Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Robinson Hasoloan
Abstrak :
Disertasi ini membahas faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sengketa terkait nama domain antara pemilik nama domain dan pihak lain di Indonesia. Disertasi ini juga membahas ketidakjelasan dan ketidakcukupan perundang-undangan Indonesia .yang rnengatur nama domain, dan penyelesaian sengketa yang efektif untuk sengketa-sengkem nama domain di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif; komparatif dan kualitatif Hasil penelitian menyarankan tiga hal. Pertama, pengaturan nama domain yang jelas dan lengkap dari segi hukum sudah mutlak disediakan di Indonesia. Kedua, nama domain di Indonesia scbaiknya diatur dalam suatu undang-undang yang khusus didesain untuk mama domain. Ketiga, penyelesaian sengketa nama domain sudah sepatutnya tersedia di Indonesia, Penyelesaian sengketa tersebut sebaiknya penyelesaian sengketa nama domain melalui forum menyerupai-arbitrase atau melalui badan khusus penyelesaian sengketa nama domain. Penyelesaian sengketa melalui fonun menyempai-arbitrase adalah merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang timhul alcibat kelemahan penyelcsaian sengketa melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa yang sernacam ini biasanya menggunakan suatu kebijakan penyelesaian sengketa nama domain sebagai landasan hukumnya. Kebijakan ini sebaiknya mempakan modifnkasi dari Uniform Dispute Resolution Policy (UDRP) tersebut. Forum yang diberi Wewenang untuk penyelesaian sengketa nama domain ini sebaiknya berdisi sendiri. sebagai Badan Arbitrase Sengketa Nama Domain. Penyelesaian sengketa- nama domain melalui badan khusus penyelesaian sengketa nama domain dipandang merupakan penyelesaian sengketa nama domain yang paling cocok saat ini, dengan sejumlah pertimbangan, antara Iain, Rancangan Peraturan Pemerintah (RFP) tentang Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat ditafsirkan mengatur hal ini dalam Pasal 66. Penyelesaian sengketa ini dapat lebih efisien dan efektif karena badan ini akan bekerja sama secara Iangsung dengan pengelola nama domain sehingga putusan dari badan ini akan dapat dengan cepat dilaksanakan oleh pengelola nama domain. Badan khusus penyelesaian sengketa mama domain ini sebaiknya berposisi secara berdampingan dengan pengelola nama domain.
This dissertation discusses factors that are able to cause a dispute about Internet domain names between owners of Internet domain names and other parties in Indonesia. The dissertation also discusses unclearness and insufficiency of the current law regulating Internet domain names in Indonesia. In addition, it discusses an effective dispute settlement for Internet domain names disputes in Indonesia. This dissertation is built from a normative, comparative and qualitative research. Results of the research suggest three points. First, a comprehensive regulation of Internet domain names in Indonesia should be prepared' in Indonesia. Second, Internet domain names should be regulated on a law designing specially for Intemet domain names. Third, a settlement of Intemet domain name disputes should be available in Indonesia. The settlement should be a settlement through a likev -arbitration forum or-through a special body of lntemet domain name dispute settlement. The settlement through a like; -arbitration forum is an altemative dispute resolution caused by the weakness of dispute settlement though a court. Such settlement usually uses an Internet domain name dispute resolution policy as a legal basis. The policy should be a modification of the Unybrm Dispute Resolution Policy (UDRP). A forum having an authority to settle an Intemet domain name dispute should be an independent forum as an Intemet domain name board of arbitration. The settlement through a special body of Intemet domain name dispute settlement is considered to be the most suitable settlement of Internet domain name dispute in Indonesia, based on a number of considerations, such as Section 66 of the Draft of Government Regulation on Management of Information and Electronic Transactions. The settlement could be an efficient and effective one because the body handling the cases could work together directly with the Internet domain name registry. In this situation, a decision of the body could be enforced quickly by the registry.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D1074
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2012
382.92 WOR w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Secara geografis antara Indonesia dan Malaysia memiliki perbatasan di darat dan di laut. Batas darat terdapat di Kalimantan memiliki panjang K.l. 2000 km-lari, sedangkan perbatasan laut terdapt di selat Malaka terdiri dari batas laut teritorial kurang lebih 174 nm, batas landas kontinen dan batas ZEE( kurang lebih 433nm) di Selat Singapura hanya batas laut teritorial kurang lebih 37,4 nm, , di laut China Selatan terdiri dari batas landas kontinen dan ZEE kurang lebih 594 nm, di perairan Tanjung Datu sepanjang 12 nm (batas laut teritorial, di perairan Selat Sebuko kurang lebih 29,6 nm(batas laut teritorial dan dilaut Sulawesi kurang lebih 165 nm(batas ZEE dan landas kontinen)......
