Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusmaidi
"Latar Belakang. Pemberian kemoterapi oxaliplatin sebagai salah satu modalitas terapi kanker kolorektal telah terbukti memperbaiki angka kesembuhan, ketahanan hidup maupun masa bebas penyakit dan kualitas hidup penderita. Namun, juga memberikan berbagai efek samping toksisitas hematologi anemia, leukopenia, dan trombositopenia yang paling sering ditemukan.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan hysterikal kohort. Penelitian dilakukan di Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Divisi Bedah Digestif RSCM, periode Januari 2016 - Desember 2016. Populasi sasaran adalah 65 pasien kanker kolorektal yang mendapat kemoterapi oxaliplatin adjuvan.
Hasil. Usia pasien kanker kolorekta berkisar antara 18 tahun sampai dengan 73 tahun rata-rata 50,8 tahun, perbandingan pria 32 49,2 dan wanita33 50,8. dari 65 pasien kanker kolorektal distribusi lokasi tumor terbanyak pada rektum 39 60, sigmoid 11 16,9, kolon desenden 7 10,8, kolon tranversum 5 7,7, kolon asenden 2 3,1, dan pada caecum 1 1,5. Stadium terbanyak adalah stadium II dan tindakan pembedahan berupa Low Anterior Resction atau Anterior Perineal Resection. Terdapat penurunan rerata kadar hemoglobin yang bermakna dengan p

Background. The administration of oxaliplatin chemotherapy as one of the therapeutic modalities of colorectal cancer has been shown to improve the rate of cure, survival and disease free and quality of life of patients. However, it also provides the most common side effects of hematologic toxicity anemia, leukopenia, and thrombocytopenia.
Methods. This research is an observational using hysterical cohort design. It was conducted in Department of Surgery Faculty of Medicine, University of Indonesia Division of Digestive Surgery RSCM, periode January 2016 December 2016. The target population is 65 patients of colorectal cancer receiving adjuvant oxaliplatin chemotherapy.
Results The age of colorectal cancer patients ranged from 18 to 73 years mean 50.8 years, male 32 49.2 and female 33 50.8. 65 patients of colorectal cancer distributed the most tumor sites in the rectum 39 60, sigmoid 11 16.9, descending colon 7 10.8, tranversum colon 5 7.7, ascending colon 2 3.1, and at caecum 1 1.5. Most stages are stage II and the operate type of Low Anterior Resction or Anterior Perineal Resection. There was a significant decrease in mean hemoglobin level with p
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Patricia Chandra
"Kanker paru-paru menduduki posisi ketiga jenis kanker tertinggi di Indonesia. Nyeri kanker adalah salah satu gejala paling umum yang terjadi pada pasien kanker. Pemberian opioid sebagai pereda nyeri memiliki banyak efek samping yang dapat bersifat fatal seiring meningkatnya dosis opioid. Oleh sebab itu, alternatif yang dapat dilakukan adalah mengombinasikan adjuvan pada terapi opioid. Gabapentin adalah antikonvulsan yang sering dipakai sebagai adjuvan terapi opioid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gabapentin sebagai adjuvan opioid terhadap dosis opioid dan intensitas nyeri kanker pada pasien kanker paru-paru. Jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok terapi opioid adalah 43 pasien dan jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok opioid dengan gabapentin adalah 34 pasien. Tidak menemukan adanya perbedaan dosis opioid dan intensitas nyeri yang signifikan antara kelompok pasien yang menerima opioid saja dan yang menerima opioid dengan gabapentin. Mayoritas pasien (44,15%) dari keseluruhan pasien mengalami bebas nyeri pada akhir terapi. 79,06% pasien yang diterapi dengan opioid dan 88,24% pasien pada kelompok opioid dengan gabapentin mengalami penurunan intensitas nyeri > 50% pada akhir terapi. Peran gabapentin dalam menurunkan dosis opioid dan menurunkan intensitas nyeri pasien kanker paru-paru masih perlu diteliti lebih lanjut.

