Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutrisno
"Negara Orde Baru, yang jauh dari format demokratis, agresif menyebar instrumen sosialisasi sebagai upaya pelanggengan sistem politik. Namun secara teoritik, sosialisasi tidak selalu berhasil secara lengkap, diantaranya dipecah oleh kekuatan imperatif kelas sosial.
Tesis ini mengangkat prerskripsi tersebut. Penelitian dilakukan di Kota Rangkasbitung pada lima bulan menjelang Mei 1998 (Reformasi).
Urgensi penelitian ini disamping persoalan praktis bagi para aktor pengambil kebijakan bertalian dengan upaya perolehan kesempatan pembangunan dengan (bentuk) perilaku politik juga merupakan tanggapan terhadap fenomena kesenjangan atau kelas. Pada tataran teoritik, dalam pendekatan Struktural Fungsional bahwa sosialisasi merupakan proses pelestarian sistem politik, dalam kajian ini proses itu diduga terpecah melalui persoalan kelas sosial.
Kajian masalah itu dilakukan terhadap 100 responder, masing-masing 50 responden untuk setiap kelas sosial melalui sampling purposive, ini tahap pertama. Tahap berikutnya, diambil 2 (dua) informan dalam indeepth interview untuk masing-masing kalas sosial, yang didasarkan pada bentuk okupasi public servant dan bentuk okupasi yang mandiri. Responden berusia berkisar antara 18 sampai 30 tahun. Secara demografi-politik, usia ini adalah generasi baru yang tidak tersentuh oleh perjuangan `45 atau apapun yang berhubungan dengan G 30 S-PKI, tidak ada yang trauma politik . Mereka adalah produk sosialisasi Orde Baru.
Data disusun dalam bentuk tabel silang untuk memudahkan analisa pada keterkaitan antar variabel. Bahasan diurai secara naratif analitik, dimaksudkan paparan data bukan sekedar sajian langsung dari tabel kuesioner dan informan yang sepenuhnya tafsiran peneliti (yang memungkinkan peluang dramatis). Melainkan tafsiran didasarkan rasionalitas teori dan perbandingan dengan penelitian yang lain. Ini dilakukan pada setiap ujung pembahasan bab dan sub-bab atau tema.
Seperti layaknya penelitian sosialisasi mengungkap proses ragam institusi sosial yang tersedia dalam masyarakat yang membangun pengetahuan, nilai dan sikap serta kepedulian. Dalam kerangka tersebut pertanyaan besarnya : bagaimana anak muda kota dalam proses pembentukan orientasi politik dalam kaitannya dengan kelas. Untuk membantu memahami gejala tersebut digunukan Poi ver Perspective dan Sociological Knowledge Approach.
Temuan penelitian tesis ini dalam bagian Kesimpulan disajikan dalam beberapa tesa. Pertama, peran keluarga dalam kelas atas lebih nyata sebagai agen sosialisasi politik, sementara pada kelas bawah peran itu dilakukan oleh peers-group ketetanggaan. Kedua, Orang tua yang menjadi figur publik cenderung memberikan kontribusi terhadap tingkat kepedulian politik anak. Ketiga, institusi agama pada masyarakat kelas atas cenderung bersifat politis sehingga sebagai agen sosialisasi politik lebih menonjol. Keempat, institusi agama pada kelas bawah cenderung sarat dalam wacana sufistik, sehingga memberikan kesan pada bentuk sosialisasi nilai politik yang bersifat konformis secara politik atau pro-state. Kelima, kelas atas lebih memahami aturan main politik, sementara pada kelas bawah lebih memahami peristiwa politik. Keenam, pada kelas bawah demokrasi dipandang dalam kerangka formalistik - institusional, sementara pada kelas atas demokrasi lebih dilihat dari sisi substansi (isi). Ketujuh, nilai - nilai demokratis lebih baik dikalangan anak muda kelas atas. Kedelapan, anak-anak muda kelas atas cenderung bersikap responsif-konservatif terhadap persoalan politik tingkat lokal, sementara pada anak muda kelas bawah terhadap persoalan yang sama bersikap apatis. Kesembilan, anak muda pada kelas bawah bersikap fatalistik terhadap sistem meritokrasi politik dan ekonomi, sementara pada anak muda kelas atas bersikap optimistik bahwa sistem meritokrasi tersebut dapat dibangun, Kesepuluh, bagi anak muda kelas atas terhadap isu politik lokal menunjukkan kepedulian yang lebih tinggi. Sementara terhadap isu kesenjangan ekonomi kepedulian yang tinggi lebih ditunjukkan oleh anak muda dari kelas bawah.
