Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bernard As Dakhi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang paling sering pada pasien AR dengan laju1,5-1,6 kali lebih tinggi dari populasi non AR. Prevalensi gagal jantung pada AR dua kali lipat dibanding non AR. Karakteristik pasien AR Indonesia berbeda dibanding pasien di Negara Barat. Masih sedikit penelitian yang melihat korelasi faktor resiko non tradisional dengan disfungsi diastolik. Tujuan: Mengetahui apakah ada korelasi faktor resiko non tradisional yaitu lama menderita penyakit, derajat aktivitas penyakit dan skor disabilitas dengan disfungsi diastolik pada wanita penderita AR Metode: Desain penelitian adalah potong lintang pada wanita penderita AR yang berobat ke poli Rematologi RSCM dari Oktober 2015-Januari 2016.Sampel penelitian belum pernah dinyatakan menderita penyakit jantung sebelumnya.Disfungsi diastolik dinilai secara ekhokardiografi. Lama menderita sakit diperoleh dengan wawancara langsung, sementara aktivitas penyakit dan tingkat disabilitas dinilai dengan menghitung skor DAS28 dan skor HAQ-DI. Hasil: Disfungsi diastolik dijumpai pada 30,8 % partisipan ( masing-masing 13,5% tingkat ringan dan sedang, dan berat sebesar 3,8% ). Rerata lama menderita AR 26,5 bulan (rentang 2-240), rerata DAS28-CRP 2,69±1,11 sementara DAS28-LED 3,65 (rentang 1,13-7,5), rerata skor HAQ-DI 0,29 (rentang 0-2,38). Hipertropi LV dijumpai pada 34,6% partisipan, rerata EF 66,7±5,76%. Kelainan katup dijumpai pada 34,6% partisipan. Korelasi antara lama sakit, DAS28-CRP, DAS28-LED and skor HAQDI dengan E/A secara berurutan adalah (r= - 0,065; p=0,89), (r=0,393; p=0,38), (r=0,357; p=0,43), (r=0,630; p=0,12) ; sementara dengan E/E? secara berurutan adalah (r=0,136; p=0,77), (r= - 0,536; p=0,21), (r= - 0,393; p=0,38), (r=0,374; p=0,41) Simpulan: Lama menderita sakit, derajat aktivitas penyakit dan derajat disabilitas, tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dengan disfungsi diastolik. Angka hipertropi jantung juga cukup tinggi, dan kelainan katup yang paling sering di jumpai adalah regurgitasi ringan.Dengan tingginya angka proporsi disfungsi diastolik pada penelitian ini maka diusulkan agar dirumuskan strategi penatalaksanaan jantung pada pasien-pasien AR untuk mencegah progresifitasnya.
ABSTRACT
Background: Cardiovascular is the main cause of death in RA, with the rate of 1.5-1.6 times higher than non RA population .The prevalence of HF in RA is 2 times fold of non RA. RA patients characteristics in Indonesia is different from the ones in western. There are only few studies about correlation between non traditional risk factor and diastolic dysfunction in RA patients. Objective: To study the correlation between each of the non traditional risk factors including disease duration,disease activity and disability score with the diastolic dysfunction in women with RA. Methods: A cross-sectional, consecutive sampling study conducted to 52 RA women without any previous history of cardiovascular disease. All participants underwent an echocardiography to asses the diastolic dysfunction and other findings associated. Duration of disease is assesed by direct interview, while the disease activity by calculating DAS28 and disability sore by HAQ-DI. Results: Diastolic dysfunction was found in 30.8 % of study participants ( 13.5 % for each low and moderate grade, while severe was 3.8% ). Mean of disease duration was 26.5 months (range 2-240), mean DAS28-CRP 2.69±1.11 while mean DAS28-ESR 3.65 (range 1.13-7.5), HAQ-DI score 0.29 (range 0-2.38). LV hypertrophy was found in 34.61% participants. Mean EF 66.7±5.76%. Valve abnormality was found in 34.6% study participants. Correlation between duration of disease, DAS28-CRP, DAS28-ESR and HAQDI score with E/A in sequence was (r= - 0.065; p=0.89), (r=0.393; p=0.38), (r=0.357; p=0.43), (r=0.630; p=0.12) ; while with E/E? in sequence was (r=0.136; p=0.77), (r= - 0.536; p=0.21), (r= - 0.393; p=0.38), (r=0.374; p=0.41) Conclusions; Duration of the disease, the disease activity score and disability score in our RA study participants had no correlation with diastolic dysfunction. The most valvular abnormality findings was mild regurgitation. Since there was a big proportion of participants with diastolic dysfunction, it is encouraged to make a stepwise approach of cardiovascular management in patients with RA.