Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winean Rebecca Angelique
"Ketertarikan pada sifat antar tindakan human dengan non-human animal semakin meningkat saat kita memasuki abad ke-21. Jelas bahwa terdapat banyak masalah yang penting terkait kesejahteraan hewan yang menuntut perhatian segera dan cermat. Sudah begitu lama hewan dipandang ada hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia saja. Hal ini terjadi dalam posisi manusia yang dianggap sebagai makhluk simbolik dalam pendeketannya yang begitu antroposentrik. Hadirnya antroposentrisme memberikan konsekuensi bahwa manusia menggunakan posisi sentralnya itu untuk memanfaatkan non manusia untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan bersama semua makhluk hidup. Bahwa kehidupan bukan hanya milik manusia, dan bukan hanya soal pengalaman manusia saja, melainkan bagaimana cara kita menidentifikasi pengalaman hewan yang lain itu dengan pendekatan bahasa. Melalui pendekatan zoosemiotik kita dapat meminimalisir kecenderungan antroposentris yang destruktif dan eksploitatif. Zoosemiotik, atau studi hewan yang diinformasikan secara semiotika dengan lebih luas, berupaya menggambarkan makna dan tanda dalam hubungan pada hewan dan antara hewan dengan budaya manusia. Hal tersebut dimungkinkan karena pandangan spesiesme akan bergeser sedikit demi sedikit, memungkinkan manusia untuk tidak lagi menganggap status yang lebih rendah pada hewan dan menganggap mereka bukan sebagai individu, dan bukan sebagai objek dan sarana untuk memenuhi keinginan manusia. Kemudian, terbuka kemungkinan cukup besar bagi pendekatan zoosemiotik ini sebagai proses kepedulian dan penghayatan bersama yang dilakukan melalui kemungkinan terjalin nya pertukaran tanda bahkan proses komunikasi antara manusia dan hewan dalam relasi nya.

Interest in the nature of human and non-human animal action increases as we enter the 21st century. It is clear that there are many important issues related to animal welfare that demand immediate and careful attention. For a long time, animals were thought to exist only to meet human needs. This happens in the position of humans who are considered as symbolic creatures in their approach that is so anthropocentric. The presence of anthropocentrism provides the consequence that humans use their central position to utilize non-humans for personal gain in the name of the common interests of all living things. That life does not only belong to humans, and is not only a matter of human experience, but how we identify other animal experiences with a language approach. Through a zoosemiotic approach we can minimize the destructive and exploitative anthropocentric tendencies. Zoosemiotics, or animal studies that are informed more broadly by semiotics, attempt to portray the meaning and sign in relationships in animals and between animals and human culture. This is possible because the view of species will shift little by little, allowing humans to no longer consider lower status in animals and consider them not as individuals, and not as objects and means to fulfill human desires. Then, there is a big possibility for this zoosemiotic approach as a process of mutual concern and appreciation carried out through the possibility of intertwining the exchange of signs and even the process of communication between humans and animals in their relationships.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
"Era antroposen menandakan dominasi yang dilakukan oleh manusia terhadap alam. Dalam prosesnya, manusia ikut menguasai hewan untuk dieksploitasi demi kepentingannya sendiri. Problem spesiesisme menjadi titik berangkat manusia dalam berasumsi bahwa hewan merupakan objek yang dapat dimanfaatkan dengan sewenang-wenang tanpa adanya pertimbangan etis. Manusia telah mengubah fisiologis serta mengatur kehidupan hewan melalui fenomena domestikasi. Kegagalan serta kecacatan yang dilimpahkan kepada hewan membuat setiap hewan domestik hidup dengan penuh penderitaan. Artikel ini berusaha menjawab permasalahan etis mengenai relasi hewan dengan manusia dalam fenomena domestikasi hewan melalui kacamata Buddhisme Mahayana. Melalui Metta-Karuna, hewan dapat dipahami sebagai tujuan untuk dirinya sendiri. Artikel ini mengolah permasalahan melalui hermeneutika serta semiotika yang didasarkan pada ekofenomenologi sehingga sumber seperti relief dan naskah kuno Buddhisme Mahayana dapat ditarik relevansinya pada permasalahan etis domestikasi hewan. Dengan demikian, Metta-Karuna dapat menjadi landasan moral dalam relasi hewan-manusia agar hubungan tersebut dibentuk dari cinta kasih yang bersih, bijak, dan tanpa syarat.