Temuan lain, nampaknya menarik untuk diangkat, bahwa eksklusivisme cenderung dibangun melalui struktur kelas (struktur sosial vertikal) daripada struktur sosial horizontal. Dan, anak muda di kedua kelas cenderung konservatif terhadap nilai agama, tetapi lebih moderat dalam soal suku atau etnis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azmi
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pola sosialisasi politik pada organisasi mahasiswa dan implikasinya terhadap pola partisipasi politik mahasiswa. Sejumlah studi berpandangan bahwa terdapat pola sosialisasi politik yang dilakukan dengan menggunakan agen sosialisasi politik media sosial bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik pemilih pemula, termasuk mahasiswa, dalam politik elektoral, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu, terdapat pula studi-studi yang menemukan pola sosialisasi politik yang dilakukan oleh agen sosialisasi politik teman sebaya dalam lingkup mahasiswa ditujukan sebagai sarana bagi pembentukan calon pimpinan beragam organisasi mahasiswa. Peneliti setuju dengan gagasan tentang dua pola sosialisasi politik bagi mahasiswa yang dibahas dalam studi-studi tersebut. Namun, peneliti tidak sepakat dengan implikasinya terhadap pola partisipasi politik yang hanya menempatkan mereka sebagai pemilih atau yang dipilih (pimpinan organisasi). Peneliti berargumen bahwa kedua pola sosialisasi tersebut juga dapat menciptakan mahasiswa yang terlibat secara kritis dalam politik, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai warga negara. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam yang dilakukan kepada pengurus organisasi mahasiswa di Universitas Indonesia dan mahasiswa Universitas Indonesia secara umum.

This study aims to explain how the pattern of political socialization in student organizations and its implications for the pattern of student political participation. A number of studies are of the view that there is a pattern of political socialization carried out using social media political socialization agents aimed at increasing the political participation of novice voters, including students, in electoral politics, both at the national and local levels. In addition, there are also studies that find patterns of political socialization carried out by peer political socialization agents within the scope of students intended as a means for the formation of prospective leaders of various student organizations. Researchers agree with the idea of two patterns of political socialization for students discussed in these studies. However, researchers disagree with the implications for patterns of political participation that only place them as voters or elected (leaders of organizations). Researchers argue that both socialization patterns can also create students who are critically involved in politics, both as students and as citizens. The data in this study was obtained through a qualitative approach with data collection techniques using in-depth interviews conducted with student organization administrators at the University of Indonesia and University of Indonesia students in general."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhana Ulfa Azis
"Keterlibatan artis di dalam dunia politik khususnya di partai politik sudah berlangsung sejak dari Orde Lama hingga Pasca-Orde Baru. Namun pada kedua masa pemerintahan itu keterlibatan artis sangat terbatas karena hanya sebagai pendukung ideologi politik pemerintah yang otoriter. Sehingga yang terjadi adalah artis berpolitik hanya sebagai pajangan dan penghias, serta penghibur belaka dan hanya terbatas pada kepentingan artis untuk mempertahankan status dan profesinya agar penguasa membiarkannya hidup. Karena kekuatan otoriter pemerintah maka potensi keartisan sebagai pencipta karya budaya menjadi terbatas ditambah lagi dengan keterbatasan media sebagai mitra artis dalam mempopulerkan dunia keartisan.
