Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novi Aprilia Kumala Dewi
"ABSTRAK
Remaja mengalami masa pubertas, yaitu masa dimana terjadi perkembangan
menuju maturasi atau menuju tahap dewasa. Pubertas ini dialami oleh remaja,
khususnya remaja awal. Dari studi pendahuluan 36 dari 41 siswa SMPIT
Anugerah Insani telah mengalami salah satu ciri pubertas yaitu menstruasi
ataupun mimpi basah. Skripsi ini membahas tingkat pengetahuan siswa SMPIT
Anugerah Insani tentang perkembangan seksualitas remaja awal. Desain pada
penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif, yaitu menggambarkan
mengenai tingkat pengetahuan. Hasil menunjukkan bahwa terdapat 69,1%
responden (n=65) yang memiliki pengetahuan rendah. Responden yang memiliki
pengetahuan tinggi 30,9% (n=29). Responden rata-rata berusia 13 tahun dengan
jenis kelamin laki-laki berjumlah 57,4% dan sisanya perempuan. Mayoritas diasuh
oleh orang tua (97,8%, n=92). Informasi utama tentang perkembangan seksualitas
sebagian besar dari teman (44,7%, n=42).

Abstract
Adolescents experience puberty, which is the era of progress towards maturation
or to the adult stage. Puberty is experienced by young people, especially his early
teens. From a preliminary study 36 of the 41 students Islamic Junior High School
Anugerah Insani Bogor has been one of the traits of puberty is menstruation or
wet dreams. This study discusses the students' level of knowledge about the
development of the Islamic Junior High School Anugerah Insani early adolescent
sexuality. Design of the study is a descriptive design, which describes the level of
knowledge. The results showed that there were 65 respondents (69.1%) who had
low knowledge. Respondents who have high knowledge about 30.9% (n=29). The
average respondent was 13 years old. The majority are cared for by parents
(97.8%, n = 92). The main information about the development of sexuality mostly
from friends (44,7%, n=42)."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
S43137
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marselino Fau
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3255
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grin Rayi Prihandini
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh keterlibatan ayah terhadap psychological well-being remaja awal. Keterlibatan ayah ini dilihat dari sudut pandang anak sehingga anak menilai dan mempersepsi seberapa terlibat ayahnya. Keterlibatan ayah ini melingkupi kualitas afeksi yang diberikan dan keterlibatan dalam domain perkembangan anak. Keterlibatan ayah ini dapat berpengaruh pada kondisi psikologis anak yaitu psychological well-being terutama pada masa remaja awal ketika remaja membutuhkan dukungan sosial dalam menghadapi berbagai perubahan pada masa remaja. Pengukuran keterlibatan ayah dilakukan dengan menggunakan alat ukur Nurturant Fathering Scale (NFS) dan Reported Fathering Scale (RFIS) yang dibuat oleh Finley dan Schwartz (2004), sedangkan pengukuran psychological well-being dilakukan dengan menggunakan alat ukur Ryff?s Scales of Psychological Well-Being (RPWB) yang dikembangkan oleh Ryff (1989). Responden pada penelitian ini berjumlah 205 orang siswa SMP di beberapa wilayah Jabodetabek, yang termasuk dalam kategori remaja awal yaitu berusia 12-15 tahun. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari keterlibatan ayah, baik dalam hal kualitas afektif (R= 0,033, p < 0,05, one tailed) maupun dalam hal domain perkembangan anak (R=0,031, <0,05, one tailed), terhadap psychological well-being remaja awal.

ABSTRAK
The purpose of this research is to examine the effect of father involvement in psychological well-being of early adolescents. The father involvement was viewed from the children?s point of view that emphasizing children?s retrospective perceptions of their father involvement. The father involvement include quality of affection in father-child relationship and involvement in domains of children life. The father involvement can be effect the psychological conditions in children, that is psychological well being, especially in early adolescents when adolescents need social support to through many changes in adolecents. Father involvement was measured using Nurturant Fathering Scale (NFS) and Reported Fathering Scale (RFIS) that has been made by Finley dan Schwartz (2004), whereas the psychological well-being was measured using Ryffs Scales of Psychological Well-Being (RPWB) that has been developed by Ryff (1989). The respondents of this research were 205 junior high school students in Jabodetabek area, in early adolescents with the age of 12-15 years old. The result of this research shows that there is an effect of father involvement, in the context of affective quality of fathering (R= 0,033, p < 0,05, one tailed) and in the context of involvement in domains of childrens life (R=0,031, <0,05, one tailed), in psychological well-being of early adolescents.