The Anthropocene era marks the domination of nature by humans. In the process, humans also control animals to be exploited for their own interests. The problem of speciesism is the starting point for humans in assuming that animals are objects that can be utilized arbitrarily without any ethical considerations. Humans have physiologically altered and regulated the lives of animals through the phenomenon of domestication. The failures and disabilities inflicted on animals make every domestic animal live a life of suffering. This article attempts to address the ethical issues regarding the relationship between animals and humans in the phenomenon of animal domestication through the lens of Mahayana Buddhism. Through Metta-Karuna, animals can be understood as an end in themselves. This article treats the problem through hermeneutics and semiotics based on ecophenomenology so that sources such as reliefs and ancient texts of Mahayana Buddhism can be drawn relevant to the ethical problem of animal domestication. Thus, Metta-Karuna can become the moral foundation of animal-human relations so that the relationship is formed from clean, wise and unconditional love."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffery Jeremias
"Skripsi ini mempunyai fokus pada pembahasan mengenai paradigma pembangunan berkelanjutan berbasis gerakan ecosophy. Ecosophy di sini merupakan sebuah counter dari paradigma sebelumnya, antroposentrisme, yang mengedepankan manusia sebagai tujuan utama. Dalam orientasi pembangunan berkelanjutan berbasis gerakan ecosophy arah kebijakan pembangunan tidak lagi mengedepankan keberlanjutan materi atau pun keberlanjutan manusia belaka, melainkan mengedepankan keberlanjutan ekologis dan keadilan ekologis. Ecosophy turut membawa manusia pada pemahaman akan hak alam, kesatuan ekologis, dan gerakan baru dalam mengatur kebijakan pembangunan berkelanjutan.

This thesis focused on the discussion of the sustainable development paradigm based on ecosophy movement. Ecosophy is a counter to the previous paradigm, anthropocentrism, which emphasizes on human as the main end. The central point in sustainable development based ecosophy movement is not promote the material or benefit only to human, but rather promote ecological sustainability and ecological justice. Ecosophy helped bring men to the understanding of natural rights, ecological unity, and a new movement in organizing a sustainable development policy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16147
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Timotius Kurniawan
"Skripsi ini mempunyai fokus pada pembahasan mengenai teori Paul Taylor yang kaitannya dengan perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap alam. Respect for Nature merupakan sebuah counter dari paradigma sebelumnya, antroposentrisme, yang mengedepankan manusia sebagai tujuan utama. Respect for Nature merupakan suatu jalan sebagai tolak ukur manusia dalam memandang dan memanfaatkan alam yang mengedepankan keadilan ekologis.

This thesis has focused on the discussion of the theory Paul Taylor associated with the development of technoligi and their impact on environtment. Respect for Nature is a counter of the previous paradigm, antropocentrism, which emphasizes the human as the main objective. Respect for Nature is a human way as a benchmark in looking forward and take advantage of natural ecological justice."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43269
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hasbi Thaufik Oktodila
"Elemen interaktivitas yang ada dalam video game memungkinkan proses penyampaian narasi dapat dilakukan melalui kata-kata dan tindakan yang diambil oleh pemain selama permainan. Keragaman desain game dalam menyampaikan cerita mengarah ke perdebatan antara ludologi (game-centered) dan narratology (narrative-centered). Ludology menganggap game sebagai 'set aturan' karena game itu sendiri adalah media yang terbentuk dari aturan main. Di sisi lain, narratologi memandang permainan dalam hal narasi yang dihasilkan dari aturan. Narratologi cenderung mengurangi kekhasan media karena tidak memperhitungkan aturan permainan, sementara ludologi mengabaikan unsur-unsur naratif. Namun, belakangan ini, game menggabungkan aspek gameplay dan narasi untuk membentuk sebuah narasi interaktif. Salah satu video game yang mengawali penggunakan kombinasi tersebut adalah Bioshock (2007). Dalam tesis ini, elemen narasi dan gameplay yang dimiliki Bioshock akan diteliti dengan metode skema aktansial yang sudah dimodifikasi agar dapat memahami kesatuan narasi dan gameplay yang membentuk penceritaan Bioshock secara utuh. Setelah melakukan penelitian, ditemukan bahwa Bioshock membawa isu kapitalisme serta kondisi posthumanisme yang terkandung dalam logika permainan dan narasi yang ditawarkan. Bioshock membangun gameplay sedemikian rupa agar mencerminkan sebuah sistem kapitalisme yang digunakan melalui perspektif seorang posthuman. Relasi antara manusia dan teknologi dalam kondisi tersebut ditentukan oleh dua jenis ending cerita yang ditentukan dari tindakan pemain dalam memperlakukan sumber daya permainan. Dari perbandingan dua ending tersebut, ditemukan bahwa Bioshock membawa ideologi anthropocentrisme sebagai solusi moral dalam menghadapi kondisi posthumanisme dan kapitalisme.

