Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S7139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marthalia Desy Arisiyanti
"ABSTRAK
Kesulitan ekonomi dan tuntutan biaya kehidupan yang semakin tinggi, telah mendorong sebagian besar kaum wanita untuk ikut berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarganya. Peran sektor informal menjadi penting, karena kemampuan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja dan tidak menuntut keterampilan yang tinggi. Seperti diketahui para pekerja informal ini terkadang tidak memiliki jaminan kesehatan yang dapat membantu mereka mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga bisa berdampak terhadap kesehatan mereka. Kesehatan reproduksi para wanita tersebut sangat penting untuk dijaga dan diperhatikan. Salah satu cara untuk menjaga kesehatan reproduksi para wanita pekerja informal tersebut agar bisa lebih baik dan terjaga adalah dengan penggunaan alat kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan apa saja yang berpengaruh terhadap pemilihan metode kontrasepsi pada wanita pekerja informal di Indonesia tahun 2016. Penelitian ini menggunakan data sekunder Susenas tahun 2016. Analisis data diolah dengan menggunakan pemodelan probit-marginal effect. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosial demografi (variabel pendidikan, umur, lokasi tempat tinggal, jumlah anak dan pendapatan per kapita) dan faktor lingkungan/pelayanan kesehatan (kepemilikan jaminan kesehatan dan akses internet) berpengaruh terhadap pemilihan metode kontrasepsi (non MKJP dan MKJP). Untuk karakteristik pengguna menurut pilihan metode kontrasepsi antara lain wanita pekerja informal pengguna kontrasepsi metode non MKJP cenderung memiliki pendidikan setingkat SMP, berumur < 20 tahun, berdomisili diwilayah pedesaan, memiliki jumlah anak 0 sampai dengan 2 orang, berada pada kuintil 3 (Q3) memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp627.080 dan tidak mempunyai jaminan kesehatan serta tidak rutin mengakses internet. Sedangkan wanita pekerja informal pengguna kontrasepsi metode MKJP cenderung memiliki pendidikan setingkat D1-S3, berumur 40-49 tahun, tinggal di daerah perkotaan, memiliki anak lebih dari 2 orang, berada pada kuintil 5 (Q5) memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp1.801.073 terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan swasta dan rutin mengakses internet.

ABSTRACT
Economic difficulties and the increase of higher cost of living have encouraged most women to play a role in increasing their family income. The role of the informal sector becomes important, because the ability of the informal sector to absorb labor and not demanding high skills. As we all know that informal workers sometimes does not have health insurance that can help them easily access health care so that it can have an impact on their health. It is very important to maintain these women's reproductive health in the best way. One way to maintain the reproductive health of these informal female workers in order to be better and safer is by the use of contraceptives. This study aims to analyze the determinants of any effect on the selection of contraceptives on informal female workers in Indonesia in 2016. This study uses secondary data Susenas 2016. Data analysis processed by using multinomial logistic regression modeling. The results showed that social demographic factors (education, age, residence, number of children and income per capita) and environmental factors/health services (ownership of health insurance and internet access) influenced the selection of contraceptive type (traditional, non MKJP and MKJP). For the characteristics of the users according to the choice of contraceptive methods, among others female informal workers of contraceptive methods users non MKJP tend to have junior high school education, aged <20 years, domiciled in rural areas, have the number of children 0 to 2 persons, are in quintile 3 (Q3) per capita income of Rp627,080 and doesn't have health insurance and does not regularly access the internet. Whereas women informal workers using contraceptive methods of MKJP tend to have a D1-S3 level of education, aged 40-49 years, live in urban areas, have children more than 2 persons, are in quintile 5 (Q5) have an average per capita income of Rp1.801.073 registered as a private health insurance participant and regularly access the internet."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Mega Utami
