Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haru Setyo Anggani
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ukuran Dento Kranio-Fasial Jurusan Vertikal pada populasi mahasiswa FKG-UI yang memiliki wajah selaras; proporsional, tidak ada disharmoni fasial, belum pernah dirawat ortodonsi serta mempunyai hubungan gigi geligi yang baik. Selain itu juga untuk mengetahui, apakah ada perbedaan ukuran tersebut di antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya diharapkan dapat dikembangkan pada populasi yang lebih luas sehingga akhirnya diperoleh norma-norma ukuran sefalometri komponen Dento Kranio-Fasial Jurusan vertikal yang sesuai dengan morfologi kranio-fasial berbagai populasi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sefalometri. Pada gambar hasil penjiplakan pada sefalogram, diukur 12 komponen Dento Kranio-Fasial Jurusan vertikal yang kemudian dihitung nilai-nilai Mean, Range dan Standard Deviasinya. Kedua belas komponen Dento Kranio-Fasial tersebut adalah: Tinggi wajah total anterior, Tinggi wajah anterior atas, Tinggi wajah anterior bawah, Tinggi ramus naandibula, Tinggi wajah total posterior, Tinggi wajah posterior atas, Tinggi wajah posterior bawah, Tinggi dentoalveolar anterior atas, Tinggi dentoalveolar anterior bawah, Tinggi dentoalveolar posterior atas, Tinggx, dentoalveolar posterior bawah dan sudut antara bidang Mandibula dan garis SN. Di antara laki-laki dan perempuan, ternyata terdapat perbedaan bermakna pada ukuranukuran Tinggi wajah total anterior, Tinggi wajah anterior atas dan Tinggi wajah total posterior. Diduga hal ini karena adanya dimorfisme seksual dalam ukuran. Sedangkan perbedaan bermakna ukuran Tinggi wajah posterior atas. dan Tinggi dentoalveolar posterior bawah kemungkinan lebih merupakan akibat tidak langsung adanya dimorfisme seksual dalam hal pola bentuk kranio-fasial. Secara garis besar, bila dibandingkan dengan norma-norma ras Kaukasoid, terlihat bahwa sampel penelitian ini lebih retruded. Hal tersebut terlihat pada isyarat-isyarat kecenderungan pola pertumbuhan yang lebih ke arah vertikal, tinggi dentoalveolar anterior atas dan bawah yang sedikit lebih panjang dan besarnya sudut SN-Hp.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Adi Ari Santosa, supervisor
Abstrak :
Indonesia telah mengadopsi tingkat panduan dosis yang direkomendasikan oleh IAEA BSS 115 untuk beberapa jenis pemeriksaan sejak 2003. Pengukuran dosis masuk permukaan (entrance surface dose /ESD) untuk kepala dan cervical spine dengan menggunakan TLD dilakukan atas 4 pesawat sinar-X pada 3 rumah sakit di Jakarta yang diberi kode 1D, 1F, 1H dan 3H dengan reseptor sistem Kodak CR (computed radiography). Pengukuran ESD juga dilakukan berdasarkan parameter eksposinya menggunakan metode kalkulasi. Juga dilakukan pengukuran ESD pada fantom kepala ANSI dengan tujuan untuk mendapatkan faktor konversi fantom-pasien yang akan berguna dalam pengumpulan data ESD tanpa pasien. Pelaksanaan penelitian dimulai dari penentuan ukuran standar orang dewasa Indonesia, uji fungsi pesawat sinar-X, preparasi TLD, pengambilan data ESD pasien dan diakhiri dengan pembuatan dan verifikasi fantom kepala ANSI. Sebanyak 20 orang pasien dewasa menjalani pemeriksaan kepala dengan 2 atau 3 proyeksi (AP/PA, lateral dan waters), dan 17 pasien dewasa menjalani pemeriksaan cervical spine dengan 2 proyeksi (AP dan lateral). Pengukuran ESD dengan TLD dengan cara menempatkan TLD pada kulit pasien pada pusat lapangan radiasi. Dari pengukuran ESD menggunakan TLD