The interactivity element in video games allows the narrative delivery process to be done through the words and actions. The diversity of game designs in storytelling leads to a debate between the school of ludology (game-centered) and narratology (narrative-centered). Ludology regards games as a 'set of rules' because it is a medium formed by the rules of the game. On the other hand, narratology views games in terms of narratives resulted from the rules. Narratology tends to reduce the distinctiveness of media because it does not take into account the rules of the game, while ludology ignores narrative elements. However, game developers continuously combine both gameplay and narrative aspects to form an interactive narrative. One of the video games that started using this technique is Bioshock (2007). In this thesis, Bioshock’s narrative elements and gameplay will be examined with a modified actantial model in order to understand the unity of narrative and gameplay in Bioshock’s storytelling. After conducting research, it was found that Bioshock brought up the issue of capitalism and the conditions of posthumanism contained both in the game’s logic and the narrative it offered. Bioshock builds the gameplay in a particular way to resemble a capitalist system in a posthuman perspective. The relationship between humans and technology in this condition is determined by two types of story ending which are determined by the player's actions while playing the game. From the comparison of the two endings, it is found that Bioshock carries the ideology of anthropocentrism as a moral solution in facing the conditions of posthumanism and capitalism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicko Ronny Gardono
"Tesis ini menelaah sebuah kebijakan publik yaitu Perpu 1/2004 yang berisikan tentang ijin kepada tiga belas perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan pertambangan di hutan lindung. Alasan kegentingan memaksa karena krisis ekonomi patut yang melatar belakangi kebijakan publik ini patut dikritisi dengan melakukan kajian kebijakan dengan menggunakan analisa kronologis keluarnya Perpu 1/2004 dan dengan metode cost benefit analysis. Kajian kronologis keluarnya kebijakan menunjukan tidak ada transparansi dan akuntabilitas kepada publik dengan tidak diakomodasinya masyarakat sekitar hutan yang merupakan pihak yang akan terkena langsung dari kebijakan ini, secara materiil Perpu 1/2004 ini bertentangan dengan peraturan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi seperti UUD' 45 pasal 28h dan pasal 33, UU No 10/2004, UU Na. 5/1990 pasal 19, UU 41/1999 pasal 24 dan pasal 38 serta UU 5/1994, secara formil perubahan bentang alam yang mempunyai fungsi khusus seperti hutan lindung sangatlah beresiko di tengah terjadinya deforestrasi di hutan Indonesia. Kajian menggunakan metode Cost & Benefit Analysis menunjukan bahwa secara jangka pendek kegiatan pertambangan memberikan keuntungan lebih tinggi daripada nilai intrinsik hutan lindung dan secara jangka panjang akan cenderung merugikan. Tampak perlu cara pandang baru dalam memandang sumber daya alam ini dengan lebih memperhitungkan nilai intrinsik alam yang selama ini diabaikan. Dengan cara itu akan timbul sikap humble economy, yang berarti tidak memandang kepentingan ekonomi sebagai satu-satunya alasan yang sah dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan maka rencana penambangan di hutan lindung tampaknya memerlukan kajian lebih mendalam dan dilihat secara kasus per kasus di setiap lokasi. Perhitungan alih fungsi lahan hutan menjadi areal pertambangan perlu ditelaah nilainya dalam kerangka analisis cost-benefit dalam jangka panjang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library