"Kesulitan ekonomi dan tuntutan biaya kehidupan yang semakin tinggi, telahmendorong sebagian besar kaum wanita untuk ikut berperan dalam meningkatkanpendapatan keluarganya. Peran sektor informal menjadi penting, karena kemampuansektor informal dalam menyerap tenaga kerja dan tidak menuntut keterampilan yangtinggi. Seperti diketahui para pekerja informal ini terkadang tidak memiliki jaminankesehatan yang dapat membantu mereka mendapatkan pelayanan kesehatan sehinggabisa berdampak terhadap kesehatan mereka. Kesehatan reproduksi para wanita tersebutsangat penting untuk dijaga dan diperhatikan. Salah satu cara untuk menjaga kesehatanreproduksi para wanita pekerja informal tersebut agar bisa lebih baik dan terjaga adalahdengan penggunaan alat kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisisdeterminan apa saja yang berpengaruh terhadap pemilihan metode kontrasepsi padawanita pekerja informal di Indonesia tahun 2016. Penelitian ini menggunakan datasekunder Susenas tahun 2016. Analisis data diolah dengan menggunakan pemodelanprobit-marginal effect. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosial demografi variabel pendidikan, umur, lokasi tempat tinggal, jumlah anak dan pendapatan perkapita dan faktor lingkungan/pelayanan kesehatan kepemilikan jaminan kesehatan danakses internet berpengaruh terhadap pemilihan metode kontrasepsi non MKJP danMKJP . Untuk karakteristik pengguna menurut pilihan metode kontrasepsi antara lainwanita pekerja informal pengguna kontrasepsi metode non MKJP cenderung memilikipendidikan setingkat SMP, berumur < 20 tahun, berdomisili diwilayah pedesaan,memiliki jumlah anak 0 sampai dengan 2 orang, berada pada kuintil 3 Q3 memilikirata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp627.080 dan tidak mempunyai jaminankesehatan serta tidak rutin mengakses internet. Sedangkan wanita pekerja informalpengguna kontrasepsi metode MKJP cenderung memiliki pendidikan setingkat D1-S3,berumur 40 ndash; 49 tahun, tinggal di daerah perkotaan, memiliki anak lebih dari 2 orang,berada pada kuintil 5 Q5 memiliki rata-rata pendapatan per kapita sebesarRp1.801.073 terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan swasta dan rutin mengaksesinternet.Kata kunci : kontrasepsi, probit, wanita pekerja informal.

Economic difficulties and the increase of higher cost of living have encouraged mostwomen to play a role in increasing their family income. The role of the informal sectorbecomes important, because the ability of the informal sector to absorb labor and notdemanding high skills. As we all know that informal workers sometimes does not havehealth insurance that can help them easily access health care so that it can have animpact on their health. It is very important to maintain these women rsquo s reproductivehealth in the best way. One way to maintain the reproductive health of these informalfemale workers in order to be better and safer is by the use of contraceptives. This studyaims to analyze the determinants of any effect on the selection of contraceptives oninformal female workers in Indonesia in 2016. This study uses secondary data Susenas2016. Data analysis processed by using multinomial logistic regression modeling. Theresults showed that social demographic factors education, age, residence, number ofchildren and income per capita and environmental factors health services ownership ofhealth insurance and internet access influenced the selection of contraceptive type traditional, non MKJP and MKJP . For the characteristics of the users according to thechoice of contraceptive methods, among others female informal workers ofcontraceptive methods users non MKJP tend to have junior high school education, aged."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50119
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kahan, Barbara
London: HMSO , 1994
305.5 KAH g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jenny Simulja
"Dewasa ini salah satu pilihan jalan hidup wanita di Jepang yang banyak diminati adalah bekerja kembali setelah membesarkan anak. Mengingat begitu besar kesadaran para wanita di Jepang akan tanggung jawab terhadap parawatan keluarga, maka mereka lebih memilih menjadi pekerja paruh waktu dibandingkan menjadi pekerja purnawaktu yang menyita waktunya. Padahal perlakuan perusahaan terhadap pekerja paruh waktu tersebut dapat dikatakan lebih menekankan tujuan yang ingin dicapai perusahaan, yaitu penekanan biaya perusahaan.
Pekerja paruh waktu umumnya didominasi para wanita yang sudah berkeluarga dan usia anak-anaknya sudah besar. Sebagian besar para wanita tersebut berusia di atas 35 tahun dan memiliki waktu luang yang banyak. Ternyata pekerjaan paruh waktu yang dilakukan mereka memberikan dukungan nilai-nilai finansial dalam kehidupan di rumah tangganya, walaupun sebagian besar tujuan utama mereka bekerja adalah mengisi waktu luangnya.
