Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albertus Harsawibawa
"Tujuan penelitian ini adalah memberikan insight atas sesuatu yang terjadi di dalam diri pengamat ketika ia berhadapan dengan sebuah Objek estetis. Kejadian itu disebut pengalaman estetis. Dengan menggunakan perspektif dan metode yang agak berbeda dengan pada umumnya, penelitian ini berhasil mendapatkan wawasan baru atas pengalaman estetis.
Ada sejumlah pemikiran dari para filsuf besar mengenai pengalaman estetis: Pengalaman estetis merupakan pengalaman yang berbeda dengan pengalaman biasa (Dewey). Dalam kejadian itu subjek-pengamat mengalami keadaan yang "tidak wajar" (Aritstoteles, Aquinas dan Schoggnhnuer); di dalam dirinya terjadi perubahan tertentu dimana objek biasa rnenjadi objek estetis (Bullough). Dan semua itu dimungkinkan karena di dalam dirinya ada fakultas tertentu yang "menjelaskan" apa yang dihadapinya itu (Kant).
Walaupun pengalaman estetis sifatnya sangat subjektif tetapi ia tidak dapat dilepaskan dari "dunia luar" (Beardsley). Itulah sebabnya untuk menghasilkannya objek harus dipandang sebagai sesuatu yang memiliki "wajah- wajah" tertentu (Aristoteleg, Aguinas, Q; dan QL), dan objek yang hadir di dalam diri kita dipandang secara virtual (Langer).
Perspektif yang penulis gllilakan dalam penelitian ini adalah kesadaran - dalam hal ini adalah phenomenal consciousness. Dengan perspektif ini berhasil dikuaklah aspek terdalam dari pengalaman estetis; dengan sifamya yang menunjuk pada "what-it-is-like" dari sesuatu yang dialami oleh seseorang, ia berhasil menunjukkan bahwa pengalaman estetis memiliki segi-segi: unity, intensionalitas, struktur Gestalt, perbedaan antara the Centre dan the Periphery, mood, qualitativeness dan pleasurel unpleasure.
Dengan menggunakan phenomenal consciousness sebagai perspektif maka dibutuhkanlah sebuah metode yang juga agak berbeda dari yang umum dikenal. Pandangan umum mengatakan bahwa Fenomenologi adalah metode yang paling pantas untuk menelaah pengalaman estetis, dan penelitian ini menunjukkan bahwa Fenomenologi memang mampu untuk menguak apa yang terjadi di dalam pengalaman estetis. Tetapi ia tidak berhasil menunjukkan bagaimana semua itu bisa terjadi. Untuk itu dibutuhkanlah Heterofenomenologi.
Dengan Heterofenomenologi sebagai prinsip dan dibantu dalam tataran implementasi oleh "Model Teater" dari Baars (1997) berhasil ditunjukkanlah bahwa di dalam pengalaman estetis terdapat "titik berangkat" (berbicara mengenai proses "penangkapan" objek estelis), (berbicara mengenai realitas baru [di dalam diri pengamat] yang dihasilkan oleh objek estetis), "pemain di panggung" (berbicara mengenai sumber-sumber pengalaman estetis, yaitu: indera, ide, tatanan [cerita dan bunyi], imaji, pleasurel displeasure dan feeling), "sportlight of attention" (berbicara mengenai arah perhatian nada sam tink di dalam menghadapi objek estetis), "konteks di belakang panggung" (berbicara mengenai "dunia" dalam Fenomenologi), dan "penonton" (berbicara mengenai permainan hal-hal tertentu di otak pengamat dalam membangun pemahamannya mengenai objek esetis)."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1592
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hawa
"Penelitian ini membahas penyelidikan black humour sebagai pengalaman estetis. Pada umumnya black humour hanya dianggap sebagai sesuatu yang sekedar menimbulkan tawa semata serta tidak dilihat sebagai sesuatu yang layak untuk dibahas dalam dunia akademis karena sifatnya yang dianggap hanya sebagai suatu yang `main-main` atau tidak serius. Jarang adanya penyelidikan filosofis terkait black humour, padahal black humour merupakan fenomena yang dekat dengan kehidupan manusia dan kita dapat menemukannya dimana-mana. Penulis melihat bahwa black humour memiliki makna yang lebih luas untuk digali secara filosofis. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini diantaranya, apa definisi dari black humour dan bagaimana black humour dapat dikatakan sebagai pengalaman estetis. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan metode kualitatif berupa analisis kritis sebagai alat untuk menganalisis secara kritis pemikiran para pemikir yang tertuang di dalam beberapa sumber bacaan. Hasil analisis ditemukan bahwa black humour dapat menghasilkan pengalaman estetis yang unik bagi penikmatnya lewat penyajian suatu topik tabu yang dikemas dalam suatu lelucon dengan cara menentang logika berpikir umum, dimana pengalaman estetis yang ditimbulkan dapat  merangsang kita untuk memperkaya pandangan kita terhadap dunia. 