pada pasien didapatkan nilai ESD pada kuartil ke-3 sebesar 1.4 mGy mGy, 1.4 mGy, dan 2.1 mGy untuk pemeriksaan kepala AP/PA, lateral, dan waters, serta 1.3 mGy dan 1.4 mGy untuk pemeriksaan cervical spine AP dan lateral. Sedangkan dari metode kalkulasi didapatkan nilai yang lebih tinggi, yaitu 2.7 mGy, 1.8 mGy dan 5.2 mGy untuk pemeriksaan kepala AP/PA, lateral, dan waters, serta 1.5 mGy for AP and 2.3 mGy untuk pemeriksaan cervical spine AP dan lateral. Rasio antara ESD pasien dengan fantom yang disebut faktor konversi fantom didapatkan sebesar 0.64 dan 0.77 untuk skull AP/PA dan lateral. Dalam penelitian ini, nilai ESD lebih dipengaruhi oleh kebiasaan radiografer dalam penentuan faktor eksposi yang akan digunakan. Meski demikian, nilai ESD yang didapatkan cenderung lebih kecil daripada nilai referensi yang ada. Selain itu penggunaan fantom kepala ANSI akan sangat bermanfaat dalam pengumpulan data ESD mengingat jumlah pemeriksaan kepala cukup jarang. ......Indonesia has adopted radiation dose guidance levels recommended by IAEA BSS 115 for several diagnostic examinations since 2003. Measurements of entrance surface dose (ESD) for head and cervical spine using TLD (thermo luminescence dosimeter) were carried out with 4 X-ray machines at 3 hospitals in Jakarta which were coded by 1D, 1F, 1H and 3H with Kodak CR (computed radiography) receptor system. Based on exposure, ESD for these examinations were also determined. ESD measurements were also conducted on ANSI skull phantom aiming to get conversion factors of phantom to patient that will be useful in collecting ESD data without patients. This study began with determining Indonesian adult standard size, following by X-ray machine performance test, TLDs preparation, patient ESD measurement and ended with making ANSI skull phantom and ESD verification. There 20 adult patients for head examination with 2 or 3 radiography projections (AP/PA, lateral and waters), and 17 adult patients for cervical examination. The ESD was measured by TLD (thermo lunminiscence dosimeter), placed on the patient's skin, at the center of radiation field. From the patient's ESD measurement using TLDs, the 3rd quartile ESD values were 1.4 mGy mGy, 1.4 mGy, and 2.1 mGy for head examination of AP/PA, lateral, and waters, while for AP and lateral cervical spine were 1.3 mGy and 1.4 mGy. Whereas ESD values from the calculation method based on exposure were higher, i.e. AP/PA, lateral and waters head examinations were 2.7 mGy, 1.8 mGy, and 5.2 mGy respectively, and for AP and lateral cervical spine examination were 1.5 mGy for AP and 2.3 mGy. The ratio between patient ESD and phantom ESD, namely conversion factors, were 0.641 and 0.765 for AP/PA and lateral skull examination. In this study, ESD values found were more affected by technical habit of the radiographer in setting the exposure condition. In spite of that fact, it was found that these ESD values were still lower than references. Besides that, the usage of inhouse ANSI skull phantom will be beneficial for collecting ESD data considering the low frequency of head examinations.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29007
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
