Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saputro Handoyo
Abstrak :
Perkembangan ekonomi yang semakin mengarah kepada terbentuknya pasar bebas tidak dapat dihindari lagi dengan menyatunya ekonomi antar bangsa. Hal tersebut adalah merupakan salah satu tanda bergesernya arah perekonomian dunia menuju arah liberalisasi perekonomian global. Untuk mengatur keseimbangan dan kesamaan antara hak dan kewajiban dalam globalisasi perekonomian antara negara telah disepakati adanya suatu lembaga yang mengatur hal tersebut yaitu World Trade Orgatuzation (WTO) yang dibentuk pada tanggal 15 April 1994 di Marekkesh, Maroko. Indonesia sebagai salah satu negara anggotanya telah meratifikasi Agreemem Eswi?!is/ung the World Trade Orgaiuzation (WTO) dengan dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1994 yang secara otomatis juga telah meratifikasi Antidumping Code (1994) yang merupakan salah satu bagian dari perjanjian WTO tersebut. Diratifikasinya perjanjian WTO beserta Antidumping Code (1994) ditindak lanjuti oleh pemerintah Indonesia dengan menyisipkan ketetentuan dasar antidumping sebagaimana diatur dalam antidumping code (1994) dalam UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan Jo PP No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan. Komite Antidumping Indonesia (KADI) sebagai suatu lembaga yang diamanatkan dari ketentuan antidumping tersebut memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan tentang dumping yang timbul dalam perdagangan antar negara. Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh KADI tersebut baik menetapkan pengenaan antidumping maupun tidak, bila dikaji dari persfektif yuridis yaitu : struktur, substansi dan budaya serta dari persfektif ekonomi nasional (kepentingan pengusaha sebagai produsen dan juga kepentingan masyarakat sebagai konsumen). Disarankan bagi KADI sebagai lembaga yang berwenang memutus sengketa dumping atau subsidi hendaknya dalam kebijakan yang dikeluarkannya mempergunakan landasan yuridis yang bersifat khusus yang berbeda dalam hal Kepabeanan dalam suatu undang-undang tersendiri yang tetap memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam antidumping code (1994) dan Struktur kelembagaan KADI sebaiknya bersifat SRO yaitu sebagai suatu lembaga yang independen dan mempunyai kewenangan untuk mengatur, menentukan serta memutus sendiri halhal yang diperlukan dalam mengatur sektor yang berada di bawah pengawasannya atau bila bersifat sebagai suatu lembaga inter-departemen, maka sebaiknya KADI berada di bawah koordinasi langsung Menteri Keuangan untuk memangkas alur pengenaan antidumping atau subsidi yang panjang. Untuk kepentingan bersama hendaknya kebijakan antidumping yang dikeluarkan oleh KADI mempertimbangkan semua kepentingan yang terkait dalam perdagangan tersebut serta dapat memberikan gambaran tentang batasan yang jelas kapan suatu praktek dumping dapat dikenakan dan sejauh mana praktek dumping dapat dimaafkan dengan alasan untuk kepentingan masyarakat sebagai konsumen.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36935
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahbub Junaidi
Abstrak :
ABSTRAK
Beberapa negara memiliki ketentuan domestik di bidang Antidumping yang mengharuskan otoritas penyelidiknya melakukan evaluasi terhadap penerapan tindakan antidumping guna kepentingan umum yang lebih besar (kepentingan nasional). Dengan kata lain, sebelum tindakan Antidumping dikenakan, harus dipertimbangkan lebih dahulu dampaknya terhadap berbagai kelompok lain selain industri dalam negeri yang mengajukan petisi serta untuk menjamin kepentingan yang lebih besar secara keseluruhan. Otoritas penyelidik dapat memutuskan untuk tidak mengenakan tindakan Antidumping apabila berdasarkan temuan diketahui akan bertentangan dengan kepentingan umum atau kepentingan nasional, meskipun telah terbukti adanya injury, dumping, dan hubungan kausal di antara keduanya. Selama Putaran Uruguay, beberapa negara anggota WTO telah mencoba menegosiasikan klausul kepentingan umum atau kepentingan nasional menjadi klausul wajib dalam Perjanjian Antidumping, namun usaha tersebut gagal. Selama Putaran Doha beberapa negara anggota WTO kembali mengusulkan masalah ini, namun tetap saja tidak tercapai kesepakatan. Tesis ini secara singkat membahas analisis pertimbangan National Interest dalam penyelidikan Antidumping, baik dalam level hukum domestik maupun internasional pada saat ini, masalah dan solusi yang memungkinkan untuk memperkuat ketentuan National Interest dalam penyelidikan Antidumping. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis melakukan kajian historis, analitis, dan studi banding. Singkatnya, Tesis ini mendukung dicantumkannya klausul National Interest dalm Perjanjian Antidumping Indonesia, karena menjunjung tinggi prinsip-prinsip proporsionalitas, proses hukum, dan keadilan. Disamping itu, tujuan dari WTO sebagaimana didefinisikan dalam Mukadimah the Marrakesh Agreement akan tercapai. Bagian akhir Tesis menyimpulkan bahwa penguatan hak-hak prosedural perlu diberikan kepada para pengguna industri, organisasi konsumen, dan pihak lain yang terkena dampak negatif dari pengenaan tindakan Antidumping. Juga diharapkan adanya perbaikan terhadap ketentuan National Interest dalam Antidumping untuk menjamin terlindunginya kepentingan nasional yang lebih besar.