This research examines about the investigation of black humour as aesthetic experience. In general, black humour is only regarded as something that causes laughter and is not seen as something that deserves to be discussed in the academic world because of its nature which is considered only as a "playful" or not serious. There is rarely a philosophical investigation related to black humour, even though black humour is a phenomenon that is close to human life and we can find it everywhere. The author sees that black humour has broader meaning to be explored philosophically. Questions to be answered in this study include, what is the definition of black humour and how black humour can be said to be aesthetic experience. To answer this question the writer uses qualitative methods in the form of critical analysis as a tool to critically analyze the thoughts of thinkers contained in several reading sources. The results of the analysis found that black humor can produce a unique aesthetic experience for the audience through the presentation of a taboo topic that is packaged in a joke by opposing the logic of general thinking, where the aesthetic experience that is generated can stimulate us to enrich views we are towards the world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rezkita Gustarachma Astari Suhendar
"Dalam konteks perkembangan industri media massa, tantangan para fotografer (fotojurnalis) di era digital berhadapan dengan tuntutan nilai objektivitas dan proses manipulasi visual jurnalisme. Representasi pada fotojurnalisme terkandung dalam salah satu bentuk dari estetika jurnalisme. Penulis memandang bahwa hasil karya fotojurnalisme dapat mengupayakan cara para fotografer memilih untuk menggunakan fotografi sebagai 'a different way of seeing'. Tulisan ini menawarkan pentingnya meninjau kembali terhadap membangun sikap intensional dalam proses penciptaan fotografi jurnalistik. Melalui metode distingsi konseptual, tulisan ini menawarkan bagaimana nilai fotojurnalisme tidak terlepas dari pengalaman estetis fotografer dengan melibatkan peran emosi dan narasi dalam sebuah fotografi. Lebih lanjut, tulisan ini akan bertumpu pada pemikiran Mikel Dufrenne mengenai The Phenomenology of Aesthetic Experience sebagai teori utama. Kemudian dengan metode fenomenologi digunakan untuk memperlihatkan bagaimana proses performatif pada karya fotojurnalisme ini dipengaruhi oleh kemampuan seseorang mengeksplorasi gestur secara intensional, diikuti dengan pengalaman estetis sebagai Welstanchauung seorang fotografer. Alhasil, tulisan ini berusaha untuk mengartikulasi peran pengalaman estetis subjektif terlibat dalam membentuk representasi fotojurnalisme yang bekerja secara intersubjektif.