Lung cancer is the third most prevalent cancer in Indonesia. Cancer pain is one of the most common symptoms experienced by cancer patients. Opioids as treatment of cancer pain has numerous adverse effects which may be fatal along with the increase of its doses. Therefore, combining opioids with its adjuvant serves as an alternative to minimize its negative effects. This study aims to determine the effects of gabapentin as opioid adjuvant on opioid dose and pain intensity in lung cancer patients. The sample size obtained for the opioid group is 43 patients and 34 for the opioid with gabapentin group. No significant difference of opioid dose and pain intensity between patients who received opioid and patients who received opioid with gabapentin. The majority of patients (44,15%) of all included patients are pain-free at the end of their therapy. 79,06% of patients with opioid therapy and 88,24% patients with opioid and gabapentin have a > 50% decrease of pain intensity at the end of their therapy. The role of gabapentin in decreasing opioid dose and pain intensity in lung cancer patients need to be studied further."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Purpose
Pancreatic ductal adenocarcinoma (PDAC) is a lethal disease; however, the frequency of recurrence can be reduced if curative surgery following adjuvant chemotherapy is applied. At present, adjuvant chemotherapy is uniformly performed in all patients, as it is unclear which tumor types are controlled best or worst. We investigated patients with recurrence to establish the optimum treatment strategy.
Methods
Of 138 patients who underwent curative surgery for PDAC, 85 developed recurrence. Comprehensive clinicopathological factors were investigated for their association with the survival time after recurrence (SAR).
Results
The median SAR was 12.6 months. Treatments for recurrence included best supportive care, GEM-based therapy and S-1. The performance status [hazard ratio (HR) 0.12, P < 0.001], histological invasion of lymph vessels (HR 0.27, P < 0.001), kind of treatment for recurrence (HR 5.0, P < 0.001) and initial recurrence site (HR 2.9, P < 0.001) were independent significant risk factors for the SAR. The initial recurrence sites were the liver (n = 21, median SAR 8.8 months), lung (n = 10, 14.9 months), peritoneum (n = 6, 1.7 months), lymph nodes (n = 6, 14.7 months), local site (n = 17, 13.9 months) and multiple sites (n = 25, 10.1 months). A shorter recurrence-free survival (< 1 year) and higher postoperative CA19-9 level were significantly associated with critical recurrence (peritoneal/liver).
Conclusions
Several risk factors for SAR were detected in this study. Further investigations are needed to individualize the adjuvant chemotherapy for each patient with PDAC."
Tokyo: Springer, 2018
617 SUT 48:10 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Andrew
"Kanker payudara adalah kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Dengan prevalensi sebesar 30–50%, nyeri kanker adalah salah satu komplikasi kanker tersering yang dapat menurunkan mutu hidup penderitanya. Nyeri kanker, yang merupakan sejenis nyeri campuran, dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakit atau terapi antikanker. Umumnya nyeri kanker ditangani dengan pemberian opioid dengan/tanpa adjuvan. Namun, opioid memiliki efek samping yang bersifat dose-dependent sehingga penggunaannya harus tepat guna agar memaksimalkan manfaatnya sekaligus meminimalisasi risikonya. Studi ini meneliti efek dari pemberian adjuvan gabapentin terhadap intensitas nyeri dan dosis opioid pasien dengan nyeri kanker payudara. Data rekam medis dari 58 pasien dengan nyeri kanker payudara dari dua rumah sakit rujukan di Jakarta diinklusi untuk studi kohort retrospektif ini. Data yang diambil meliputi profil klinis pasien, derajat nyeri, dan dosis opioid. Analisis statistik tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam median intensitas nyeri maupun median dosis opioid antara kelompok pasien dengan nyeri kanker payudara yang menerima adjuvan gabapentin dengan yang tidak. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan peran gabapentin sebagai adjuvan dalam tata laksana nyeri kanker. Penelitian-penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak jumlah pasien dan mengendalikan faktor-faktor perancu seperti status opioid dan pemberian adjuvan lain.