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Pada 28 kasus diabetes melitus ( DM ) tipe 2 tanpa kelainan kardiovaskular yang diperiksa di Bagian Metabolik Endokrin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, mulai Oktober 2001 sampai Desember 2001, dilakukan pemeriksaan ekokardiografi untuk melihat fungsi diastolik ventrikel kiri dan dilakukan pemeriksaan urin mikroalbuminuria. Disfungsi diastolik ditemukan pada 73,7 % pasien DM tipe 2 tanpa mikroalbuminuria dan 66,7% pada DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria. Tidak terdapat hubungan bermakna kejadian disfungsi diastolik pada kelompok DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria maupun DM tipe 2 tanpa mikroalbuminuria. (Med J Indones 2005; 14: 169-72)
Twenty-eight cases of type 2 diabetes mellitus (DM) without any cardiovascular disease were recruited from the Department of Metabolic-Endocrine, Faculty of Medicine, University of Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Recruitment of the study began in October 2001 and was completed by December 2001. Participants were examined for echocardiography and microalbuminuria urinary examination. Diastolic dysfunction was found in 73.7% of type 2 diabetic patients without microalbuminuria and 66.7% in type 2 diabetic patients with microalbuminuria. Neither type 2 diabetic groups with nor without microalbuminuria indicated any significant association to the occurrence of diastolic dysfunction. (Med J Indones 2005; 14: 169-72)
Medical Journal of Indonesia, 14 (3) July September 2005: 169-172, 2005
MJIN-14-3-JulSep2005-169
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Verawati
Abstrak :
Latar belakang : CT jantung merupakan modalitas screening pada pasien resiko tinggi penyakit kardiovaskular. Fungsi diastolik ventrikel kiri kurang umum dinilai dibandingkan fungsi kontraksi sistolik ventrikel kiri (ejection fraction, EF). Pasien gagal jantung menunjukkan nilai EF yang baik meskipun pada kondisi stenosis arteri koronaria berat. Mortalitas gagal jantung sama besarnya pada pasien dengan nilai EF normal dan EF menurun, sehingga penilaian dini disfungsi diastolik menjadi hal penting untuk strategi pengobatan yang tepat. Lemak perikardial merupakan faktor prediktor bebas disfungsi diastolik. Penilaian volume lemak perikardial mudah dilakukan, tidak memberikan radiasi dan biaya tambahan, namun tidak rutin dilakukan pada pemeriksaan CT toraks. Penelitian ini melihat hubungan volume lemak perikardial dengan derajat disfungsi diastolik melalui pemeriksaan CT jantung. Tujuan : Meningkatkan manfaat CT toraks dalam menilai volume lemak perikardial sebagai faktor prediktor disfungsi diastolik. Metode : Comparative cross-sectional dengan menggunakan data sekunder dari 82 pasien penyakit jantung koroner yang menjalani pemeriksaan DSCT jantung. Hasil : Terdapat hubungan positif antara volume lemak perikardial dengan disfungsi diastolik derajat sedang pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani DSCT jantung. Titik potong volume lemak perikardial pada disfungsi diastolik derajat berat adalah 220.26cm3, dengan nilai sensitivitas 81.8% dan spesifisitas 74,1%. Kesimpulan: Volume lemak perikardial dapat digunakan untuk menentukan disfungsi diastolik derajat sedang, dan dapat dipakai sebagai suatu acuan deteksi dini. ...... Background: Cardiac CT is a modality used for screening patients with high risk of cardiovascular disease by assessing left ventricular systolic contraction function (ejection fraction, EF). It’s still uncommon to assess left ventricular diastolic function. Patients with heart failure showed good EF value despite the severity of coronary artery stenosis. Early assessment of diastolic dysfunction become essential for treatment strategies since there’s equal mortality rate in heart failure patients with normal or decrease EF. Pericardial fat is an independent predictor factor of diastolic dysfunction. Eventhough pericardial fat volume easily assessed and there’s no additional radiation and cost, it still not routinely done in thoracic CT examination. This study looked at the relationship of pericardial fat volume with a degree of diastolic dysfunction through cardiac CT examination. Purpose: Increase the benefits of thoracic CT to assess pericardial fat volume as a predictor factor of diastolic dysfunction. Method : Comparativecross-sectional study using secondary data from 82 patients with coronary artery disease who underwent cardiac DSCT. Result : There is a positive relationship between pericardial fat volume with moderate degree of diastolic dysfunction in patients with coronary artery disease who underwent cardiac DSCT. A cut off value of220.26cm3, determined a sensitivity 81.8% and specivicity 74,1% to detect moderate diastolic dysfunction. Conclusion: Pericardial fat volume can be used to determine moderate diastolic dysfunction and can be used as a reference for the early detection.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
Abstrak :
Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES. Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS. Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis. Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik. Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.
Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients. Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS. Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records. Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value. Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Yaniarti Hasanah
Abstrak :
Latar Belakang : Disfungsi diastolik ventrikel kiri DDVK subklinis seringterjadi dan dianggap sebagai prediktor penting gagal jantung dan kematian jangkapanjang. Deteksi dini adanya DDVK pada pasien hipertensi sangat pentingdilakukan dan memiliki makna klinis yang sangat diperlukan dalam aspektatalaksana yang tepat, sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitaspasien. Setyawan dkk mengembangkan suatu sistem skor diagnostik DDVK studiDSS pada pasien hipertensi di RSUD Tarakan Kalimantan Timur. Sistem skordiagnostik ini memiliki daya kalibrasi dan diskriminasi yang baik. Sampai saat inibelum ada validasi eksternal pada studi DSS tersebut, sehingga perlu dilakukanuntuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis. Tujuan : Memvalidasi secara eksternal Diastolic Dysfuction Scoring System DSS untuk mendiagnosis DDVK pada pasien hipertensi. Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal penuh yang dilakukan di Desa Gunungsari, Kecamatan Pamijahan,Bogor menggunakan data primer Januari 2017 hingga Februari 2017, yangdiambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkan nilaikalibrasi dan diskriminasi. Hasil : Sampel akhir studi validasi ini berjumlah 100, kejadian DDVK pada studiini 41 . Setelah dilakukan penghitungan skor DSS pada semua sampel studi,didapatkan nilai kalibrasi yang baik menggunakan uji Hosmer Lemeshow p =0,999 ; nilai hasil uji baik bila p>0,05 , sementara nilai diskriminasi didapatkanAUC yang kurang baik AUC = 0,594; 95 CI = 0,480 ndash; 0,708. Didapatkanobserved/expected sebesar 2,56, sensitivitas kurang 22 , dan spesifitas yangbaik 88. Kesimpulan : Studi DSS secara eksternal mempunyai kalibrasi yang baik dandiskriminasi yang kurang untuk memprediksi kejadian DDVK pada populasihipertensi di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Bogor.
