Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daldiyono Hardjodisastro
Jakarta: UI-Press, 1997
PGB 0140
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Astram
"ABSTRAK
Pendahuluan: Asam pipemidat efektif pada 94 kasus infeksi saluran kemih akut, 87,5 infeksi saluran kemih kronis. Asam pipemidat diekskresi di urin sebanyak 85 dosis dalam bentuk aktif sehingga memberikan efek uroseptik. Metodelogi: Penelitian ini dibagi 2 kelompok masing-masing 20 pasien, terdiri dari pasien yang menjalani operasi TURP, litotripsi batu buli dan urethrotomi interna di RSU Kardinah April 2016 - Mei 2016. Kelompok intervensi diberikan asam pipemidat, pada kelompok kontrol diberikan ceftazidime. Hasil: Asam pipemidat memiliki efektivitas yang tidak berbeda dengan antibiotik kontrol sebagai profilaksis infeksi pasca operasi. Asam pipemidat terbukti memberikan waktu perawatan yang lebih singkat. Kesimpulan: Asam pipemidat dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi endourologi traktus urinarius bawah dan memberikan waktu perawatan yang lebih singkat.

ABSTRACT
Introduction Pipemidat acid effective 94 in acute urinary tract infection case, 87,5 chronic urinary tract infection. Pipemidat excretion in urine approximately 85 of total doses in active form so that give uroseptic effect. Methods Study divided into 2 groups, each group have 20 patients that were done TURP, bladder stone lithotripsy and internal urethrotomy in Kardinah General Hospital on April 2016 ndash Mei 2016. Intervention group was given pipemidat acid while control group used ceftazidime. Result pipemidat acid have no significant effectivity with control antibiotic as prophylaxis to prevent infection after operation. Pipemidat acid gives in short length of stay. Conclusion pipemidat acid can be used as prophylactic therapy in lower urinary tract endourology surgery and give a short time in length of stay."
Lengkap +
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budiawan Atmadja
"USG transabdominal dapat memainkan peranan didalam menilai derajat varises esofagus. Kriteria diagnostik yang diajukan Kishimoto dkk untuk menilai adanya varises esofagus melalui penilaian ketebalan dan ireguleritas dinding anterior esofagus dengan USG transabdominal dapat dipakai sebagai acuan dalam menilai derajat varises esofagus.

Transabdominal ultrasound can play a role in assessing the degree of esophageal varicose veins. Diagnostic criteria proposed by Kishimoto et al to assess the presence of esophageal varicose veins
through the assessment of the thickness and irregularity of the anterior wall of the esophagus with transabdominal ultrasound can be used as a reference in assessing the degree of esophageal varicose veins.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dadang Makmun
Depok: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2018
610.7 DAD k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Ari
"ABSTRAK
Efek samping gastroduodenal sering terjadi pada pengunaan aspirin jangka panjang, bahkan pada dosis yang sangat rendah (10 mg/hari). Saat ini angka kejadian kerusakan mukosa gastroduodenal akibat penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan gambaran endoskopi kerusakan mukosa gastroduodenal pada pengguna aspirin dosis rendah jangka panjang pada pasien yang berobat di RSCM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien poliklinik dan ruang perawatan RSCM usia ≥ 18 tahun yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (75-325 mg) lebih dari 28 hari. Didapatkan 95 subjek penelitian melalui metode konsekutif dalam periode Desember 2015 ? April 2016. Temuan endoskopi berupa erosi mukosa dan ulkus peptikum dimasukkan ke dalam kelompok kerusakan mukosa. Hasil: Kerusakan mukosa gastroduodenal ditemukan pada pada 49 subjek (51,6% (95% IK 41,6-61,7%)), dengan gambaran erosi mukosa pada 38 subjek (40% (95% IK 30,2-49,9%)) dan ulkus peptikum pada 11 subjek (11,6% (95% IK 5,2-18,0%)). Hanya 44,9% pasien dengan kerusakan mukosa gastroduodenal memiliki keluhan dispepsia. Kombinasi antitrombotik meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mukosa (OR 3,3 (95% IK 1,3 ? 8,5)). Sedangkan penggunaan obat golongan proton pump inhibitors (PPI) menurunkan risiko (OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)). Kesimpulan: Kerusakan mukosa gastroduodenal terjadi pada lebih dari separuh pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah jangka panjang. Kombinasi aintitrombotik meningkatkan risiko kerusakan mukosa. Sedangkan penggunaan PPI efektif dalam menurunkan risiko tersebut.