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Adhisetiawan
Abstrak :
Asuransi saat ini dipandang bukan hanya sebagai alat pengalihan resiko akan tetapi juga sebagai alat untuk berinvestasi. Terbukti dengan semakin banyaknya produk-produk asuransi yang mengkombinasikan unsur proteksi dengan unsur investasi. Salah satu contoh produk asuransi yang mengkombinasikan unsur proteksi dengan unsur investasi adalah produk asuransi Diamond Investa yang dikeluarkan oleh PT Asuransi Jiwa Bakrie atau Bakrie Life. Namun, produk asuransi Diamond Investa ini mengalami gagal bayar kepada tertanggungnya sehingga menyebabkan kerugian pada tertanggungnya. Untuk itu penting untuk mengetahui jenis produk asuransi Diamond Investa, dan menelusuri adakah terjadi pelanggaran terhadap penempatan investasi yang dilakukan oleh Bakrie Life berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 424/KMK.06/2003 Jo. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 158/PMK/010/2008 serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak tertanggung untuk menyelesaikan klaim asuransi Diamond Investa ini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi kepustakaan dengan alat pengumpul data berupa studi dokumen dan wawancara dengan narasumber. Dari penelitian ini diperoleh pengetahuan bahwa asuransi Diamond Investa merupakan asuransi dwiguna (endowment), dan bahwa tidak terjadi pelanggaran penempatan investasi oleh Bakrie Life, kegagalan bayar terjadi semata-mata dikarenakan agresivitas Bakrie Life yang menempatkan investasi pada produk investasi yang beresiko tinggi, dan untuk menyelesaikan sengketa gagal bayar asuransi Diamond Investa ini tertanggung dapat mengunakan jalur litigasi yaitu dan non litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK), Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan arbitrase. Akan tetapi, upaya penyelesaian sengketa ini tidak berjalan dengan optimal. Hal ini dikarenakan proses penyelesaian sengketa tersebut banyak mengalami kendala-kendala yang menghambat terciptanya suatu solusi. ......Insurance now seen not only as a means of risk transfer but also as a means to invest. Proven by the growing of number of insurance products that combine elements of protection with elements of investment. One of the example of an insurance product that combines the elements of protection with elements of investment is Insurance of Diamond Investa issued by PT Asuransi Jiwa Bakrie or Bakrie Life. However, this product of Diamond Investa are experiencing default, causing losses to the insured. Therefore, it is important to know the types of insurance products of Diamond Investa, and whether there is any violation of placement of investment conducted by the Bakrie Life under the provisions of Decree of the Minister of Finance No. 424/KMK.06/2003 jo. Regulation of the Minister of Finance (PMK) No. 158/PMK/010/2008 and legal efforts that can be taken by the insured to settle the Diamond Investa insurance claim. This research was conducted by using literature methodology by means of data collection like study documents and interviews with guest speaker. From this research, it is obtained knowledge that the insurance of Diamond Investa is a dwiguna insurance (endowment), and that there is no breach of investment placements by Bakrie Life, the default of Bakrie Life is occurred solely because of the aggressiveness of Bakrie Life in investing in the high-risk investments product, and in order to settle dispute default, the insured may take litigation path or non litigation path through Body of Dispute Settlement (BPSK), Board of Indonesian Insurance Mediation (BMAI) and arbitration. But, this dispute resolution didn't work very optimal. There was many restrain to find the solution of this Bakrie Life's case.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T37420
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Cipta Anugrah
Abstrak :
ABSTRAK Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Menurut Pasal 3.7 DSU, sasaran dan tujuan utama sistem penyelesaian sengketa WTO adalah menjamin penyelesaian yang positif bagi suatu sengketa dan sistem ini sangat cenderung menyelesaikan sengketa melalui konsultasi daripada proses pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dilaksanakan dengan beberapa cara yang diatur dalam DSU, yaitu konsultasi atau negosiasi, pemeriksaan oleh Panel dan Appelate Body, arbitrase, dan good offices, conciliation, dan mediation, dengan yurisdiksi yang bersifat integrated, compulsory, dan contentious. Berdasarkan Pasal 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO bertujuan untuk memelihara hak dan kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Persetujuan WTO (covered agreement). Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di World Trade Organization (WTO) atau mengambil kebijakan yang kemudian merugikan kepentingan negara lain. Negara - negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara - negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Salah satu jalan keluar, dan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa, apabila pihak pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi/putusan DSB adalah retaliasi atau penangguhan konsesi. Pasal 22 ayat 6 DSU.