Penelitian ini akan membahas mengenai kondisi yang dihadapi oleh pekerja wanita paruh waktu di Jepang. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah hendak mengungkapkan permulaan munculnya pekerja paruh waktu, faktor-faktor penyebab kemunculannya, kondisi realita, masalah-masalah yang dihadapi, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah pekerja paruh waktu.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode lapangan dengan menyebarkan kuesioner dan kepustakaan. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah sosiologis dengan metode deskriptis analisis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ismala Dewi
"Menurut (undang-undang No. 23 Tahun 1907 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan Undang-undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (UUPKPKS) dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia merupakan upaya yang merata melingkupi seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu sasaran pembangunan tersebut tidak terkecuali meliputi pula masyarakat- rentan di Indonesia. Salah satu kelompok masyarakat rentan itu adalah wanita pekerja dalam posisi rawan yang perlu diberdayakan keberadaannya. Hal ini disebabkan lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah wanita. dimana partisipasi mereka sebagai angkatan kerja cukup besar namun tingkat kesejahteraannya masih rendah, Permasalahan wanita pekerja cukup kompleks meliputi masalah upah, pendidikan, kemiskinan, dll.
Dari sekian banyak permasalahan wanita pekerja masalah lingkungan kerja perlu mendapat perhatian seksama, yang terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Pemberdayaan di bidang ini adalah penting mengingat kesehatan dan keselamatan kerja sering kali terabaikan manakala desakan kebutuhan ekanomi begitu besar sehingga posisi tawar wanita pekerja menjadi lemah di hadapan pengusaha. Selain i.tu, sebagaimana yang dikemukakan dalam undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan yang baik dan sehat maka lingkungan kerja yang baik dan sehat itupun merupakan hak dari para wanita pekerja."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Khansa Nadiah Safira
"Secara umum prevalensi HIV di wilayah Indonesia masih berkisar 0,43 , namun pada beberapa kelompok populasi berisiko tinggi telah terlihat peningkatan prevalensi yang signifikan sejak tahun 1990-an, terutama pada kelompok Wanita Pekerja Seks WPS , Lelaki Seks dengan Lelaki LSL , dan Waria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status HIV pada wanita pekerja seks di Indonesia. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan analisis bivariat menggunakan data STBP 2013. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 2242. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi HIV pada WPSL adalah 7,2 dan ada hubungan yang signifikan antara Konsistensi Penggunaan Kondom pada Tamu/Pelanggan p=0,001 , Konsistensi Penggunaan Kondom pada Pacar p=0,004 , dan Lama Bekerja p=0,024 . Perlu dilakukannya kerja sama dengan berbagai lembaga, seperti LSM untuk dapat meningkatkan upaya preventif dan promotif demi menurunkan tingkat prevalensi HIV pada WPSL.

In general, the prevalence of HIV in the territory of Indonesia is still around 0.43 , but in some high risk population groups it has seen a significant increase in prevalence since the 1990s, especially in the Female Sex Workers, Male Sex with Men MSM , and Transvestites. This study aims to determine the factors that affect HIV status in semale sex workers in Indonesia. The design of this study used bivariate analysis using IBBS data in 2013. The sample size in this study was 2242. The results showed that the prevalence of HIV in WPSL was 7.2 and there was a significant relationship between the consistency of condom use with Customer p 0,001 Consistency of Condom Use with boyfriend p 0,004 , and duration of work p 0,024 . Need to work with various institutions, such as NGOs to be able to increase preventive and promotive efforts to reduce the level of HIV prevalence in female sex workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liana Rica Mon Via
"HIV masih menjadi masalah kesehatan global. Pelanggan WPS merupakan salah satu populasi kunci penyebaran HIV. Penggunaan kondom secara konsisten menjadi cara efektif pencegahan HIV dan IMS pada kelompok ini. Angka konsistensi penggunaan kondom kelompok ini masih rendah, yaitu: 35,82% pada konsistensi kategori 1 (selalu atau sering menggunakan kondom), dan 21,10% pada konsistensi kategori 2 (selalu menggunakan kondom). Konsistensi penggunaan kondom dipengaruhi beberapa faktor salah satunya adalah persepsi berisiko tertular HIV. Pada kelompok pelanggan diketahui yang mempunyai persepsi merasa berisiko tertular HIV adalah 45,37%. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif desain cross sectional untuk mengetahui hubungan persepsi berisiko tertular HIV dengan konsistensi penggunaan kondom pada pelanggan WPS yang menggunakan data STBP 2018-2019, dilaksanakan di 24 kabupaten/kota di 16 provinsi di Indonesia pada tahun 2018 sampai 2019 dengan jumlah sampel sebanyak 4743 orang. Hasil penelitian menunjukkan: pada konsistensi penggunaan kondom kategori 1, terdapat hubungan signifikan antara persepsi berisiko tertular HIV dengan konsistensi penggunaan kondom dimana pelanggan WPS yang memiliki persepsi merasa berisiko tertular HIV memiliki kecenderungan 1,60 kali lebih tinggi untuk konsisten menggunakan kondom saat berhubungan seks dibandingkan yang memiliki persepsi merasa tidak berisiko setelah dikontrol oleh variabel umur pertama kali berhubungan seks dan pengetahuan tentang efektivitas kondom (PR=1,60, 95% CI=1,28-1,99). Sedangkan pada konsistensi penggunaan kondom kategori 2, terdapat hubungan signifikan antara persepsi berisiko tertular HIV dengan konsistensi penggunaan kondom dimana pelanggan WPS yang memiliki persepsi merasa berisiko tertular HIV memiliki kecenderungan 1,46 kali lebih tinggi untuk konsisten menggunakan kondom saat berhubungan seks dibandingkan yang memiliki persepsi merasa tidak berisiko setelah dikontrol oleh variabel umur pertama kali berhubungan seks dan pengetahuan tentang efektivitas kondom (PR=1,46, 95% CI=1,10-1,94). Pemberlakuan perda kewajiban kondom di lokalisasi dengan sanksi yang tegas disertai kerjasama sinergis antar lintas sektor, updating pemetaan berkala lokalisasi yang belum terjangkau disertai penyuluhan tentang HIV/ AIDS dan efektivitas kondom, diseminasi informasi untuk membentuk persepsi berisiko dan perilaku konsisten menggunakan kondom, penerapan manajemen penyediaan kondom di lokalisasi perlu dipertimbangkan untuk mengurangi kejadian HIV terutama di kelompok pelanggan WPS.

HIV is still a global health problem. FSW customers are one of the key populations spreading HIV. Consistent condom use is an effective way of preventing HIV and STI in this group. The consistency rate of condom use in this group is still low, namely: 35.82% in category 1 consistency (always or often using condoms), and 21.10% in category 2 consistency (always using condoms). The consistency of condom use is influenced by several factors, one of which is the perception of risk of contracting HIV. In the group of known customers who have a perception of feeling at risk of contracting HIV is 45.37%. This study is a quantitative cross-sectional design study to determine the relationship between perception of risk of contracting HIV with consistency of condom use in FSW customers using IBBS data 2018-2019, carried out in 24 regencies/cities in 16 provinces in Indonesia from 2018 to 2019 with a total sample of 4743 people. The results showed: in the consistency of category 1 condom use, there was a significant relationship between the perception of risk of contracting HIV and the consistency of condom use where FSW customers who had a perception of feeling at risk of contracting HIV had a 1.60 times higher tendency to consistently use condoms during sex than those who had a perception of feeling no risk after being controlled by the age variable of first intercourse sex and knowledge of condom effectiveness (PR=1.60, 95% CI=1.28-1.99). Meanwhile, in the consistency of category 2 condom use, there was a significant relationship between the perception of risk of contracting HIV and the consistency of condom use where FSW customers who had a perception of feeling at risk of contracting HIV had a 1.46 times higher tendency to consistently use condoms during sex than those who had a perception of feeling no risk after being controlled by age variables for the first time having sex and knowledge of condom effectiveness (PR=1.46, 95% CI=1.10-1.94). The implementation of mandatory condom localization bylaws with strict sanctions accompanied by synergistic cooperation between cross-sectors, updating the periodic mapping of unreached localizations accompanied by counseling on HIV/AIDS and condom effectiveness, dissemination of information to form risk perceptions and consistent behavior using condoms, the implementation of condom provision management in localization needs to be considered to reduce the incidence of HIV especially in FSW customer groups."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Pratomo
"ABSTRAK
PERMASALAHAN: HIV/AIDS dan Hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting karena belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Wanita usia subur, khususnya yang berpenghasilan rendah pengunjung Puskesmas semakin rentan terhadap risiko penularan kedua penyakit tersebut. Sampai saat ini belum ada model upaya promotif dan preventif di Puskesmas yang mengintegrasikan pelayanan penyakit menular seksual (PMS) ke dalam pelayanan BP/KIA/KB di Puskesmas.