Namun ketika keadaan relatif berubah setelah Soeharto jatuh oleh gerakan pro-reformasi pada bulan Mei 1998, terutama menjelang dan pasca-pemilu tahun 1999, kesadaran artis mulai berubah dari sekedar melaksanakan fungsi `penghibur politik' menjadi aktivis politik untuk melaksanakan peran politik yang lebih dalam. Dan menjadi sangat menarik lagi ketika menjelang pemilu 2004 dimana para artis ramai-ramai memasuki partai politik dan menjadi calon legislatif untuk selanjutnya dapat duduk parlemen. Perubahan itu membuat pula sejumlah faktor-faktor penyebab masuknya artis dalam partai politik semakin bervariasi.
Metode penelitian yang digunakan studi ini meliputi lima aspek. Pertama, pendekatan kualitatif. Kedua, tipe penelitian deskriptif analitis. Ketiga, teknik pengumpulan data dengan studi dokumentasi dan dilengkapi dengan wawancara. Keempat, teknik analisis dengan kualitatif.
Dengan penggunaan metelogi penelitian tersebut di atas studi ini akhirnya menghasilkan sejumlah temuan-temuan baru. Adapun hasil dari penelitian adalah :
Pertama, faktor popularitas, yang melihat pecan media massa dan. Sehingga terbentuknya image baru para artis berpolitik. Kedua, faktor tujuan politik artis yang melihat orientasi politik artis melalui agenda, visi dan misi politik para artis. Ketiga, faktor self identification yaitu faktor pengidentifikasian diri atas kemampuan berpolitik yang ditinjau dari faktor kecakapan politik, dengan melihat sosialisasi politik (political socialitation) dan pengalaman politik (political experiences), faktor kemampuan ekonomi, dan faktor nilai lebih keartisan. Ketiganya merupakan sejumlah temuan dari faktor yang mendorong artis masuk partai politik.
Faktor popularitas (public figure) bagi artis sebenarnya merupakan potensi yang inheren dengan profesi keartisannya. Artis populer karena banyak disukai orang atas karya seninya maupun gaya hidupnya Melalui media seperti televisi sebagai lembaga industri dan komersialisasi gaya hidup artis yang sedang berpolitik semakin populer. Popularitas artis berpolitik juga menimbulkan image baru yang menandai keseriusan para artis untuk menampilkan kemampuan dan intelektualitas berpolitik. Artis berpolitik kemudian menjadi topik menarik di tengah masyarakat. Dengan menyandang popularitas dan intelektualitas artis tidak hanya menarik perhatian masyarakat tetapi juga sejumlah partai politik kembali mengajak artis bergabung di partainya dan menjadikannya sebagai calon legislatif. Hal ini cukup membuktikan bahwa masuknya artis dalam partai politik merupakan konsekwensi logis dari popularitasnya (public figure).
Faktor tujuan politik artis terlihat dari nisi, mini dan agenda politik para artis yang sesungguhnya didasari dari persepsi para artis terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dianggap belum cukup maksimal memperlihatkan hasilnya. Walaupun tujuan politik mereka beragam namun mereka berkeyakinan bahwa mereka akan berbuat lebih baik demi rakyat dan bangsa
Faktor kecakapan politik yang terdiri dari sosialisasi politik dan pengalaman politik merupakan faktor yang diakui oleh artis untuk menutupi alasannya masuk partai politik dan alasan partai politik yang merekrut artis karena kepopulerannya. Melalui kecakapan politiknya, artis sangat yakin dapat melaksanakan tanggung jawab politik bila kaiak dipercaya oleh rakyat menjadi wakilnya. Sosialisasi politik yang mereka dapatkan dari keluarga, pendidikan formal dan media komunikasi, dan pengalaman politik yang mereka telah ialui di organisasi sosial cukup membuat mereka yakin akan kemampuan dirinya. Dengan kecakapan politiknya pula artis merasa yakin kalau tidak terkalahkan oleh sejumlah politisi regular yang sudah lama menggeluti dunia politik.