"
2016
S64976
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Dwi Syafina
"Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren. Banyaknya peraturan dan tuntutan di pesantren bukanlah hal mudah untuk dijalani oleh para remaja awal. Mereka sangat rentan melakukan berbagai pelanggaran di sekolah yang merupakan indikator rendahnya subjective well-being in school. Padahal subjective well-being in school yang tinggi akan meningkatkan keberhasilan akademik dan membuat mereka memiliki kesehatan mental serta fisik yang baik. Salah satu faktor penting yang memengaruhi subjective well-being in school adalah school belonging. Di pesantren, para siswa diharuskan tinggal bersama dan lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dan para guru dibandingkan sekolah lainnya, sehingga seharusnya school belonging yang mereka miliki tinggi. School belonging juga merupakan kebutuhan penting bagi para remaja awal. Dengan demikian, remaja awal di pesantren seharusnya memiliki school belonging yang tinggi yang akan berhubungan dengan subjective well-being in school mereka. Responden penelitian ini terdiri dari 167 siswa remaja awal dari 4 pesantren di wilayah Depok dan Bogor. School belonging diukur menggunakan Psychological Sense of School Membership Among Adolescents dan subjective well-being in school diukur menggunakan Brief Adolescents rsquo; Subjective Well-Being in School Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren.

The purpose of this study is to know the relationship between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren. The number of rules and demands in pesantren is not easy for early adolescents. They are very vulnerable to violations in school that are indicators of low level subjective well being in school. In fact, high level of subjective well being in school can improve their academic success and have good mental and physical health. One important factor that affecting subjective well being in school is school belonging. In pesantren, students are required to live together and interact more with friends and teachers than any other school. That situation should make their school belonging higher. School belonging is an important needs for early adolescents. Thus, early adolescents in pesantren should have high level school belonging that will relate to their subjective well being in school. The respondents consisted of 167 early adolescents from 4 pesantren in Depok and Bogor. School belonging was measured using Psychological Sense of School Membership Among Adolescents and subjective well being in school were measured using the Brief Adolescents 39 Subjective Well Being in School Scale. The results showed a significant positive correlation between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salindri Dara Rizkita
"Latar belakang: SARS-CoV-2 dengan infeksinya yaitu COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi global. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk membatasi segala bentuk kegiatan social yang mengubah banyak aspek kehidupan, salah satunya adalah perubahan metode kegiatan bersekolah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan terkait pola aktivitas fisik pada anak usia 10-14 tahun selama pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia.
Metode: Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dalam jaringan untuk menghindari kontak fisik secara langsung. Jenis penelitian observasional dengan desain studi Cross-Sectional. Pengolahan data dengan analisis deskriptif, dilanjutkan analisis analitik bivariat dengan uji statistik chi-square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil: Diperoleh sebaran subjek berdasarkan usia yaitu usia 10-12 tahun 71.2% dan >12- 14 tahun 28.8%. Jenis kelamin perempuan 62.7% dan laki-laki 37.3%. Tingkat ketaatan protokol kesehatan yaitu 75.7% tidak taat dan taat 24.3%, Durasi kegiatan pembelajaran jarak jauh 0-3jam/hari 63.8%, >3-6jam/hari 32.8%, dan >6jam/hari 3.4%. Klasifikasi daerah, rural 36.2% dan urban 63.8%. Tingkat aktivitas fisik tinggi 51.4% dan tingkat aktivitas fisik rendah 48.6%. Tingkat aktivitas fisik berhubungan bermakna dengan usia (p=0.017), durasi PJJ (p=0.005), tingkat ketaatan terhadap protokol kesehatan (p=0.013), tidak berhubungan bermakna dengan jenis kelamin (p=0.059), dan daerah tempat tinggal (p=0.363). Uji multivariat didapatkan hubungan dengan tingkat ketaatan anak (p=0,005;OR=2,870) dan durasi PJJ (p=0,002; OR=2,768)
Kesimpulan: Prevalensi tingkat aktivitas fisik tinggi 51.4%. Faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik anak selama pandemi adalah usia dan faktor yang berhubungan kuat adalah durasi pembelajaran jarak jauh dalam sehari serta tingkat ketaatan anak terhadap protokol kesehatan
......Introduction: SARS-CoV-2 with its infection, COVID- is declared as a global pandemic. It makes the Indonesian government limit all social activities such as learning remotely method. Changes in many aspects raise questions regarding the pattern of physical activity in children aged 10-14 years.
Method: Data collected by online questionnaires, conducted by observational study with a cross-sectional design, processed with descriptive analysis, bivariate analytical analysis with chi-square test, and multivariate analysis with logistic regression test.