Background : Subclinical left ventricular diastolic dysfunction is considered asimportant progression predictor and mortality due to heart failure. Diastolicdysfunction occurred before heart failure in hypertensive patients with preservedejection fraction, so that early diagnosis of diastolic dysfunction diagnosis is veryimportant. Several factors has been known related with left ventricular diastolicdys function. Setyawan dkk in 2016 developed Diastolic Dysfuction ScoringSytem DSS with good calibration and discrimination. However this score neverbeen externally validated. Objective : To validate externally DSS study to diagnose left ventricular diastolicdysfunction in hypertensive population. Methods : This is a cross sectional study with fully external validation methodthat performed at Gunungsari village, Pamijahan, Bogor using primary data fromJanuary 2017 until February 2017, which taken by total sampling method. Dataanalysis is intended to develop the calibration and discrimination level. Results : The final samples were 100, with 41 sample have diastolicdysfunction. Callibration value with Hosmer Lemeshow showed good result withp 0.99 and poor discrimination AUC 0,594 95 CI 0,480 ndash 0,708 . We gotobserved expected ratio 2,56, fair sensitivity 22 , and good specificity 88. Conclusion : DSS study externally have good callibration and poordiscrimination to diagnose left ventricle diastolic dysfunction in hypertensivepopulation in Gunung Sari village, Pamijahan, Bogor
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syafiq
Abstrak :
Latar belakang. Gagal jantung dan aritmia merupakan penyebab kematian tersering pada penderita thalassemia R. Gangguan fungsi jantung, khususnya disfungsi diastolik merupakan komplikasi dini pada jantung akibat muatan besi berlebih (iron overload). Kadar feritin serum sampai saat ini masih secara luas digunakan sebagai parameter muatan besi berlebih (iron overload). Tujuan. Mengetahui perbedaan kadar feritin serum antara penderita thalassemia j3 dewasa yang mengalami dan tidak mengalami disfungsi diastolik ventrikel kiri, dan mengetahui besar proporsi disfungsi diastolik pada penderita thalassemia 13 dewasa. Metodologi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk melihat perbedaan kadar feritin serum (sebagai parameter iron overload) pada penderita thalassemia 13 dewasa yang mengalami disfungsi diastolik dibandingkan dengan yang tanpa disfungsi diastolik, serta untuk mendapatkan proporsi disfungsi diastolik pada penderita thalassemia 3 dewasa. Analisis terhadap variabel-variabel yang diteliti menggunakan uji-1 independen untuk mendapatkan perbedaan rerata kadar feritin serum antara kedua kelompok. Hasil. Dari penelitian ini 30 orang penderita thalassemia 13 dewasa, laki-laki 13 orang, perempuan 17 orang, didapatkan rerata usia 25,9 tahun dengan rentang usia antara 18-38 tahun. Rerata Hb sebesar (7,5g%, SB I,4g%) dengan rentang kadar Hb antara 5,2 - 9,9 g%. Rerata kadar feritin serum sebesar (5590ng1m1, SB 4614,7 nglml) dengan rentang kadar, feritin antara 296,4 - 15900 nglml. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar feritin antara penderita yang mengalami disfungsi diastolik dibandingkan dengan yang tidak mengalami disfungsi diastolik. Proporsi disfungsi diastolik pada thalassemia 13 dewasa pada penelitian ini sebesar 70%. Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar feritin antara penderita yang mengalami disfungsi diastolik dibandingkan dengan yang tidak mengalami disfungsi diastolik. Proporsi disfungsi diastolik pada thalassemia 13 dewasa pada penelitian ini sebesar 70%. ...... Background. Heart failure and aritmia is the major cause of death in 3 thalassemia major. Heart dysfunction, especially diastolic dysfunction in ji thalassemia seems to be an early involvement of the heart due to iron overload. Serum ferritin level as a parameter of iron overload still widely use for evaluation in 13 thalassemia. Objectives. To know the mean difference of serum ferritin level between adult 13 thalassemia patients who have left ventricular diastolic dysfunction and who do not have Ieft ventricular diastolic dysfunction, and to obtain the proportion of diastolic dysfunction in adult 13 thalassemia patients. Methods. This cross-sectional study was conducted to see the mean difference of Serum ferritin. IeVel'(as a parameter of iron overload) in adult P'thalassemia who have left ventricular diastolic dysfunction and who do not have left ventricular diastolic dysfunction and to know the proportion of diastolic dysfunction among adult 13 thalassemia. The independent t-test was used to analyze the variables to obtain the mean difference of serum ferritin level between the two groups. Results. Thirty adult P thalassemia patients, 13 were male and 17 were female had been enrolled into this study. The age of the patients ranged from 18 to 38 years old, and the average-age was 25,9 years. The Hb level ranged from 5,2 to 9,9 g% and the mean was (7,5g%, SD 1,4g°/o). The serum ferritin level ranged from 296,4 to 15900 nglml, and the mean was (5590ng/ml, SD 4614,7 nglml). There was no significance mean difference serum ferritin level in patients who had diastolic dysfunction and those who do not have diastolic dysfunction. The proportion of diastolic dysfunction in adult 13 thalassemia patients in this study was 70%. Conclusions. There was no significannce mean difference serum ferritin level in patients who had. diastolic dysfunction and those. who. did, not have diastolic dysfunction . The proportion of diastolic dysfunction in adult thalassemia 3 patients in this study was 70%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Tedjasukmana
Abstrak :
Latar belakang: FA pascaoperasi masih menjadi salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien pascaoperasi BPAK. FA pascaoperasi BPAK memiliki implikasi klinis dan ekonomis yang besar. Pencegahan FA pascaoperasi bisa diberikan secara medikamentosa, tetapi perlu dipilih pasien yang memang memiliki risiko tinggi untuk kejadian tersebut. Tujuan: Mengetahui kemampuan prediksi kombinasi skor CHA2DS2-VASc dan parameter ekokardiografi terhadap kejadian FA pascaoperasi BPAK. Mengetahui apakah dapat dibentuk suatu sistem skor yang baru untuk memprediksi FA pascaoperasi BPAK berdasarkan karakteristik subjek penelitian dan bagaimana kemampuannya. Metode: Semua pasien yang menjalani BPAK tanpa kombinasi operasi lainnya pada bulan Juli-Desember 2017 akan menjadi subjek penelitian. Selanjutnya, akan dilakukan pengumpulan data dari rekam medis pasien mengenai karakteristik dasar, parameter ekokardiografi preoperasi, tindakan operasi, serta skor CHA 2DS2-VASc pasien. Model prediksi yang didapat kemudian dianalisa lebih lanjut untuk mendapatkan suatu sistem skor untuk memprediksi kejadian FA pascaoperasi BPAK. Hasil: Terdapat 335 subjek penelitian yang masuk dalam kriteria penelitian ini. Angka kejadian FA pascaoperasi BPAK pada penelitian ini adalah 20 . Kombinasi skor CHA 2DS2-VASc dan parameter ekokardiografi memiliki kemampuan prediksi yang baik terhadap kejadian FA pascaoperasi BPAK dengan sensitivitas 83,8 dan spesifisitas 74,2 AUC 0,868; IK 95 0,821-0,915 . Selanjutnya, skor baru yang dibentuk dari model prediksi berdasarkan karakteristik subjek penelitian ini juga memiliki kemampuan prediksi kejadian FA pascaoperasi BPAK yang seimbang dengan kombinasi skor CHA2DS2-VASc dan parameter ekokardiografi sensitivitas 79,4 , spesifisitas 81,3 , AUC 0,885, IK 95 0,84-0,931 Kesimpulan: Kombinasi skor CHA2DS2-VASc dan parameter ekokardiografi memiliki kemampuan yang baik untuk memprediksi kejadian FA pascaoperasi. Sistem skor baru yang dibentuk memiliki kemampuan prediksi yang sebanding dengan kombinasi skor CHA 2DS2-VASc dan parameter ekokardiografi terhadap kejadian FA pascaoperasi BPAK.