ABSTRACT Dispute settlement procedure in the WTO set in article XXII and XXIII of GATT 1994 and the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). According to Article 3.7 DSU, major goals and objectives of the WTO dispute settlement system is to ensure a positive solution to a dispute and the system is very likely to resolve disputes through consultation rather than litigation. Dispute resolution is implemented in several ways set out in the DSU, namely consultation or negotiation, examination by the Panel and the Appelate Body, arbitration and good offices, Conciliation and mediation, with jurisdictions that are integrated, compulsory, and contentious. Pursuant to Article 3.2 DSU, the WTO dispute settlement system aims to preserve the rights and obligations of Member States under the provisions contained in the WTO Agreement (covered agreement). Disputes can arise when a country sets a certain trade policies that are contrary to the commitments in the World Trade Organization (WTO) or take out a policy which then harm the interests of other countries. Countries - WTO members have agreed that if member countries that violate trade rules of the WTO, the country - the member states will use the multilateral settlement system rather than take unilateral action. This means that these countries should comply with agreed procedures and respect the decision taken. One way out, and it is the last resort in resolving disputes, if the offender can not implement the recommendation / decision DSB is retaliation or suspension of concessions. Article 22, paragraph 6 DSU.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Istihara Zain
Abstrak :
Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Jenis penelitian yuridis normatif dengan Socio Legal Research. Setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) di sektor jasa keuangan, atas amanat OJK yang didasari oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, tidak menghilangkan kewenangan BPSK dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, karena pilihan atas lembaga mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, baik BPSK ataupun LAPS merupakan pilihan sukarela para pihak dan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dari analisis 7 (tujuh) putusan, mayoritas hakim menolak permohonan keberatan pemohon, karena terdapat hubungan hukum berupa perjanjian pembiayaan. Debitur telah wanprestasi, menurut hakim wanprestasi merupakan kewenangan Peradilan Umum bukan BPSK. Selain itu, terhadap beberapa putusan hakim tidak menerapkan hukum dengan baik, hakim tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan, dimana para pihak telah sepakat menentukan pilihan lembaga penyelesaian sengketa, namun hakim dalam pertimbangan hukumnya tidak mencantumkan pertimbangan tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa BPSK memiliki wewenang dalam menangani sengketa di sektor jasa keuangan akibat ingkar janji/wanprestasi karena UUPK tidak menentukan batas-batas sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, sepanjang terkait dengan sengketa atas peredaran barang dan jasa. Seharusnya, pemerintah merevisi pasal di UUPK terkait sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, agar tidak terjadi disharmonisasi terhadap perundang-undangan yang ada. Hakim sbelum menjatuhkan putusan sebaiknya membuat pertimbangan hukum dengan benar dan bersikap konsisten dalam menjatuhkan putusan. ......The Dispute Settlement Board (BPSK) in carrying out consumer dispute resolution in the financial services sector. This type of juridical normative research with Socio Legal Research. After the establishment of the Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS) through the Financial Services Authority Regulation (POJK) in the financial services sector, as mandated by the OJK which is based on the Financial Services Authority Law, it does not diminish the authority of BPSK in carrying out dispute resolution in the financial services sector, by choice. on which institution is used in dispute resolution, either BPSK or LAPS is a voluntary choice of the parties and on the agreement of the parties in dispute. From the analysis of the 7 (seven) decisions, the majority of judges rejected the petitioner for objection, because there was a legal relationship in the form of a financing agreement. The debtor has defaulted, according to the judge, default is the authority of the General Court, not BPSK. In addition, for several judges' decisions that did not apply the law properly, the judges were inconsistent in making decisions, where the parties had agreed to determine the choice of dispute settlement