ABSTRACT
Background: Long-term aspirin therapy can induces gastroduodenal mucosal injury, even in a very low dose (10 mg daily). The frequency of gastroduodenal injuries among long-term low-dose aspirin users in Indonesia is currently unknown.Aim: To determine the gastroduodenal mucosal injury prevalence, endoscopic findings, and influencing factors among long-term low-dose aspirin users in RSCM. Methods: This study was a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were ≥ 18 years old patients that have been using low-dose aspirin (75-325 mg) for at least the preceding 28 days. Ninety five subjects were recruited consecutively in the period of December 2015 ? April 2016. Endoscopic findings such as erosions and ulcers were assessed as mucosal injuries. Results: Mucosal injury was found in 49 subjects [51.6% (95% CI 41.6?61.7%)]; mucosal erosion in 38 subjects [40% (95% CI 30.2?49.9%)] and ulcers in 11 subjects [11.6% (95% CI 5.2?18.0%)]. Only 44.9% patients with mucosal injury had dyspepsia symptoms. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury [OR 3.3 (95% CI 1.3?8.5)]. However, proton pump inhibitor (PPI) decreases the risk [OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)]. Conclusions: Gastroduodenal mucosal injury was found in more than half of long-term low-dose aspirin users. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury, while PPI effectively reduced the risk.;"
Lengkap +
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya.
Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE.
Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya.

Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease.
Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria.
Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05).
Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Hajarani
"ABSTRAK
Latar belakang:Bayi laringomalasia primer memiliki komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration. Hingga saat ini, belum diketahui prevalensi disfagia dan data mengenai gambaran fungsi menelan bayi laringomalasia primer. Tujuan penelitian: Mengetahuiprevalensi disfagia dan gambaran fungsi menelanpada bayi laringomalasia primersertamengetahui kesesuaian antara SEES dan FEES.Metode: Penelitiancross-sectional yang bersifat deskriptifdan analitik komparatif terhadap 34subjek bayi laringomalasia primersecara konsekutif di RS Dr. Cipto Mangunkusumoperiode Januari-Maret 2020. Hasil:Prevalensi disfagiapada bayi laringomalasiaprimersebanyak 9 dari 34 subjek (26,5%). Gejala disfagia pada bayi< 6 bulan tersering adalah regurgitasi dan apneasaat menyusu (5/6), sedangkan pada bayi>6 bulan adalah terdengar banyak lendir di tenggorok (3/3). Komorbid terbanyak adalah kelainan genetikdan PRGE(3/9). Komplikasi terseringadalah pneumonia aspirasi (6/9). Pada pemeriksaan awal FEES, kontrol postural terganggu(7/9) merupakantanda yang paling sering ditemukan. Pada pemeriksaan FEES, preswallowing leakagedidapatkan pada konsistensi puree, tim saring, dan tim kasar. Pada pemeriksaan SEES dan FEES, residu, penetrasi,dan aspirasipalingbanyak didapatkan pada konsistensi susu. Silent aspirationdidapatkan pada4 dari 9subjek dengan disfagia. Pemeriksaan SEES memiliki kesesuaian dengan FEES berdasarkanuji McNemarpadaparameter ada tidaknya penetrasi, residu, dan aspirasi.Kesimpulan:Prevalensi disfagia pada bayi laringomalasia primersebanyak 9 dari 34 subjek(26,5%), penetrasi dan aspirasi didapatkan pada konsistensi air dan susuterutama pada bayi< 6 bulan, dan SEES memiliki kesesuaian dengan FEESdalam menilai fungsi menelanberdasarkan parameter ada tidaknya residu, penetrasi, dan aspirasi.

