Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Widiasih
"Berangkat dari fakta umum bahwa disparitas pidana merupakan salah satu masalah dalam sistem peradilan pidana, tingginya jumlah pelaporan kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di Bandar Lampung yang memasuki ranah sistem peradilan pidana, tidak dapat terlepas dari masalah disparitas pemidanaan. Dari latar belakang tersebut, tesis ini membahas perbedaan pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar Lampung. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilengkapi dengan wawancara yang bertujuan untuk menjawab permasalahan:(l)Mengapa terjadi disparitas pidana terhadap tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar Lampung,(2)Dampak disparitas pidana terhadap terpidana dan korban kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar Lampung,(3) Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir masalah disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga. Hasil penelitian menunjukaiTpenyebab terjadinya disparitas pidana bersumber pada din hakim, hukumnya sendiri, serta karakteristik kasus yang bersangkutan. Dampak disparitas pidana terhadap terpidana, terpidana merasa menjadi korban ketidakadilan namun tidak mempengaruhi pembinaan terpidana di Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan dampak disparitas pidana terhadap korban adalah korban menjadi korban kejahatan kekerasan dan korban dari sistem peradilan pidana. Upaya meminimalisir dapat dilakukan dengan dibentuknya pedoman pemidanaan dan menyamakan visi dan misi antara subsistem dalam sistem peradilan pidana. Tesis ini menyarankan agar harus ada kontrol negatif dari jaksa kepada hakim, dibentuknya suatu pedoman pemidanaan, peran aktif hakim wasmat dan diadakannnya Refreshing Course yang diikuti oleh subsistem sistem peradilan pidana.
......To start with general fact that disparity of sentencing is one of disturbing isssue of criminal justice system, The high value of number reported physical domestic violence crime at Bandar Lampung that entered to criminal justice system territory, can not realeas from disturbing isssue of criminal justice system. From that background, this thesis discuss the difference the imposition of penal sanction against the offender of physical domestic violence at Bandar Lampung legal territory. This research is the normative research that is supplement with the interview aim at answering the problem:(l)Why disparity of sentencing happened on the physical domestic violence at Bandar Lampung legal territory,(2) The impact of the disparity of sentencing on the convict and victim of physical domestic violence at Bandar Lampung legal territory,(3) Effort that could be carri out to minimise the disparity of sentencing of physical domestic violence. Result of reseach showed the cause of the occurrence of the disparity of sentencing originat in himself the judge, his law personally, as well as the characteristics of the relevant case. The impact of the disparity of sentencing on the convict, the convict felt the accus became in justice victim how ever did not influence the management of the convict in the correctional institulion. Whereas the impact of the disparity of sentencing on the victim, the victim of victim of violence and victim of criminal justice system. Effort that could be carri out to minimise could form by him sentencing guidelines and compar the point of view and the mission between the criminal justice system subsystem. This thesis suggested must be negative control from prosecutor to the judge, form by him sentencing guidelines, the active role wasmat judge and the holding refreshing course that is follow by the criminal justice system subsystem."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26108
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sumarwani
"ABSTRAK
Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau segala aspeknya sehubungan dengan usaha pembaharuan hukum pidana di negara kita. Dikatakan penting bahkan yang terpenting sebab hukum pidana acapkali dikiaskan para ahli sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain ada kalanya merenggut kemerdekaan seseorang untuk sementara, atau untuk selama-lamanya. Salah satu bagian terpenting dari hukum pidana yang perlu untuk diperbaharui tersebut, yang masih kurang mendapat perhatian ialah bagian mengenai Pemidanaan (Sentencing). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada akhirnya akan berpuncak pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan, harta benda, dan bahkan jiwa seseorang. Dalam sistem peradilan pidana adanya disparitas pidana yakni penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau tindak-tindak pidana yang berbeda-beda, tetapi beratnya pemidanaan bisa disebandingkan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan akan tergantung pada subyektivitas hakim. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah pemidanaan khususnya perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dewasa ini yaitu tujuan sistem peradilan pidana adalah selalu bersifat sejahtera baik tujuan jangka pendek berupa pengendalian kejahatan maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial.
