Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
Abstrak :
Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014. ...... DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tarigan, Rianita Rehulina
Abstrak :
Sebelum adanya Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, dalam prakteknya, Mahkamah Agung (MA) pernah menerima pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengajuan PK tersebut menimbulkan pro dan kontra karena kekaburan norma sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Dalam perkembangannya, dibentuk UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), peraturan ini memberikan kewenangan kepada JPU untuk mengajukan PK dalam perkara pidana. Munculnya UU Kejaksaan dengan tidak memperhatikan Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 selanjutnya akan dilakukan pengkajian, terutama menyangkut bagaimana kekuatan final dan mengikat serta keberlakuan Putusan MK Nomor Nomor 33/PUU-XIV/2016 pasca terbitnya UU Kejaksaan. Lebih lanjut penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dengan hasil penelitian sebagai berikut: kekuatan final dan mengikat Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 menjadi hapus (tidak lagi menjadi final dan mengikat) dan Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 menjadi tidak berlaku pasca diterbitkannya UU Kejaksaan sehingga yang disampaikan MK dalam pertimbangannya bahwa JPU tidak berwenang mengajukan PK dalam perkara pidana telah menjadi konstitusional dan dibenarkan menurut hukum sejak terbitnya UU Kejaksaan. ......Prior to the Constitutional Court's Decision Number 33/PUU-XIV/2016, in practice, the Supreme Court (MA) had received a judicial review (PK) in a criminal case submitted by the Public Prosecutor (JPU). The submission of the PK raises pros and cons because of the ambiguity of norms, resulting in legal uncertainty in its implementation. In its development, Law Number 11 of 2021 concerning Amendments to Law Number 16 of 2004 concerning the Prosecutor's Office (AGO) was formed. The emergence of the Prosecutor's Law without paying attention to the Constitutional Court's Decision Number 33/PUU-XIV/2016 will then be studied, especially regarding how the final and binding force and the enforceability of the Constitutional Court's Decision Number 33/PUU-XIV/2016 after the issuance of the Prosecutor Law. Furthermore, this research uses normative juridical law research with a statutory approach and a conceptual approach, with the following research results: the final and binding force of the Constitutional Court Decision Number 33/PUU-XIV/2016 becomes null and void (no longer final and binding) and The Constitutional Court Number 33/PUU- XIV/2016 became invalid after the issuance of the Prosecutor's Law so that what was conveyed by the Court in its consideration that the Public Prosecutor was not authorized to file a PK in a criminal case had become constitutional and justified according to law since the issuance of the Prosecutor's Law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imran Ahmad
Abstrak :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian UU 22/2001 menyebabkan BP Migas dibubarkan. BP Migas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena eksistensinya menyebabkan negara kehilangan hak menguasai sumber daya migas. Penguasaan negara yang paling utama, dapat diwujudkan melalui negara melakukan pengelolaan langsung dengan menunjuk atau memberikan konsesi kepada perusahaan negara untuk menyelenggarakan pengelolaaan usaha hulu migas. SKK Migas kemudian dibentuk untuk menggantikan BP Migas. Dalam penulisan ini Penulis akan mengacu pada Teori Hak Menguasai Negara dan pemikiran Konstitusi Ekonomi, untuk menganalisis dua pokok permasalahan menyangkut peran dan fungsi SKK Migas yang menggantikan tugas dan fungsi BP Migas dan bagaimana seharusnya bentuk pengaturan pengelolaan usaha hulu migas yang memperhatikan peran perusahaan negara. Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan dan penelusuran peraturan perundang-undangan serta putusan hakim, kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulan bahwa peran dan fungsi SKK Migas pada dasarnya adalah sama dengan BP Migas yang telah dibubarkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/20012. Hal tersebut terjadi karena SKK Migas diberi fungsi yang sama dengan tugas yang dimiliki oleh BP Migas, tugas BP Migas terdapat dalam Pasal 44 UU 22/2001 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dibentuknya SKK Migas untuk mengambil alih pengelolaan usaha hulu migas mengindikasikan tidak ada perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan penguasaan negara terhadap sumber daya alam migas. Pengelolaan sumber daya migas yang mengedepankan kepentingan nasional dan sejalan dengan pemikiran konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) adalah harus ada keberpihakan pemerintah pada Perusahaan Negara (BUMN) dengan menugaskan Perusahaan Negara untuk mengelola sumber daya migas. Dengan diberikannya kuasa pertambangan kepada Perusahaan Negara untuk mengelola sumber daya migas, Perusahaan Negara dapat bekerja sama dengan pihak ketiga.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Halifa Pasha
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai implikasi yuridis perjanjian perkawinan yang dibuat dalam proses kepailitan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, serta peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement serta akibatnya bagi pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015 memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 Ayat 1 , 3 , dan 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan prenuptial agreement tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Hal ini kemudian dapat berdampak pada dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam proses kepailitan untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian merugikan pihak ketiga.