Result: The distribution of subjects based on age is 71.2% aged 10-12 years and >12-14 years 28.8%. Gender is 62.7% female and 37.3% male. The level of adherence is 75.7% obey and 24.3% disobey, the duration of learning is 0-3 hours/day 63.8%, >3-6 hours/day 32.8%, and >6 hours/day 3.4%. Regional classification, rural 36.2% and urban 63.8%. The level of physical activity is 51.4% high and 48.6% low. The level of physical activity significantly related with age (p=0.017), with learning duration (p = 0.005), and with the level of adherence (p=0.013). Not significantly related with gender(p=0.059) and with regional classification (p=0.363). The multivariate analysis found a strong relation with the level of adherence (p =0.005;OR=2.870) and learning duration (p=0.002;OR = 2.768) with physical activity.
Conclusion: The prevalence of high physical activity is 51.4%. Factors related to children's physical activity during the COVID-19 pandemic is children’s age and strongly related factors is the duration of learning and the level of children's adherence to health protocols"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dilla Tria Febrina G.
"Self-esteem merupakan penilaian afektif terhadap konsep diri yang terdiri dari perasaan berharga dan penerimaan yang dikembangkan dan dipertahankan sebagai konsekuensi kesadaran akan kompetensi dan umpan balik dari dunia luar (Guindon, 2010). Permasalahan self-esteem yang menurun pada remaja merupakan hal yang sangat krusial untuk dilakukan penanganannya karena berdampak pada beberapa area penting dalam perkembangan remaja, seperti prestasi akademik dan fungsi hubungan sosial. Subjek penelitian ini adalah seorang remaja laki-laki berusia 12 tahun yang memiliki karakteristik self-esteem rendah. Program intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan self-esteem subjek penelitian ini adalah teknik self-instructional training. Teknik self-instructional training dalam penelitian ini dilakukan melalui empat tahap menurut Harris (dalam Maag, 2018) yakni mengidentifikasi keyakinan diri negatif, melakukan dialog Socrates dan mempelajari positive self-talk, mempelajari langkah-langkah berperilaku dengan teknik selfinstruction, dan menentukan self-reinforcement saat berhasil mengatasi situasi. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah single-subject A-B-A design. Program intervensi terdiri dari 6 sesi intervensi dan 7 hari praktik yang dilakukan selama 2 minggu dengan durasi 1-2 jam/sesi. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES), observasi dan wawancara sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi, pencapaian tujuan pada setiap sesi, menunjukkan bahwa program intervensi self-instructional training terbukti efektif meningkatkan self-esteem remaja.
......Self-esteem is the affective judgments placed on the self-concept consisting of feelings of worth and acceptance which are developed and maintained as a consequence of awareness of competence and feedback from the external world (Guindon, 2010). The declining self-esteem problem in adolescents is crucial things because it affects important areas of adolescent development, such as academic achievement and social relations function. The subject of this study was a 12-years-old boy who had low self-esteem characteristics. Intervention program conducted to improve selfesteem used technique of self-instructional training. The technique of self-instructional training in this study was carried out through four stages that is identified negative self-beliefs, initiated Socrates dialogue and studied positive self-talk, studied the steps of behaving with self-instruction techniques, and determine self-reinforcement when successfully overcoming situations (Harris, in Maag, 2018). The research design used in this research is single-subject A-B-A design. The intervention program consisted of 6 intervention sessions and 7 days of practice for 2 weeks with duration of 1-2 hours/session. Based on measurements using Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES), observations and interviews before and after the intervention, achievement of objectives at each session, shows that self-instructional training have proven to be effective in improving adolescent self-esteem."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T49202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sara A. Laksmi
"Perilaku merokok mempakan sebuah keglatan yang dekat dengan kehldupan sehari-hari remaja. Periode nemaja mempakan sebuah window of vulnerability untuk mulai merokok, karena remaja pertama kail diperkenalkan dengan kebiasaan merokok yang dllakukan oleh teman-teman dalam peer groupnya, khususnya pada saat remaja berada di kelas 1 hingga 3 SMP (Kaplan, Sallis, & Patterson, 1993; Taylor, 1995). Remaja yang duduk di bangku sekolah tersebut umumnya adalah remaja yang bemsia 12 hingga 15 tahun, atau kelompok remajaawal (Konopka, dalam Pikunas, 1976). Meninjau banyaknya bukti yang menyatakan bahwa merokok Itu t^erbahaya, maka peneliti merasakan adanya kebutuhan untuk mencegah dan menanggulangi masalah merokok pada remaja-awal. Salah satu caranya adalah melalui iklan non-komersil anti-rokok.
