Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sarwoto
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
350.094 4 SAR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Astuti
"Kewenangan Diskresi bagi pemerintah dalam prakteknya menimbulkan kontroversial Disatu sisi pemerintah gamang untuk menggunakan diskresi namun disisi lain dipandang sebagai bentuk ldquo kemerdekaan rdquo atau ldquo kebebasan bertindak rdquo tanpa batas hingga akhirnya mengakibatkan banyaknya pejabat pemerintah yang tersandung kasus hukum Hal ini dikarenakan pada saat itu belum adanya ketentuan yang menjadi dasar pedoman bagi pemerintah untuk menggunakan diskresi Hingga pada Tahun 2014 setelah melalui proses yang panjang lahirlah Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang didalamnya mengatur mengenai diskresi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menjadi hukum materil dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan Kajian ini menelaah kewenangan diskresi pemerintah pasca lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan keterkaitan kewenangan diskresi dengan prinsip prinsip good governance dan implikasi kewenangan diskresi terhadap perlindungan bagi masyarakat dan bagi pemerintah Kajian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder guna menghasilkan penelitian yang lebih komprehensif Hasil kajian menyatakan bahwa kewenangan diskresi bagi pemerintah pasca UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah lebih tegas mengatur batasan prosedur dan akibat hukum diskresi dan mewajibkan pemerintah untuk berpedoman kepada prinsip prinsip good governance Undang Undang ini juga telah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan pemerintah karena menjadi dasar hukum materiil di bidang Administrasi Pemerintahan.

Principles In practice discretion for the government raises some controversy Basically the government is still in doubt for taking such a discretion but in the other side they see it as the independency or ldquo freedom to act rdquo which lead some of government officers into legal case This thing is caused by the inexistence of rules and guidance for the government in the implementation of discretion Until 2014 and after a long way process Indonesian government has published the Law Number 30 of 2014 on Government Administration to become the material law in the enforcement of government duty This study analyze discretion after the enforcement of Law Number 30 of 2014 on Government Administration the link between discretion with the good governance principle and the implication of discretion towards the protection for society and government This study uses both of primary and secondary data for obtaining more comprehensive result of research The result of study states that discretion for the government after the enforcement of Law Number 30 of 2014 on Government Administration has regulated the limitation procedure and legal consequences in firmer basis towards of discretions and obliges the government to follow the good governance principles This regulation also gives legal protection for society and government for being the substantive legal basis in the field of Public Administration."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaedi
Jakarta: Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, 2005
T23023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Serena Sandres
"Tindakan ‘Pemadaman’ Internet di Papua dan Papua Barat yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) telah menimbulkan berbagai dampak kepada masyarakat dan jurnalis yang berada di lokasi tersebut. Kemenkominfo mendasari tindakan ini dengan keadaan mendesak untuk melakukan ‘Pemadaman’ Internet demi mencegah terjadinya kerusuhan di lokasi tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan penerapan diskresi dalam pengambilan keputusan Pejabat TUN, penerapannya dalam keadaan mendesak/darurat/bahaya dalam kasus ini, dan bentuk ideal atau baiknya pengambilan keputusan diskresi dalam keadaan tersebut. Penerapan diskresi dalam pengambilan keputusan Pejabat TUN harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang bersifat kumulatif dan ketentuan prosedural yang diatur di dalam peraturan yang sama. Dalam kasus ini khususnya dalam keadaan mendesak, tindakan yang dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika tidak dilakukan dengan tepat dikarenakan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan tidak terdapat status penetapan dalam keadaan darurat seperti yang diatur dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sehingga diskresi dalam keadaan mendesak tidak terpenuhi, begitupun dengan status keadaan darurat dan keadaan lainnya. Secara keseluruhan, dalam melakukan suatu tindakan diskresi Pemerintah harus mengenali kodisi dan keadaan suatu peristiwa sebelum mengambil tindakan diskresi dan menyesuaikannya dengan prosedur dasar yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Selain itu, diperlukan perhatian lebih terhadap persyaratan pengambilan diskresi yang telah diubah berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, harmonisasi peraturan yang mengatur kondisi atau keadaan tertentu, dan perlu adanya peraturan pelaksanaan baik berupa juklak atau juknis guna mengatur prosedur pengambilan diskresi secara rinci.