Breast cancer is the most prevalent cancer in Indonesia. With a prevalence of 30–50%, cancer pain is a frequent complication of cancer which may lower patient quality of life. Cancer pain, a type of mixed pain, may develop from cancer progression or anticancer therapy. Opioids with/without adjuvants are usually administered to manage cancer pain. However, opioids are associated with dose-dependent side effects. Hence, the administration of opioids should be efficient to maximize benefit and minimize risks. This research studied the effect of adjuvant gabapentin administration on the severity of pain and opioid dose of patients with breast cancer pain. This retrospective cohort study included medical records from 58 patients with breast cancer pain from two tertiary hospital in Jakarta. Patients’ clinical profile, pain severity level, and opioid doses were collected. Statistical analyses did not find a significant difference in median pain severity level and median opioid dose between patients with breast cancer pain who received gabapentin and those who do not. Further research is warranted to determine the role of gabapentin as adjuvant in the management of cancer pain. Future studies should increase the sample size and control confounders such as opioid status and the administration of other adjuvants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Milania Djamal
"Latar Belakang Kanker nasofaring menduduki peringkat keempat kanker terbanyak di Indonesia. Di antara gejala-gejalanya, sakit kepala sering dilaporkan dan terkadang menjadi satu- satunya keluhan. Opioid telah lama menjadi pendekatan utama untuk mengatasi nyeri kanker neuropatik; namun efektivitasnya sering kali dianggap kurang optimal. Akibatnya, obat-obatan tambahan, termasuk Gabapentin, sering kali diintegrasikan ke dalam rejimen pengobatan untuk meningkatkan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemanjuran terapi opioid saja dan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri kanker. Metode Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan dengan meninjau rekam medis dari dua rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini mencakup sampel 139 pasien yang didiagnosis menderita kanker nasofaring. Ekstraksi data meliputi demografi pasien, resep opioid awal dan akhir, intensitas nyeri awal dan akhir yang dinilai dengan Numerical Rating Scale (NRS), jenis kanker nasofaring, dan peresepan gabapentin. Hasil Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata penurunan NRS. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi, termasuk gabapentin sebagai bahan pembantu, mengalami penurunan rata-rata skor Numerical Rating Scale (NRS) sebesar 2,141, sedangkan pasien pada kelompok opioid saja mengalami penurunan rata-rata skor NRS sebesar 0,894. Kesimpulan Studi ini menyoroti penurunan signifikan secara statistik pada rata-rata skor NRS, yang menegaskan potensi kemanjuran gabapentin sebagai bahan tambahan opioid dalam mengurangi nyeri kanker di antara pasien kanker nasofaring.

Introduction Nasopharyngeal cancer ranks as the fourth most prevalent cancer in Indonesia. Among its symptoms, headaches are frequently reported and, at times, can be the sole complaint. Opioids have long been the primary approach to managing neuropathic cancer pain; nonetheless, their effectiveness is often considered suboptimal. As a result, adjuvant medications, including Gabapentin, are frequently integrated into treatment regimens to augment pain management. This study aims to compare the efficacy of opioid-only and combination therapy in the treatment of cancer pain. Method A retrospective cohort study was undertaken by reviewing medical records from two hospitals in Jakarta, Indonesia. The study encompassed a sample of 139 patients diagnosed with nasopharyngeal cancer. Data extraction included patient demographics, initial and final opioid prescriptions, initial and final pain intensity assessed by the Numerical Rating Scale (NRS), type of nasopharyngeal cancer, and the prescription of gabapentin. Results Statistical analysis demonstrated a significant difference in mean NRS reduction. Patients in the combination therapy group, including gabapentin as an adjuvant, experienced a mean reduction of 2.141 in Numerical Rating Scale (NRS) scores, while those in the opioid-only group had a mean reduction of 0.894 in NRS scores. Conclusion The study highlighted the statistically significant reduction in mean NRS scores, affirming the potential efficacy of gabapentin as an adjuvant to opioids in alleviating cancer pain among nasopharyngeal cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Goenawan Slamet
"PENDAHULUAN
Makalah ini dibuat untuk meninjau lebih jauh kepustakaan yang ada sampai saat ini, di mana dibicarakan mengenai terapi amputasi, limb salvage dan ajuvan terapi yang diberikan sebelum atau sesudah terapi bedah, di mana semua hal tersebut ditujukan untuk meningkatan survival rate pada penderita osteosarkoma. Seperti kita ketahui, amputasi sampai saat ini merupakan pilihan utama dalam terapi bedah. Beberapa penulis mengemukakan bahwa sejak dua dekade terakhir ini reseksi menjadi populer. Kemudian W. F. Enneking pada tahun 1980 mengajukan staging untuk neoplasms muskulo skeletal, di mana penyusunan staging tersebut mempunyai maksud untuk menggolongkan faktor-faktor prognosa yang berarti penyusunan implikasi spesifik untuk terapi pembedahan, dan petunjuk untuk melengkapi terapi tambahan. Makalah ini juga berisi ilustrasi penderita-penderita yang berobat di Bagian Bedah RSCM, periode Januari 1980 s/d Desember 1981, yang mempunyai masalah lain di samping masalah diatas.