Abstract
Some countries have provisions in their domestic Antidumping laws obliging the investigating authorities to evaluate whether the application of Antidumping measures is in the public or greater national interest. In other words, before imposing the measure, its impact on groups other than domestic industry and the country?s overall interest should be studied. The investigating authorities may decide not to impose the Antidumping measure based on the finding that such a measure is in contradiction with public or national interest, notwithstanding an affirmative injury, dumping, and causation. During the Uruguay Round some GATT Contracting Parties tried to negotiate a mandatory public or national interest clause in the Antidumping Agreement, but failed to do so. During the Doha Round several WTO Members again raised this issue, but the agreement has not been reached so far. This thesis will shortly explore the legal concept of national interest in Antidumping disciplines, its use in current domestic and international laws, problems and possible solutions for strengthening international disciplines on public interest. In achieving these objectives, historical, analytical, comparative, and case study methods of analysis are used. The thesis, in short, supports the idea to include national interest consideration clause into Indonesian Antidumping Agreement, which would respect the principles of proportionality, due process, and fairness as well as the objectives of the WTO as defined in the preamble of the Marrakesh Agreement. The thesis concludes that the strengthening of procedural rights granted to industrial users, consumer organizations and other negatively effected parties. It also desired to develop substantial rules on national interest pursuant to greater public interest (national interest) in future.
2012
T31602
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alphen aan den Rijn: Wolters Kluwer Law & Business, 2013
343.087 GUI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arriaz Mosha Athar
Abstrak :
Pakistan sebagai salah satu negara anggota WTO berhak untuk melakukan penyelidikan Anti-dumping jika terdapat impor yang diduga mengandung dumping yang merugikan industri dalam negerinya. Ketentuan WTO maupun regulasi domestik Pakistan mengatur bahwa penyelidikan anti-dumping harus dilakukan paling lama 18 bulan. Namun, Pakistan sudah 2 (dua) kali melakukan penyelidikan Anti-dumping yang melebihi 18 bulan terhadap impor produk kertas yang salah satunya berasal dari Indonesia. Permasalahannya adalah terlampauinya batas maksimum 18 bulan penyelidikan Anti-dumping tersebut disebabkan oleh penundaan atau penghentian sementara penyelidikan anti-dumping yang diperintahkan hakim pengadilan domestik Pakistan kepada Otoritas penyelidik Pakistan yaitu National Tariff Commission NTC) hingga putusan dikeluarkan. Apabila dimasa yang akan datang penundaan tersebut terulang kembali, maka kelancaran ekspor kertas Indonesia ke Pakistan akan terganggu. Tujuan penulisan ini tidak hanya untuk memahami kesesuaian penundaan Penyelidikan Anti-dumping oleh Pakistan terhadap ketentuan WTO tetapi juga menganalisa kepastian hukum atas penundaan penyelidikan anti-dumping tersebut, serta upaya pencegahan yang efektif yang seharusnya dilakukan Indonesia. Temuan dari penullisan ini adalah Pakistan bertentangan dengan Anti-Dumping Agreement (ADA) dan Marrakesh Agreement. Sehingga, Upaya Pembelaan yang paling relevan untuk dilakukan Indonesia adalah menegosiasikan permasalahan ini pada forum Joint Negotiating Committee (JNC) ke-3, Indonesia – Pakistan Trade in Goods Agreement (IP-TIGA). Namun jika tidak tercapai kesepakatan pada forum tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia membawa permasalahan ini ke forum Dispute Settlement Body (DSB) WTO. ......As a member of the WTO, Pakistan has the right to conduct anti-dumping investigations if there are alleged dumped imports which causing injury to its domestic industry. Both WTO provision and Pakistan's domestic regulations stipulate that an anti-dumping investigation shall be concluded no more than 18 months. However, Pakistan has conducted 2 (two) times Anti-dumping investigations which exceed 18 months against alleged dumped imports of paper products, including imported from Indonesia. The problem is that the maximum limit of 18 months of the Anti-dumping investigation was exceeded due to the delay or suspension of the anti-dumping investigation which was ordered by the Pakistan Domestic Court to the investigating Authority of Pakistan, namely the National Tariff Commission (NTC) until the verdict was issued. If the suspension will recur in the future, the flow of Indonesia exports of paper products to Pakistan will be disrupted. The purpose of this thesis is not only to understand the consistency of the suspension of the Antidumping Investigation by Pakistan against the provisions of the WTO but also to analyze the effective trade defense efforts that Indonesia should take. The finding of this thesis that Pakistan has acted inconsistently with the provision of Anti-Dumping Agreement (ADA) and the Marrakesh Agreement. Therefore, the most relevant trade defense effort for Indonesia is negotiate this issue at the 3rd Joint Negotiating Committee (JNC) forum, Indonesia – Pakistan Trade in Goods Agreement (IP-TIGA). However, if no agreement is reached at the forum, then Indonesia should have brought this issue to the Dispute Settlement Body (DSB) WTO.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahbub Junaidi