......The Internet blackout in Papua and West Papua carried out by the Ministry of Communication and Information of the Republic of Indonesia (Kemenkominfo) has brought great impacts within the people. The blackout is based on an emergency which is to prevent a riot occurred in the region. This research is a normative legal research and will answer several problems which are, discretionary taking by the government, discretion taking in an urgent/emergency/dangerous situation in this spesific case, and the ideal form discretionary taking in an urgent/emergency/dangerous situation. The discretionary taking by State Administration Officials must meet the cumulative requirements and procedures stipulated in the Government Administration Law Act. In this case, especially in emergency, the action that was taken by the State Administration Officials did not meet the requirements and procedures according to the Government Administration Act. The Government also did not declare emergency status to justify the discretion, which is a violation of the discretionary taking according to Government Regulation in lieu of Law Number 23/1959. In short, Government has to identify the specific situation and applied the discretion according to the Government Administration Law. The writer’s suggestion regarding this issue is that to keep in mind that there are a few changes regarding the requirements in discretionary taking according to Job Creation Act and the harmonization of regulation regarding certain situation also regarding technical procedure of discretionary taking are in need."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Miftahul Jannah
Depok: FIA UI Press, 2018
350 LIN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
Jakarta: UI-Press, 2009
PGB 0501
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Sabarno
"Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan sebagaimana tersurat dalam alenia keempat yang juga merupakan visi dan cita-cita bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yaitu : "...Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,dan keadilan sosial....".
Untuk mewujudkan visi dan cita-cita bangsa tersebut, perlu didukung oleh adanya kejelasan fisik dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan adanya kejelasan ruang lingkup pengolahan perbatasan agar nantinya dapat meminimalkan terjadinya konflik perbatasan dengan negara tetangga. Apabila ditinjau secara fisik Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang dibatasi dua matra, yaitu di laut dengan sepuluh ( 10 ) negara (Australia, Malaysi, Singapura, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste).dan di darat dengan tiga (3) negara tetangga (malaysia, Papua New Guinea,dan Timor Leste). Karakteristik sosial dalam pendefinisian batas negara di kedua matra tersebut sangat berbeda, demikian pula sifat permasalahany."
2003
HUPE-XXXIII-1-Mar2003-67
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Harry Krisnamurti
"Abstrak
The passage Law Number 30 of 2014 on Government Administration has raised its own problems due to its clauses regarding legal subjects that could be charged with reinstating state losses. This is due to the fact that such Law provides that government institutions can be determined as the party that is responsible for reinstating state loss that have occurred, which contradicts with the definition of state loss as stipulated in the applicable state finance laws that position the state as the party suffering the loss when a state loss is incurred. This research has been conducted using a normative legal research method which aims to test consistency between the legal norms applied in Law Number 30 of 2014 and the laws on state finance. Result of this research demonstrates that government institutions cannot be designated as the legal subject responsible for state losses. Such stipulation is not legally logical as it asserts that government institutions that are in fact representatives of the State may be required to return or pay the state losses to the state. Therefore there needs to be a revision to the relevant provisions of Law Number 30 of 2014 in order for such law to be in line with the provisions that presently govern state finance."
Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, 2019
340 JTKAKN 5:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul Fadli
"Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan landasan baru dan menjadi induk hukum materiil peradilan administrasi negara. Sehubungan eratnya hubungan antara hukum materiil dengan hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut, maka diperlukan kesesuaian antara subtansi dalam undang-undang peradilan administrasi negara dengan UU No. 30/2014 tersebut. Subtansi hukum yang diangkat dalam tesis ini adalah: Pertama, UU No. 30/2014 secara signifikan memperluas makna keputusan administrasi, perluasan makna tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (7) dan Pasal 87 (Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual, memperluas sumber terbitnya keputusan administrasi, perluasan terhadap legal standing yang akan menggugat, melegalkan keputusan berbentuk elektronik, dan merubah paradigma dalam sikap diam/ lalai pejabat dari fiktif negatif ke fiktif positif). Maka implikasinya perlu merevisi pasal 1 angka (9), pasal 2 angka (1,6), dan pasal 3 Ayat (1,2,3) undang-undang peradilan administrasi. Kedua, UU No. 30/2014 merekonstruksi dan mengembangkan eksistensi upaya administratif menjadi: 1) General untuk semua kasus; 2) Terintegrasi menjadi satu sistem dengan peradilan murni; 3) Pengujian akhir hasil banding di peradilan administrasi tingkat 1 (PTUN); 4) Memiliki hukum acara dengan berbasis fiktif positif; 5) Empowering terhadap institusi pemerintahan; 6) Pembebanan sanksi administratif. Konsekuensi hukum dari konstruksi tersebut adalah; a) Ketentuan pasal 48 UU No. 9/2004 harus dihapus, karena menempatkan upaya administratif bersifat alternatif-imperatif; b) Penghapusan Pasal 51 ayat 3 UU No. 9/2004 yang menyatakan bahwa upaya hukum setelah upaya administratif ke PTTUN; c) dan revisi Pasal 55 UU No. 9/2004 berkenaan dengan ketentuan tenggang waktu. Ketiga, dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan keputusan peradilan administrasi UU No. 30/2014 mengkonsepkan uang paksa (dwangsom) sebagai bentuk dari sanksi administratif yang dikelompokkan kedalam jenis sanksi administratif sedang (tidak memandang sebagai suatu sarana eksekutor sebagaimana konsep uang paksa dalam undang-undang peradilan administrasi negara). Dan pelaksanaan uang paksa secara yuridis menjadi tanggungjawab atasan pejabat dengan proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara berjenjang. Dan mengenai sumber uang paksa tersebut dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan sebagaimana penjelasan pasal 81 Ayat (2) UU No. 30/2014.

The Law Number 30 Year 2014on Governmental Administration a new foundation and becomes the main material law of state administrative procedure law. Due to the close relation between the material law and procedural law that contains formal procedure on the implementation of such material law rules, a conformity between the substance in the Law of the State Administrative Law Procedure by Law No. 30/2014. The substances of law being focused on in this thesis such as: First, The Law No.30/2014 is significantly provided a more extensive meaning an administration decision, extensively meaning can be seen to Article I number (7) and Article 87 (Written decision include to factual actions, extensively the source of issuance of an administration decision, extensively to legal standing of litigant, legaliting to electronic decision, and changing paradigzm in the official?s readiness/negligence from negative fictive to positive fictive. Therefore, the implication need to revise article 1 number (9), article 2 number (1,6), and article 3 number (1,2,3) from the Law of Administration Procedural. Second, The Law No. 30/2014 reconstructed and developed the existence of administrative beroep such as: 1) is generally applicable for all cases; 2) is integrated into one system under pure judicial court; 3) final testing of the appeal result in level 1 administration judicial court; 4) Has a positive fictive-based procedural law; 5) Empower the governmental institution; 6) imposition of Administration sanction. Legal consequences of such construction are; a) The provision of article 48 of The Law No. 9/2004 must be eliminated, because it disposes an imperative-alternative of administration beroep; b) Elimination of Article 5l number 3 of The Law No. 9/2004 that states legal effort following the administrative beroep to PTTUN; c) and revision of Article 55 of The Law No. 9/2004 with regard to the provision of deadline. Third, for efficiently implement administration judicial court order, The Law No. 30/2014 provides the concept of penalty payment (dwangsom) as a form of administrative sanction, grouped into a medium administrative sanction (without considering it as an executer media as thepenalty payment concept in the Law of the State Administrative Law Procedure. And then the implementation of juridical penalty payment shall be the responsibility of the official?s superior with step-by-step internal inspection process of the governmental institution. And with regard to such source of penalty payment shall be borne by the concerned official as stated in the description of article 81 number (2) of The Law No. 30/2014."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>