Bahan Dan Cara, Dikumpulkan status penderita osteo sarkoma yang berobat 1981 semuanya berjumlah delapan orang. Dikumpulkan kepustakaan yang ada, dan kemudian mencoba membandingkannya.
Kepustakaan, Osteosarkoma merupakan tumor tulang primer, menurut klasifikasi AEGERTER (1968) digolongkan dalam " True neoplasma of bone ", jenis " Osteogenic sarcoma ". Neoplasma ini berasal dari sel mesensimal primitif, serf osteoblastik, di daerah metafisis tulang panjang. Etiologi neoplasma ini belum dapat dijelaskan secara pasti, akan tetapi ditemukan oleh pengarang-pengarang, bahwa neoplasma ini dapat terjadi pada satu keluarga, setelah radiasi, bersama neoplasma lain, timbul dari neoplasma lain, setelah trauma , dan oleh virus. Neoplasma ini umumnya menyerang penderita usia antara deka de 1-2 pada metafisis tulang panjang, dan penderita lakilaki lebih banyak dari pada wanita. Insidens di Amerika Serikat 1 : 100.000, dan di Inggris 1: 75.000. Di dalam deretan tumor tulang primer, menempati urutan kedua setelah plasma sel yeloma. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, radiologis dan patologi anatomis.
"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Ristiyanto
"ABSTRAK
Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia. Data mengenai gambaran tatalaksana kanker kolorektal di RSUP Fatmawati belum pernah tercatat dan belum pernah dievaluasi keberhasilanya. Untuk itu kami mengumpulkan data penderita kanker kolorektal sehingga kami bisa menggambarkan profil penderita kanker kolorektal di RSUP Fatmawati.
Metode : Penelitian ini dirancang secara potong lintang retrospektif analitik, di RSUP Fatmawati Jakarta dengan mencatat rekam medis penderita kanker kolorektal yang mendapatkan tatalaksana pembedahan dan terapi adjuvan pada tahun 2010 – 2012.
Hasil : Selama 3 tahun periode Januari 2010 sampai dengan 2012, kami dapatkan 122 penderita kanker kolorektal yang di tatalaksana di Departemen Bedah RSUP Fatmawati Jakarta, yang sesuai kriteria inklusi 85 penderita. prevalensi dari tahun ke tahun semakin tambah, dengan jenis kelamin pria lebih banyak (55%) dan wanita (45%). Kelompok usia terbanyak pada penderita usia 50 tahun ke atas (55%), dan. lokasi tumor terbanyak pada kolon kanan (21%). Sebagian besar datang mencari pertolongan dengan keluhan utama buang air besar yang berdarah dan berlendir (47%). Stadium klinis penderita datang dengan stadium I (1%), stadium II (20%), stadium III (50%), stadium IV (28%). Sebagian besar temuan histopatologi adalah adenokarsinoma, dengan differensiasi baik (42%), differensiasi baik-sedang (8%), differensiasi sedang (24%), differensiasi sedang-buruk (4%), differensiasi buruk (10%), dan musinosum (12%). Hanya 68% penderita kanker kolorektal yang mendapatkan kemoterapi adjuvan.
Simpulan : Berdasarkan penelitian ini kami menyimpulkan bahwa RSUP Fatmawati dengan jumlah insidensi kanker kolorektal bertambah tiap tahunnya. Rerata pasien yang berkunjung ke pelayanan kami adalah penderita pada stadium III. Kecenderungan insidensi pada usia muda semakin bertambah, kemoterapi adjuvan atau paliatif belum maksimal, neoadjuvan kemoradiasi atau radiasi tidak ada pada pelayanan kami. Sebagian besar penderita diberikan kemoterapi capecetabine oral. Sebagian besar terdapat ketidaksesuaian antara staging klinis dengan staging histopatologis. Data yang didapatkan ini merupakan data pertama yang kami buat di Departemen Bedah RSUP Fatmawati.