TUJUAN PENELITIAN: Mengembangkan model intervensi guna menurunkan risiko infeksi PMS termasuk HIV/AIDS dan Hepatitis B bagi wanita usia reproduksi wanita hamil dan peserta KB berpenghasilan rendah melalui keterpaduan program PMS dengan program kesehatan reproduksi di klinik KIA/KB dan BP di Puskesmas daerah perkotaan dan pedesaan.
METODA PENELITIAN: Desain penelitian adalah Kuasi eksperimen, yaitu one group pre dan post test tanpa kelompok kontrol. Dalam intervensi ini dilakukan observasi awal, intervensi dan observasi akhir tanpa menggunakan kelompok kontrol
Pengumpulan data pre intervensi adalah: a) survei PSP (Pengetahuan, Sikap & Praktek) terhadap 400 ibu pengunjung BP/KIA/KB yang dipilih secara acak dan b) skrining terhadap 1200 ibu pengunjung BP/KIA/KB menggunakan sediaan basah dan pewarnaan Gram. Selain itu, dilakukan studi kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam 4 dokter Puskesmas; Diskusi Kelompok Terarah (DKT) masing-masing 4 kelompok petugas Puskesmas dan ibu usia reproduksi pengunjung BP/KIA/KB; pengamatan pelayanan BP/KIA/KB dan data Iayanan suntik dan penggunaan jarum & syringe (tabung jarum suntik).
Sedangkan pada post intervensi yang dikumpulkan adalah data survei PSP pada 400 ibu pengunjung ' BP/KIA/KB; studi kualitatif pada petugas Puskesmas (dokter, paramedis, petugas lab); pengamatan pada pelayanan BP/KIA/KB serta data layanan suntik dan penggunaan jarum & syringe.
Lokasi penelitian adalah di 4 wilayah Puskesmas, yaitu 2 di perkotaan (Puskesmas Kec. Koja dan Ciracas di DKI Jaya) dan 2 di pedesaan (Puskesmas Kec. Pamanukan, Kab. Subang dan Kec. Pulomerak Kab. Serang, Jabar).
Analisis data kualitatif dilakukan secara content analysis. Hasil survei disajikan dalam distribusi frekwensi, tabulasi silang PSP yang berkaitan dengan PMS, HIV/AIDS, Hepatitis B & kebiasaan suntik dengan membandingkan pre dan post intervensi dan membandingkan lokasi perkotaan dan pedesaan. Uji kemaknaan dilakukan dengan Chi-square. Dari skrining PMS dikemukakan hasil yang dilakukan oleh Puskesmas dan konfirmasi pemeriksaan oleh Bag. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, FKUI/RSCM.
HASIL PENELITIAN: Karakteristik responden sebelum dan sesudah intervensi tidak berbeda. Dua diantara lima responden baik di kota maupun desa menderita infeksi PMS/ saluran reproduksi. Bila dilihat secara keseluruhan intervensi penyuluhan yang dilakukan berdampak pada kenaikan proporsi responden yang mengetahui HIV/AIDS & bahaya penggunaan jarum suntik tetapi tidak memiliki dampak pada PSP yang berkaitan dengan PMS dan Hepatitis B. Perubahan pengetahuan petugas Puskesmas sebagai hasil intervensi cukup baik tetapi belum memiliki dampak positif terhadap praktek interaksi antara petugas-pasien maupun sterilisasi alat. Namun dari data pelayanan suntikan sekalipun proporsi yang disuntik di BP baik perkotaan maupun pedesaan (kecuali Pamanukan) relatif meningkat tetapi penggunaan jarum suntik berulang berkurang. Demikian juga penggunaan syringe berulang juga turun tetapi rasionya belum mencapai 1:1.