Abstrak :
Aturan Antidumping WTO (The GATT 1994) dibuat tidak untuk melarang dumping, tetapi untuk mengatur kondisi-kondisi yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berkepentingan sebelum mereka mengenakan tindakan Antidumping terhadap barang impor dumping. Kondisi dimaksud adalah telah terjadi Kerugian yang dialami oleh industri dalam negeri, yaitu setelah dilakukan pengujian yang dikenal dengan "pengujian kerugian" (injury test). Jadi, menurut WTO, tidak ada tindakan balasan yang boleh dilakukan sebelum benar-benar terbukti adanya injury yang diakibatkan oleh barang impor dumping. Komite Antidumping Indonesia (KADI) tidak mempunyai standar hukum yang cukup atau petunjuk yang jelas untuk menguji eksistensi Kerugian dalam penyelidikan dumping, misalnya terkait dengan penentuan facts available, material retardation, dan sebagainya. Oleh karena itu, penting sekali untuk segera melakukan perubahan atau amandemen terhadap ketentuan Antidumping Indonesia agar sesuai dengan ketentuan WTO dan praktik-praktik terbaik dalam pengimplementasian hukum Antidumping (best practices). Ketidaksesuaian atau kekurang-lengkapan aturan hukum nasional terhadap ketentuan WTO di bidang Antidumping dapat dilihat sebagai hal yang tidak dapat lagi didispensasi. ......The GATT 1994 rules are not intended to prohibit dumping, they are intended to regulate conditions which must be satisfied before the contracting parties can take measures against imports of dumped good. The most significant of these conditions is the requirement that injury must have been caused to the domestic industry. This is popularly known as the "injury test". Thus, no retaliatory action is sanctioned under the GATT 1994 merely because goods have been dumped. Action is only permitted if that dumping is also shown to have caused injury. Indonesian authorities (Indonesian Antidumping Committee, KADI) has no sufficient legal standard and clear guidance when examining the existence of injury In Antidumping investigation, such as facts available, material retardation, and so forth. It is urgent to revise or ammend the Indonesian regulation in accordance with the WTO Antidumping System and the best practices. The incorporation of the substantial provisions of - if not the entire of - the Antidumping Agreement into Indonesian legislation would seem to be indispensable in advancing the understanding of the Authorities involved and ensuring compliance with the WTO in the implementation of the Indonesian Antidumping.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S24777
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Cassie Johanna
Abstrak :
[ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa ketentuan WTO dan hukum nasional Indonesia berkaitan dengan pengaturan dumping dan antidumping di Kawasan Bebas dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengenakan atau tidak mengenakan Bea Masuk Antidumping pada barang dumping yang akan masuk ke Kawasan Bebas di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku. Tindakan Antidumping menurut ketentuan WTO pelaksanaannya wajib dilakukan apabila telah dipenuhi syaratsyarat tindakan dumping dan berdasarkan hasil investigasi Komite Antidumping. Perbandingan antara nilai normal dengan nilai ekspor hasil investigasi tersebut akan mendapatkan suatu marjin dumping yang dinilai sangat penting dalam menentukan besaran pengenaan Bea Masuk Antidumping. Pada praktiknya, bea masuk antidumping justru dibebaskan dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Kawasan Bebas) sebagaimana Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dengan dibukanya lalu lintas barang yang masuk ke dalam Kawasan Bebas tanpa terkena bea masuk, apalagi bea masuk antidumping, ternyata dapat mengakibatkan terjadinya disorientasi pelindungan dan pengamanan perdagangan yaitu menimbulkan kerugian produsen ataupun industri dalam negeri dan mengakibatkan terhambatnya industri dalam negeri karena kalah bersaing dari produsen luar negeri yang berhasil memasukkan barangnya ke Kawasan Bebas. Ketentuan WTO mengenai Territorial Application-Frontier Traffic-Customs Unions and Free-trade Areas, memungkinkan masuknya barang ke dalam suatu Kawasan Bebas untuk dikenakan Tindakan Pemulihan Perdagangan, salah satunya Tindakan Antidumping, sehingga dapat menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk dapat melakukan perubahan pengaturan mengenai bea masuk pada Kawasan Bebas.