Berbicara tentang pemidanaan dengan studi pada kasus korupsi mengandung maksud mengapa khususnya dalam pidana korupsi berkenaan dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan pada pelaku, tidak jauh berbeda dengan pidana pada saat sebelum UU No. 3 tahun 1971 diundangkan, sehingga pemidanaan pada tindak pidana korupsi seperti tidak sesuai dengan maksud pembentukan undang-undang dengan memperberat sanksi pidana. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi gagal. Sebab dalam praktek kenyataannya pidana yang dijatuhkan, disamping pidana badan juga dikenakan pidana denda dan pidana tambahan lain berupa pembayaran uang pengganti. Bahwa maksud dan tujuan UU No. 3 tahun 1971 adalah menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara yang pada hakekatnya adalah mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan oleh perbuatan korupsi tersebut. Untuk mencapai maksud itu, pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan- khusus yang memungkinkan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan cara yang cepat dengan prosedur khusus. Sejak berlakunya UU No. 3 tahun 1971 ternyata tujuan perundang-undangan ini di dalam praktek belum tercapai sepenuhnya.
Pemidanaan badan masih terdapat disparitas yang cukup tinggi dari putusan hakim yang satu dengan yang lain, demikian pula dalam hal penerapan pidana uang pengganti, pidana denda serta pidana tambahan yang lain. Di samping masih banyak persoalan yang menyangkut perbedaan pandangan dalam praktek peradilan, juga ternyata tidak semua perkara tindak pidana korupsi dijatuhi dengan pidana tambahan tersebut. Jadi pokok-pokok permasalahan menyangkut:
1. Di dalam praktek pidana yang dijatuhkan pada tindak pidana korupsi di samping pidana perampasan kemerdekaan juga dikenakan pidana denda, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, dan juga hukuman tambahan yang lain. Bagaimanakah untuk mencapai tujuan perundang-undangan ditetapkan pedoman yang jelas yang merupakan tindak lanjut usaha-usaha sinkronisasi pemidanaan korupsi, sudahkah pertimbangan-pertimbangan tersebut memenuhi syarat pedoman penjatuhan pidana yang bersifat obyektif teoritis.
2. Dalam penentuan pidana khususnya besarnya pidana denda dan pidana uang pengganti belum terdapat pedoman yang jelas mengingat tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana yang bersifat khusus, apakah pidana denda dan atau pidana uang pengganti tersebut diperhitungkan dengan nilai besarnya kerugian negara akibat korupsi tersebut?.
3. Bahwa maksud diadakannya UU No. 3 tahun 1971 adalah dalam rangka penyelamatan keuangan dan perekonomian negara. Sesuai dengan maksud ini permasalahannya adalah apakah pidana uang pengganti dan atau perampasan barang yang sebagian atau seluruhnya sebagai hasil dari korupsi tersebut dapat diganti dengan kurungan pengganti.
Dengan adanya berbagai permasalahan di atas walaupun dalam pelaksanaannya juga telah dikeluarkan petunjuk misalnya dengan Fatwa MA, Surat Edaran MA, Seminar oleh Kejaksaan Agung, dan sebagainya. Namun dalam penulisan tesis ini penulis ingin meneliti dengan cara mempelajari putusan-putusan kasus korupsi dan mengidentifikasi pendapat para hakim yang pernah memutus kasus korupsi sebagai penelitian lapangan, meskipun dalam penulisan tesis ini yang diutamakan adalah data kepustakaan yang berkaitan dengan hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dengan metode penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dapat diharapkan kegunaan penelitian ini bisa terwujud, yaitu:
1. Kegunaan teoritis bagi pengembangan ilmu khususnya mengenai stelsel pidana dan pemidanaan dengan segala aspeknya dalam tindak pidana korupsi yang menyangkut stelsel maupun pelaksanaan dan penerapan pidana itu sendiri sehingga diperoleh informasi yang faktual.
2. Kegunaan praktis untuk dapat menyajikan bahan-bahan keterangan untuk menunjang pembaharuan hukum pidana nasional.
Selanjutnya dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan kami tarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana untuk tiap kasus hakim harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif tindak pidana yang dilakukan, hakim harus memperhatikan sifat perbuatan dan keadaan diri pelaku, efek yang ditimbulkan, serta faktor pencegahan pengulangan perbuatan oleh pelaku dan menjerakan kepada orang lain, untuk tidak melakukan perbuatan serupa.
2. Penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana korupsi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan di atas. Walaupun demikian ternyata bahwa tinggi rendahnya pidana yang dijatuhkan masih dirasakan adanya disparitas pidana yang sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan pedoman pemidanaan korupsi sehingga tindakan pemidanaan dalam korupsi dapat diterima oleh masyarakat sebagai pidana yang adil.
3. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, dalam penjatuhan pidana terhadapnya di samping dapat dijatuhkan pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda, juga dapat dijatuhkan pidana tambahan yang bersifat khusus (yaitu pidana pembayaran uang pengganti). dengan tujuan mengembalikan kerugian uang negara sebagai akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti baru banyak diterapkan dalam praktek putusan pengadilan pada tahun-tahun terakhir ini dengan gencarnya tekad pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi dan membentuk aparatur negara yang bersih dan berwibawa dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Diperbedakan antara pidana denda dengan pidana uang pengganti. Pidana denda merupakan pidana pokok dan besarnya pidana telah ditentukan oleh undang-undang sendiri yaitu maksimum Rp 30 juta. Sedangkan pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan yang bersifat khusus dan besar kecilnya ditentukan sesuai dengan besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut. Sedangkan persamaannya pidana denda maupun pidana uang pengganti selalu dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok yang lainnya yaitu pidana penjara.
5. Di dalam praktek pengadilan tentang penjatuhan pidana denda dan pidana uang pengganti dalam putusan kasus korupsi untuk tindak pidana denda selalu disubsiderkan dengan pidana kurungan pengganti apabila denda tidak bisa dibayar. Sedang untuk pidana pembayaran uang pengganti belum ada kesepakatan dapat tidaknya diganti dengan pidana kurungan pengganti walaupun telah ada petunjuk Mahkamah Agung berupa Fatwa dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang eksekusi pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang isinya bahwa pidana uang pengganti tidak boleh disubsiderkan dengan kurungan pengganti.
6. Berdasar hasil penelitian di wilayah eks karesidenan Semarang:
a. Tentang pendapat hakim perihal pengembalian kerugian uang negara yang diakibatkan perbuatan korupsi dapat tidaknya seluruh harta terpidana baik yang diperoleh dari korupsi atau bukan untuk disita dan dibayarkan sebagai penggantian kerugian tersebut, hal ini masih terdapat perbedaan pendapat :
Pendapat I yang mendasarkan pada sifat hukum pidana sendiri yaitu harta / benda yang disita adalah harta I benda yang dipergunakan atau diperoleh dari perbuatan pidana.
Pendapat II oleh karena Undang-undang Tindak Pidana Korupsi mempunyai sifat dan ciri-ciri khusus yaitu melindungi kekayaan dan kepentingan negara sehingga untuk mengembalikan kerugian negara tersebut tidak dapat dibebankan seluruhnya pada harta kekayaan terpidana.
b. Perihal pendapat Jaksa Agung RI bahwa kerugian uang negara tersebut dapat ditanggungkan pada anak cucu terpidana terdapat perbedaan pendapat :
Pendapat I setuju oleh karena sifat khusus UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yaitu melindungi kekeyaan dan keuangan negara.
Pendapat II menolak oleh karena dalam asas hukum pidana seseorang tidak dapat dituntut pidana kalau seseorang itu tidak melakukan perbuatan pidana. Sehingga perbuatan pidana yang dilakukan seseorang tidak dapat dibebankan pidananya pada orang lain. Juga dalam hukum perdata dikenal asas bahwa seseorang hanya bertanggung jawab pada perbuatan yang dibuatnya.
c. Besarnya pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti apakah diperhitungkan dengan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Terdapat beberapa pendapat :
Pendapat I, karena pidana denda merupakan pidana pokok maka pidana tersebut tidak diperhitungkan dengan penggantian kekayaan negara yang dirugikan akibat korupsi; tapi melulu sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.