institutions, but the judges in their legal considerations did not include these considerations. Therefore, it is said that BPSK has the authority to handle disputes in the financial services sector due to broken promises /or defaults because the UUPK does not determine the boundaries of what disputes are the authority of BPSK, as long as they are linked to disputes over the circulation of goods and services. The government should have revised the articles in the UUPK regarding any disputes that fall under the authority of BPSK, so that there is no disharmony with existing laws. Before making a decision, the judge should make proper legal considerations and be consistent in making the decision.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cerah Bangun
Abstrak :
Conflict of interest importir dengan pemerintah dalam penentuan nilai pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk menjadi persoalan internasional. Importir cenderung membayar bea masuk sekecil-kecilnya, sedangkan pemerintah cenderung memungut bea masuk sebesar-besarnya. Karena telah menjadi persoalan dunia dan memengaruhi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan perdagangan internasional, the General Agreement on Tariffs and Trade GATT telah membuat Article VII GATT sebagai acuan menghitung nilai pabean dengan tarif advalorem. Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea Cukai DJBC menemukan dan menganggap relatif banyak perhitungan nilai pabean oleh importir secara self assessment tidak tepat sehingga dilakukan koreksi atau penetapan. Sebaliknya, importir menganggap justru DJBC yang tidak tepat dalam menghitung nilai pabean sehingga importir mengajukan keberatan dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. Sekitar 90 permohonan keberatan nilai pabean ditolak oleh lembaga keberatan DJBC dan sebaliknya lebih banyak permohonan banding nilai pabean dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Fakta itu menunjukkan kontradiksi perspektif perhitungan nilai pabean antara importir, DJBC, dan Hakim Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, perlu diteliti faktor penyebabnya dan dicari solusinya melalui pertanyaan penelitian apakah penetapan nilai pabean di Indonesia telah sesuai dengan ketentuan Article VII GATT, bagaimana eksistensi lembaga keberatan beroep sebagai peradilan semu quasi rechtspraak , dan apakah Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa nilai pabean memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa implementasi perhitungan nilai pabean belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan GATT, lembaga keberatan belum berfungsi dengan baik, dan lembaga Pengadilan Pajak belum berperan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan transformasi ketentuan nilai pabean, lembaga keberatan, dan lembaga banding. Di samping itu, perlu dilakukan perbaikan budaya hukum melalui internalisasi ketentuan nilai pabean terhadap importir, pejabat DJBC, dan Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, seyogianya kelembagaan Pengadilan Pajak sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung namun hakimnya harus mempunyai keahlian hukum dan perpajakan. Sebagaimana ruang lingkup perpajakan lebih luas daripada ruang lingkup pajak maka nama Pengadilan Pajak disarankan diganti menjadi Pengadilan Perpajakan. Secara filosofis, perpajakan bukan lagi sebuah kewajiban warga negara, tetapi sebuah hak warga negara berpartisipasi untuk membangun negaranya. ...... Conflict of interest between importers and the government in the determination of customs value as a basis for the calculation of import duty has become an international issue. Importers tend to pay the lowest import duties, while the government tends to collect the maximum import duties. Since it has become a global issue and affects the fairness, certainty, and usefulness of international trade, the General Agreement on Tariffs and Trade GATT has set out Article VII GATT as reference in calculating customs value by ad valorem rates. In Indonesia, the Directorate General of Customs DJBC finds and considers relatively large quantities of customs value reported by importers to be incorrect thus requiring correction or determination. On the other hand, importers consider that DJBC is not appropriate in determining the customs value as a result of which they file objection and/or appeal. Approximately ninety per cent of customs value objection applications are rejected by DGCE objection agencies while on the other hand the Tax Court tends to accept a greater number of customs value appeals. Such fact demonstrates the contradictory perspective in customs value