Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oentarto
Jakarta: Samitra Media Utama, 2005
352 OEN m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Pada hakekatnya undang-undang tentang pemerintahan daerah merupakan penjabaran dan pelaksanaan dari UUD 1945, terutama penjabaran dari pengaturan yang tercantum di dalam pasal 18...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Dengan terwujudnya otonomi daerah yang semakin luas, diharapkan setiap daerah tidak hanya berorientasi pada daerahnya masing-masing secara sempit....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Panitya Kongres Desentralisasi Daerah Otonom, 1955
352 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Nasroen
Groningen: J.B. Wolters, 1951
352 NAS m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Sabarno
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
352 HAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muntoha
"Lahirnya dua undang-undang di bidang pemerintahan daerah yailu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, merupakan respons pemerintah terhadap tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan desentralisasi yang Iebih luas kepada daerah Implikasi dari kebijakan desentralisasi itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam lcuat, mulai menuntut diberlakukannya syari?at Islam secara formal untuk diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa peraturan daerah (Perda) yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim dipersepsikan sebagai ?Perda-perda Bernuansa Syari?ah?.
Perda-perda bernuansa syari?ah? itu, telah menimbulkan pro clan kontra di kalangan umat Islam sendiri sehingga dalam penelitian ini diaiukan satu rnasalah pokok: Bagaimana merespons aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberlakuan syari?at Islam scara formal ? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif sedangkan kerangka teoritis yang dibangun untuk pemecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori reoeptio a contrario, teori hirarki nonna hukum, dan teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan: Perrama, teori recepixb a contrario harus dipahami bahwa berlakunya syari?at Islam adalah sebuah keniscayaan; Kedua, teori hirarki norma hukum dimaksudkan untuk mengkaji aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan keberlakuan hukum secara yuridis, yang ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan harus diposisikan dalam konteks pelimpahan kewenangan penmdangan dari pemerintah kepada daerah-daerah otonom.
Dalam penlitian yang dilakukan terhadap beberapa produk ?Perda dan Qanun bernuansa Syari?ah?, baik pada daerah otonomi khusus maupun daerah lain yang berstatus ownomi biasa ditemukan adanya berbagai hal sebagai berikut: Perramag formalisasi pemberlakuan syari?at Islam di Indonesia memiliki landasan historis-yuridis yang sangat kuat sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UU`D 1945; Kedua, kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasoa reformasi berimplikasi pada adanya peluang bagi daerah-daerah untuk memberlakukan corak hukumnya masing-masing, termasuk pemberlakuan syari?at Islam; Ketiga, jenis-jenis ?Perda dan Qanun bemuansa syari?ah? yang telah diproduk beberapa pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari empat klasifikasi: (1) jenis perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti pelacuran dan perzinaan), (2) jenis perda yang terkait dengan fashion (keharusan mernakai jilbab dan jenis pakaian laixmya di tempat-tempat tertentu), (3) jenis perda yang terkait dengan ?keterampilan beragama (keharusan pandai baca-tulis A1-Qur?an), dan (4) jenis perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah). Hal ini pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan karena merupakan produk bersama antara eksekutif dan legislatif, tetapi dari aspek materi-muatan yang diatur di dalamnya banyak yang overlap dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat atasnya.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu ditinjau kembali atas beberapa produk perda dan qanun tersebut, baik melalui judicial review maupun executive review.
The establishment of two legislations on local government, namely Act No. 22 Year 1999 and Act No. 32 Year 2004, highlights government?s response toward demand of democratization during Reformation era by issuing more decentralization policy for local govemment. The policy of decentralization has also shown robust implication particularly on several regions which possess strong Islamic character. They inquired to enforce legal Islamic syari?ah formally to be implemented locally. Accordingly, local regulation or laws were issued to lay down some aspects of Islamic teaching which is otten labeled as ?syari?ah based local laws".