Dunia periklanan biasa menggunakan informasl-informasi central dan peripheral dalam menyampaikan pesan promosionalnya (Peter & Olson, 1992). Yang termasuk dalam kelompok Informasi central adalah pemyataan-pemyataan spesifik, atau demonstrasi, mengenai atribut-atribut yang dimiliki oleh sebuah produk, termasuk bukti-bukti yang mendukung atribut-atribut tersebut. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok /jeripheial adalah bentuk informasl-informasi lain yang sama sekali tidak menyinggung produk yang ditawarkan (nonproduk), misalnya gambar yang tidak berhubungan langsung dengan produk, dan penggunaan model atau selebritis untuk menarik perhatian konsumen. Sikap konsumen terhadap sebuah iklan dapat mempengamhi sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan.
Peneliti tertarik untuk mengetahui sikap remaja-awal terhadap iklan nonkomersil anti-rokok yang dibuat dengan tema informasi central, dan sikap remajaawal terhadap iklan non-komersil anti-rokok dengan tema informasi peripheral. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengetahui iklan jenis apa yang lebih disukai oleh remaja-awal, sehingga dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap pesan 'jangan merokok yang disampaikan dalam kedua iklan tersebut. Dalam penelitian ini juga akan diukur hubungan antara sikap remaja-awal terhadap iklan non-komersil antirokok, dengan intensi mereka untuk tidak merokok. Penelian dilakukan pada 132 subyek, dengan karakteristik remaja-awal (usia 12 hingga 15 tahun), laki-laki dan perempuan, dan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan menggunakan incidental sampling. Setiap subyek memperoleh dua buah iklan (ikian central dan ikian peripheral), dan dua buah kuesioner Skala Lilkert yang mengukur sikap remaja-awal terhadap iklan nonkomersil anti-rokok. Untuk mengantislpasi efek dari umtan penyajlan iklan (efek primacy dan recency) terhadap sikap subyek terhadap iklan. maka penyajian iklan dibagi dua, yaitu penyajian iklan central kemudian peipheral, dan penyajian iklan peripheral kemudian iklan central. Hasil yang diperoleh dalam penelitian diolah dengan menggunakan teknik Coefficient Alpha dari Cronbach, persentase dan Chi Square, statistik deskriptif, dan korelasi Pearson Product Moment. Semua pengolahan data, dilakukan dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari umtan penyajian iklan terhadap sikap remaja-awal terhadap iklan. Penelitian ini menemukan bahwa sikap remaja-awal, positif terhadap iklan anti-rokok yang dibuat dengan informasi central, dan bersikap negatif terhadap iklan anti-rokok yang dibuat dengan menggunakan informasi peripheral. Penelitian ini juga menemukan ada hubungan yang signifikan dan positif antara sikap remaja-awal terhadap iklan central yang disajikan di umtan pertama dengan intensinya untuk tidak merokok, dengan korelasi sebesar .363 pada los .05 (2-tailed)', ada hubungan yang signifikan dan positif antara sikap remaja-awal terhadap iklan peripheral yang disajikan di umtan kedua, dengan intensinya untuk tidak merokok, dengan korelasi sebesar .683 pada los .05 (2-tailed). Kemudian, ada hubungan yang signifikan dan positif antara sikap remaja-awal terhadap iklan peripheral yang disajikan di umtan pertama, dengan intensinya untuk tidak merokok, dengan korelasi sebesar .427 pada los .05 (2-tailed); dan ada hubungan yang signifikan dan positif antara sikap remaja-awal perokok terhadap iklan central yang disajikan di umtan kedua, dengan intensinya untuk tidak merokok, dengan korelasi sebesar .309 pada los .05 (2-tailed).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembuatan iklan anti-rokok bagi remaja-awal sebaiknya mengguriakan informasi central. Hal ini berlaku, baik untuk mencegah remaja-awal untuk tidak merokok, ataupun untuk menanggulangi masalah merokok di kalangan remaja-awal. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah hendaknya dibuat iklan dengan kualitas isi dan penampilan yang lebih baik, dan jika menggunakan fear appeal dalam iklan, sebaiknya lakukan pengukuran fear arousal yang mungkin timbul. Kemudian, penyebaran kuesioner dilakukan dalam situasi yang lebih kondusif agar subyek lebih serius memberikan jawaban dan untuk menghindari terjadinya keija sama, dan jika memungkinkan, lakukan rapport terlebih dahulu dengan subyek penelitian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2815
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilsa Halim Suhadi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3478
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lerivia Maharani
"ABSTRAK
Pada remaja, Psychotic-like experience memiliki asosiasi dengan internalizing
problems. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan Psychotic-like
experience dengan internalizing problems. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan alat ukur Strength and Difficulties Questionnaire
(SDQ) untuk mengukur internalizing problems. Psychotic-like Experiences (PLE)
digunakan untuk mengukur kecenderungan psikotik. Partisipan penelitian ini
adalah remaja berusia 11-16 tahun yang tinggal di daerah rural di Karawang, Jawa
Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara Psychotic-like experience dengan internalizing problems.
