Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2002
331.4 WOM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Parsudi Suparlan, 1938-2007
"Dalam tulisan ini, penulis menunjukkan bahwa transformasi anggota-anggota suatu kelompok yang terisolasi ke dalam masyarakat majemuk yang lebih besar, dikondisikan oleh hubungan saling mempengaruhi antara sifat majemuk masyarakat tersebut dan posisi dari kelompok yang terisolasi itu dalam struktur kekuasaan masyarakat majemuk itu. Kesukubangsaan dari Orang Sakai yang dilukiskan dalam tulisan ini, diwujudkan sebagai tanggapan terhadap struktur kekuasaan yang berlaku dalam setting lokal. Ekspresi kesukubangsaan itu beragam. Keragaman itu menunjukkan potensi dan kemampuan Orang Sakai dalam memanipulasi simbol-simbol kebudayaan serta atribut-atribut etnis untuk identifikasi diri, perolehan posisi dan kompetisi dalam perolehan sumberdaya alam dalam hubungan-hubungan sosial dan antaretnis. Melalui kesukubangsaan inilah mereka tertransformasikan ke dalam masyarakat Indonesia.Dua kasus program pemukiman kembali bagi Orang Sakai, yakni di Muara Basung danSialang Rimbun menunjukkan dua lingkungan struktur kekuasaan yang berbeda bagi OrangSakai. Kedua program pemukiman itu mengalami kegagalan. Tetapi, melalui pengalaman dikedua pemukiman tersebut, Orang Sakai mendefinisi ulang kesukubangsaan dan kebangsaannya."
2000
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Prasetya
"Ketahanan Nasional suatu bangsa dapat dikatakan berhasil apabila bangsa tersebut mampu menciptakan kesejahteraan dan juga keamanan di dalam negaranya secara seimbang. Tidak akan ada keamanan tanpa kesejahteraan yang memadai begitupun sebaliknya. Ketimpangan ekonomi di Indonesia masih cukup tinggi, menurut angka yang di keluarkan BPS RI, koefisein gini masyarakat perkotaan Indonesia bulan September 2017 masih sebesar 0,404 sedangkan di pedesaan 0,320. Kesenjangan ekonomi ini juga diakui oleh menteri keuangan RI Sri Mulyani, Ketua KPK RI Periode 2011-2015, Abraham Samad, Wakil Presiden RI periode 2014-2019, M. Jusuf Kalla, maupun Menteri Perekonomian RI Periode Mei 2014 - Oktober 2014 Chairul Tanjung bahwa 1% penduduk di Indonesia menguasai 50 % aset negara. Penyebab Ketimpangan ini cenderung diarahkan kepada etnis Tionghoa dengan didukung oleh data dari Majalah Forbes, tiga besar orang terkaya di Indonesia selama lima tahun berturut-turut ditempati oleh pengusaha beretnis Tionghoa, selain itu dimasa pemerintahan Presiden Joko Widodo banyak proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh pemborong dari negeri Tiongkok, bukan hanya berinvestasi tetapi juga turut membawa pekerja dari negaranya sehingga masyarakat di Indonesia belum diberdayakan secara maksimal. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018, Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019 tentu hal-hal ini bisa menjadi isu hangat yang disalahgunakan kembali ke arah masalah rasialis etnis Tionghoa seperti pada peristiwa Mei 1998 dimana krisis dan kesenjangan ekonomi menjadi pemicu utama terjadinya kerusuhan berdarah. Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Indonesia terhadap golongan Tiongha di tahun 2018 masih cenderung negatif dan menjadi ancaman disintegrasi bangsa yang mengganggu ketahanan nasional Indonesia. Penelitian ini difoksukan di wilayah DKI Jakarta dengan mewawancarai informan kunci di bidang Pancasila dengan metode penelitian campuran eksploratori.