Pendapat II, baik pidana denda maupun pidana uang pengganti pada kenyataannya disetor ke Kas Negara, maka pada pokoknya kerugian uang negara tersebut telah kembali.
d. Pada hakikatnya penyitaan dalam hukum pidana dilakukan terhadap harta/benda yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan. Penyitaan atas harta benda milik pelaku korupsi pada hakikatnya justru dalam rangka mengembalikan kekayaan negara sehingga terdapat persesuaian pendapat perihal harta yang disita diperhitungkan nilainya dengan besarnya pidana uang pengganti untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi tersebut
7. Tujuan pokok UU No.3 tahun 1971 adalah melindungi kekayaan uang negara sehingga apabila tujuan pokok tersebut telah terpenuhi dalam arti kerugian uang negara tersebut dapat dikembalikan oleh pelaku, maka perbuatan pidana sebagaimana ditentukan dalam UU No.3 1971 tersebut dapat dikesampingkan, sehingga pidana yang akan dijatuhkan kemudian hanya sebagai tindak pidana biasa pada umumnya sehingga tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat pada kasus korupsi. Dari putusan pengadilan di wilayah eks Karesidenan Semarang hal itu tercermin pula.
8. Pedoman pelaksanaan pemidanaan di dalam praktek peradilan untuk jenis-jenis kejahatan tertentu yang sering terjadi pernah dilaksanakan dalam hal ini mengenai maksimum dan minimum pemidanaan serta alasan-alasan memberatkan/meringankan pemidanaan serta melengkapi yang telah ditentukan KUHP sendiri. Di pengadilan wilayah eks Karesidenan Semarang hal ini belum diterapkan sepenuhnya dalam perkara pidana biasa maupun kasus korupsipun seharusnya pedoman pemidanaan juga diterapkan dalam rangka mengurangi disparitas pidana dalam praktek peradilan.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangalila, Ferlansius
"Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif Yang menjadi permasalahan adalah apa dasar dan manfaat resosialisasi sebagai tujuan pemidanaan di Indonesia? Bagi masyarakat, kejahatan merupakan tindakan yang secara moral tak dapat dibenarkan, sehingga setiap anggota masyarakat harus bertindak sebagaimana agen moral yang bertindak dalam koridor norma-norma moral yang berlaku. Pemerintah sebagai pemegang peran utama dalam usaha penanggulangan kejahatan tidak boleh tidak sesuai dengan tujuan Negara Indonesia, yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Penanggulangan kejahatan dengan ditetapkan dan diberlakukannya sistem pemidanaan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat Indonesia. Dilain pihak, pelaku kejahatan juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sehingga dia juga memiliki hak untuk dilindungi oleh Negara. Dengan demikian Pemidanaan harus diatur dan dijalankan sedemikian rupa tanpa mengurangi tujuan dari hukum pidana itu sendiri. Sistem Pemidanaan merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai upaya dalam melindungi masyarakat umumnya dan pelaku kejahatan khususnya. Dalam praktek selama ini, Pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem Lembaga Pemasyarakatan yang pada intinya sebagai suatu proses rehabilitasi dan resosialisasi pelaku kejahatan. Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu konsep yang dirumuskan sebagai suatu metode untuk mengubah narapidana menjadi orang yang dapat berguna dalam masyarakat dengan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka sendiri. Masyarakat dilibatkan dalam pembinaan ini, sehingga masyarakat mau menerima narapidana ini kedalam lingkungan sosialnya. Seorang narapidana dapat kembali ke tengah-tengah masyarakat dan menunjukan prilaku yang berdasarkan moral dianggap baik sehingga dia dapat diterima kembali dan hidup normal ditengah- tengah masyarakat, dengan demikian kebahagiaan sosial dapat diwujudkan. Sistem Pemidanaan sebagai suatu Kebijakan haruslah bertujuan sebagai proses resosialisasi pelaku kejahatan. Dasar Resosialisasi adalah moral, yakni apa yang baik bagi masyarakat, karena bermanfaat untuk semakin meningkatnya kebahagiaan sosial.