This thesis discusses the juridical implications of marriage agreements made in the bankruptcy proceedings in relation to the decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, as well as the role of Notary in the making of marriage agreements made after the postnuptial agreement and its consequences for third parties. The research method used in this thesis is normative juridical. Prior to the Ruling of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, couples must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage for the limitative reason as provided for in Article 186 of the Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a particular reason for making a marriage agreement made after marriage takes place postnuptial agreement . Decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 provides a constitutional interpretation of Article 29 Paragraph 1 , 3 , and 4 Law no. 1 Year 1974 on Marriage by extending the meaning of the marriage agreement so that the marriage agreement is no longer interpreted only as a contract made before the marriage prenuptial agreement but also can be made after the marriage took place postnuptial agreement . This can then have an impact on the possibility of a married couple who are in bankruptcy process to make a marriage agreement that then harms the third party.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Lazuardi Pratama
Abstrak :
Pengaturan mengenai pelaksanaan pembayaran upah beserta hak-hak lainya yang biasa diterima pekerja selama proses perselisihan PHK sesungguhnya telah jelas diatur dalam Pasal 155 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun perubahannya dalam Pasal 157A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Khusus adanya upah proses dari skorsing yang diberikan tertulis selama proses Perselisihan PHK,  mengacu pada pasal 96 UU No 2 tahun 2004 tentang PPHI, jika upah dan hak akibat skorsing tidak dijalankan perusahaan maka pekerja dapat meminta putusan sela untuk dipenuhinya hak akibat skorsing tersebut. Klausula tetap menjalankan hak dan kewajiban dari para pihak berselisih wajib dilaksanakan para pihak selama perselsihan berlangsung. Namun jika pemberi kerja melarang atau tidak memberikan pekerjaan selama proses perselisihan, maka pemberi kerja memiliki kewajiban untuk membayar upah proses. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis regulatif yang didukung berdasarkan temuan berbagai putusan peradilan hubungan industrial dan data empirik dari beberapa narasumber yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun telah ditegaskan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No 37/PUU-IX/2011 dan dimaknai melalui Surat Edaran dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang membatasi keberlakuan upah proses secara regulatif hanya diberikan maksimal 6 (enam) bulan. Sedangkan pada hasil temuan diperoleh fakta bahwa proses perselisihan PHK dapat menempuh waktu lebih dari 6 (enam) bulan atau lebih lama jika menempuh upaya paksa eksekusi. Dengan dibatasinya upah selama proses perselisihan PHK yang tertuang dalam berbagai praktek putusan perselisihan PHK, maka bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang berselisih dalam proses penyelesaian sengketa perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja bagi pekerja tidak terjadi.Kata Kunci: Perselisihan PHK, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011, Upah Proses. ......Regulation regarding the implementation of payment of wages along with other rights that workers usually receive during dismissal disputes has been clearly regulated through Article 155 of Law No. 13 of 2003 concerning Manpower and its amendments in Article 157A of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation. In particular, process wage that is given during the suspension period in employment termination disputes refers to Article 96 of Law No. 2 of 2004 concerning PPHI. It will be interim decided if the company does not carry out wages and employees’ rights during this period. The rights and obligations of both employer and employees during the dispute process must be implemented. If the employer prohibits or does not provide work during the dispute process, the employer is obliged to pay the process wage. This study used a regulatory juridical research method to discuss various industrial relations court decisions and was supported by empirical data from several relevant sources. The result of the study indicates that although it has been confirmed through the Constitutional Court Decision Number 37/PUU-IX/2011 and interpreted by the Supreme Court's jurisprudence, limits the validity of the regulatory process wages for a maximum of 6 (six) months. Meanwhile, the finding shows the fact that the process of dismissal disputes generally takes more than 6 (six) months or longer if forced execution is taken. With the limitation of the process wages payment during dismissal disputes in practice settings, legal protection for workers in dispute has not been achieved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwardo Warman Putra