National Resilience of a nation can be said to succeed if the nation is able to create prosperity and also security in the country in a balanced manner. There will be no security without adequate welfare and vice versa. Economic imbalances in Indonesia are still quite high, according to figures released by BPS RI, the coefisein gini of Indonesian urban communities in September 2017 is still at 0.404 while in the countryside 0.320. Economic gap is also recognized by the minister of finance of Indonesia Sri Mulyani, Chairman of KPK RI Period 2011-2015, Abraham Samad, Vice President of the Republic of Indonesia 2014-2019, M. Jusuf Kalla, and the Minister of Economy of the Republic of Indonesia May 2014 - October 2014 Chairul Tanjung that 1 % of the population in Indonesia controls 50% of state assets. The cause of this Inequality tends to be directed to ethnic Chinese supported by data from Forbes Magazine, the top three richest people in Indonesia for five consecutive years occupied by Chinese businessmen, besides during the administration of President Joko Widodo many infrastructure projects undertaken by contractors from China, not only invest but also bring workers from their country so that people in Indonesia have not been maximally empowered. In the lead up to the 2018 election of the Head of Region, the Legislative Election and the Presidential Election of 2019, these things could become a hot issue that was re-abused in the direction of ethnic Chinese racial issues as in the events of May 1998 where the crisis and economic disparity became the main trigger for bloody riots. This research shows that Indonesian people's perception towards Tiongha group in 2018 still tend to be negative and become a threat of disintegration of the nation that disrupts Indonesia's national resilience. This research was focused in Jakarta area by interviewing key informants in Pancasila field with exploratory mixture research method."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Siti Rafiah
"Hasil penelitian beberapa peneliti terdahulu menyatakan bahwa, dermatoglifi tipe pola dan jumlah sulur ujung jari tangan dapat digunakan untuk membedakan ras, populasi, dan kasta. Penurunan (heritabilitas) intensitas dari tipe pola, dan jumlah semua sulur ujung jari tangan sangat tinggi.
Variasi dermatoglifi pada populasi dapat terjadi karena adanya beberapa faktor seperti, seleksi, isolasi, dan genetic drift. Populasi dalam strata pendidikan dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan lapisan masyarakat berdasarkan dermatoglifi, karena pada setiap kenaikan tingkat pendidikan seseorang berlaku seleksi.
Sampel populasi dalam penelitian ini diambil dari beberapa lapisan masyarakat berbagai suku dengan strata pendidikan berbeda yang terdiri atas non sarjana, sarjana dan doktor. Sampel populasi non sarjana ialah mereka yang berpendidikan SD, SLTP, dan SLTA, sedangkan sampel populasi sarjana dan doktor, ialah mereka yang tamat dari pendidikan perguruan tinggi.
Tujuan penelitian dermatoglifi ialah untuk mengetahui apakah ada perbedaan tipe pola dan jumlah sulur ujung jari tangan antara populasi non sarjana, sarjana, dan doktor. Dari tipe pola yang dibedakan meliputi 3 tipe pola dasar, yaitu tipe pola arch, loop dan whorl. Kemudian dilakukan perhitungan indeks Dankmeijer, indeks Furuhata dan indeks intensitas pola. Dari jumlah sulur yang dihitung ialah rata-rata jumlah semua sulur (JSS), rata-rata jumlah sulur (tipe pola loop, tipe pola whorl), dan rentang rata-rata jumlah semua sulur. Data-data tersebut dianalisis menurut cara yang dilakukan oleh Holt (1968).
Hasil penelitian analisis tipe pola dan jumlah sulur ujung jari tangan dari sampel populasi non sarjana, sarjana, dan doktor menunjukkan bahwa:
I. Tipe pola ujung jari tangan
1. Ada perbedaan frekuensi tipe pola arch, tipe pola loop dan tipe pola whorl antara sampel populasi, kecuali antara populasi sarjana dan doktor.
2. Indeks Dankmeijer yaitu indeks arch/whorl pada sampel populasi non sarjana lebih tinggi dari pada sarjana dan doktor.
3. Indeks Furuhata yaitu indeks whorl/loop pada sampel populasi non sarjana lebih rendah dari pada sarjana, dan doktor.
4. Indeks intensitas pola yaitu rata-rata jumlah triradii ujung jari tangan pada sampel populasi non sarjana lebih rendah dari pada sarjana, dan doktor.
II. Jumlah sulur ujung jari tangan
1. Ada perbedaan frekuensi rata-rata jumlah semua sulur (JSS) ujung jari tangan antara sampel populasi, kecuali antara populasi sarjana dan doktor.
2. Ada perbedaan rata-rata jumlah sulur tipe pola loop dan tipe pola whorl antara populasi, kecuali antara populasi sarjana dan doktor.
3. Ada perbedaan rentang rata-rata jumlah semua sulur antara non sarjana di satu pihak dengan populasi sarjana dan doktor di pihak lain.
Dari keterangan I dan II terlihat ada perbedaan antara populasi non sarjana di satu pihak, dengan populasi sarjana dan doktor di pihak lain.