Background:Silent aspiration is oftenunrecognized comorbidity in infants with congenital laryngomalacia with serious medical consequence. However, prevalence of dysphagia and characteristic of dysphagia ininfants with congenital laryngomalacia is still unknown. Aim: To find the prevalence and the overview of swallow function in infants with congenital laryngomalacia and also to know the conformity between SEES and FEES in assessing swallow function. Methods:This is a descriptive cross-sectional and comparative analytic study involving 34 infants with congenital laryngomalacia who came consecutivelytoDr. Cipto Mangunkusumo Hospitalon January-March 2019. Results: The prevalence of dysphagia was 9 out of 34 subjects (26,5%).Dysphagia symptom in infants<6 months was regurgitation and apneawhile bottle/breast feeding (5/6). Meanwhile, in infants>6 monthswaswet sounding voice (3/3). The comorbidities found mostly were geneticanomaly and GERD(3/9). The complication mostly was aspiration pneumonia (6/9). In pre-FESS examination, poor postural controlwas dominant(7/9). In FEES examination, preswallowingleakagewas found in puree, soft steam porridge, and rough steam porridge. In FEES and SEES examination, residue, penetration, and aspirationwas mostly found inthick liquid. Silent aspiration was found in 4 out of 9subjects with dysphagia. SEES has a conformity to FEES based on McNemar test in the presence of residue, penetration, and aspiration. Conclusion: The prevalence of dysphagia in infants with congenital laryngomalaciawas9 out of 34 subjects(26,5%). In FEES examination, penetration,and aspiration were found mostly in thin liquid, <6months of age predominantly.SEES has a conformity to FEES based on presence of residue, penetration, and aspiration in assessing swallow function."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
"Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Roberta Fifin Amandaningrum
"Persaingan di industri kesehatan, pertumbuhan pelayanan Endoskopi dan rendahnya tarif BPJS dibandingkan dengan tarif rumah sakit, mendorong Rumah Sakit XYZ untuk mengevaluasi perhitungan biaya pelayanannya secara lebih
mendalam. Manajemen kendali mutu dan kendali biaya merupakan kunci sukses dalam menerapkan strategi pelayanan kesehatan berbasis nilai (Value-based healthcare). Time-Driven Activity Based Costing (TDABC) adalah metode
akuntansi biaya yang memberikan perkiraan biaya secara lebih akurat dibandingkan dengan metode biaya tradisional. TDABC menunjukkan kapasitas tidak terpakai (unused capacity) dari sumber daya yang dimiliki sehingga membantu pengelolaan sumber daya agar lebih efisien dan efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukkan bagaimana penerapan metode TDABC di unit Endoskopi Rumah Sakit XYZ melalui pemahaman tentang berbagai kelompok sumber daya (resource group) yang digunakan dalam proses pelayanan dan bagaimana melakukan alokasi biaya tidak langsung (indirect cost) dengan menggunakan waktu sebagai pemicu biaya utama (cost driver) sehingga dapat diketahui unused capacity dan disusun capacity-based income statement. Jenis penelitian ini adalah studi kasus deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui analisa biaya dan profitabilitas di unit Endoskopi. Pengumpulan data berdasarkan data Rumah Sakit XYZ periode Januari-Desember 2017 serta hasil wawancara dan observasi langsung yang
dilakukan pada Oktober dan November 2018. Hasil studi kasus ini menyimpulkan bahwa dengan metode TDABC, biaya dan profitabilitas setiap jenis tindakan Endoskopi dianalisa secara lebih rinci dan akurat dimana indirect cost dialokasikan sesuai dengan sumber daya aktual yang digunakan sehingga dapat diketahui unused capacity dari setiap resource group. Melalui capacity-based income statement yang disusun, tingkat efisiensi menjadi lebih jelas dan terukur. Peninjauan kembali secara periodik terkait manajemen biaya dan tarif rumah sakit perlu dilakukan agar tetap selaras dengan perubahan lingkungan bisnis Rumah Sakit XYZ.

Competition in the healthcare industry, the growth of endoscopy procedures and the low rate of BPJS for endoscopy compared with the regular tariff, prompted XYZ
Hospital to evaluate the cost of its services. Management of quality and cost control are key to success in applying Value-based healthcare strategy. Time-Driven Activity Based Costing (TDABC) is a cost accounting method that can provide more accurate cost estimation than traditional costing method. TDABC can reveal the unused capacity of its resources that help hospital resource management runs
efficiently and effectively. The purpose of this case study is to demonstrate how TDABC method is applied in Endoscopy unit of XYZ Hospital by understanding the various resource groups used in the service processes and the indirect cost allocation using time as the main cost driver so that unused capacity can be identified, and capacity-based income statement can be prepared. This is a
descriptive case study with qualitative and quantitative approaches through cost and profitability analysis in the Endoscopy unit. Data collection based on XYZ Hospital database from January to December 2017 and the results of interviews and a direct observation conducted in October and November 2018. The result of this case study concludes that through TDABC, the cost and the profitability of
endoscopy procedures can be analyzed in more detail and accurate where indirect costs are allocated according to the actual usage of resources, therefore the unused capacity can be identified for each resource group. Through the capacity-based income statement, the efficiency level can be clearly defined and more measurable. Periodically, a review of the company's cost management and tariff is needed in order to stay in line with the company's business and environments.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>