ABSTRACT
This research aims to analyze the provisions of the WTO and the Indonesian national law relating to dumping and anti-dumping regulation in Free Zone and efforts should be made to wear or not to wear Antidumping Duties on dumping of goods that will go to the Free Zone in Indonesia. This research is a normative juridical law using secondary data, such as legislation and books. Antidumping action under the terms of WTO implementation must be done if the conditions have been fulfilled dumping measures and is based on the results of the investigation Antidumping Committee. The comparison between the normal value with an export value of the results of the investigation will get a dumping margin which was considered very important in determining the amount of the imposition of Antidumping Duty. In practice, anti-dumping duties actually released within the Free Trade Zone and Free Port (Free Zone) as well as Article 14 of Government Regulation No. 10 of 2012 on the Treatment of Customs, Taxation and Excise And Procedure Entry and goods to and from And Being in the Region Defined as Free Trade Zone and Free Port. With the opening of freight traffic coming into the free zone without incurring customs duties, let alone antidumping duties, it can result in disorientation protection and trade security that is causing losses of industrial or domestic producers and resulted in inhibition of domestic industry because of competition from producers outside who managed to enter the country the goods to the free zone. WTO provisions concerning Territorial Application-Frontier Traffic-Customs Unions and Free-trade Areas, allowing the entry of goods into a free zone for the Restoration of Commerce imposed measures, one of which Antidumping Measures, which can be the basis for the Indonesian government to be able to make changes to the settings on duty entered the free zone.;This research aims to analyze the provisions of the WTO and the Indonesian national law relating to dumping and anti-dumping regulation in Free Zone and efforts should be made to wear or not to wear Antidumping Duties on dumping of goods that will go to the Free Zone in Indonesia. This research is a normative juridical law using secondary data, such as legislation and books. Antidumping action under the terms of WTO implementation must be done if the conditions have been fulfilled dumping measures and is based on the results of the investigation Antidumping Committee. The comparison between the normal value with an export value of the results of the investigation will get a dumping margin which was considered very important in determining the amount of the imposition of Antidumping Duty. In practice, anti-dumping duties actually released within the Free Trade Zone and Free Port (Free Zone) as well as Article 14 of Government Regulation No. 10 of 2012 on the Treatment of Customs, Taxation and Excise And Procedure Entry and goods to and from And Being in the Region Defined as Free Trade Zone and Free Port. With the opening of freight traffic coming into the free zone without incurring customs duties, let alone antidumping duties, it can result in disorientation protection and trade security that is causing losses of industrial or domestic producers and resulted in inhibition of domestic industry because of competition from producers outside who managed to enter the country the goods to the free zone. WTO provisions concerning Territorial Application-Frontier Traffic-Customs Unions and Free-trade Areas, allowing the entry of goods into a free zone for the Restoration of Commerce imposed measures, one of which Antidumping Measures, which can be the basis for the Indonesian government to be able to make changes to the settings on duty entered the free zone., This research aims to analyze the provisions of the WTO and the Indonesian national law relating to dumping and anti-dumping regulation in Free Zone and efforts should be made to wear or not to wear Antidumping Duties on dumping of goods that will go to the Free Zone in Indonesia. This research is a normative juridical law using secondary data, such as legislation and books. Antidumping action under the terms of WTO implementation must be done if the conditions have been fulfilled dumping measures and is based on the results of the investigation Antidumping Committee. The comparison between the normal value with an export value of the results of the investigation will get a dumping margin which was considered very important in determining the amount of the imposition of Antidumping Duty. In practice, anti-dumping duties actually released within the Free Trade Zone and Free Port (Free Zone) as well as Article 14 of Government Regulation No. 10 of 2012 on the Treatment of Customs, Taxation and Excise And Procedure Entry and goods to and from And Being in the Region Defined as Free Trade Zone and Free Port. With the opening of freight traffic coming into the free zone without incurring customs duties, let alone antidumping duties, it can result in disorientation protection and trade security that is causing losses of industrial or domestic producers and resulted in inhibition of domestic industry because of competition from producers outside who managed to enter the country the goods to the free zone. WTO provisions concerning Territorial Application-Frontier Traffic-Customs Unions and Free-trade Areas, allowing the entry of goods into a free zone for the Restoration of Commerce imposed measures, one of which Antidumping Measures, which can be the basis for the Indonesian government to be able to make changes to the settings on duty entered the free zone.]
