Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasyim Djalal
"Tanggal 17 Desember 2002 yanglalu, Mahkamah Internasional di Den haag memutuskan dengan suara 16:1 bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang kepemilikannya dipertengkarkan antara Indonesia dan Malaysia sejak 1969 dinyatakan sebagai wilayah Malaysia. Keputusan ini memberi bobot yang sangat besar kepada kenyataan bahwa Inggris yang mewariskannya kepada Indonesia. Kewenangan yang dilaksanakan oleh Inggris dan Malaysia dinilai lebih konsisten dan terus menerus dan karena itu dinilai lebih melaksanakan dan bahwa doktrin 'effective control' inilah yang dinilai lebih sesuai dengan Hukum Internasional. Perlu diingat bahwa doktrin ini pulalah yang oleh Arbitrator Max Huber dalam tahun 1928 dipakai untuk menyatakan bahwa Pulau Mianggas yang dipertekarkan antara Amerika Serika dan Hindia Belanda dinyatakan sebagai wilayah Hindia Belanda dan ynag kini menjadi bagian yang tidak dipersahkan dari Indonesia."
2003
HUPE-XXXIII-1-Mar2003-126
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Dewi
"Melalui berbagai tingkatan pertempuran dan perundingan sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka akhirnya konflik Indonesia - Belanda dapat diselesaikan lewat perundingan di Den Haag dalam suatu konferensi yang dinama_kan Konferensi Meja Bundar (KMB) dimulai pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Sebagai hasil dari perundingan tersebut, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Seri_kat (RIS) dan beberapa pasal yang harus diterima oleh RIS yaitu tentang pembayaran hutang yang diwariskan oleh pe_merintah colonial Belanda, dan soal penangguhan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RIS. Jumlah hutang yang harus dibayar oleh RIS sebesar kurang lebih 1.130 juta dolar Amerika. Sedang wilayah Irian Barat ditangguhkan sela_ma satu tahun dan statusnya akan ditentukan kemudian dengan jalan perundingan antara RIS dengan Belanda. Selama itu masalah dan status poitiknya berada di bawah pa_ngawasan United Nations Commission For Indonesia (UNCI). Dengan kesepakatan hasil-hasil KMB yang telah sa_ma-sama diterima oleh kedua belah pihak (RIS dan Belan_da), bukan berarti persoalan Indonesia-Belanda benar-benar telah berakhir, sebab dalam perkembangan-perkemba_nga selanjutnya perundingan-perundingan yang menyangkut pemyelesaian Irian Barat tidak pernah mencapai kesepaka_tan yang memuaskan terutama bagi Indonesia, Itulah se_babnya di kalangan masyarakat luas, partai-partai politik dan organisasi lainnya timbal kiinginan untuk membatalkan seluruh perjanjian KMB, karena sejak ditandatangani, Belanda senantiasa terutama sejak masa-masa awal penye_rahan kedaulatan, selalu terlibat dalarn persoalan-persoa_alan di Indonesia. Dan Indonesia menganggap bahwa pasal-_pasal yang menyangkut perjanjian KMB, terutama soal-soal yang menyangkut keuangan dan ekonomi, dimana dalam pasal- pasal tersebut memberikan hak-hak istimewa yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia . Kemudian soal yang menyangkut hubungan Uni Indonesia Belanda yang diangkat oleh rakyat Indonesia sebagai sisa penjaja_han Belanda. Sehingga ketika sampai tahun 1954, tidak ada tanda - tanda Belanda mau menyelesaikan masalah Irian Barat, maka Indonesia melakukan upaya untuk membatalkan perjanjian KMB dalam suatu perundingan yang diadakan di Den Haag pada bulan Juli tahun 1954. Dalam perundingan tersebut delegasi Indonesia yang dipimpin oleh menteri luar negeri Mr. Sunario hanya berhasil mencapai persetu_juan tentang pembubaran Uni Indonesia Belanda, dan peng_hapusan beberapa perjanjian KMB yang rnengenai hubungan Indonesia Belanda di bidang kebudayaan dan militer. Dalam perkembangan perundingan selanjutnya keti_ka masalah Irian Barat di bawa Indonesia ke Majelis Umum PBB tahun 1954, namun sidang-sidang ini tidak banyak mengungtungkan Indonesia, sementara perundingan dengan Be_landa juga tidak membawa hasil yang memuaskan bagi Indo_nesia. Oleh karena itu Indonesia terus melakukan upaya penyelesaian pembatalan seluruh parjanjian KMB. Kabinet Bur-hannudin Harahap pada tahun 1955 mengajukan Rancangan Un_dang - undang (RUTS) untuk membatalkan perjanjian-perjan_jian KMB, tetapi walaupun RUU itu sudah disetujui oleh DPRS namun tidak dapat menjadi undang-undang, karena presiden Soekarno rnenolak untuk menandatanganinya, Alasan presiden karena pemilu 1955 sudah selesai, jadi adalah lebih baik bila hasil pemilu yang menentukan UU itu. Selanjutnya dalam kabinet Ali II dalam progamnya untuk menyelesaikan seluruh perjanjian KMB dalam bulan April 1956 mengaju_kan Rancangan Undang-undang (RUU) pembatalan perjanjian KMB kepada DPR dan tidak menghadapi banyak kesukaran. Melalui Undang-undang No.13 tahun 1956 Indonesia secara sepihak membatalkan seluruh perjanjian KMB , dan sejak itu Indonesia merasa tidak terikat lagi dengan se_luruh perjanjian KMB, termasuk soal yang berkenaan dengan status wilayah Irian Barat. Belanda melakukan protes, dan memandang bahwa de_ngan tindakan pembatalan itu, Indonesia telah melanggar perjanjian Internasional."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priskila Pratita Penasthika