Dampak intervensi yang belum nyata dan signifikan ini dapat disebabkan antara lain penyuluhan yang dilakukan hanya intensif pada saat terjadwal sesuai kegiatan proyek, sesudah itu berjalan tetapi kurang intensif, penyuluhan hanya terbatas di Puskesmas sehingga jangkauannya terbatas, sedang yang terpajan penyuluhan mungkin tidak terpilih sebagai sampel, jarak antara selesainya penyuluhan terjadwal dan evaluasi relatif panjang (6 bulan). Dilain pihak, perubahan PSP pada pengunjung maupun petugas memerlukan waktu relatif lama.
KESIMPULAN DAN SARAN: Kejadian infeksi PMS dan saluran reproduksi di kalangan WUS pengunjung BP/KIA/KB di perkotaan maupun pedesaan cukup tinggi yaitu sekitar 43,5%. Teknik pemeriksaan PMS sederhana dapat dilakukan di Puskesmas dengan pelatihan dan kualitas tenaga yang memadai dan supervisi yang baik. Sesudah intervensi, PSP WUS mengenai PMS dan Hepatitis B tidak banyak berubah_ Namun pengetahuan tentang HIWAIDS dan bahaya penggunaan jarum suntik berulang meningkat demikian juga kesediaan membayar sendiri jarum/syringe bertambah. Sekalipun interaksi petugas-pasien dan praktek sterilisasi alat di Puskesmas belum banyak perbaikan dan ada kenaikan permintaan suntik di BP tetapi penggunaan jarum dan syringe berulang terjadi kecenderungn penurunan. Telah dikembangkan model intervensi berupa pelatihan petugas Puskesmas mengenai manajemen dan pencegahan PMS termasuk HIV/AIDS, Hepatitis B & Pencegahan pemberian suntikan berulang serta materi baku yang terdiri dari silabus dan bahan serta penunjang pelatihan. Selain itu juga dikembangkan model serupa bagi ibu pengunjung BPIKIAIKB di Puskesmas termasuk materi dan penunjang penyuluhan.
Disarankan agar pelaksanaan penyuluhan bagi pengunjung BP di Puskesmas hendaknya tidak dilakukan secara bersamaan dengan pengunjung Klinik KIA/KB. Perlu adanya pemantapan teknik penyuluhan bagi petugas pelaksana, khususnya KIA/KB. Evaluasi dampak dan hasil akhir model ini sebaiknya dilakukan minimal sesudah kegiatan penyuluhan berjalan 6 bulan sehingga perubahan pada kebiasaan dan praktek dapat terlihat lebih nyata.
Model skrining PMS di Puskesmas secara sederhana dapat dikembangkan lebih lanjut pada program Paket Ibu Bayi (Mother Baby Package-WHO) yang akan dikembangkan pemerintah dalam waktu dekat. Disarankan, hal ini perlu ditindaklanjuti dengan pemegang kebijakanlpengelola program di Departemen Kesehatan.

ABSTRACT
Intervention to Reduce Risk of HIV/AIDS And Hepatitis B Among Low Income Reproductive Age Women Attending an Ambulatory/ Mother & Child Health And Family Planning Clinic at The Puskesmas in DKI Jakarta And West Java, 1994-1996THE RESEARCH PROBLEM: In Indonesia, HIV/AIDS and Hepatitis B have become major and critical public health problems. At present there is no cure for these two diseases. The low income married women of reproductive age (MWRA) are becoming more and more susceptible to the risk of infection of sexually transmitted diseases (STDs) including HIV/AIDS. Currently a model of integrating STD services into the existing ambulatory/mother & child health (MCH/family planning (FP) services in the Puskesmas is nonexistent).
THE RESEARCH OBJECTIVES: To develop an intervention model in reducing the risk of STDs including HIV/AIDS and Hepatitis B infection for low income MWRA through integrating STD services into MCH/FP services in the Puskesmas both for urban as well as rural areas.