ABSTRACT
Colorectal cancer was the third most frequent type of cancer that occurs in the world. Data of colorectal cancer management in Fatmawati hospital has not been recorded and has not been evaluated. we collected the data and we can describe the profile of colorectal cancer patients in Fatmawati hospital.
Method : The study was designed as a cross-sectional retrospective analytic, in Fatmawati hospital Jakarta recorded base on colorectal cancer patient medical record who received surgery and adjuvant therapy in 2010-2012 .
Result : During the 3 years, period from January 2010 to 2012, we got the 122 colorectal cancer patients in in the Department of Surgery Fatmawati hospital Jakarta, appropriate inclusion criteria 85 patients. Prevalence from year to year was increased, with more male gender (55%) and female (45%). The age group most in people aged 50 years and over ( 55 % ). Most tumor location in the right colon (21%). Most come for help with a chief complaint of bloody and mucus stool (47%). Clinical staging of patients with stage I came (1 %), stage II (20%), stage III (50%), stage IV (28%). Most of the findings histopathology is adenocarcinoma, with good differentiated (42%), well-moderate differentiated (8%), moderate differentiated (24%), moderate-poor differentiated (4%), poor differentiated (10%), and mucinous (12%). Only 68 % of patients with colorectal cancer who received adjuvant chemotherapy.
Conclusion : Based on this study we conclude that the number of colorectal cancer patients in Fatmawati increased every each year. The most patients who visited our departement was in stage III. Tendency prevalence was increased at a young age, adjuvant or palliative chemotherapy is not maximized, neoadjuvant chemoradiation or radiation does not exist in our services. Most of the patients given oral chemotherapy capecetabine. Mostly there was a mismatch between clinical staging and histopathological staging. The data obtained was the first data that we created in the Department of Surgery Fatmawati hospital Jakarta ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahaboobkhan Rasool
"Evaluasi Biokimiawi Bubuk Akar Withania somnifera pada Tikus yang Diinduksi Adjuvant-Arthritis. Penelitian saat ini dilakukan untuk mengevaluasi efek biokimiawi dari Withania somnifera Linn. Solanaceae, yang juga dikenal sebagai ashwagandha, pada tikus yang diinduksi adjuvant-arthritic. Hasil penelitian kemudian dikomparasi terhadap Indomethacin, yang merupakan obat anti peradangan non-steroid. Arthritis diinduksi dengan menggunakan injeksi Complete Freund?s Adjuvant (0,1 mL) secara intra-dermal ke telapak kaki belakang tikus Wistar albino. Akar Withania somnifera bubuk (1000 mg/kg/hari) dan Indomethacin (3 mg/kg/hari) diberikan secara oral selama 8 hari (dari hari ke 11-18) pasca dilakukannya injeksi adjuvant. Setelah masa experimen, seluruh hewan percobaan dikorbankan, kemudian sampel limpa, hati, dan serum dikumpulkan untuk analisis biokimiawi lebih jauh. Pada tikus-tikus yang diinduksi adjuvant-arthritic, terdapat peningkatan signifikan dalam aktifitas enzim glukoneogenesis, enzim petanda jaringan, level glukosa darah, jumlah sel darah putih (WBC), jumlah keping darah, tingkat sedimentasi eritrosit, dan protein fase akut (asam hyaluronic, fibrinogen dan ceruloplasmin). Sementara itu, terjadi penurunan aktifitas enzim glikolisis, berat tubuh, level hemoglobin, jumlah sel darah merah (RBC), dan volume sel yang dimampatkan (PCV). Kondisi perubahan biokimiawi yang terjadi pada hewan penderita arthritis ini membaik secara signifikan setelah pemberian bubuk akar Withania somnifera (1000 mg/kg/b.wt) dan Indomethacin (3 mg/kg/b.wt). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa bubuk akar Withania somnifera dapat menyembuhkan perubahan biokimiawi pada adjuvant-arthritis yang disebutkan di atas. Hasil ini dapat bermanfaat dalam perawatan kondisi rheumatoid-arthritis.