calculation between importers, DJBC, and Tax Court Judges. Therefore, there is a need to examine the causal factors and seek solutions by answering the research questions, namely whether the determination of customs value in Indonesia has been in accordance with the provisions of Article VII GATT; the position of the objection agency beroep as quasi judiciary rechtspraak ; and whether in resolving customs value disputes the Tax Court provides justice, certainty, and expediency. Based on the research results, it has been found that the implementation of customs value calculation is not fully in accordance with the GATT provisions, the objection agencies are yet to be functioning properly, and the Tax Court is yet to fulfill its function properly. Therefore, it is advisable to transform customs value provisions, the objection body, as well as the appeals agency. In addition, it is necessary to improve the legal culture through internalization of customs value provisions among importers, DGCE officials, and Tax Court Judges. As part of its judicial powers, the institution of the Tax Court should be fully under the Supreme Court; however, judges need to possess legal and taxation skills. Considering that the scope of Taxation Perpajakan is broader than that of Taxes Pajak , it is recommended that the name Pengadilan Pajak Tax Court be changed to Pengadilan Perpajakan Taxation Court . Viewed from a philosophical perspective, taxation is no longer a citizen's duty, but rather a citizen's right to participate in developing his/her country.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
D2525
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Hasudungan Priatmaja
Abstrak :

Dispute Settlement Understanding atau DSU merupakan suatu ketentuan yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa antar negara-negara anggota di World Trade Organization atau WTO. Di dalamnya, DSU juga mengatur bagaimana suatu negara anggota menjalankan rekomendasi dan putusan dari Dispute Settlement Body atau DSB karena negara anggota tersebut telah melanggar perjanjian WTO. Dalam skripsi ini, penulis akan membahas secara spesifik mengenai implementasi rekomendasi dan putusan DSB dengan menggunakan kompensasi, sebagaimana kompensasi itu menurut DSU adalah tindakan penanggulangan sementara apabila negara anggota tidak mampu menjalankan rekomendasi dan putusan DSB dengan segera. Penulis mengangkat 4 sengketa, yaitu DS26, DS160, DS267, dan DS406. Dalam kasus-kasus tersebut akan ditelaah penerapan pemberian kompensasi yang dilakukan oleh para pihak terhadap ketentuan dalam DSU yang mengatur mengenai pemberian kompensasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi suatu isu hukum yang mana kompensasi yang ditetapkan oleh para pihak dalam sengketa-sengketa tersebut tidak mengikuti ketentuan DSU, seperti kompensasi yang disepakati dianggap sebagai implementasi penuh yang menyelesaikan sengketa, tidak konsistennya pemberian kompensasi dengan perjanjian WTO, dan penerapan bentuk kompensasi yang tidak diatur oleh DSU yaitu monetary compensation. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa perubahan terkait ketentuan mengenai pemberian kompensasi dalam kerangka DSU untuk mengurangi timbulnya isu-isu hukum tersebut.

 

 


Dispute Settlement Understanding or DSU is a set of rules governing the settlement of disputes between Member States in the World Trade Organization or the WTO. DSU also regulates how a Member State should implement the recommendations and rulings of the Dispute Settlement Body or DSB because the Member States have violated the covered WTO agreements. In this thesis, the author will discuss the implementation of recommendations and rulings from DSB by using compensation, which according to DSU is a temporary countermeasure shall the Member State unable to implement recommendations and rulings of DSB immediately. The author raised 4 disputes, i.e. DS26, DS160, DS267, and DS406. In such cases will be examined regarding the application of compensation made by the parties in accordance with the DSU which regulates the compensation. The results showed there was a legal issue where the compensation stipulated by the parties in the disputes did not follow the provisions of the DSU, such as the agreed compensation was deemed to be a full implementation that resolves the dispute, the inconsistency of compensation with the WTO agreement, and the application of a form of compensation which is not regulated by the DSU, namely monetary compensation. Therefore, it is necessary to make some changes to the provisions regarding the compensation in the DSU framework to avoid such issues.