Sebanyak 7% partisipan (n= 270) memiliki Psychotic-like experience. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui faktor yang berkontribusi terhadap
Psychotic-like experience.

ABSTRACT
Psychotic-like experiences have been found to have association with
internalizing problems among adolescents. This research aim to investigate the
correlation between psychotic-like experiences with internalizing problems.
The Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) was used to examine
internalizing problems. Psychotic-like Experiences (PLE) was used to examine
psychotic tendencies. A total 270 adolescents (aged between 11-16 years old)
who lives in rural area in Karawang participated in this research. In our study,
7% participants reported having more than two symptoms of PLE. The result
showed that there is no significant correlation between psychotic-like
experiences with internalizing problems. Further investigation are needed to
examine which factor that give contribution to PLE.
"
2016
S63089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khuzaima Adyasti
"Latar belakang: Maloklusi merupakan kondisi penyimpangan dari oklusi normal yang dapat ditangani dengan perawatan ortodonti. Perawatan ortodonti untuk sebagian besar kasus maloklusi idealnya dimulai saat periode awal gigi tetap, yaitu pada usia remaja awal. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi remaja usia 12-14 tahun di Indonesia dengan gigi berjejal adalah 14,5%, sedangkan remaja yang menerima perawatan ortodonti hanya 0,8%. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya kesadaran mengenai perawatan ortodonti. Belum pernah dilakukan penelitian pada remaja awal di Indonesia tentang kesadaran perawatan ortodonti.
Tujuan: Mengetahui distribusi frekuensi tingkat kesadaran perawatan ortodonti pada siswa SMPN 111 Jakarta.
Metode: Studi deskriptif dengan desain penelitian potong lintang pada 107 siswa SMPN 111 Jakarta yang berusia 12-14 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner yang diadopsi dari penelitian Shekar et al. (2017). Digunakan analisis univariat untuk menggambarkan distribusi.
Hasil: Rata-rata skor total dari kuesioner kesadaran perawatan ortodonti siswa SMPN 111 Jakarta adalah 25,34 sehingga termasuk dalam kategori sedang. Tingkat kesadaran mengenai perawatan ortodonti paling banyak berada dalam kategori sedang (45,8%), diikuti dengan kategori tinggi (33,6%) dan rendah (20,6%). Rata-rata skor total kesadaran perawatan ortodonti pada siswa perempuan adalah 26,55, sedangkan pada siswa laki-laki 24,13.
Kesimpulan: Tingkat kesadaran perawatan ortodonti pada remaja awal di SMPN 111 Jakarta termasuk dalam kategori sedang. Tingkat kesadaran perawatan ortodonti pada siswa perempuan lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki.

Background: Malocclusion is defined as the deviation of normal occlusion, which can be treated with orthodontic treatment. The orthodontic treatment for most of malocclusion cases are ideally initiated at the early permanent dentition period, that is around the age of early adolescence. According to Indonesian Health Survey 2013, the prevalence of adolescent aged 12-14 in Indonesia with crowded teeth is 14,5%, while those who received orthodontic treatment is only 0,8%. One of the reasons it happened is the lack of awareness regarding orthodontic treatment. The research has never been conducted to early adolescents in Indonesia regarding the awareness of orthodontic treatment.
Objective: To describe the distribution of the awareness level of orthodontic treatment in students of SMPN 111 Jakarta.
Methods: A descriptive study using cross-sectional design was held to 107 students of SMPN 111 Jakarta aged 12-14 years old. The level of awareness was measured using a questionnaire adopted from Shekar et al. (2017). This study was analyzed with univariate analysis.
Result: Mean total score of the questionnaire is 25,34, which fell into the moderate category. The awareness level of most students is moderate (45,8%), followed by high level of awareness (33,6%) and low level of awareness (20,6%). The mean total score of the questionnaire among female students is 26,55, while in male students is 24,13.
Conclusion: The awareness level of orthodontic treatment in early adolescents of SMPN 111 Jakarta is moderate. The awareness level of orthodontic treatment in female students is higher than male students."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>