......The method used in this research is normative law research method. The question here is what are the reasons and the benefits of resocialisation (training to be social or to be fit member of society) as the goal of sentencing in Indonesia? For people, crime is a morally unjustified action. Thus, each member of the society should act as a moral agent who behaves in the corridor of effective norms. As the institution which has the key role in fighting crimes, the govemment must work in line with the aim of the State that is the realization of a just and prosperous society based on Pancasila. To fight the crimes, the govemment has stipulated and imposed the sentencing system which aims to protect Indonesian people. In other sides, the criminals, who also part of Indonesian society, have the rights to have state’s protection. The sentencing, therefore, must be formulated and implemented without reducing the goal of the criminal law. The sentencing system is a part of the policy to combat crimes in order to protect the society, especially the criminals. So far, Indonesian govemment has carried out a correctional institution system which is basically serves as a rehabilitation or resocialisation process for the criminals. Correctional system is a concept formulated as a method to change, correct or modify the potencies of a prisoner to be useful for the society. Because the society is involving in that guidance, the prisoner could come back and live normally in the society. The society welcome them well due to good morals a former prisoner reflects in social life. As a policy, the sentencing system should resocialize the criminals. To improve social happiness, resocialisation must base on morals or what is good for the society."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26048
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Tirtana
"Tujuan pemidanaan terhadap anak harus disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan anak tersebut demi masa depannya karena anak memiliki ciri-ciri khusus yang melekat pada dirinya yang tidak dapat disamakan dengan pelaku dewasa. Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuknya sebagai sanksi pidana alternatif, khususnya bagi terpidana anak. Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofi pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomi. Community service order (CSO) atau pidana pelayanan masyarakat merupakan salah satu dari pidana alternatif perampasan kemerdekaan atau penjara bagi anak yang bersifat non-institusional (di luar lembaga) yang direkomendasikan oleh instrumen internasional yaitu United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Pidana pelayanan masyarakat telah dimasukkan dalam konsep pembaharuan hukum pidana anak Indonesia yaitu dalam Konsep atau Rancangan KUHP (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak). Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pidana pelayanan masyarakat sangat menunjang tujuan pemidanaan dan pembinaan bagi terpidana anak, baik dilihat dari tujuan pemidanaan secara umum maupun tujuan pemidanaan yang bersifat integratif. Relevansi antara pidana pelayanan masyarakat dengan pembaharuan sistem pemidanaan anak di Indonesia dapat diartikan bahwa pidana pelayanan masyarakat perlu dipahami dalam konteks kebijakan kriminal, dengan demikian pidana pelayanan masyarakat dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu kontrol sosial dalam menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Konsep pengaturan pidana pelayanan masyarakat yang ada dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak) masih perlu disempurnakan lagi karena masih bersifat sangat umum. Pidana pelayanan masyarakat memberikan prospek dan harapan besar untuk dapat diterapkan dalam peradilan pidana anak di Indonesia, mengingat pelbagai keuntungan yang didapat dari pidana pelayanan masyarakat tersebut.
......Criminal sentencing of a juvenile offender should be adjusted to the special need and requirement of a juvenile or a minor, because despite being an offender, s/he is still a child, hopefully with a future and hence s/he has a special characteristic that is inherent to him/her that is not found in an adult offender. The recent development in criminal law reveals a growing international trend to seek an alternative to replace the more common method of incarceration, specifically in cases involving juvenile offender. This conviction stemmed from the notion that the concept of imprisonment is getting less popular, whether it is viewed from humane consideration, sentencing philosophy or economic consideration. Community service order (CSO) is one of the alternatives to incarceration to a juvenile offender that is non-institutionalized and it is recommended in an international instrument the United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). The concept of community service sentencing for juvenile offender has been entered into the draft reform of the Indonesian Criminal Code (RKUHP) and the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak). This study is a judicial normative research supported by a field research in the form of interviews with competent respondents. From the result of the study, the author concludes that community service is highly supportive to the objectives of sentencing and education of a juvenile offender both from the perspective of sentencing in general or sentencing objectives that are integrative in nature. The relevance between community service sentencing and the juvenile criminal system reform may be interpreted that community service sentencing is perceived within the context of a policy on managing criminal offenders; therefore, community service sentencing may play its intended role as a social-control instrument to support the policy of managing criminal acts committed by juveniles in Indonesia. The existing draft on community service sentencing as contained in the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak) still needs to be improved since it is still too broad in nature. Community service sentencing has the prospect and possibility to be applied in Indonesia?s juvenile criminal court, considering the huge benefits that may be reaped from such application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lifiana Alanisya Mutaharina
"Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme, yang merupakan salah satu bentuk dari gangguan parafilia atau suatu kelainan seksual merupakan hal yang kerap terjadi berbagai negara, terutama di Indonesia. Hal tersebut menjadi suatu masalah hukum dikarenakan disatu pihak perilaku ini adalah suatu gangguan berupa kelainan seksual sementara di pihak lainnya perilaku ini menjadi suatu gangguan dalam tatanan sosial masyarakat. Sanksi pidana tidak dapat menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan angka tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme. Dalam praktik, penjatuhan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme cenderung tidak sesuai karena hakim kerap tidak mempertimbangkan kondisi psikis dari pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme tersebut. Padahal, faktor tersebut perlu untuk selalu dipertimbangkan oleh hakim mengingat kondisi pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme yang kerap membutuhkan suatu terapi dan pengobatan medis karena munculnya dorongan yang tidak terkontrol akan hasrat seksual untuk memamerkan alat kelamin miliknya dan melakukan aktivitas seksual yang tidak normal di tempat umum. Mengingat saat ini telah ada pengaturan mekanisme penjatuhan sanksi tindakan dan pemidanaan secara bersamaan dengan konsep Double Track System, maka diharapkan konsep tersebut dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam sistem pemidanaan di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menentukan porsi pemidanaan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme dengan memanfaatkan konsep pemidanaan Double Track System. Lebih lanjut, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan wawancara untuk melengkapi data temuan. Dengan mengangkat topik terkait pemidanaan dengan menggunakan konsep Double Track System terhadap pelaku eksibisionisme, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan diskursus dan mampu memberikan solusi terkait cara penjatuhan pemidanaan yang tepat agar dapat mencegah timbulnya residivisme maupun munculnya korban-korban lainnya dari pelaku kejahatan yang mengidap kelainan seksual berupa eksibisionisme.
......Criminal acts committed by a person with exhibitionism, which is a form of paraphilia or a sexual disorder, are common in various countries, especially in Indonesia. This becomes a legal issue because, on the one hand, such behaviour is a form of sexual disorder. Meanwhile, on the other hand, this behaviour also brings a social disorder to society. Criminal sanction cannot be the only way to control the number of crimes that are committed by exhibitionists. In practice, the imposition of criminal sanctions imposed on perpetrators of crimes with exhibitionism tends to be inappropriate because judges often do not consider the psychological condition of the perpetrators of crimes with exhibitionism. In fact, it is necessary for the judges to always consider this factor since the condition of the perpetrators of exhibitionism often requires therapy and medical treatment due to the emergence of an uncontrolled urge for sexual desire to show their genitals and engage in abnormal sexual activity in public places. Subsequently, considering that currently there is a mechanism for imposing sanctions in the form of treatment and criminal sanction simultaneously within the concept of the Double Track System, one might hope that this concept can create flexibility in the Indonesian sentencing system for the perpetrators of exhibitionism. This study aims to determine the appropriate portion of punishment for perpetrators of exhibitionism by utilizing the Double Track System sentencing concept. Furthermore, the methodology of this research is juridical-normative with interviews to complete the research findings. By discussing the topic regarding the imposition of criminal sentencing by utilizing the Double Track System concept for the perpetrators of exhibitionism, it is expected that this research could become the foundation of discourse and be able to provide solutions regarding the appropriate way of imposing punishments towards the perpetrators of exhibitionism in order to prevent recidivism from occurring and the emergence of other victims who suffer from such sexual disorders."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Weriansyah
"Pandangan hakim terhadap status kewarganegaraan asing pada penjatuhan pidana dalam perkara peredaran gelap narkotika di Indonesia masih belum konsisten. Dalam beberapa putusan, status kewarganegaraan asing dicantumkan sebagai keadaan yang memberatkan sedangkan pada beberapa putusan lainnya status kewarganegaraan asing tersebut tidak dipertimbangkan sama sekali bahkan terdapat putusan yang menjadikan faktor tersebut sebagai alasan meringankan. Melalui metode penelitian yuridis normatif, dengan pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara terhadap beberapa hakim di Indonesia, penelitian ini berupaya menjelaskan persoalan mengenai relevansi status kewarganegaraan asing dalam penjatuhan pidana ditinjau dari 3 (tiga) aspek yakni falsafah penjatuhan pidana, pengaturan penjatuhan pidana dalam perkara peredaran gelap narkotika dan perbandingannya terhadap Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, serta pandangan hakim dari masing-masing ketiga negara tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status kewarganegaraan asing terdakwa dapat dijustifikasi melalui general deterrence theory walaupun justifikasi melalui teori tersebut terbilang lemah. Selanjutnya, ditinjau dari pengaturan penjatuhan pidana, kendati tidak ditemukan status kewarganegaraan asing sebagai faktor yang relevan dalam penjatuhan pidana dari ketiga negara di atas, hakim masih memiliki diskresi untuk menentukan sendiri faktor-faktor yang relevan menurutnya, sehingga masih terbuka kemungkinan untuk faktor kewarganegaraan asing dipertimbangkan. Terakhir, penelitian ini menemukan bahwa hakim di Belanda dan beberapa hakim di Indonesia menilai status kewarganegaraan asing tersebut relevan untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana dengan alasan general deterrence theory dan beberapa alasan yang bersifat politis. Spesifik di Belanda, status kewarganegaraan asing juga dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana karena terkait dengan adanya kendala eksekusi dalam beberapa jenis pidana tertentu. Namun, Amerika Serikat secara tegas menolak status kewarganegaraan asing untuk berpengaruh dalam penjatuhan pidana karena dipandang inkonstitusional.