"Pelarian atau penahanan anak tanpa hak (wrongful removal or retention) ke luar negara habitual residence-nya dipahami sebagai international child abduction. The Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980 (Konvensi Den Haag 1980) mengatur mengenai tata cara pengembalian anak yang telah dilarikan atau ditahan tanpa hak untuk kembali ke negara habitual residence-nya. Dengan menelaah kasus-kasus international child abduction yang melibatkan Indonesia, tulisan ini menunjukkan kendala-kendala dalam proses pengembalian anak-anak tersebut. Telaah ini dilakukan dengan memperhatikan adanya perbedaan kualifikasi terhadap konsep international child abduction dalam hukum Indonesia dan Konvensi Den Haag 1980."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018
340 JHP 48:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Brianna Ruth Audrey
"Konflik bersenjata adalah salah satu titik perubahan terpenting yang dapat ditemukan sepanjang sejarah umat manusia. Berbeda dengan konflik bersenjata di masa lalu yang bersifat simetris antar-negara, konflik bersenjata modern kini memiliki karakter yang lebih asimetris, mengikutsertakan aktor internasional non-negara, dan condong terhadap isu identitas. Terlepas dari transisi bentuk konflik tersebut, properti budaya selalu hadir dalam perang besar sehingga menandakan bahwa benda-benda bersejarah ini memiliki peran penting dalam konflik. Publikasi Konvensi Den Haag UNESCO 1954 juga mengkatalisasi rezim perlindungan properti budaya internasional yang kini terus menjadi bagian dari wacana perang modern. Dengan menganalisis 77 dokumen yang diakui Scopus menggunakan software VosViewer, paparan ini mengelompokkan empat tema inti yang ditemukan dalam perkembangan kajian Properti Budaya dalam Konflik Bersenjata menggunakan metode taksonomi. Tema-tema inti tersebut adalah (1) definisi properti budaya lintas budaya; (2) peran dan makna properti budaya dalam konflik bersenjata; (3) norma properti budaya dan etika perang lintas zaman, dan (4) tanggapan aktor internasional. Studi ini menunjukkan bahwa properti budaya sungguh memiliki nilai dan peran berlapis dalam konflik bersenjata, dan bahwa perlindungannya sangat penting di hadapan hak asasi manusia. Sayangnya, perbincangan tentang properti budaya dari masa kolonial, serta tulisan-tulisan dari negara jajahan dan source countries, masih tertutup oleh akademisi Barat. Terlepas dari semua terobosan signifikan dalam hukum properti budaya internasional, masih terdapat banyak hal yang dapat dikembangkan oleh rezim ini dalam menanggapi konflik bersenjata modern dan aktor-aktornya yang relevan. Penting bagi wacana ini untuk berkembang secara mandiri di luar kasus-kasus konflik bersenjata empiris.

Armed conflicts are one of society’s most defining points that can be found throughout history. Different with conflicts in the past that were more symmetric in nature and fought between nations, modern armed conflicts are now more asymmetric manner with the addition of non-state international actors and issues regarding identity. Despite this change, cultural property seems to always be present in big wars, hence signalling that these historical objects play an essential role in conflicts. The publication of UNESCO's 1954 Convention of Den Haag also catalysed the international cultural property protection regime that is now constantly part of the modern warfare discourse. By analysing 77 documents acknowledged by Scopus using a software called VosViewer, this exposé taxonomically identifies the four core themes found in the development of the Cultural Property in Armed Conflict study, namely: (1) the definition of cultural property crossculture; (2) the role and value of cultural property in armed conflicts; (3) cultural property norms and warfare ethics cross-periods, and (4) responses from international actors. This study shows that cultural property truly has multi-layered values and roles in armed conflicts, and that its protection is essential in the eyes of human rights. Unfortunately, conversations regarding cultural properties from the colonial eras, as well as writings from colonies and source countries, are still overshadowed by Western academicians. Despite all the significant breakthroughs in international cultural property law, there are still many ways that this regime can be further developed in responding to modern armed conflicts and their relevant actors. It is vital for this discourse to develop independently outside of the empirical armed conflict cases."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library