Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan aset tindak pidana hanya KUHAP dan PP KUHAP, bahwa Rupbasan sebagai tempat menyimpan dan mengelola aset tindak pidana. Tetapi, masih terdapat pengelolaan aset tindak pidana di luar Rupbasan. Sehingga, Peran Rupbasan belum optimal. Tanggung jawab atas pengelolaan aset tindak pidana tersebut akan berdampat pada terpenuhi atau tidaknya upaya pemulihan aset dan hak-hak korban atas benda. Hal ini menimbulkan permasalahan, yaitu: bagaimana pelaksanaan KUHAP beserta ketentuan pidananya, bagaimana hubungan antara Rupbasan dengan sub-sistem peradilan pidana lainnya terkait aset tindak pidana, serta bagaimana peran Rupbasan sebagai pelaksana asset recovery. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dengan menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa belum terlaksananya KUHAP dan PP KUHAP dengan baik masing karena adanya peraturan internal masing-masing instansi dan ketentuan pidana tentang tindakan melawan hukum terhadap aset tindak pidana diatur dalam KUHP dan RKUHP. Peran Rupbasan dalam Sistem Peradilan Pidana ada pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna ajudikasi sehingga Rupbasan memiliki hubungan dengan semua sub-sistem peradilan pidana berkaitan dengan aset tindak pidana. Peran Rupbasan juga sangat besar dalam upaya asset recovery yang dimulai pada tahap securing sampai dengan repatriation, tetapi belum ada aturan yang mengatur mengenai asset recovery dan lembaga pengelola asetnya. Saran atas permasalahan ini adalah pengembangan peraturan setingkat UU mengenai Rupbasan dan pengelolaan aset tindak pidana. Peran Lembaga Pengelola Aset dalam RUU Perampasan Aset dilaksanakan oleh Rupbasan.
The regulation legislate about criminal asset management only Criminal Procedures Code of Indonesia and implementary regulation, that Rupbasan as an asset management institution. However, there still criminal asset management are outside of Rupbasan. So, role of Rupbasan does not optimal yet. The responsibility for the criminal assets will has an impact on fulfilled or not of the asset recovery and the human rights of properties. The problems is how the implementation of the Criminal Procedure Code along with criminal law, how is the relationship between Rupbasan and other sub-system of criminal justice system related to criminal asset management, and how is role of Rupbasan as implementer of asset recovery. The method used in this research is a normative juridical method, using primary and secondary data. The results of the research conclude that the implementation of the Criminal Procedure Code and implementary regulation has not been implemented properly because there are internal regulations of each institution and the punishment about illegal action against criminal assets regulated in Criminal Code of Indonesia and Bill of Criminal Code of Indonesia. Rupbasan’s role in Criminal Justice System is in pre-adjudication, adjudication, and post-adjudication, so Rupbasan has relationship with each sub-system relate to seizure and forfeiture. Rupbasans role also in asset recovery which starts in the securing until to repatriation, but there are no rules about asset recovery and asset management. Suggestions for the problems are the development of regulations regarding Rupbasan and the criminal asset management. Role of Lembaga Pengelola Aset in Bill of Asset Recovery was handled by Rupbasan.
Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.
This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.