The present investigation was carried out to evaluate the biochemical effect of Withania somnifera Linn. Solanaceae, commonly known as ashwagandha on adjuvant induced arthritic rats. Results were compared to Indomethacin, a non steroidal anti-inflammatory drug. Arthritis was induced by an intra dermal injection of Complete Freund?s Adjuvant (0.1 mL) into the right hind paw of Wistar albino rats. Withania somnifera root powder (1000 mg/kg/day) and Indomethacin (3 mg/kg/day) were orally administered for 8 days (from 11th to 18th day) after adjuvant injection. After the experimental period, all the animals were sacrificed and serum, liver and spleen samples were collected for further biochemical analysis. A significant increase in the activities of gluconeogenic enzymes, tissue marker enzymes, blood glucose level, WBC, platelet count, erythrocyte sedimentation rate, and acute phase proteins (hyaluronic acid, fibrinogen and ceruloplasmin) was observed in adjuvant-induced arthritic rats, whereas the activities of glycolytic enzymes, body weight, levels of hemoglobin, RBC count, and packed cell volume were found to be decreased. These biochemical alterations observed in arthritic animals were ameliorated significantly after the administration of Withania somnifera root powder (1000 mg/kg/b.wt) and Indomethacin (3 mg/kg/b.wt). Our results suggest that Withania somnifera root powder is capable of rectifying the above biochemical changes in adjuvant arthritis and it may prove to be useful in treating rheumatoid arthritis."
University of Madras. Department of Medical Biochemistry, 2015
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Riri Nurul Suci
"Artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan inflamasi kronik pada daerah persendian. Daun babandotan terbukti memiliki khasiat dalam terapi inflamasi. Tetapi belum ada data terkait efeknya terhadap artritis reumatoid sehingga dapat dijadikan alternatif terapi artritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiartritis ekstrak etanol 70% daun babandotan diamati dari volume edema kaki tikus yang diinduksi complete freund?s adjuvant, serta pengaruh ekstrak terhadap kadar TNF-α dan parameter hematologi darah diamati dari jumlah leukosit, limfosit, granulosit, hemoglobin, eritrosit, dan mean cells volume of RBCs (MCV). Penelitian ini menggunakan 30 tikus putih jantan Sprague-Dawley, dibagi menjadi 6 kelompok. Kelompok kontrol normal dan negatif diberikan CMC 0,5%, kelompok kontrol positif diberikan suspensi metotreksat 0,05 mg/200 g bb, kelompok variasi dosis ekstrak diberikan 6,48 mg; 12,96 mg; dan 25,92 mg/200 g bb. Semua kelompok diinduksi 0,1 ml CFA pada hari ke-1 kecuali kelompok kontrol normal. Bahan uji diberikan satu kali sehari secara oral pada hari ke-29 sampai hari ke-49. Pengukuran volume telapak kaki dilakukan pada hari ke- 1, 29, dan 50. Perhitungan parameter hematologi dilakukan pada hari ke-29 dan 50, serta uji kadar TNF-α dilakukan pada hari ke-50. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% daun babandotan, mampu menurunkan volume edema, kadar TNF-α, jumlah leukosit, limfosit, dan granulosit pada kelompok dosis 25,92 mg/200 g BB melalui mekanisme penghambatan sitokin inflamasi seperti TNF-α. Namun pemberian bahan uji tidak signifikan dalam mempengaruhi jumlah hemoglobin, eritrosit, dan MCV.