 

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amara Syakirina Allyandra
Abstrak :
Para anggota World Trade Organization (WTO) membentuk Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA) dengan memanfaatkan Pasal 25 dari Dispute Settlement Understanding (DSU) untuk mengatasi krisis WTO yang disebabkan oleh keputusan Amerika Serikat untuk memblokir penunjukan anggota baru Appellate Body atas dasar klaimnya mengenai penundaan dalam mengeluarkan putusan dan pelanggaran mandat. Tesis ini dirancang menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk menganalisis alternatif arbitrase yang mungkin berdasarkan Pasal 25 DSU dan merumuskan pertanyaan mengenai efektivitas MPIA sebagai alternatif untuk mengisi kekosongan dalam adjudikasi tahap kedua WTO. MPIA dimaksudkan sebagai solusi sementara dengan tujuan utama menyediakan tahap banding yang independen dan imparsial bagi anggota WTO. Namun, implementasinya telah mengungkapkan masalah mengenai kedudukan hukum MPIA berdasarkan DSU dan legitimasi putusannya yang tidak pasti, yang mengarah pada kesimpulan bahwa MPIA tidak efektif sebagai alternatif adjudikasi tahap kedua WTO. ......The members of the World Trade Organization (WTO) established a Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA) by utilizing Article 25 of the Dispute Settlement Understanding (DSU) to address the WTO crisis due to United States decision to block the appointment of new Appellate Body members based on its claims over delays in issuing rulings and breach of mandate. This thesis is designed using normative legal research methods to analyze possible arbitration alternatives under Article 25 of the DSU and formulate questions regarding the effectiveness of the MPIA as an alternative to fill the void in the WTO’s second-stage adjudication. The MPIA is intended to be an interim solution with the primary goal of providing an independent and impartial appeal stage for WTO members. However, its implementation has revealed problems regarding the MPIA’s legal standing under the DSU and the precarious legitimacy of its awards, leading to the conclusion that the MPIA is ineffective as an alternative to the WTO’s second-stage adjudication.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Nuriya Sholikhah
Abstrak :
ABSTRAK
Sistem penyelesaian sengketa merupakan pilar utama dari suatu organisasi internasional. Tanpa adanya sarana untuk menyelesaikan suatu sengketa, ruledbased system akan kurang efektif karena aturannya tidak dapat dipaksakan untuk dilaksanakan. Hal ini yang mendasari pembentukan sistem penyelesaian sengketa pada World Trade Organization dan ASEAN terkait sengketa di bidang ekonomi. Selain itu, ASEAN dalam rangka membentuk suatu komunitas ekonomi dan ASEAN Free Trade Area membutuhkan suatu sistem penyelesaian sengketa ekonomi yang lebih komprehensif yang banyak mengadopsi dari sistem penyelesaian sengketa WTO, meskipun didalamnya terdapat beberapa fleksibilitas yang menunjukkan ASEAN sebagai suatu organisasi regional. Dengan menggunakan teori perbandingan hukum didapatkan kesamaan dan perbedaan antara sistem penyelesaian sengketa ekonomi ASEAN dengan WTO terkait mekanisme serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam masing-masing sistem tersebut serta dasar pemberlakuan masing-masing sistem tersebut. Dengan perbandingan tersebut dapat disarankan ASEAN untuk menghapus ketentuan yang membolehkan untuk memilih forum lain, sehingga sistem penyelesaian sengketa ekonomi ASEAN dapat dijadikan sebagai pilihan utama bagi para Negara anggota ASEAN.
ABSTRACT
Dispute settlement system is the main pillar of an international organization. Without dispute settlement system, rule-based system would be less effective and lack to force of implementation. This is the underlying formation of the dispute resolution system of the World Trade Organization and the ASEAN economicrelated disputes. In additional, in order to create an ASEAN Economic Community and the ASEAN Free Trade Area requires an economic system of dispute resolution that is much more comprehensive than adopting the WTO dispute settlement system, although there is some flexibility in it that indicates ASEAN as a regional organization. By using the theory of comparative law obtained similarities and differences mechanism and principles between the dispute settlement system of the WTO and ASEAN, which contained in each of these systems as well as basic application of each of these systems. Such comparisons can be advised ASEAN to remove provisions that allow to choose another forum, so that ASEAN economic dispute settlement system can be used as the primary choice for ASEAN member countries.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>