Menurut Holt (1968) untuk membedakan antar populasi, umumnya dipakai indeks Dankmeijer. Pada populasi non sarjana, populasi suku Jawa (Satmoko, 1981), dan populasi umum (Rafiah dkk, 1979; Sutanto, 1989) ditemukan adanya persamaan indeks Dankmeijer, yaitu di atas 6. Sebaliknya populasi sarjana dan doktor, serta pada populasi mahasiswa (Tadjudin dkk, 1970; Suhadi, 1974) mempunyai persamaan indeks Dankmeijer, yaitu di bawah 6.
Selain itu untuk membedakan antar populasi menurut Pollitzer & Plato (1979), digunakan rata-rata jumlah semua sulur ujung jari tangan. Pada populasi non sarjana, dan populasi umum (Rafiah dkk, 1979; Sutanto, 1989), mempunyai persamaan rentang rata-rata jumlah semua sulur ujung jari tangan, yaitu 124-135. Sedangkan pada populasi sarjana dan doktor dengan populasi mahasiswa (Suhadi, 1974), ada persamaan rentang rata-rata jumlah semua sulur ujung jari tangan, yaitu 143-151.
Kesimpulannya, ada 2 lapisan masyarakat Indonesia berdasarkan dermatoglifi ujung jari tangan. Pertama, lapisan masyarakat dengan indeks Dankmeijer di atas 6, dengan rentang rata-rata jumlah semua sulur 124-135. Kedua, lapisan masyarakat dengan indeks Dankmeijer di bawah 6, dengan rentang rata-rata jumlah semua sulur 143-151.
Terjadinya variasi dermatoglifi ujung jari tangan antara kedua lapisan masyarakat tersebut di atas, disebabkan karena adanya seleksi, dan faktor lain yang menyebabkan terjadinya variasi dermatoglifi di antara dua lapisan masyarakat, yaitu kemungkinan karena adanya isolasi reproduksi.

The Dermatoglyphics of Finger Pattern Types and Finger Ridge Counts In Several Educational Levels In The Indonesian SocietyThe dermatoglyphics of finger pattern types and finger ridge counts can be applied to classify race, population and caste. The heritability of total finger pattern intensity and total finger ridge counts is very high.
Variation in biological characters such as dermatoglyphic variation can exist due to various factors, like selection, isolation, and genetic drift. The population at different education levels can be used to detect differences between society levels based on dermatoglyphics, because at each higher level of educational selective processes are active.
The population sample of this research is derived from several levels of Indonesian society and educational strata consisting of no graduate, graduate, and PhD populations. The non-graduate population consists of people who have never had tertiary education, while the graduate and the PhD population consist of people who are graduates from a university.
The purpose of the present study is to know whether there are differences in finger pattern., types and finger ridge counts between the non graduate, graduate, and Ph.D populations. Pattern types are classified into three basic pattern, i.e. the arch, loop, whorl. Furthermore the Dankmeijer index, the Furuhata index, and the pattern intensity index are also calculated. Finger ridge counts performed are the mean total finger ridge counts, the mean ridge count of loops and whorls, and the range of the mean total finger ridge counts. These data are analyzed according to the method used by Halt (1968).
The results of analysis of the finger pattern type and finger ridge counts of the non-graduate, graduate and PhD population samples show that:
I. The finger pattern type:
1. There are significant differences in arch, loop, and whorl between population samples, except between the graduate and the PhD populations.
2. The Dankmeijer's index, or the arch/whorl index of the non-graduate is higher than the graduate and the PhD populations.
3. The Furuhata's index, or the whorl/loop index of the non-graduate is lower than the graduate and the PhD populations.
II. The finger ridge counts:
1. There are significant differences in the mean total finger ridge counts between the populations, except between the graduate and the Ph.D. populations.
2. There are significant differences in the mean ridge count of loops and whorls between the populations, except between the graduate and the PhD populations.
3. There are significant differences in the range of mean total finger ridge count between the non-graduate on one side and the graduate + Ph. D populations on the other side.
From the results described in I and II, it can be concluded that there are differences between the non graduate population on one side, and the graduate, PhD population on the other side.
In general, according to Holt (1968), the Dankmeijer index has been widely used to distinguish populations. In the non-graduate population, the Javanese population (Satmoko, 1971), and the general population (Rafiah et al., 1979; Sutanto, 1989), it has been found that the Dankmeijer index is above 6. On the other hand in the graduate and the Ph.D. populations also in student populations (Tadjudin et al., 1970; Suhadi, 1974) the Dankmeijer index is below 6.
To make a more detailed classification among populations, according to Pollitzer & Plato (1979), the total finger ridge counts can be used. In the non-graduate population and the general population (Rafiah et el., 1979; Sutanto, 1989) the range of the mean total finger ridge counts is between 124-135. While in the graduate + PhD populations and also in a student population (Suhadi, 1974), the range of the mean total finger ridge counts is between 143-151.