With more than 1,000 high-quality radiographs and illustrations, Oral Radiology: Principles and Interpretation, 7th Edition visually demonstrates the basic principles of oral and maxillofacial radiology along with their clinical application. First, you'll gain a solid foundation in radiation physics, radiation biology, and radiation safety and protection. Then you'll learn intraoral and extraoral imaging techniques, including specialized techniques such as MRI and CT. The second half of the book focuses on how to recognize the radiographic features of pathologic conditions and interpret radiographs accurately. This edition also includes new chapters on forensics and cone-beam imaging. Written by oral radiology experts Stuart White and Michael Pharoah, this book helps you provide state-of-the-art care! New to this edition: NEW chapter on cone-beam imaging keeps you current with emerging field requirements. NEW coverage of cone beam computed tomography (CBCT) includes more of the normal anatomy of cross-sectional images of the maxilla and mandible along with variations of normal anatomy. Contents
St. Louis, Missouri: Elsevier, Saunders, 2014
617.607 572 ORA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fachri
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Modalitas radiografi toraks merupakan pemeriksaan rutin dan tersedia di hampir setiap rumah sakit. Pengukuran secara kuantitatif berupa vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) maupun vascular pedicle-thoracic ratio (VPTR) melalui radiografi toraks dapat membantu dalam membedakan jenis edema paru dengan mengetahui titik potong rerata VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR. Metode: Penelitian dilakukan retrospektif dengan descriptive cross sectional pada 100 pasien dengan klinis edema paru yang telah melakukan radiografi toraks di ICU Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (RSCM) dalam rentang waktu Januari 2013 ? Desember 2015. Subjek dibagi menjadi edema kardiogenik dan non kardiogenik berdasarkan kombinasi pengukuran VPW dan CTR. Kemudian dilakukan pengukuran VPTR dan ditentukan titik potong rerata VPTR, sensitivitas dan spesifisitas berdasarkan kombinasi VPW dan CTR dalam membedakan edema paru. Hasil: Dari total 100 subjek penelitian di ICU RSCM dengan metode Receiver Operating Curve (ROC) didapatkan titik potong VPTR sebesar 25,1% dengan sentivitas 90,5% dan spesifisitas 86,1% dalam membedakan edema paru kardiogenik dan non kardiogenik. Selain itu diperoleh juga proporsi edema paru kardiogenik sebesar 21%, sedangkan edema paru non kardiogenik sebesar 79%. Kesimpulan: Titik potong VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dalam membedakan edema paru kardiogenik dan non kardiogenik.
ABSTRACT
Background and purpose: Pulmonary edema in critically ill patient were challenging in intensive care unit (ICU). Radiography of thorax is routine examination and widely available in almost every hospital. Measurement quantitatively of vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) and vascular pedicle-thoracic ratio in thorax radiography can help in differentiating the type of pulmonary edema through the cut off of VPTR based on combination VPW and CTR. Methods: Descriptive cross sectional restrospective in 100 patients with clinically pulmonary edema which have examined by thorax radiography at ICU RSCM in January 2013 to Desember 2015. Subject divided to cardiogenic and non cardiogenic pulmonary edema based on combination VPW and CTR. Then, VPTR were measured and the cut off of VPTR determined based on combination VPW and CTR in differentiaiting pulmonary edema. Results: From total 100 subject study at ICU RSCM using Receiver Operating Curve (ROC) metode, the cut off of VPTR is 25,1% with sensitivity 90,5% and specificity 86,1% in differentiating cardiogenic and non cardiogenic pulmonary edema. Beside that, the prevalence of cardiogenik pulmonary edema is 21% and non cardiogenic pulmonary edema is 79%. Conclusion : The cut off of VPTR based on combination VPW and CTR have significant sensitivity and specificity in differentiating cardiogenic and non cardiogenic pulmonary edema.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Webb, W. Richard (Wayne Richard), 1945-