......The perspective of judges regarding foreign citizenship status in sentencing for drug trafficking cases in Indonesia remains inconsistent. In some decisions, the status of foreign citizenship is identified as an aggravating circumstance whereas in several other decisions it is not considered at all or may even be considered as a mitigating factor. Through normative juridical research method, which involves literature review and interviews with several judges in Indonesia, this research aims to elucidate the issue of the relevance of foreign citizenship status in criminal sentencing, considering three aspects: sentencing philosophies, the regulation of criminal sentencing in drug trafficking cases and a comparison with Indonesia, the Netherlands, and the United States, as well as the views of judges from each of the three countries. The research finding indicate that the defendant’s foreign citizenship status can be justified based on the general deterrence theory although the justification relatively weak. Furthermore, in terms of regulations on criminal sentencing, although foreign citizenship status is not recognized as a relevant factor in criminal sentencing from the three countries above, judges still have the discretion to determine the relevant factors themselves, so it is still possible for foreign citizenship factors to be considered. Finally, this study reveals that judges in the Netherlands and several judges in Indonesia considered the status of foreign citizenship relevant to be considered in sentencing for general deterrence theory and several political reasons. Particularly in the Netherlands, foreign citizenship status is also considered in sentencing due to execution constraints in certain types of punishment. However, the United States firmly rejects the notion that foreign citizenship status has an impact on criminal sentencing as it is deemed unconstitutional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taipei: Soochow University School of Law,
340 SLJ
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Wulandari
"Penelitian sebelumnya telah mengungkap beberapa temuan terkait pengaruh faktor hukum dan ekstralegal terhadap putusan vonis hakim. Studi saat ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana hukuman hakim bervariasi sebagai tanggapan terhadap faktor hukum dan ekstralegal pelaku narkoba. Variabel yang menarik dalam penelitian ini adalah faktor residivisme pada pelaku narkoba. Penelitian ini memperkenalkan teori-teori rasional dan rasional terbatas untuk menjelaskan perilaku hakim berdasarkan 18.455 data kasus narkoba yang berasal dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Mahkamah Agung tahun 2018. Pemanfaatan nilai kuadrat terkecil (regresi log-level) memberikan hasil yang sebagian besar tepat dengan studi sebelumnya. Namun, bukti empiris yang ditemukan menunjukkan bahwa peran, jenis kelamin, agama, dan tempat lahir pelaku mengungkapkan fakta yang berbeda. Studi ini menyarankan pengumpulan data yang lebih rinci dari pelaku berulang, resolusi mengenai isu etnis, dan diperlukan partisipasi yang lebih besar dari Pembimbing Kemasyarakatan selama proses peradilan para pelaku narkoba. Makalah ini mengakui keterbatasan terkait data etnis, karakteristik hakim, dan situasi demografi di masing-masing provinsi. Oleh karena itu, model ini diharapkan dapat diperbaiki pada penelitian selanjutnya.