Abstrak :
ABSTRACT
Ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Rumah Sakit mengatur bagi badan hukum yang bidang usahanya perumahsakitan dilarang memiliki bidang usaha lain yang berada di bawah satu naungan badan hukum. Sedangkan PP Muhammadiyah merupakan badan hukum yang memiliki tiga bidang usaha, yaitu rumah sakit, pendidikan, dan keagamaan. Dengan ketentuan yang ada tersebut PP Muhammadiyah mengalami kerugian materiil maupun imateriil. Oleh karena itu PP Muhammadiyah mengajukan Pengujian Undang-Undang (judicial review). Permohonan tersebut kemudian diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 38/PUU-XI/2013, yang pada intinya menambahkan frasa Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Rumah Sakit. Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Berdasarkan peninjauan hukum yang telah dilakukan terhadap peraturan perumahsakitan, putusan mahkamah konstitusi, serta melakukan wawancara dengan para pemohon pengujian, dapat ditarik kesimpulan, bahwa benar dalam penerbitan ketentuan Pasal 7 ayat (4) tidak didasari dengan alasan yang jelas, selain itu juga mengakibatkan kerugian bagi para penyelenggara rumah sakit. Oleh karena itu pengaturan Pasal 7 ayat (4) diperjelas dengan adanya PERMENKES RI No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Walaupun sudah adanya peraturan pelaksana, lebih baik jika Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Rumah Sakit mengalami perubahan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, agar terdapat keselarasan antara peraturan pelaksana dengan peraturan dasar.
ABSTRACT
Article 7(4) of Law Number 44 Year 2009 on Hospital prohibits a legal entity in the hospital sector to engage in any other sectors. Muhammadiyah is a legal entity that engages in 3 different sectors, which are Hospital, Education, and Religious Activities. With the regulation in hand, it has brought both material and immaterial damages for Muhammadiyah. Muhammadiyah filed a Judicial Review. Based on the Constitutional Court Decision Number 38/PUU-XI/2013, to Article 7(4), there has been made an exception to the rule for hospitals that is run by legal entities for profit.  This study is a normative juridical research. Based on legal researches and interviews conducted, the findings of this analysis shows that the enactment of Article 7(4) was not based on clear underlying reasons, and has caused disadvantages to the legal entities engaged in the respective sector. Therefore, the rules of Article 7(4) has been clarified by the enactment of Regulation of the Minister of Health Number 56 Year 2014 on Classification and Hospital Licensing. Nevertheless, the revision of Article 7(4) of Law Number 44 Year 2009 on Hospital is necessary to conform with its implementing regulations.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Disa Victoria Deran
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perbandingan pengaturan mengenai postnuptial agreement sebelum dan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XIII/2015, akibat adanya postnuptial agreement terhadap pihak ketiga yang telah membuat perjanjian sebelum pasangan suami isteri membuat postnuptial agreement berdasarkan hukum Indonesia dan Belanda serta peranan Notaris dalam pembuatan dan pengesahan postnuptial agreement di Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XIII/2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat postnuptial agreement. Pada pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan, setelah pasangan mendapatkan putusan pengadilan yang mengabulkan pemisahan harta kekayaan, maka dalam jangka waktu 1 satu bulan harus membuat postnuptial agreement atau mengajukan tuntutan ke pengadilan mengenai pembagian harta kekayaan. Disisi lain, output pada postnuptial agreement berupa perjanjian perkawinan itu sendiri yang kemudian harus didaftarkan pada pegawai pencatat perkawinan. Indonesia dan Belanda sama-sama mengatur bahwa postnuptial agreement tidak berakibat hukum terhadap pihak ketiga yang sebelumnya telah membuat perjanjian dengan pasangan suami isteri tersebut. Notaris berperan sebagai satu-satunya pihak yang berwenang membuat perjanjian perkawinan baik itu di Indonesia maupun di Belanda, namun tidak memiliki peranan pada pengesahan perjanjian perkawinan.