Faktor berikutnya yang mendorong artis masuk partai politik adalah kemampuan ekonominya. Melalui kepemilikan uang yang tergolong tinggi memberi kesempatan besar bagi artis untuk masuk partai politik. Lebih dari itu dengan penghasilannya yang tergolong tinggi artis berharap dapat menepis seluruh anggapan bahwa keterlibatannya dalam partai politik adalah untuk mengejar uang.
Dan yang terakhir sebagai faktor identifikasi diri. Faktor ini sangat terkait dengan profesi keartisannya. Artis adalah penggelut dunis seni atau dunia estetika. Dari apa yang didapatkan dalam menggeluti dunia seni para artis mengakui bahwa mereka memiliki rasa sensitivitas yang tinggi. Dengan sensitivitas ini para artis berkeyakinan bahwa mereka mampu merespon aspirasi yang muncul terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang sedang terjadi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Gau Kadir
"Paul Allen Beck, mengemukakan bahwa penelitian sosialisasi politik dapat digolongkan dalam dua perspektif umum. Pertama, disebut perspektif pengajaran (the teaching perspective) yang menggambarkan sosialisasi politik sebagai proses melalui mana orientasi-orientasi politik diajarkan. Kedua, perspektif belajar (the learning perspective) yang menekankan pada aktivitas individu untuk belajar sendiri. Pengaruh perspektif pengajaran menjadi dominan setelah munculnya salah satu topik utama dalam penelitian sosialisasi politik yaitu peranan agen-agen sosialisasi politik.
Perhatian para ilmuan terhadap topik tersebut di atas dapat dilihat dalam beberapa tulisan. Tulisan Hyman Greenstein, Hess dan Torney, yang membatasi telaahnya pada penelitian empiris dan berusaha menggambarkan pengaruh masing-masing agen sosialisasi politik terhadap 2 pandangan politik individu. Di Indonesia studi sosialisasi politik telah dilakukan oleh para sarjana seperti Win Gandasari Abdullah, Stephen Arneal Douglas, yang lingkup studinya pada tingkat nasional. Sedangkan pada tingkat lokal (pedesaan), studi ini masih jarang dijumpai.
Khusus di Sulawesi Selatan studi sosialisasi politik pada masyarakat pedesaan dapat dikatakan belum ada. Walaupun ada tulisan mengenai sosialisasi politik, tetapi tidaklah merupakan perhatian utama. Fakta ini mendorong penulis untuk melakukan studi sosialisasi politik agar dapat dipahami agen-agen sosialisasi politik yang mana berperanan dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat mengenai sistem politik yang dikembangkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yaitu sistem demokrasi.
Pada dasarnya sistem politik demokrasi menghendaki adanya keseimbangan yang wajar antara hak dan kewajiban politik anggota masyarakat. Di dalam sistem teori, hak dan kewajiban politik melekat pada "komponen input" dalam sistem politik. Hak politik berkaitan dengan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik. Sedangkan kewajiban politik berhubungan dengan dukungan-dukungan yang diberikan kepada sistem politik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa di dalam sistem pengambilan keputusan yang demokratis, setiap anggota masyarakat di samping mempunyai hak politik untuk melakukan tuntutan, juga memikul kewajiban politik untuk mendukung sistem politik yang berlaku.