Philadelphia : Wolters Kluwer, 2017
617.540.757 WEB t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard Rudy S
Abstrak :
Tujuan: Untuk menentukan apakah terdapat kesesuaian antara radiografi konvensional proyeksi oksipitomental buka mulut (1 proyeksi) dengan proyeksi standar yaitu oksipitomental, oksipitofrontal, dan lateral (3 proyeksi) pada pasien sinusitis dewasa. Bahan dan Cara: Gambaran radiografi konvensional 1 proyeksi dan 3 proyeksi, dan tomografi komputer sinus paranasal dari 43 pasien dewasa dengan klinis kecurigaan sinusitis dievaluasi. Temuan tomografi komputer maupun radiografi konvensional dikelompokkan dalam normal, sinusitis ringan, sedang dan berat. Dengan menggunakan tomografi komputer sinus paranasal sebagai baku emas, dihitung sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, kemudian dicari kesesuaian antara radiografi konvensional 1 proyeksi dengan 3 proyeksi. Hasil: Radiografi konvensional kurang dapat mendeteksi kasus sinusitis yang keparahannya ringan. Radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi dalam menyatakan sinusitis tanpa spesifikasi lokasi dan keparahan memberikan nilai sensitifitas 72% vs 75%, spesifisitas 71% vs 86%, nilai duga positif 93% vs 96%, dan nilai duga negatif 33% vs 40%. Akurasi keseluruhan radiografi konvensional 1 proyeksi terhadap 3 proyeksi adalah 72% vs 77%. Tidak didapatkan perbedaan statistik bermakna antara hasil radiografi konvensional 3 proyeksi dengan 1 proyeksi. Kesimpulan: Pemeriksaan radiografi konvensional standar sinus paranasal 3 proyeksi pada klinis kecurigaan sinusitis pada pasien dewasa dapat dibatasi pada proyeksi tunggal oksipitomental buka mulut saja. Nilai duga negatif radiografi konvensional yang rendah dalam menentukan sinusitis menyarankan hasil radiografi normal dalam keadaan kecurigaan sinusitis gagal untuk secara meyakinkan menyingkirkan adanya sinusitis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frommer, Herbert H.
St. Louis, Mo: Mosby, 2011
617.607 572 FRO r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iannucci, Joen M.
St. Louis: Elsevier Saunders, 2012
617.607 5 IAN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Soesilo Wibowo
Abstrak :
Telah dilakukan pengukuran penumbra berkas radiasi pesawat Cobalt-60 tipe FCC 8000F dengan diameter sumber 2,3 cm menggunakan metoda radiografi dan ionometri untuk berbagai kondisi fantom/material penghambur dan juga variasi luas lapangan. Pengukuran gammagrafi pada dmaks dan lapangan 10,6 x10,6 cm menunjukkan lebar penumbra memiliki rentang 1,4 sampai 1,9 cm. Pengukuran dosis penumbra menggunakan bilik ionisasi berbentuk silinder pada kedalaman 10 cm dengan SSD 80 cm memberikan hasil bahwa dosis penumbra dipengaruhi oleh lapangan radiasi, dan homogenitas medium. Kehadiran aluminium (l=5cm) dengan diameter (1,5, 2,2 dan 2,5 cm) dalam medium air pada umumnya menurunkan dosis penumbra. Medium gabus dengan ketebalan semakin besar akan menghasilkan dosis penumbra semakin rendah sebaliknya untuk lapangan yang semakin besar, dosis penumbra yang dihasilkan semakin tinggi.