In the context of the development of the mass media industry, the challenges of photographers (photojournalist) in the digital age are faced with demands for objectivity and the process of manipulation of visual journalism. Representation of photojournalism is embodied in one form of journalism aesthetics. The author considers that the work of photojournalism can work out the way photographers choose to use photography as "a different way of seeing". This article offers the importance of revisiting towards building intentional attitudes in the process of creating journalistic photography. Through the conceptual distinction method, this article offers how the value of photojournalism is inseparable from the photographer's aesthetic experience by involving the role of emotion and narrative in photography. Furthermore, this article will rely on Mikel Dufrenne's The Phenomenology of Aesthetic Experience as the main theory. Then, the phenomenological method is used to show how this performative process in photojournalism influenced by one's ability to explore gestures intentionally, followed by aesthetic experience as a photographer’s Welstanchauung. As a result, this article seeks to articulate the role of subjective aesthetic experiences involved in forming photojournalism representation that work intersubjectively."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Petrus Antonius Jehadu
"ABSTRAK
Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah membandingkan hal-hal penting berkaitan dengan aspek significantly different yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 dan Japanese Design Law, Act No. 36 of 2014. Melalui studi kepustakaan dan pendekatan komparatif, tesis ini membahas tentang arti significantly different, known design, combination of known design features, dan bagaimana cara menentukan aspek significantly different dalam aplikasi permohonan dan pemeriksaan desain industri yang diterapkan dalam UUDI dan Japanese Design Law, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat 1 TRIPS Agreement. Hasil dari penelitian ini adalah: pertama, tafsiran hukum desain Jepang tentang significantly different lebih baik daripada UUDI. Kedua, frasa known design, baik dalam hukum desain Jepang maupun UUDI sama-sama mengedepankan aspek publikasi sehingga dikenal umum, perbedaannya ada pada waktu publikasi di mana di Jepang dimungkinkan adanya jangka waktu ?non - publicly known design?, yang tidak terdapat dalam hukum desain industri Indonesia. Sementara itu, frasa combination of known design features dalam hukum desain Jepang menekankan aspek fitur dari suatu desain tanpa mempertimbangkan kesamaan article, sementara dalam UUDI tidak diatur. Ketiga, pemeriksaan substansial dalam DA Jepang bersifat wajib setelah persyaratan administratif dipenuhi, sementara dalam UUDI, pemeriksaan substansial dilakukan berdasarkan sanggahan/keberatan. Fakta ini memungkinkan tidak adanya pemeriksaan terhadap aspek significantly different dalam hukum desain industri Indonesia. Keempat, Penentuan aspek significantly different pada dasarnya sama-sama dilakukan berdasarkan observasi mata. Perbedaannya terletak pada acuan penilaian yang diukur berdasarkan kesan estetis, dimana dalam hukum desain Jepang, kesan estetis tersebut ada dalam sudut pandang konsumen (termasuk pedagang), sementara dalam UUDI kesan estetis yang terdapat dalam pengertian desain industri tidak dijelaskan artinya dan pada sudut pandang siapa dinilai.

ABSTRACT
Focus of this thesis is comparing important aspects of significantly different case ruled in Indonesian Industrial Design Law No. 31 Of 2000 and Japanese Design Law, Act No. 36 of 2014. This study uses literature study and comparative approach to discuss about significantly different, known design, and combination of known design features interpretation, and how to determine significantly different aspect in design application and industrial design examination ruled in Indonesian Design Law and Japanese Design Law referring to TRIPS Agreement Provision Article 25 (1) as the main substance. This study has some results: first, Japanese Design Law better than Indonesian Design Law in applying significantly different aspects interpretation. Second, both Japanese Design Law and Indonesian Design Law take publication factor as the internal part of known design phrase interpretation. The different between them is the time of publication with create non-publicly known design only in Japanese Design Law. Besides, combination of known design features phrase specially concerns to the features aspect of design without taking consideration to the article in Japanese Design Law; it is not specifically ruled in Indonesian Design Law. Third, regarding to the substantial examination, Japanese Design law regulates it as compulsory provision; in Indonesian Design Law, it shall not be done if there isn?t a disclaimer from the plaintiff. This said provision will make the probability in determining significantly different aspect in Indonesian Industrial Design Law become weak. Fourth, both Japanese Design Law and Indonesian Design Law basically determine the significantly different aspect by sight observation. The different between them occurs when aesthetical impression is used; Japanese Design Law uses aesthetical impression in the view of consumer (including trader), but Indonesian Design Law doesn?t regulate it specifically.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Jati Ningrum
"Elemen estetis seringkali hanya dianggap sebagai pajangan atau hiasan ruang semata, tanpa menyadari polensi lain dan penerapan elemen estetis ini pada penataan ruang luar maupun ruang dalam. Sejauh manakah peran elemen estetis dalam meningkatkan kualitas visual dan fungsional dari sebuah ruang? Bagaimanakah prinsip-prinsip elemen estetis yang harus diterapkan agar elemen estetis tersebut dapat berfungsi secara efektif dan optimal? Bagaimana hubungan elemen estetis dengan penataan ruang luar dan penataan ruang dalam pada sebuah karya arsitektur? Peletakan elemen estetis yang seperti apakah yang dianggap tepat dan dapat mempeikaya kualitas ruang?