Meskipun demikian, dalam perkembangan sistem politik di Indonesia sering ditemui munculnya tuntutan-tuntutan yang berbeda-beda yang cenderung menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hal ini dapat diamati pada masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada periode pertama, muncul tuntutan-tuntutan masyarakat yang sangat besar jumlahnya, sementara kapasitas sistem politik belum mampu memenuhi semua tuntutan-tuntutan itu. Pemerintah belum mampu memanfaatkan kekayaan alam untuk melaksanakan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga partai-partai politik yang beroposisi sering melancarkan mosi tidak percaya kepada partai politik yang berkuasa, sehingga sering terjadi pergantian kabinet sebelum masa pemerintahannya berakhir. Keadaan ini menunjukkan lemahnya dukungan masyarakat terhadap sistem politiknya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harmaini Riza Danan Djaja
"ABSTRAK
Diketahui pada saat sekarang ini, masyarakat di Kotamadya Medan memiliki akses terhadap informasi, di bandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia, antara lain di samping TVRI Stasiun Medan, juga ada RTM -1, RTM -2 dan TV -- 3. Secara keseluruhan pemanfaatan siaran dari ketiga medium asing ini dipandang cukup murah dan tidak dipungut biaya.
Seperti halnya peluberan siaran dari TV - 3 Malaysia di Kotamadya Medan, merupakan salah satu aspek dari kemajuan teknologi komunikasi. Tentunya sedikit banyak dapat dimengerti akan membawa pengaruh. Dalam hal ini banyak kaitannya dengan aspek-aspek lain, seperti karakteristik sumber komunikasi, liputan isi media, serta perilaku khalayak.
Masalahnya, adalah sampai seberapa jauh aspek-aspek tersebut turut berperan dalam menentukan tanggapan khalayak terhadap sosialisasi politik. Terutama bila khalayak berhadapan dengan masalah dampak dari isi dari pengenaan medium asing ini. Dengan demikian penelitian mengenai dampak pengenaan TV- 3 terhadap sosialisasi politik yang dilakukan, dilihat dari signifikansi akademis dibatasi pada upaya untuk mengkaji hubungan antara motivasi dan kondisi dari penggunaan media oleh khalayak.
Guna menjaga validitas dan reabilitas penelitian yang dilakukan, penggunaan model Uses and Gratifications sebagaimana yang dikembangkan oleh pendirinya ( Katz, Blumler dan Gurevitch 1974 : 20 ) sangat membantu penulis. Dalam arti, penggunaan model teoritis ini digunakan, karena diyakini sebagai suatu Cara untuk mencapai jalan pikir yang sistematis dan rasional dari proses penelitian yang dilakukan.
Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis data, diketahui bahwa dampak dari pengenaan siaran TV - 3 terhadap khalayak lebih bersifat sebagai peluberan informasi saja, dan bila dikaitkan kepada sosialisasi politik itu sendiri hubungannya sangat lemah. Maksudnya, khalayak hanya menggunakan TV - 3 ini sebagai sarana untuk menambah akses terhadap informasi saja.
Dengan demikian tentunya hal ini telah memberikan jawaban secara langsung terhadap prasangka oleh sementara orang di daerah ini, yang cenderung menyatakan bahwa peluberan informasi dari TV - 3 di Kotamadya Medan dapat menurunkan rasa nasionalisme terhadap masalah-masalah pembangunan di wilayah ini telah terbukti. Bahwa pada kenyataannya hal itu tidak dapat diterima begitu saja, dan melalui penelitian ini telah banyak ditunjukkan berupa bukti dan alternatif jawaban dari letak permasalahan yang merupakan salah satu sarana yang mengajarkan kepada anggota khalayak agar dapat berfungsi di lingkungan masyarakatnya. Maksudnya media massa seperti TV - 3 bukanlah salah satu indikator yang menentukan dalam suatu proses sosialisasi politik.
