnya dijadikan sebagai masukan bagi sebuah institusi untuk kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian, kurang diperhatikan secara serius oleh individu-individu didalam sistem ini, termasuk mereka yang langsung dekat dengan Presiden, dengan alasan peroleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk Partai Kebangkitan Bangsa sangatlah sedikit. Karena faktor-faktor (level socio-political environment) tersebutlah maka Presiden lebih peduli dengan masalah-masalah koalisi maupun kompromi-kompromi politik dibandingkan dengan opini publik, yang beliau nilai bisa ditempatkan diposisi kedua setelah dicapainya kompromi politik."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Ihyak
"Karisma yang menyertai kepemimpinan Gus Dur merupakan fenomena yang menarik dan penting untuk diamati. Gus Dur dalam konteks ke-Indonesiaan adalah tokoh yang memiliki karisma memadai. Dia memiliki berkesempatan menjadi pemimpin di berbagai situasi. Kepemimpinan Gus Dur di dunia Pesantren, LSM, juga NU telah meyakinkan dirinya sebagai sosok tokoh yang sangat disegani baik di kalangan komunitasnya sendiri maupun lintas komunitas. Ketika Indonesia dilanda berbagai krisis, maka Gus Dur tampil sebagai tokoh politik. Terjunnya Gus Dur ke wilayah politik praktis inilah yang mengantarkan dirinya sebagai Presiden RI ke-4. Tapi yang terjadi bagi diri Gus Dur sejak tampil sebagai tokoh politik dan pemimpin publik, hanyalah penurunan secara drastis terhadap karisma yang selama ini dimilikinya. Tesis ini memfokuskan perhatian pada proses terjadinya dekarismatisasi pada diri Gus Dur dalam kepemimpinannya di wilayah politik praktis, mencari faktor-faktor yang menyertai terjadinya dekarismatisasi serta menelaah beberapa indikator yang menunjukkan terjadinya dekarismatisasi tersebut.
Fokus penelitian dalam kerangka penulisan tesis ini, digunakanlah teori mengenal karisma dikaitkan dengan kepemimpinan. Dalam hal ini, yang digunakan adalah teori karisma yang dikonstruk oleh Max Weber, kemudian diperjelas oleh beberapa pakar sosiologi yang muncul kemudian, sehingga konsep karisma dalam konteks Indonesia dapat ditemukan. Dari mereka didapat sebuah terminologi karisma yaitu, suatu kualitas seseorang yang memiliki daya tarik tertentu sehingga dapat menjamin stabilitas dimana sang tokoh karismatik ini berada atau berperan. Dalam teori ini kahadiran seorang tokoh karismatik sangat dibutuhkan, terutama jika terjadi krisis multidimensional.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini lebih bersifat kualitatif, yaitu sebuah pendekatan, dimana pandangan subyektif peneliti diletakkan terhadap yang diteliti, dengan mencoba memahami dan menelaah pandangan, tanggapan dan respon dari para informan, serta dari telaah berbagai sumber berkenaan dengan tema tesis ini. Untuk kebutuhan ini, peneliti mengumpulkan data-data melalui tiga cara; wawancara mendalam, studi literatur dan dokumentasi, serta observasi.
sebagai bahan pertimbangan telaah pada tesis ini, penulis mengawali dengan mempelajari potret terbentuk dan tumbuhnya karisma Gus Dur. Dari sinilah penulis menemukan cikal bakal karisma Gus Dur yang tergambar dari dua perspektif. Pertama, karisma Gus Dur muncul dalam perspektif tradisional, yaitu sebagai darah biru kepesantrenan dan penganut ajaran sufisme. Kedua, karisma Gus Dur muncul dalam perspektif kekinian. Pada perspektif ini penulis menemukan bahwa Gus Dur berkarisma karena ditopang oleh kualitas dirinya sebagai ilmuan dan intelektual yang disegani, sebagai aktor demokrasi, juga sebagai pemimpin NU dan tokoh bangsa.