Penerapan elemen estetis memiliki tujuan yang positif, yaitu untuk menghasilkan segala hal yang balk, indah dan menyenangkan untuk ditanggapi dan dirasakan oleh indera manusia. Unsur keindahan yang hadir dalam warna, cahaya, pola & tekstur mempengaruhi persepsi dan emosi terhadap bobot visual, proporsi serta dimensi ruang Selain kebutuhan akan ruang, manusia juga membutuhkan seni sebagai eksprsi dalam kehidupannya. Seni dapat menjadi stimulus aktif dan pasif bagi manusia. Sebagai stimulus aktif, elemen estetis menjadi acuan skala dan acuan arah serta focal point yang bersifat eye-catching. Sedangkan sebagai stimulus pasif, elemen estetis berfungsi sebagai dekorasi ruang yang menjadi simbol dari suaiu kegiatan yang berlangsung di dalam ruang tersebut, menjadi pemacu semangat beraktivitas, membenkan karakter/identitas serta prestige kepada sebuah ruang.
Ruang hams memiliki unsur estelis atau keindahan. Pendekatan secara estetis ini penting karena dalam proses pemahaman terhadap ruang, kontak pertama manusia dengan ruang sekitamya adalah melalui pengalaman visual. Elemen estetis ini juga berkaitan erat dengan kualitas kenyamanan dalam beraktivitas. Nleskipun penilaiannya bersifat subyektif, tetapi perancangan elemen estetis harus memenuhi kaidah perancangan dan peletakan. Prinsip perancangannya harus rnemiliki tema yang jelas dan tidak monoton. Sedangkan peletakannya harus selaras dengan skala, proporsi dan komposisi ruang, serta harus dapat dilihat & dinikmati dari semua angle."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S48285
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novian Tiffany Puspa Arum Dhini
"[Pengalaman estetis akan musik tidak selalu mengenai musik yang indah. Luigi Russolo sebagai seorang komposer Futuris abad ke 19 telah membuktikannya dengan berbagai karya noise music dan manifesto berjudul The Art of Noise. Noise music pada abad Kontemporer tumbuh menjadi aliran musik tersendiri yang banyak menuai polemik mengenai status estetisnya. Metafor di sini kemudian dijadikan wahana mensiasati pengalaman estetis intersubjektif dari noise music tersebut. Mengapa metafor dan pengalaman estetis seperti apa yang dimaksudkan? Analisis konseptual terhadap noise serta refleksi filosofis dari pengalaman estetis itu sendiri yang dilakukan dalam penulisan ini, berusaha membuka pemahaman baru mengenai musik serta estetika secara keseluruhan.;Aesthetic experience of music is not only about beautiful music. Luigi
Russolo as a Futurist composer in 19th century has proved it with many pieces of
noise music and manifesto titled The Art of Noise. In this postmodern era, noise
music then grows become a polemic genre on its aesthetic status. Here then,
metaphor being mode of inter subjective aesthetic experience from that noise
music. Why metaphor and which aesthetic experience means? The conceptual
analysis to noise with philosophical reflection from that aesthetic experience
itself, due in this writing to try to open a new perception about music also
aesthetic as a whole., Aesthetic experience of music is not only about beautiful music. Luigi
Russolo as a Futurist composer in 19th century has proved it with many pieces of
noise music and manifesto titled The Art of Noise. In this postmodern era, noise
music then grows become a polemic genre on its aesthetic status. Here then,
metaphor being mode of inter subjective aesthetic experience from that noise
music. Why metaphor and which aesthetic experience means? The conceptual
analysis to noise with philosophical reflection from that aesthetic experience
itself, due in this writing to try to open a new perception about music also
aesthetic as a whole.]"
[, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuddin
"ABSTRAK
Masyarakat Gorontalo pada umumnya masih mengandalkan fornitur meja dan kursi yang terbuat dari rotan, Namun seiring dengan perkembangan hasil produk meja dan kursi dari rotan tersebut sudah mulai ditinggalkan, salah satu penyebabnya adalah berkembangnya desain furnitur yang lebih meyakinkan dari bahan yang lain seperti kayu dan alumunium. Pengabdian masyarakat ini (IBM) akan memberikan solusi redesain untuk meja dan kursi yang terbuat dari rotan dengan memperhatikan tiga konsep utama, yaitu efesiensi, estetis, dan fungsional. Dengan konsep ini dapat menghasilkan produk meja dan kursi yang lebih inovatif, kuat, dan memiliki estetika yang lebih tinggi sehingga menjadi produk yang unggul dalam berkompetisi. Target khusus yang ingin dicapai adalah terjadinya peningkatan: 1) pengetahuan dan keterampilan tentang mendesain meja dan kursi dari rotan dengan menggunakan tiga konsep, yaitu efisiensi, estetis, dan fungsional, 2) peningkatan pendapatan pengrajin meja dan kursi dari rotan. Selain target tersebut, juga terjadinya perbaikan administrasi pengrajin dan manajemen pemasaran. Metode yang digunakan adalah pelatihan maupun pendampingan secara langsung kepada pengrajin tentang strategi dan teknik dalam pembuatan meja dan kursi yang terbuat dari rotan. Hasil yang diharapkan akan terjadinya peningkatan harga jual sehingga kesejahteraan pengrajin meja dan kursi menjadi lebih baik di masa yang akan datang."
Bandung: Unisba Pusat Penerbitan Universitas (P2U-LPPM), 2017
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dhestriana Respati Anugrahwati
"Salah satu elemen arsitektural yang kini telah menjadi kecenderungan desain pusat perbelanjaan di Indonesia adalah penggunaan skylight roof. Penerapan skylight roof pada bangunan menimbulkan masalah terutama pada karakter bangunan tropis seperti di Indonesia yang mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun. Dengan pemakaian skylight roof yang cukup besar pada bangunan, masalah panas dan glare yang berasal dari pantulan sinar matahari tak dapat dihindari.
Skripsi ini membahas pengaruh desain skylight roof, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam merancang skylight roof dan contoh kasus pada dua pusat perbelanjaan di Indonesia (Jakarta) yang menerapkan skylight roof pada rancangan bangunannya. Meneliti tentang pengaruh skylight roof dari segi kenyamanan dan estetika bangunan serta mencoba menjelaskan faktor-faktor yang perlu diperhatikan seperti orientasi bangunan, posisi bukaan terhadap matahari, dan material yang digunakan pada bangunan.
......One of the elements architectural which have now become the shopping center design trend in Indonesia is the use of roof skylights. Application of skylight roof of the building cause problems especially in the character of the tropical building such as in Indonesia, which get the sunlight throughout the year. With the use of large skylight roof on the building, heat and glare problems arising from the reflection of sunlight can not be avoided.
