Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Sitanggang, Nobelitha G. Aldine
Abstrak :
ABSTRAK
Jakarta merupakan ibukota Indonesia dengan penduduk yang sangat padat, kurang lebih
empat juta dari sembilan juta diantaranya di Jakarta menempuh perjalanan ke dan dari
kota setiap hari kerja maupun hari libur. MRT dapat menjadi solusi alternatif
transportasi bagi masyarakat yang juga ramah lingkungan. Kehidupan dan aktivitas
ekonomi sebuah kota tergantung dari seberapa mudah warga kota melakukan perjalanan
atau mobilitas dan seberapa sering mereka dapat melakukannya ke berbagai tujuan
dalam kota. Kota Jakarta yang memiliki kepadatan lalu lintas akan sangat terlihat
dampaknya saat MRT sudah berjalan dengan efektif. Adanya perubahan sikap dan
mental masyarakat dalam menggunakan MRT akan sangat terlihat, terutama perubahan
ketika individu mengalami perbedaan pola perilaku tertentu yang dikombinasikan
dengan objek tertentu dalam batasan ruang dan waktu tertentu. Yang dimana dalam hal
ini, penerapan arsitektur perilaku yaitu behavior setting dapat menjadi suatu teori yang
dapat di dalami sebagai suatu lingkungan binaan yang diciptakan oleh manusia,
sehubungan dengan pengertian di atas maka teori tersebut membahas tentang hubungan
antara tingkah laku manusia dengan lingkungannya khususnya dalam ruang arsitektur
kota. Sehingga adanya MRT yang merupakan terobosan dalam transportasi umum akan
sangat memberikan dampak dalam behavior setting manusia dengan lingkungannya.
Dengan demikian, melalui teori tersebut akan terlihat kesesuaian antara behavior setting
yang terbentuk dengan fungsi ruang di Stasiun MRT Blok M Jakarta.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Angreni Basaria S.
Abstrak :
Ruang publik adalah milik pria. Pernyataan ini muncul sebagai hasil dari budaya patriarkal. Budaya patriarkal sendiri merupakan budaya yang menganggap kaum pria sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Budaya inilah yang akhirnya menciptakan pemisahan ruang antara pria dan wanita. Pria berkuasa di ruang publik dan wanita sebagai kaum stay at home. Wanita tidak memiliki ruang di ruang publik. Namun, kebudayaan manusia terus berkembang. Hal ini menyebabkan perubahan pola pemikiran masyarakat tentang gender dan juga ruang yang terbentuk. wanita mulai keluar dari rumah dan beraktifitas di ruang publik. Tetapi, di beberapa tempat publik wanita belum bisa mengekspresikan sifat femininnya. Ruang publik yang sudah dapat mengekspresikan feminisme adalah cafe strip.
Studi kasus yang penulis adalah cafe strip pada citos dan downtownwalk SMS. Ruang publik ini adalah ruang yang mampu mengakomodir sifat feminin dari wanita maupun pria, seperti berdandan. Sifat feminin ini muncul dari kajian behavior setting dimana ruang ini memiliki setting yang membentuk proses diperhatikan-memperhatikan yang mengekspresikan kefemininan.
......Public space belongs to men. This statement came as a result of patriarchal culture. Patriarchal culture itself is a culture that considers men as holders of power in society. Culture is what ultimately creates the space separation between men and women. Men in power in the public sphere and women as people stay at home. Women do not have space in public spaces. However, human culture continues to grow. This makes a change of thought pattern of society on gender and space are also formed. women began to come out of the house and indulge in public spaces. However, in some public places women can not express her feminine nature. Public space that has been able to express their feminism is the cafe strip.
The case study that the author is the cafe strip in Citos and downtownwalk SMS. This public space is a space that could accommodate the feminine nature of women and men, as Feminis. This behavior comes from a study setting in which this space has a setting that shape the process of look and being looked which is expressing feminine.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52348
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Istiqomah Wibowo
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pola perilaku kebersihan masyarakat perkotaan dalam kondisi lingkungan bersih dan kotor. Gambaran pola perilaku kebersihan tersebut bermanfaat dalam memberikan sumbangan teoritik berupa model yang dapat menjelaskan tentang pola perilaku kebersihan di suatu wilayah, yang mengarah pada munculnya kondisi lingkungan yang bersih atau kotor. Faktor-faktor psikologis yang berasal dari individu pelaku dan faktor sosiofisik yang terkait dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan intervensi secara tepat guna menciptakan lingkungan hunian manusia yang bersih dan sehat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dimana peneliti bertindak sebagai primary instrument , mengamati, mengawasi, dan terlibat langsung dalam peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi sehari-hari di perkotaan. Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) lokasi. Data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan kategori-kategori yang ada dan melakukan theoretical sampling dari kelompok-kelompok yang berbeda guna memaksimalkan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan penghuni secara kolektif terhadap sampah yang terjadi secara terus menerus dari hari ke hari merupakan proses yang membentuk pola perilaku kebersihan yang relatif menetap. Rangkaian tindakan kolektif yang selaras dengan motif bersama (memelihara kebersihan lingkungan) yang berdampak lingkungan bersih, membentuk pola perilaku kebersihan "Y". Dengan demikian program kebersihan dapat dinyatakan sebagai pembentukan pola perilaku kebersihan "Y". Sebaliknya rangkaian tindakan kolektif yang tidak selaras dengan motif bersama dan berdampak lingkungan kotor membentuk pola perilaku yang dinyatakan sebagai pola perilaku kebersihan "X".