The ?syari?ah based local laws? has attracted public attention specially among Muslim communities which is focused on this research by presenting a basic question; I-low to respond communities aspiration toward formally Shari 'a-isation of PERDA (Process of Making Regional Regulations based on Islamic Syari ?ah) ? This research adopts a normative judicial approach, while theoretical framework is based on the theory of reception a contrario, theory of hierarchy of legislation, and theory of decentralization in the context of unitary state system. First, theory of reception a contrario must be tmderstood in the context of basic value which obviously requires the formalization of syari?ah Secondly, that of hierarchy of legislation aims to examine aspect of rule of law in terms of legal enforcement which is determined by validity of legislation hierarchy. Finally, that of decentralization in the context of unitary state system must be positioned in the context of distribution of authority from central to local governments.
Based on this research, either in selected local governments with normal autonomy or in special autonomy, some basic Endings that can he described are as follow; first, forrnalization of syari?ah law enforcement in Indonesia has got it strong historical-judicial principle according to Article 29 (2) of the 1945 Constitution; Secondly, decentralization or autonomy policy in Indonesia after the Reformation era has brought to condition where some local government might produce their local laws in accordance with their characteristics including Islamic syari?ah. Thirdly, types of Perda and Qonun with Syari?ah basis issued by local govemments in Indonesia could be classified into four segments; (1) Type of Perda which deals with morality of communities in general (Perda of Anti-Prostitution and Adultery), (2) that of Perda which deals modesty and fashion (obligation to wear scarf or modesty in public places), (3) that of Perda which deals with religious skills (ability to read and write Al-Qur?an), and (4) that of Perda which deals with social charity funds raising (zakat, infaq and shadaqah). Those Perda must not be seen as problematic matters since those are joint products between local legislative and executive bodies. However, the matters stipulated in those Perda have overlapped with other higher legislations.
Based on that proposition, it needs to be considered that all Perda and Qonun should be reviewed, either through judicial review or executive review.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D1062
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Yulistina Wardhani
"Turunnya rezim Soeharto membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Perubahan atau yang lebih dikenal dengan istilah reformasi terjadi disegala bidang. Sejalan dengan reformasi, pemerintah telah mengeluarkan satu paket Undang-Undang baru yang mengatur tentang otonomi daerah, yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah secara efektif berlaku mulai tanggal 1 Januari 2001. Menjelang berjalannya pelaksanaan otonomi daerah, isu tersebut semakin semarak dibicarakan oleh berbagai pihak. Termasuk diantaranya oleh media massa. Dalam menanggapi suatu realitas yang ada di dalam masyarakat, setiap media massa mengkonstruksi realitas secara berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Harian Banjarmasin Post dan Harian Kompas membingkai dan membahas isu otonomi daerah ? Apakah ada perbedaan antara surat kabar daerah dan pusat dalam menanggapi isu mengenai otonomi daerah ? Apakah isi pemberitaan pada Harian Banjarmasin Post dan Harian Kompas mendukung, menolak atau tidak berpihak (netral) terhadap isu otonomi daerah ? Peneliti menggunakan Metode Semiotik Sosial dari M.A.K Halliday dan Raquiyya Hassan, untuk menganalisis teks atau wacana mengenai isu otonomi daerah yang ada pada Harian Banjarmasin Post dan Harian Kompas. Harian Banjarmasin Post merupakan surat kabar daerah yang berbasis di Banjarmasin dan beredar di wilayah Kalimantan. Sedangkan Harian Kompas adalah surat kabar nasional yang berbasis di Jakarta dan beredar di seluruh Indonesia. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap wacana mengenai otonomi daerah pada Harian Banjarmasin Post dan Harian Kompas menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara kedua media ini dalam menampilkan isu otonomi daerah tersebut. Harian Banjarmasin Post yang merupakan surat kabar daerah mengangkat isu otonomi daerah dari sisi kesiapan daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Sedangkan Harian Kompas lebih banyak menonjolkan dampak negatif dan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Dalam wacana yang dibangun oleh harian Banjarmasin Post terlihat jelas bahwa media ini mendukung isu otonomi daerah. Banjarmasin Post lebih berpihak pada pemerintah daerah. Sedangkan Harian Kompas menampakkan kecenderungan bersikap kritis terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Harian Kompas lebih berorientasi pada perspektif pusat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S4205
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elis Kartina Widen
"Dengan mengingat Otonomi Daerah sebagai pendekatan baru dalam pembangunan nasional yang membutuhkan peran komunikasi dan kontribusi media massa, adanya pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan antara pemerintah dan masyarakat bersama pers didalamnya, masih bergulirnya masa transisi pers pasca reformasi dan kebutuhan bisnis pers untuk membuat produk berita yang 'menjual', maka melalui penelitian ini, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimanakah media massa mengemas pemberitaannya seputar pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk menyempitkan permasalahan dan memfokuskan penelitian, penulis memutuskan untuk mengambil studi kasus propinsi Kalimantan Selatan dan tiga media massa cetak lokal sebagai objek penelitian; Harian Radar Banjar, Harian Banjarmasin Pos dan Harian Kalimantan Pos. Secara spesifik, penulis hendak meneliti berita-berita tentang Peraturan Daerah, sebagai bentuk manifestasi legal kewenangan pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah setempat. Pertanyaan penelitian ini adalah, bagaimanakah pengemasan pemberitaan mengenai peraturan daerah di media cetak lokal propinsi Kalimantan Selatan? Untuk menjawabnya, penulis menggunakan Metode Critical Discourse Analysis (CDA) dari Norman Fairclough, atau yang sering disebut dengan analisis kritis wacana, yang menggali teks dan konteks dari suatu wacana mulai level teks, discourse practice dan socio-cultural practice. Pada jenjang analisis teks, dengan tetap berpedoman pada model Fairclough, kerangka analisis teks wacana yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari metode semiotika sosial dari M.A.K. Halliday. Berdasarkan analisis teks, perbandingan discourse practice ketiga media dan hasil studi sociocultural practice media, kesimpulan yang dapat ditarik adalah: Dalam pemberitaan mengenai peraturan daerah sebagai aspek dari implementasi Otonomi Daerah, ketiga media tersebut di propinsi Kalimantan Selatan, lebih tertarik untuk mengembangkan wacana konflik, baik yang sifatnya horizontal, antar elit penguasa, dan yang sifatnya vertikal, antara elite penguasa dan masyarakat, serta wacana kritik terhadap elite penguasa. Ini merupakan implikasi kondisi sosio-ekonomi-politik Indonesia terhadap pola pemberitaan di media massa. Wacana konflik dan kritik membuat berita tidak hanya mengandung unsur penting, namun juga lebih menarik dan lebih memiliki nilai jual. Namun hal penjalanan peran ini masih dalam koridior yang dapat ditolerir. Transisi Indonesia masih baru dimulai. Kinerja dan kepemimpinan pemerintah masih terus harus diperbaiki. Pers dan masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk terus mengingatkan pemerintah akan tugas dan tanggung jawabnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4244
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penulis artikel ini membahas masalah otonomi daerah. Pembahasan masalah ini dikaitkan dengan kerangka teoritis dan yuridis. Pembahasan otonomi daerah dilihat dari konteks teori modern dan klasik. Sedangkan kajian otonomi daerah dari segi yuridis dapat dilihat terutama pada UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Nasalah otonomi daerah ini berkaitan dengan hal-hal keuangan negara, pajak negara, dan juga pembagian hasil sumber daya alam yang tersedia di suatu negara. Selain diatur dalam UU No. 5/1974, otonomi daerah juga diatur dalam UUD 1945."
Hukum dan Pembangunan Vol. 26 No. 4 Agustus 1996 : 340-350, 1996
HUPE-26-4-Agt1996-340
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>