Background Postoperative atrial fibrillation is still a major complication in post coronary artery bypass graft CABG patients. It has huge clinical and economical implications. Prevention of postoperative atrial fibrillation could be done by giving the right medications. However, the prevention strategy should be given only to high risk patients. Therefore, there is a need a tool to identify which patients have a higher risk for postoperative atrial fibrillation so that they should be given the right prevention strategy. Objectives To investigate the ability of combination of CHA2DS2 VASc score and echocardiography parameters to predict post CABG atrial fibrillation. To investigate whether there is a new scoring system to predict the incidence of post CABG patients. Methods All patients who underwent CABG operation without any other concommitant cardiac surgery in July December 2017 were included in this study. Furthermore, data collection from the patiens rsquo medical record will be performed on basic characteristics, preoperative echocardiography parameters, and patients rsquo CHA2DS2 VASc score. The prediction model obtained is then further analyzed to construct a new scoring system to predict the post CABG atrial fibrillation incidence. Results There were 335 patients included in this study. The incidence of post CABG atrial fibrillation was 20 . Combination of CHA2DS2 VASc score and echocardiographic parameters have good predictive ability on post CABG atrial fibrillation with 83,8 sensitivity and 74,2 specificity AUC 0,868, 95 CI 0,821 0,915 . Furthermore, new score formed from the predictive model based on the characteristics of the study subjects had comparable predictive ability with the score based on combination of CHA2DS2 VASc and echocardiography parameters. Conclusion Combination of CHA2DS2 VASc score and echocardiographic parameters have a good ability to predic post CABG atrial fibrillation incidence. The newly established scoring system has predictive capabilities for post CABG atrial fibrillation incidence comparable to the score based on combination of CHA2DS2 VASc score and echocardiography parameters.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Wilson MCH Puar
Abstrak :
Latar belakang. Pengaruh Diabetes Melitus Tipe-1 (DMT1) terhadap massa dan fungsi ventrikel kiri pada anak masih menjadi perdebatan. Tujuan. Untuk mengetahui gambaran massa dan fungsi ventrikel kiri pada anak DMT1. Metode. Dilakukan penelitian potong lintang dengan membandingkan massa, fungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri 30 anak DMT1 berusia 4 sampai dengan 18 tahun dengan 30 anak sehat sebagai kontrol yang bersesuaian jenis kelamin dan umur. Massa dan fungsi ventrikel kiri diperiksa dengan ekokardiografi. Hasil. Massa ventrikel kiri anak DMT1 lebih besar dari pada anak sehat, perbedaan ini bermakna. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan massa tersebut adalah lama sakit dan tekanan darah. Fungsi diastolik pada anak dengan DMT1 berbeda bermakna dibanding anak sehat. Pola perubahan parameter fungsi diastolik anak DMT1 sesuai dengan gambaran disfungsi diastolik gangguan pola relaksasi. Faktor yang berhubungan dengan perubahan fungsi diastolik pada anak DMT1 adalah lama sakit. Untuk fungsi sistolik tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Kesimpulan. Pada anak dengan DMT1 terdapat peningkatan massa ventrikel kiri dan gangguan diastolik pola relaksasi. Perubahan massa jantung dan gangguan fungsi diastolik tersebut berhubungan dengan lama sakit dan tekanan darah. ......Background. The impact of Diabetes Mellitus type 1 (DMT1) on the left ventricular mass and functions in children remains controversial. Objective: The aim of the study is to measure the left ventricular mass and function in children with DMT1. Methods. A cross-sectional study was conducted to compare the mass and diastolic-systolic function of the left ventricle of 30 children with DMT1 and normal children aged 4 to 18 years that matched in sex and age. The left ventricular mass and diastolic-systolic function was assessed by echocardiography. Results.Ventricular mass of children with DMT1 were significantly heavier than healthy ones. Factors associated with increased mass were the duration of illness and blood pressure. Diastolic functions in children with DMT1 were significantly different compared to healthy children. The patterns of changes were appropriate with the relaxation pattern of diastolic dysfunction. The factor associated with the change of diastolic parameters is the duration of illness. Significant differences were not found in the systolic function. Conclusion. In children with DMT1 there was an increase of left ventricular mass and also diastolic dysfunction with the relaxation pattern. Changes in cardiac mass and diastolic dysfunction are associated with duration of illness and blood pressure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Pramudita