......The purpose of this study was to obtain a theoretical model on cleanliness behavior of the urban society. This model was built based on the pattern of cleanliness behavior which was studied by observing the psychological factors within the individual and the socio-physical factors related to the pa rticipants. The indicator used to measure the cleanliness of the environment was the quantity of garbage scattered around the observed location. By living in the society, the researchers could observe and investigate the occurance of cleanliness behavior in the urban region. Direct observation was conducted in 4 (four) clean and 4 (four) dirty group of locations. Qualitative methods were used to process the information from those groups, in order to get significant information regarding the differences and similarities from those locations.
The result showed that society's day-to-day collective action toward garbage created a pattern of cleanliness behavior that is relatively permanent. A series of collective actions which were not in accordance with the communal motive formed cleanliness behavior pattern "X" and created a condition of dirty environment. Meanwhile, the other series of collective actions which were in accordance with the communal motives formed cleanliness behavior pattern "Y". The collective efforts of the society in a particular region to form cleanliness behavioral pattern "Y" is known as Program Kebersihan (Cleanliness Program).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
J-pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Istiqomah Wibowo
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pola perilaku kebersihan masyarakat perkotaan dalam kondisi
lingkungan bersih dan kotor. Gambaran pola perilaku kebersihan tersebut bermanfaat dalam memberikan sumbangan
teoritik berupa model yang dapat menjelaskan tentang pola perilaku kebersihan di suatu wilayah, yang mengarah pada
munculnya kondisi lingkungan yang bersih atau kotor. Faktor-faktor psikologis yang berasal dari individu pelaku dan
faktor sosiofisik yang terkait dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan intervensi secara tepat guna menciptakan
lingkungan hunian manusia yang bersih dan sehat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif
dimana peneliti bertindak sebagai primary instrument, mengamati, mengawasi, dan terlibat langsung dalam peristiwa
atau kejadian-kejadian yang terjadi sehari-hari di perkotaan. Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) lokasi. Data yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan kategori-kategori yang ada dan melakukan theoretical sampling dari
kelompok-kelompok yang berbeda guna memaksimalkan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan penghuni secara kolektif terhadap sampah yang terjadi secara terus
menerus dari hari ke hari merupakan proses yang membentuk pola perilaku kebersihan yang relatif menetap. Rangkaian
tindakan kolektif yang selaras dengan motif bersama (memelihara kebersihan lingkungan) yang berdampak lingkungan
bersih, membentuk pola perilaku kebersihan ”Y”. Dengan demikian program kebersihan dapat dinyatakan sebagai
pembentukan pola perilaku kebersihan ”Y”. Sebaliknya rangkaian tindakan kolektif yang tidak selaras dengan motif
bersama dan berdampak lingkungan kotor membentuk pola perilaku yang dinyatakan sebagai pola perilaku kebersihan
”X”.
The purpose of this study was to obtain a theoretical model on cleanliness behavior of the urban society. This model
was built based on the pattern of cleanliness behavior which was studied by observing the psychological factors within
the individual and the socio-physical factors related to the participants. The indicator used to measure the cleanliness of
the environment was the quantity of garbage scattered around the observed location. By living in the society, the
researchers could observe and investigate the occurance of cleanliness behavior in the urban region. Direct observation
was conducted in 4 (four) clean and 4 (four) dirty group of locations. Qualitative methods were used to process the
information from those groups, in order to get significant information regarding the differences and similarities from
those locations. The result showed that society’s day-to-day collective action toward garbage created a pattern of
cleanliness behavior that is relatively permanent. A series of collective actions which were not in accordance with the
communal motive formed cleanliness behavior pattern “X” and created a condition of dirty environment. Meanwhile,
the other series of collective actions which were in accordance with the communal motives formed cleanliness behavior
pattern “Y”. The collective efforts of the society in a particular region to form cleanliness behavioral pattern “Y” is
known as Program Kebersihan (Cleanliness Program).
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library