Rheumatoid arthritis is an autoimmune disease characterized by chronic inflammation in joints. Babandotan leaves is proven to be used in inflammation theraphy, but there is yet any data regarding the effects of the leaves on rheumatoid arthritis. At the same time, the extract can be an alternative arthritis therapy. The aim of this research is to determine the anti-arthritic effect of 70% ethanolic extract of babandotan leaves in terms of reduction in edema volume on rat paw induced by complete freund?s adjuvant (CFA), and the effect of extract to TNF-α and haematological parameters observed the number of leukocytes, lymphocytes, granulocytes, haemoglobin, erythrocytes, and mean cells volume of RBCs (MCV). This research used white male Sprague-Dawley rats which were divided into 6 groups; normal control and negative control groups, both given 0.5% CMC; positive control group, given methotrexate suspension 0.05 mg/200 g bw; the dose variation extract are 6.48 mg; 12.96 mg; 25.92 mg/200 g bw. All the groups were induced with 0.1 ml CFA on day-1, except normal control group. Test material were administered orally once daily on days-29 to 49. Foot-pad volume measurements were performed on days-1, 29, and 50. The number of leukocytes, lymphocytes, granulocytes, haemoglobin, erythrocytes, and mean cells volume of RBCs (MCV) were counted on days-29 and 50, and TNF-α assay were counted on days-50. The results showed that the 70% extract ethanolic of babandotan leaves with a given dose variation have been able decrease edema volume, TNF-α, the number of leukocytes, lymphocytes, granulocytes at 25.92 mg/200 g bw dose groups by inhibit cytokins inflammation. However, administration of the test materials did not significantly influence the number of haemoglobin, erythrocytes, mean cells volume of RBCs (MCV)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65695
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The present investigation was carried out to evaluate the biochemical effect of Withania somnifera Linn. Solanaceae,
commonly known as ashwagandha on adjuvant induced arthritic rats. Results were compared to Indomethacin, a non
steroidal anti-inflammatory drug. Arthritis was induced by an intra dermal injection of Complete Freund’s Adjuvant
(0.1 mL) into the right hind paw of Wistar albino rats. Withania somnifera root powder (1000 mg/kg/day) and
Indomethacin (3 mg/kg/day) were orally administered for 8 days (from 11th to 18th day) after adjuvant injection. After
the experimental period, all the animals were sacrificed and serum, liver and spleen samples were collected for further
biochemical analysis. A significant increase in the activities of gluconeogenic enzymes, tissue marker enzymes, blood
glucose level, WBC, platelet count, erythrocyte sedimentation rate, and acute phase proteins (hyaluronic acid,
fibrinogen and ceruloplasmin) was observed in adjuvant-induced arthritic rats, whereas the activities of glycolytic
enzymes, body weight, levels of hemoglobin, RBC count, and packed cell volume were found to be decreased. These
biochemical alterations observed in arthritic animals were ameliorated significantly after the administration of Withania
somnifera root powder (1000 mg/kg/b.wt) and Indomethacin (3 mg/kg/b.wt). Our results suggest that Withania
somnifera root powder is capable of rectifying the above biochemical changes in adjuvant arthritis and it may prove to
be useful in treating rheumatoid arthritis.
Evaluasi Biokimiawi Bubuk Akar Withania somnifera pada Tikus yang Diinduksi Adjuvant-Arthritis. Penelitian
saat ini dilakukan untuk mengevaluasi efek biokimiawi dari Withania somnifera Linn. Solanaceae, yang juga dikenal
sebagai ashwagandha, pada tikus yang diinduksi adjuvant-arthritic. Hasil penelitian kemudian dikomparasi terhadap
Indomethacin, yang merupakan obat anti peradangan non-steroid. Arthritis diinduksi dengan menggunakan injeksi
Complete Freund’s Adjuvant (0,1 mL) secara intra-dermal ke telapak kaki belakang tikus Wistar albino. Akar Withania
somnifera bubuk (1000 mg/kg/hari) dan Indomethacin (3 mg/kg/hari) diberikan secara oral selama 8 hari (dari hari ke
11-18) pasca dilakukannya injeksi adjuvant. Setelah masa experimen, seluruh hewan percobaan dikorbankan, kemudian
sampel limpa, hati, dan serum dikumpulkan untuk analisis biokimiawi lebih jauh. Pada tikus-tikus yang diinduksi
adjuvant-arthritic, terdapat peningkatan signifikan dalam aktifitas enzim glukoneogenesis, enzim petanda jaringan,
level glukosa darah, jumlah sel darah putih (WBC), jumlah keping darah, tingkat sedimentasi eritrosit, dan protein fase
akut (asam hyaluronic, fibrinogen dan ceruloplasmin). Sementara itu, terjadi penurunan aktifitas enzim glikolisis, berat
tubuh, level hemoglobin, jumlah sel darah merah (RBC), dan volume sel yang dimampatkan (PCV). Kondisi perubahan
biokimiawi yang terjadi pada hewan penderita arthritis ini membaik secara signifikan setelah pemberian bubuk akar
Withania somnifera (1000 mg/kg/b.wt) dan Indomethacin (3 mg/kg/b.wt). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa
bubuk akar Withania somnifera dapat menyembuhkan perubahan biokimiawi pada adjuvant-arthritis yang disebutkan
di atas. Hasil ini dapat bermanfaat dalam perawatan kondisi rheumatoid-arthritis."
VIT University. School of Bio Sciences and Technology ; University of Madras. Department of Medical Biochemistry, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library