This thesis discusses the influence of roof skylights design, the factors to consider in designing skylight roof and two case studies in a shopping center in Indonesia (Jakarta) which apply skylight roof on the building design. Examining the influence of roof skylights in terms of comfort and aesthetics of the building and tried to explain the factors that need to be considered as building orientation, position of the sun, and the materials used in buildings."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S52292
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bagus Febriyanto
"Kadipaten Pakualaman memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan, kasusastraan,dan kesenian. Identitas khas ini tidak lain berkat kegigihanPangeran Natakusuma yang bukan saja sebagai pemimpin dalam hal politik pemerintahan,tetapijuga berperan sebagai pujangga yang pertama dan paling utama dari Kadipaten Pakualaman (Dewantara, 1994:289).Ideologi ajaran Sěstradi adalah hal utama yang menjadi pokok pembangunan karakter mulia di Kadipaten Pakualaman.Adanya visi dan misi ajaran Sěstradi ini menjadikan sebagian besar karya sastra yang lahir di Kadipaten Pakualaman bergenre piwulang dan sedikit sekali karya sastra yang mendokumentasikan seni pertunjukan.Berdasarkan tahapan kerja inventarisasi naskah, karya-karya sastra bergenre seni pertunjukan hanya ditemukan pada masa kepemimpinan Sampeyan Dalěm Paku Alam IV, yakni naskah Kyai Sěstradilaras dan Langěn Wibawa.Akan tetapi, sosok Sampeyan Dalěm Paku Alam IV dalam banyak catatan sejarah mendapat citra negatif karena gaya hidupnya yang senang berfoya-foya, sering mengadakan pesta, dan bahkan dikatakan hampir tidak ada karya sastra dihasilkan pada zamannya. Ditemukannya naskah Langěn Wibawa kode koleksi 0124/PP/73 koleksi Perpustakaan Kadipaten Pakualaman ini membuka mata kita terhadap peranan positif Sampeyan Dalěm Paku Alam IV dalam bidang kesusastraan yaitu kesadaran akan pentingnya dokumentasi seni pertunjukan. Penelitian ini berupaya melihat secara objektif citra positif Sampeyan Dalěm Paku Alam IV dalam memimpin pemerintahan maupun sebagai pujangga dan seniman Jawa melalui pendekatan studi filologi dan sejarah."
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2018
090 JMN 9:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Yohanna Monica H.
"Soren Aabye Kierkegaard sebagai bapak eksistensialisme, menekankan manusia sebagai inti dari pemikiran eksistensialismenya. Pemikiran atas pemahaman eksistensi individu yang berdasarkan pada gairah atas pilihan_pilihan hidup, yang berjuang, bergulat, dan mengalami hasrat. Tegangan_tegangan eksistensial yang dirasakan oleh setiap individu menjadi landasan bagi subjek untuk memilih setiap pilihan yang ada di hidupnya. Ketidakpastian dalam hal ini merupakan salah satu hal yang pasti akan hadir pada setiap pilihan yang akan membuat setiap subjek merasakan kecemasan dan ketakutan. Semua pilihan yang mengandung ketidakpastian tersebut memerlukan adanya suatu keyakinan yang membuat individu lepas dari rasa cemas, sehingga keputusan yang telah dibuatnya membawa dia kepada keotentikan dan eksistensi dirinya. Isabella Swan dalam film Twilight merupakan sebuah contoh atas pemahaman eksistensialisme Soren Kierkegaard.Isabella Swan berhadapan dengan pilihan atas eksistensinya yang membutuhkan pertimbangan etis pada dirinya.

Soren Aabye Kierkegaard as the father of existentialism, emphasizes people as the core of the idea of existentialism. Thoughts on the understanding that the existence of individuals based on the passion for life choices, struggling, and experiencing desires. Existential tensions felt by every individual as a baseline for the subject to select any options in life. The uncertainty in this respect is one thing for sure will be present at every option that would make any subject feel the anxiety and fear. All the options that contain these uncertainties requires a belief that makes the individual free from anxiety, so the decision has been made to bring the subject to the authenticity and existence itself. Isabella Swan in the Twilight movie is an example of existentialism, Soren Kierkegaard's understanding. Isabella Swan faced with the option of requiring the existence of ethical considerations in her."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16019
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library