Penumbra measurement has been done on Cobalt machine FCC 8000F with 2,3 cm diameter source using both gammagraphy and ionometry on several phantom condition, inserted absorber materials as well as different radiation fields. Gammagraphic measurement at dmax = 0.5 cm and 10.6 x 10.6 cm field showed penumbra in the range 0f 1.4-1.9 cm. Ionometric measurement at 10 cm depth showed strong effect of field size and inhomegeneity. Insertion of aluminum object (l=5 cm) with different diameter (1.5, 2.2 and 2.5 cm) caused decreasing penumbra dose. While on lung equivalent insertion material it tended to increase. Results in general showed the importance of extreme prudence in using such a large size Cobalt source for patient treatment.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
T21307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Martin Raja Sonang
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang : Tuberkulosis (TB) menempati urutan pertama sebagai penyebab pertama kematian akibat infeksi di Indonesia. Angka kesakitan TB di Indonesia semakin bertambah dengan semakin banyaknya kasus multi drug resistant(MDR) TB. Pemeriksaan foto toraks merupakan bagian penegakkan diagnosis TB paru, terutama untuk menegakkan diagnosis MDR TB pada saat awal kunjungan penderita TB. Sampai saat ini belum ada data di Indonesia mengenai perbandingan karakteristik lesi foto toraks MDR TB dengan lesi foto toraks drug sensitive (DS) TB. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan gambaran karakteristik lesi foto toraks MDR TB dengan lesi foto toraks DS TB. Bahan dan cara kerja : Penelitan ini dilakukan dengan studi retrospektif menggunakan data sekundefr dari rekam medic penderita yang berobat ke poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta selama periode Januari 2013 sampai Desember 2015. Pembacaan ulang foto toraks kunjungan pertama dalam semua rekam medik pasien MDR TB dan DS TB, dilakukan di bagian radiologi RSUP Persahabatan dan dibaca oleh spesialis radiologi konsultan toraks. Penilaian foto toraks meliputi morfologi, lokasi dan derajat lesi. Hasil : Gambaran foto toraks 183 penderita MDR TB dan 183 penderita DS TB memiliki lesi terbanyak berupa konsolidasi (57,4% vs 20,8%), kavitas (57,9% vs 6%), infiltrat (36,6% vs 66,7%). Kedua kelompok memiliki lesi terbanyak di lapangan atas paru kanan. Gambaran lesi bronkiektasis ditemukan terbanyak di MDR TB yaitu : 13,7% di lapangan tengah paru kanan. Kemlompok MDR TB memiliki kecenderungan derajat lesi luas lebih dominan dibandingkan DS TB(69% vs 27%). Kesimpulan : Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa lesi konsolidasi multiple dan kavitas multiple multiple lebih dominan pada MDR TB dibandingkan DS TB dan gambaran bronkiektasis unilobuler hanya ditemui pada MDR TB terutama di lapangan tengah paru kanan. MDR TB memiliki derajat lesi luas dibandingkan dengan DS TB
ABSTRACT Background: Tuberculosis (TB) is still rhe first cause of death due to infection in Indonesia. TB morbidity rate in Indonesia will had increasing with more cases of multi-drug resistant (MDR) TB. Chest x-ray is part of the diagnosis tools of establishing pulmonary TB, particularly for diagnosis of MDR TB at the early visit of TB patients. Until now there is no data especially in Indonesia regarding the comparison between chest x-ray lesion characteristics of MDR lung TB with chest x-ray lesions of drug-sensitive (DS) lung TB. Objective: The aims of this study to compare between lesions characteristic on chest x fray of MDR lung TB and lesions characteristicon chest x ray.of DS lung TB. Materials and methods: This research was conducted a retrospective study using seconday data from patients medical records medic in pulmonology department in Persahabatan Hospital Jakarta within period January 2013 to December 2015. Chest x-ray of the first admission of new cases of MDR lung TB and DS lung TB DS, were reviewed by thorax radiology specialist consultant carried out in radiology department of Persahabatan hospital. Assesment of chest x-ray include morphology, lesion location and degree of the lesions. Results: The comparison between chest x-ray lesions of 183 patiens with MDR TB and of chest x-ray lesions 183 patiens with DS TB of predominantly as multilobular consolidation (57.4% vs 20.8%), the multilobuler multiple cavity (57.9% vs 6%), multilobular infiltrates (36.6% vs 66,7%). Both groups had preferable location on the upper of the right lung. Bronchiectasis lesions had found most in MDR lung TB are : 13.7% mainly located in the middle of the right lung. MDR TB has a tendency estensive lesions was more dominant than the DS TB (69% vs 27%). Conclusion. the multiple consolidation and multiple cavity were more dominant in MDR lung TB compared to DS lung TB and unilobuler bronchiectasis lesion only found on MDR lung TB, especially in middle of the right lung. MDR TB on chest x-ray have extensive lesions more dominant than DS TB.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>