Tentunya hal ini dapat ditunjukkan melalui data di lapangan, bahwa pada umumnya kecenderungan khalayak untuk memirsa siaran yang ditayangkan oleh TV - 3 hanyalah sebagai alat hiburan saja. Dengan demikian dapat diketahui, bahwa pengaruh yang ditimbulkan akibat dari pengenaan siaran TV - 3 belum begitu kuat dampaknya untuk mempengaruhi sosialisasi politik khalayak di daerah ini.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etin Nurhaetin Ningrum
"

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya Barat sebagai suatu peradaban baru yang lebih maju sebagai  fenomena global yang memengaruhi dan mengubah tatanan peradaban dan geopolitik dunia. Konsep sekuler Ali Abd ar-Raziq dan Soekarno merupakan produk dari fenomena tersebut. Studi ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan: pertama, bagaimana latar belakang faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pemikiran Negara Sekuler Ali Abd ar-Raziq di Mesir serta pemikiran Negara Pancasila Soekarno di Indonesia; kedua, Bagaimana kedua konsep pemikiran tersebut? dan ketiga, bagaimana perbandingan pemikiran-pemikiran tersebut. Penelitian ini menggunakan teori Negara Sekuler, Negara Pancasila. Sosialisasi Politik dan Perbandingan Politik. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif-analitis dengan memakai studi kepustakaan.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut disebabkan  perbedaan latar belakang, pendidikan, dan wawasan keagamaan. Soekarno adalah seorang politisi, negarawan, dan nasionalis radikal, sedangkan  Ali Abd ar-Raziq adalah seorang ulama, akademisi, dengan wawasan Islam yang luas dan modern. Keduanya ingin memisahkan Islam dan Negara, namun tujuan mereka berbeda. Ali Abd Ar-Raziq lebih cenderung ingin memurnikan Islam dari  politik yang dianggapnya kotor, sedangkan Soekarno ingin me’muda’kan agama dan menempatkannya di tempat yang mulia. Persamaan kedua pemikiran tersebut disebabkan oleh kondisi politik global. Pada saat itu, terjadi kolonialisme Barat yang menyebarkan pemikiran dan gagasan sekularisme. Di Timur Tengah, politik regional dipengaruhi oleh melemahnya Turki Usmani dan penjajahan Barat. Di Indonesia, politik regional dipengaruhi oleh bangkitnya nasionalisme negara-negara Asia terhadap kekuasaan kulit putih.

Kesimpulannya, secara nasional kondisi politik yang terjadi di Mesir dan Indonesia menjadi sebab utama munculnya gagasan Negara Sekuler dari Ali Abd ar-Raziq dan Negara Pancasila dari Soekarno. Munculnya ide sekuler di Indonesia didorong dan dipengaruhi oleh semangat ingin merdeka dari penjajahan Belanda dan kaum ulama yang berpikiran terbelakang. Gagasan sekuler Ali Abd ar-Raziq di Mesir muncul sebagai reaksi untuk mencegah keinginan Raja Fu’ad  menjadi khalifah di Mesir. Soekarno memandang hubungan negara dan agama Islam harus dipisahkan. Ia bermaksud membawa Indonesia agar lebih maju seperti bangsa Eropa, sedangkan Ali Abd ar-Raziq memandang bahwa Islam harus dipisahkan dari unsur-unsur negara secara yuridis. Menurutnya, khilafah tidak mempunyai legitimasi dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun Ijma karena hal tersebut bukan merupakan institusi agama.

 


This study is based on the advancement and rise of Western civilization, a global phenomenon that affected and transformed the world’s civilization and geopolitics. It produced Both Ali Abd ar-Raziq’s and Soekarno’s secular concepts of the State.

This research aims to answer the following questions: First, what are the internal and external factors that affected Ali Abd ar-Raziq-s concept of the Secular State in Egypt and Soekarno concept of the Pancasila State? Second, what are the two concepts of the State? Third, what are the similarities and differences between the two concepts? This study uses the Secular State theory, the Pancasila State theory, the Political Socialization theory, and the Political Comparison theory. The method used is descriptive-analytical and the information are gathered through literary review.