2015
T44228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S8161
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lila Pratiwi
Abstrak :
Steel industry is a strategic sector in the economy of a country. Steel industry in Indonesia has not been able to fulfill their domestic demand that is still necessary to import steel product. However, many of these imported products are sold at dumping prices, especially those from china giving rise to unfair trade. One of trade remedy measures as a result of unfair trade remedies can recover trough the imposition of antidumping duty. In 2013, Indonesia imposes antidumping duty for Cold Rolled Coil/ Sheet (CRC/S) from China and other countries. Imposition of antidumping duty will be analyzed descriptively with the antidumping agreement conformity. While, it cannot be denied that political factors also determine imposition of antidumping duty. It is need to use analytical theory of justice in order to enforce fair-trade
University of Indonesia, Faculty of Law, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Widijantoro
Abstrak :
Era globalisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini, baik langsung maupun tidak langsung, telah mempengaruhi Indonesia dalam mengambil kebijakan perekonomiannya. Sebagai konsekuensi diratifikasinya pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/VITO) berdasarkan UU No.7 Tahun 1994, Indonesia harus mengikuti berbagai aturan main yang disepakati dalam bidang perdagangan internasional. Salah satu hal yang disepakati dalam pembentukan WTO tersebut adalah pelaksanaan Pasal VI GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tentang Dumping dan Bea Masuk Antidumping. Oleh karena dumping merupakan salah bentuk persaingan yang tidak sehat dalam perdagangan intemasional, GATT/WTO mernbuka kemungkinan bagi negara anggotanya untuk membebani pelaku dumping dengan bea masuk antidumping. Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia telah mengundangkan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (dan beberapa peraturan pelaksanaannya), yang di dalamnya mengatur mengenai dumping dan bea masuk antidumping. Salah satu dari peraturan pelaksanaannya, yaitu Keputusan Menperindag RI No.136/MMP/Kep16/1996, mengatur tentang pembentukan Komite Antidumping Indonesia (KADI), sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas penanganan kasus-kasus dumping, Oleh karena itu, tulisan ini akan mengkaji peranan KADI dalam mewujudkan persaingan sehat dalam dunia usaha di Indonesia. Dalam melihat dan mengkaji persoalan di atas, penulis menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu selain didekati secara yuridis normatif juga dikaji aspek-aspek ekonomis dan politisnya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, dilakukan studi kepustakaan dan penelitian lapangan dengan harapan dapat memberi gambaran yang menyeluruh serta alternatif pemecahannya. Setelah data yang terkumpul dan dianalisis secara kualitatif, penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa terbentuknya KADI akan sangat membantu terwujudnya persaingan sehat di bidang perdagangan internasional, sepanjang KADI dapat menempatkan dirinya sebagai lembaga yang independen. Namun, untuk merealisasikan perannya tersebut, KADI harus terus meningkatkan kualitasnya, khususnya karena kurangnya tenaga ahli (termasuk ahli hukum) yang dimiliki serta miskinnya pengalaman KADI dalam penanganan kasus-kasus dumping. Di samping itu, KADI harus mewaspadai praktik dumping yang tidak semata-mata dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis, melainkan dilakukan sebagai suatu bentuk "proteksi" baru. Sehubungan dengan makin ketatnya persaingan global sekarang ini, penulis menyarankan agar pemerintah Indonesia, dalam hal ini KADI, terus memperjuangkan kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang dalam bersaing dengan negara-negara maju serta mengambil/mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong peningkatan daya saing produk dalam negeri.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>