......Prior research has revealed several findings linked to the influence of legal and extralegal factors on judges’ sentencing decisions. The current study attempts to explain how judge sentencing varies as a response to the legal and extralegal factors of drug offenders. The variables of interest in this research are the recidivism factors among drug offenders. This research introduces the rational and bounded rational theories to explain the judges’ behavior based on 18,455 drug case data originating from the Indonesian Directorate-General of Correction and Supreme Court in 2018. The utilization of ordinary least squares (log-level regression) gives results that mostly coincide with prior studies. However, the empirical evidence found indicating that the roles, gender, religion, and birthplaces of offenders reveal a different fact. This study suggests more detailed data collection of repeated offenders, a resolution regarding ethnicity issues, and greater participation of probation officers during the judicial processing of drug offenders are needed. This paper acknowledges the limitations related to the data of ethnicity, judge characteristics, and demographic situation in each province. Hence, this model could be improved in future research."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia , 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fania Putri Alifa
"Skripsi ini membahas mengenai fenomena disparitas pidana yang terjadi pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Provinsi DKI Jakarta. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis-normatif yang akan menjawab tiga rumusan masalah: pertama, faktor apa yang lebih dominan di antara faktor legal dan faktor ekstralegal sebagai penyebab disparitas pidana; kedua, hal-hal apa saja yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak; dan ketiga, bagaimana pengaruh dinaikkannya ancaman pidana penjara minimum khusus dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 terhadap disparitas pidana bagi para pelakunya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer berupa wawancara dengan tiga hakim dari tiga pengadilan negeri di Provinsi DKI Jakarta dan data sekunder berupa studi kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan dua puluh delapan putusan pengadilan negeri di Provinsi DKI Jakarta mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak; bahan hukum sekunder berupa RKUHP, buku-buku, dan hasil penelitian berupa skripsi, tesis, dan disertasi; dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, faktor yang lebih dominan sebagai penyebab disparitas pidana adalah faktor ekstralegal, yaitu karakteristik kasus yang bersangkutan yang diikuti oleh subjektivitas hakim; kedua, hal-hal yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari dua jenis, yakni pertimbangan-pertimbangan umum dan pertimbangan-pertimbangan khusus; dan ketiga, dinaikkannya pidana penjara minimum khusus dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 nyatanya tidak berpengaruh pada disparitas pidana bagi para pelakunya.
......This thesis discusses about the phenomenon of disparity of sentencing that occurs towards the perpetrators of child sexual abuse in DKI Jakarta Province. This thesis is a juridical normative study that will answer three main issues first, what factor that is more dominant between legal factors and extralegal factors as the cause of disparity of sentencing secondly, what points should the judge consider in imposing punishment for a perpetrators of child sexual abuse and third, how is the effect of the raising of the threat prison punishment in Article 81 and Article 82 of Law Number 35 Year 2014 against disparity of sentencing towards the perpetrators.
Data used in this study includes primary data in the form of interviews with three judges from three district courts in DKI Jakarta Province and secondary data in the form of literature study. The legal substances used are primary legal materials in the form of statutory regulations and twenty eight decisions of the district courts in DKI Jakarta Province regarding cases of child sexual abuse secondary law materials in the form of RKUHP, books, and research results like thesis and dissertation and tertiary legal material is language dictionary.
The results of this study indicate that first, the more dominant factor as the cause of disparity of sentencing is the extralegal factor, that are characteristic of the case followed by the subjectivity of the judges secondly, the judges should consider two types of points in order to impose punishment a perpetrator of child sexual abuse, that are general consideration and special consideration and third, the raising of the threat prison punishment in Article 81 and Article 82 of Law Number 35 Year 2014 in fact does not affect the disparity of sentencing towards the perpetrators. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Andreas Nathaniel
"ABSTRACT
This article will give some rational and reasonable reasons to answer a question on why it is not necessary to attribute a criminal liability upon a political party, considering the meaningless amount of fine as the main punishment that can be imposed to a corporation which convicted of a crime (corruption). This analysis will be based on economic analysis of law and this article will give some relevant equations and precise calculations to support its stance. However, it doesn't mean that the authors disagree with punishing a political party whose member has committed a corruption. Instead, an insignificant amount of punishment that the anti-corruption law currently regulates and a large sum of money/ assets that a political party may have, are the main factors that cause inefficient enforcement. Therefore, increasing the amount of punishment in the anti-corruption law is the only solution to create a deterrence effect for a corporation, to deter and disincentivise a corporation that wants to commit a corruption."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library