METHODOLOGY OF THE STUDY: The design of the study was one group pre and post test without a control group (a Quasi-experimental design). A measurement was conducted at the beginning of the study then followed by intervention and evaluation! measurement after the intervention. Three different measurements were conducted prior to the intervention period namely a (a) KAP (Knowledge, Attitude & Practice) survey on STD/HIV/AIDS, Hepatitis B and Danger of Reuse of Needles and Syringes among randomly selected 400 MWRA visiting ambulatory/MCH and FP clinics, (b) STD screening using wet-mount and Gram stain among 1200 of the similar clinic attendants, and (c) qualitative assessments: in-depth interviews were conducted with 4 PHC doctors, each four FGDs (Focus Group Discussion) with public health center personnel and selected MWRA were performed. Observation were made on the interaction of the health personnel and the clients and the sterilization techniques took place in the PHC.' After the intervention, a similar KAP survey was conducted among another 400 MWRA attending the above same facilities and in-depth interviews with PHC personnel and observation of the personnel-client interaction, sterilization techniques. Data concerning injection practices and the use of needles and syringes were also collected before and after the intervention.
Content analysis technique was used to analyse the qualitative data. Frequency distribution and cross tabulation were used to depict the results of the KAP survey describing pre and post intervention status or urbanlrural differences. Chisquare test was performed as required. The results of the STD screening was shown as it was conducted by PHC lab technicians and rechecked by the Dept of Dermatovenerology of the School of Medicine, the Univ. of Indonesia) RSCM General Hospital.
RESULTS OF THE STUDY: Social demographic characteristics of the respondents pre and post intervention was quite similar. Two out of five respondents both in the urban and rural areas suffering of STD/Reproductive Tract Infection (RT9. The intervention seems to have an effect on the increase of the proportion of the respondents who knew about HIV/AIDS and the danger of reusing needles and syringes. However, it has no effect on the PSP of the respondents concerning STD and Hepatitis B. There was a change in the knowledge of the PHC personnel concerning STD, HIV/AIDS and Hepatitis B, yet there was no apparent effect on the pattern of interaction between providers and the clients and the sterilization technique in the PHC. Although there is an increased proportion of injection demands in the ambulatory clinic both in the urban and rural areas (except Pamanukan) there was a decrease on the reuse of the needles as well as the syringes. The ratio of the use of syringe were close to I:1.
The impact of the intervention was not prominent and significant due to others among the following factors: the intensive health education probably took place during the tight schedule of the project only, after the recommended schedule it took place unregularly; health education was limited in the Puskesmas, therefore the coverage is limited; those who were exposed to the health education were likely not selected as the sample of the survey, and the interval between completed recommended health education intervention and the evaluation was too long. On the other hand change of practice especially among the MWRA attending the PHC and also the personnel of the PHC took a relatively longer time.
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS: STD and RTI infection among the MWRA attending the PHC clinic both in the urban and rural were relatively high about 43.5%. Simple technique of screening STD at the PHC was feasible with appropriate training and relatively good quality of lab technician and good supervision. After the intervention the KAP of the MWRA concerning STD and Hepatitis B was likely to remain unchanged. However, their knowledge concerning HIV and AIDS and the danger of using needles and syringes were increased. There was also an increase on the willingness of the client to pay for the disposable needle and syringe for the injection. Although the interaction of the client and the health personnel as well as sterilization technique at the Puskesmas was still unsatisfactory and there was an increased demand of injection in the ambulatory clinic, overall there is a reduction on the reuse of the needles and syringes. An intervention model including training for the PHC personnel concerning management and prevention of STD including HIV/AIDS, Hepatitis B and Prevention of Reuse of Needles and Syringes. It also made available of the module of training of the MWRA including health education materials. It is recommended that the ambulatory clinic visitors should be not be the same health education target audience with the MCH and FP clinic attendants. It is also recommended to retrain the skills on health education among the PHC personnel. The final output evaluation should be conducted at least after six months of the health education intervention so that substantial change of practice took place among both MWRA and PHC personnel. The experience of conducting STD screening in the Puskesmas could be useful in the upcoming promotion program of the WHO's Mother Baby Package by the Ministry of Health. An advocation should be made to follow-up the result of this study to both program holder and decision makers at the Ministry of Health."
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>