The conclusion of this study is that according to the pattern type and ridge counts, the three populations can be divided into two levels. The first is the level with Dankmeijer index above 6 and the range of the total finger ridge counts between 124-135, the second is the level with Dankmeijer index below 6 and the range of the total finger ridge counts between 143-151. The existence of dermatoglyphic variation between the two levels may be due to selection, and the possibility of reproductive isolation.
"
1990
D275
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Suryatni Harthayasa
"Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dapat merupakan lembaga pendidikan informal yang menampilkan berbagai bentuk peragaan tentang Indonesia. Meskipun demikian sampai seberapa jauh kegiatan dan penyelenggaraannya memperoleh tanggapan dari para pengunjung. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis perwujudan TMII sebagai lembaga pendidikan informal (2) menganalisis berbagai peragaan yang dilaksanakan oleh TMII melalui anjungan-anjungan daerah (3) menganalisis efektivitas kegiatan dan cara-cara penyelenggaraannya (4) menilai tanggapan masyarakat pengunjung terhadap berbagai hal yang ditampilkan oleh TMII melalui anjungan-anjungan daerah. Metoda yang digunakan ialah metoda deskriptif analisis dengan data kualitatif dan kuantitatif.
Data yang digunakan ialah data primer dan data sekunder. Obyek observasi antara lain: (1) Kualitas dan kuantitas misi dan kegiatan TMII melalui anjungan-anjungan daerah (2) Kualitas dan kuantitas hambatan dari pengelola obyek wisata budaya TMII (3) Kualitas kondisi Astagatra sebagai ketahanan budaya secara integral, holistik dan sistemik merupakan ketahanan nasional.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) perwujudan TMII sebagai lembaga pendidikan informal adanya perubahan prilaku individu atau masyarakat yang diakibatkan terjadinya proses interaksi informasi tanpa adanya pengaturan tertentu dan sering dilakukan tanpa sadar mencapai tujuan tertentu. Dalam merealisasikan proses tersebut diperlukan berbagai cara dari TMII dalam mengemas potensi yang ada sehingga dapat menarik masyarakat untuk berrekreasi. 2) Berbagai bentuk peragaan yang ditampillcan melalui anjungan-anjungan daerah pada umumnya sama baik yang bersifat statik maupun yang bersifat dinamis. Tetapi dalam melaksanakan aktivitasnya sangat bervariasi. (3) Efektivitas kegiatan dan cara-cara penyelenggaraannya pada umumnya sama antar anjungan daerah baik berupa pameran pertunjukan maupun pendidikan dan latihan, begitu pula dengan cara penyelenggaraannya baik secara mingguan atau bulanan, khusus dan insidentil, tetapi yang menjadi perbedaan adalah kualitas dan kuantitasnya. Disisi lain masing-masing Pemerintah Daerah mempunyai kemampuan yang berbeda sehingga dalam perkembangannya kurang baik yang dapat menimbulkan kecemburuan antar anjungan. (4) Tanggapan masyarakat pengunjung terhadap berbagai hal yang ditampilkan oleh TMII melalui anjungan-anjungan daerah secara bersama antara gatra geografi, gatra budaya dan gatra ekonomi sebesar 70% sedangkan 30% lagi dipengaruhi oleh faktor lain.
Pemeriksaan secara statistik untuk koefisien-koefisien ini sangat signifikan dengan uji statistik t, pengembangan dan pelestarian obyek wisata budaya TMII disarankan antara lain: (1) Keberadaan obyek wisata budaya TMII berpotensi untuk saling mengerti dan memahami perbedaan yang ada diharapkan partisipasi dan proaktif dari masyarakat luas dan khusus kepada pengelola TMII dalam melaksanakan misinya perlu ditingkatkan sesuai dengan dinamika masyarakat. (2) Perkembangan pembangunan obyek wisata budaya TMII hams memperhatikan ciri khas daerah dan tidak merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat maupun obyek wisata yang sudah ada. (3) Untuk lebih dikenal oleh masyarakat luas promosi perlu ditingkatkan dan khusus bagi anjungan daerah lebih banyak menampilkan pertunjukan atau pagelaran yang bemuansa budaya daerah. (4) Kontribusi TMII sebagai obyek wisata budaya dalam membina sating pengertian di dalam masyarakat majemuk Indonesia cukup positip sehingga dapat mempengaruhi wawasan nusantara dan ketahanan nasional, perkembangan lebih lanjut perlu diantisipasi budaya global yang berdampak negatif."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library