The principal finding of this research reveals that the differences between the two is caused because of a difference in background, education, and religious knowledge. Soekarno was a politician, statesman, and radical nationalist. Ali Abd ar-Raziq was a religious scholar, as well as an individual with a broader and more modern Islamic knowledge. Although both aimed to separate Islam and the State, they had a different motivation. Ali Abd Ar-Raziq wanted to cleanse Islam from politics, while Soekarno wanted to renew Islam and place it in a noble position. The similarities between the two concept lies in the global political condition at the time. During that period, Western colonization had spread secularism. While in a regional scope, the political condition was affected by the weakening of the Ottoman Dinasty in the Middle East and secularism. The political condition in Indonesia was influenced by the rise of nationalism in Asian countries towards colonization.

Conclusively, the political condition in Egypt and Indonesia is the catalyst of Ali Abd ar-Raziq and Soekarno’s conceopt  of the State. In Indonesia, secularism were highly influenced by the fervor to be from Dutch colonization and religious leaders with outdated thoughts and  beliefs. While in Egypt, secularism was a reaction towards King Fuad’s desire to be a Caliphate in Egypt. Soekarno opined that religion and the state must be separated, while Ali Abd ar-Raziq believed that Islam has to be separated from the State in legal terms because the Al-Qur’an, Hadits, and Ijma does not give a caliph legitimacy to rule a State as it is not a religious institution.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayat
"ABSTRAK
Penelitian ini berusaha melihat pengaruh sosialisasi politik keagamaan menggunakan metode tarbiyah (pendidikan Islam) terhadap identifikasi dan loyalitas partai. Penelitian ini juga berusaha menguji hipotesis bahwa pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS) peserta tarbiyah lebih loyal dibandingkan pemilih PKS non-tarbiyah. Seluruh subjek penelitian (N=160) adalah mahasiswa pemilih PKS dengan rincian sebanyak 40 orang adalah pemilih PKS non-tarbiyah, dan 120 orang mahasiswa pemilih PKS peserta tarbiyah.
Menggunakan analisis Sructural Equation Modelling (SEM) hasil penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi politik keagamaan dengan metode tarbiyah merupakan prediktor yang positif dan signifikan terhadap identifikasi partai dan loyalitas PKS. Hasil uji multivariat (MANOVA) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara tiga kelompok tarbiyah (kelompok tersosialisasi tinggi, sedang, dan tidak ikut tarbiyah) pada kombinasi linear dari sejumlah variabel terikat. Lebih lanjut, uji univariat ANOVAs menunjukkan perbedaan signifikan antara tiga kelompok tarbiyah berlaku untuk setiap variabel terikat yaitu sikap keseluruhan, identifikasi partai, komponen identifikasi partai (afeksi, kognisi, ideologi, dan identitas sosial), dan loyalitas partai.Selanjutnya, nilai mean setiap variabel terikat menunjukkan bahwa semakin kuat sosialisasi tarbiyah yang diterima seseorang semakin kuat pula identifikasi dan loyalitasnya terhadap PKS.

ABSTRACT
This research trying to find the religious political socialization effect using tarbiyah (Islamic education) method upon party identification and party loyalty. This reseach also try to examine the assumption that tarbiyah participants are more loyal to Partai Keadilan Sejahtera (PKS) than non-tarbiyah. All this reseach respondents (N=160) are students who vote PKS in 1994 general election and devided into two category: participate with tarbiyah socialization (N=120) and non-tarbiyah (N=40).
By using Structural Equation Modelling (SEM) analysis, the results indicated that religious political socialization using tarbiyah method is a positif and significant predictor for party identification and loyalty to Partai Keadilan Sejahtera (PKS). The result of Multiple Analysis of Variance (MANOVA) tests indicated that there were significant difference among three tarbiyah socialization groups (highly, medium, and none-socialized) in linear combinations of the dependent variabels. Follow up univariate ANOVAs indicated there are a significant different among these groups for each dependent variabel; overall attitudes, party identification and its components (affect, cognition, social identity, and ideology), and party loyalty. In addition, the mean values of these dependent variabels indicated that more strongly tarbiyah socialization acquired by the partisan, will leads to more strong party identification and a loyalty to PKS.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library