ABSTRACT
This thesis explains the comparative of postnuptial agreement before and after the Constitutional Court Decision Number 96/PUU-XIII/2015 implication to the third party who has entered into an agreement before the married couple make a postnuptial agreement under Indonesian and Dutch law and notary's role in making and endorsing postnuptial agreement in Indonesia and Netherlands.The research method in this thesis is normative juridical. Before the Constitutional Court Decision Number 96/PUU-XIII/2015, the couple must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage with the limitative reason as stipulated in Article 186 Indonesian Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a specific reason to make postnuptial agreement. In the separation of property throughout the marriage, the couples should make postnuptial agreement in one month after the court decision, or file a lawsuit in the form of separation to their property. In comparison, the output of postnuptial agreement is the marriage agreement itself which must be registered by the marriage registry officer. Both Indonesia and Netherlands are stipulate that the postnuptial agreement has no legal consequences to a third party who has previously entered into an agreement with the spouses. Notary acts as the sole authorized party to make the marriage agreement either in Indonesia or in Netherlands, but has no authority to legitimize the marriage agreement.
2017
T48187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifki Wicaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Adanya kebijakan Penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana diatur Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Penjelasannya telah menimbulkan penolakan dari para pekerja karena dianggap bertentangan dengan larangan bagi pengusaha untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Pengujian ketentuan Penangguhan pelaksanaan upah minimum itu pun dimohonkan para pekerja kepada Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 72/PUU-XII/2015 tetap mempertahankan ketentuan penangguhan pelaksanaan upah minimum tersebut dan hanya merubah Penjelasan dalam Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Atas Putusan tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah, Apakah akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XII/2015 terhadap ketentuan penangguhan pelaksanaan upah minimum dan perlindungan bagi pekerja? dan Bagaimana analisis sistem hukum penangguhan pelaksanaan upah minimum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XII/2015? Tesis ini menggunakan penelitian normatif dengan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Penangguhan pelaksanaan upah minimum tidak serta merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerjanya berdasarkan upah minimum dan penangguhan pelaksanaan upah minimum justru merupakan upaya perlindungan terhadap pekerja atas hak mendapatkan pekerjaan sebagaimana dijamin oleh konstitusi, yang terancam apabila perusahaannya bangkrut/merugi karena tidak mampu membayar upah pekerjanya berdasarkan ketentuan upah minimum, selain itu sistem hukum penangguhan pelaksanaan upah minimum yang ada saat ini belum mengakomodir maksud dan tujuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XII/2015 karena terdapat beberapa masalah dalam substansi, struktur dan kulturnya sehingga tentu berdampak pada implementasinya.
ABSTRACT
The minimum wage policy that serves as a safety net for workers to keep their income from declining in a way that endangers workers' nutrition is subject to legal uncertainty, since Article 90 section (2) of Law Number 13 Year 2003 on Manpower provides that minimum wage provisions may be disregarded with the policy of Suspension of The implementation of the minimum wage and supported by the Elucidation of that article which allows employers not to pay the wage difference in the period of suspension, thereby creating a contradiction to the prohibition for employers to pay wages lower than the minimum wage. It is certainly rejected by workers because the suspension of the minimum wage is considered to be a "trick" of employers to pay their workers under the minimum wage provisions so that a test against the provision of suspension of the implementation of the minimum wage to the Constitutional Court is then submitted. However, in fact, the Constitutional Court through Decision Number 72/PUU-XII/2015 retains the provisions concerning the suspension of the minimum wage exercise and only changes the Elucidation in Article 90 paragraph (2) of Law Number 13 Year 2003 on Manpower. On the verdict, the question arises, what is the purpose and objective of the provision of suspension of minimum wage implementation especially after the Constitutional Court Decision Number 72/PUU-XII/2015 and what is the relevance to the protection for workers so that the provision is still maintained? This will be further elaborated in this thesis. This thesis uses normative research with case approach and conceptual approach as well as aims to test the hypothesis that the current legal system for deferring the minimum wage is insufficient to accommodate the purpose and objectives of Constitutional Court Decision Number 72/PUU-XII/2015 because there are several gaps described in the elements of the legal system according to Lawrance M. Friedman consisting of substance, structure and culture.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>