Abstrak :
Latar Belakang: Disfungsi diastolik signifikan (derajat 2 dan 3) merupakan komplikasi yang relatif sering ditemukan dan prediktor mortalitas independen pada sindrom koroner akut (SKA). Pemeriksaan ekokardiografi untuk evaluasi disfungsi diastolik tidak selalu dapat dilakukan dan tidak tersedia luas di berbagai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) lebih luas tersedia dan telah ditunjukkan pada penelitian sebelumnya memiliki nilai diagnostik sebagai skrining disfungsi diastolik pada pasien hipertensi dan penyakit ginjal kronik Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menilai apakah parameter EKG waktu puncak gelombang P (PWPT) dan waktu dari puncak hingga akhir gelombang T (Tp-e) dapat digunakan sebagai skrining disfungsi diastolik signifikan pada pasien sindrom koroner akut. Metode: Data sekunder (ekokardiogram dan EKG yang diperiksakan pada hari yang sama) dari 93 pasien SKA yang dirawat di ruang rawat intensif koroner dari Januari 2020 hingga Januari 2021 dianalisis dalam studi cross-sectional ini. PWPTV1 didefinisikan sebagai waktu dari awal gelombang P hingga mencapai puncaknya (diukur di sandapan V1). Tp-e didefinisikan sebagai waktu dari puncak gelombang T hingga akhir gelombang T (diukur di V5). Peneliti yang menilai EKG tidak mengetahui hasil ekokardiogram (blinding). Parameter EKG dan variabel lain dibandingkan di antara grup SKA dengan dan tanpa disfungsi diastolik signifikan. Hasil: Terdapat 32,3% pasien SKA dengan disfungsi diastolik signifikan. Durasi PWPTV1 memanjang pada kelompok SKA dengan disfungsi diastolik signifikan (65 vs. 59 miliseconds, p<0.01). PWPTV1 memiliki korelasi dengan indeks volume atrium kiri (LAVI) (r=0,283, p=0,019) and merupakan prediktor independen terhadap disfungsi diastolik signifikan (OR=1,062, p=0,035). Sebaliknya Tp-e tidak didapatkan memilki perbedaan signifikan diantara kedua kelompok dan tidak berkorelasi dengan parameter disfungsi diastolik pada ekokardiografi. Analisis receiver operating characteristics (ROC) PWPTV1 menunjukkan AUC=0,677 (IK 95% 0.557-0,798), p=0,006 dengan titik potong optimal di 63,5 milidetik yang menunjukkan sensitivitas 60% dan spesifisitas 77,8 persen. Simpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan pemanjangan PWPTV1 memiliki nilai diagnostik yang rendah untuk skrining disfungsi diastolik signifikan pada pasien sindrom koroner akut. ......Background: Significant diastolic dysfunction (grade 2 and 3) is a relatively common complication and an independent predictor of mortality in acute coronary syndrome (ACS). Evaluation of diastolic function by echocardiography is not always feasible and accessible throughout all levels of healthcare facilities. Electrocardiogram (ECG) test is more readily available and has been shown in previous studies to have a diagnostic value to screen for diastolic dysfunction in hypertensive and chronic kidney disease (CKD) patients. Objective: The purpose of this study is to examine whether ECG indices P wave peak time (PWPT) and T wave peak to T wave end (Tp-e) can be used as an aid to screen for significant diastolic dysfunction in patients with acute coronary syndrome. Methods: Secondary data (echocardiogram and ECG on the same day) of 93 ACS patients admitted to the intensive coronary care unit (ICCU) from January 2020 to January 2021 were analyzed in this cross-sectional study. PWPTV1 was defined as the time from begining of P wave to its peak (meassured in lead V1). Tp-e was defined as the time from begining of T wave peak to its end (meassured preferably in lead V5). ECG evaluator was blinded to the echocardiogram results. ECG indices and other variables were compared between groups of ACS patients with and without significant diastolic dysfunction. Results: Significant diastolic dysfunction was present in 32,3% of ACS patients. PWPTV1 was significantly prolonged in the significant diastolic dysfunction group (65 vs. 59 miliseconds, p<0.01). PWPTV1 has significant correlation with left atrial volume index (LAVI) (r=0,283, p=0,019) and was found to be an independent predictor of significant diastolic dysfunction (OR=1,062, p=0,035). Tp-e on the other hand showed no difference between the two groups and was not correlated with echocardiography diastolic dysfunction indices. Receiver operating characteristics (ROC) analysis of PWPTV1 showed AUC=0,677 (IK 95% 0.557-0,798), p=0,006 with optimal cut off point of 63,5 miliseconds which showed 60% sensitivity and 77,8% specificity. Conclusion: In this study prolonged PWPTV1 was shown to have low diagnostic value to screen for significant diastolic dysfunction in ACS patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library