Kernudian penulis mempelajari kepemimpinannya dalam politik politik praktis. Penelusuran ini dimulai sejak pilihan Gus Dur merubah strategi perjuangannya dariyang bersifat kultural menjadi politik kepartaian, naik hingga dilengserkannya sebagai Presiden, sampai dengan tesis ini ditulis. Dari sini ditemukan data-data yang memberikan inspirasi terhadap memudarnya karisma Gus Dur. Berdasarkan data-data yang tersedia, maka tergambar proses terjadinya dekarismatisasi Gus Dur, yang terbagi menjadi lima fase; pertama, terhitung sejak berubahnya strategi perjuangan dan pengabdian Gus Dur dari yang bersifat kultural kepada politik praktis. Kedua, internalisasi nilai-nilai politik menjadi tujuan kekuasaan. Ketiga, mengerasnya respon dan kritik masyarakat terhadap pemerintahan pimpinan Gus Dur. Keempat, mengkristalnya perlawanan berbagai komponen masyarakat terhadap kekuasaan Gus Dur. Kelima, Langgengnya Gus Dur di dunia politik praktis. Bersamaan dengan ini pula telah ditemukan beberapa faktor yang menyertai serta indikator yang menunjukkan terjadinya dekarismatisasi Gus Dur, Pada bagian ini, penulis juga menemukan pertautan antara nilai-nilai karisma dengan politik praktis. Sehingga guna menemukan kerangka ini, penulis merujuk pada konsep Max Weber yang menjelaskan bahwa karisma merupakan fenomena khusus yang dimiliki seseorang yang memungkinkan pada situasi tertentu akan memudar.
Dari telaah dan analisa diatas ditemukan bahwa esensi dekarismatisasi Gus Dur terdapat pada empat hal, yaitu nilai sufismenya, sebagai ilmuan dan intelektuai, aktor demokrasi, dan pemimpin NU serta tokoh bangsa. Sedangkan pada nilai darah biru-nya tidak ditemukan adanya penurunan karisma.
Kesimpulan dari tesis ini, pertama, bahwa konsep Max Weber yang berkenaan dengan memudarnya karisma, pada satu sisi relevan untuk menjelaskan teijadinya dekarismatisasi pada diri Gus Dur, walaupun yang terjadi pada diri Gus Dur tidak seekstrem sebagaimana yang dicontohkan Max Weber. Kedua, oleh karena contoh yang diibaratkan Weber terkesan terlalu ekstrem, maka masih perlu adanya penelitianpenelitian serupa guna ditemukannya sebuah data untuk kesempurnaan konsep tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herinto Sidik Iriansyah
"Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap pertimbangan-pertimbangan anggota DPR/MPR dalam pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Permasalahan yang diangkat dalam Tesis ini diuraikan menjadi tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut : (1) Pertimbangan-pertimbangan apa saja dipakai oleh para anggota DPR/MPR untuk memberhentikan KH. Abdurrahman Wahid sebelum masa jabatannya berakhir?. (2) Diantara pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, manakah pertimbangan yang paling menentukan (dominan) dalam menjatuhkan KH. Abdurrahman Wahid ?. (3) Bagaimana dampak pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid terhadap Ketahanan Nasional Indonesia pada waktu itu ?.
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena sosial dari perspektif para partisipan melalui penelitian ke dalam kehidupan aktor-aktor yang terlibat, kemudian sebagai justifikasi dari hasil analisis kualitatif diuunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP).
Temuan penelitian ini adalah pertimbangan-pertimbangan anggota DPR/MPR RI dalam pemberhentian Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang dominan adalah pertimbangan hukum, lebih spesifik tentang "penegakan hukum" proses pemberhentian tersebut mengandung kelemahan konstitusional.

The research has evaluated of the considerations which Members of DPRIMPR ("Indonesian Parliament/People's Consultative Council") took for discharging Mister KH Abdurrahman Wahid from his chair as President of the Republic of Indonesia. Statement of the problem revealed in this Thesis consists of three questions as follows: (1) What are considerations taken by the Members of DPRIMPR for discharging Mister KH Abdurrahman Wahid prior to the termination of his administrative position?, (2) Which is the dominant among the considerations for discharging his excellency?, (3) Meanwhile, what were the effects of his discharge on the National Stability?
This study, on one hand, applies a Descriptive Qualitative Method for identifying social phenomena viewed from the participants' perspectives by researching into activities of the involved actors while justification for the results of qualitative analysis uses an Analytical Hierarchy Process (AHP) method, on the other.
Research findings are all considerations which Members of DPRIMPR of the Republic of Indonesia take for discharging President KH Abdurrahman Wahid in which the dominant is legal aspect or "law enforcement". However his termination carries some constitutional violence.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>