Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bogor: Pustaka Latin kerja sama dengan Klinik Hukum, Kontras, IDRC, dan MFP, 2006
346.046 KEK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mendes, Chico
Jakarta: Walhi dan Yayasan Obor Indonesia , 1994
634.9 MEN b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Setyarini
Abstrak :
Setiap kegiatan pembangunan pada umumnya menimbulkan masalah lingkungan hidup. Penanggulangannya perlu dilakukan tindakan terpadu, guna menghindarkan kerusakan-kerusakan yang menimpa lingkungan hidup manusia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, salah satunya berupa program penghijauan. Begitu pula kota Kudus, sebagai salah satu kota industri juga tidak mau ketinggalan untuk melakukan penghijauan, yang terutama dilaksanakan di Kecamatan Kota, dan dimaksudkan untuk mencegah bahaya erosi, banjir dan polusi. Dalam melaksanakan suksesnya suatu program maka peran masyarakat sangat diperlukan, untuk itu perlu adanya partisipasi masyarakat karena masyarakat sebagai subyek juga sekaligus menjadi obyek dari pembangunan itu sendiri. Penelitian ini mengacu pada teori difusi inovasi dari Roger, pada taraf konsekuensi dalam suatu inovasi, dengan memperhatikan peran media massa dan komunikasi interpersonal dalam difusi inovasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana pengaruh intensitas penyuluhan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam program penghijauan kota. Metode penelitian yang digunakan adalah korelasional, untuk mencari hubungan antara 2 variabel tersebut. Sedangkan untuk pengumpulan data digunakan daftar pertanyaan. Penelitian ini tidak meneliti seluruh populasi melainkan hanya mengambil sampel dengan teknik proportional random sampling. Hipotesis mayornya adalah "Semakin tinggi intensitas penyuluhan, semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam program penghijauan kota". Adapun sub variabel intensitas penyuluhan meliputi isi pesan, pengenaan media dan frekuensi penyuluhan. Sedangkan sub variabel dari tingkat partisipasi masyarakat adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program dan tingkat partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi program. Dengan menyilangkan masing-masing sub variabel ini, maka diperoleh 9 hipotesis minor yang perlu diuji kebenarannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara isi pesan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi program yang signifikan. Tingkat pengaruh masing-masing sebesar 16 % dan 32 %. Hubungan antara pengenaan media dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ternyata signifikan dan pengaruhnya sebesar 16%. Dan hubungan antara frekuensi penyuluhan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi program yang signifikan, serta mempunyai pengaruh sebesar 25 % dan 19 %. Dari 9 pengujian hipotesis, ternyata ada 5 pengujian terbukti signifikan. Jadi secara umum dapat dikatakan ada pengaruh antara intensitas penyuluhan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam program penghijauan kota, walaupun tidak secara mutlak karena ada variabel lain yang ikut mendukungnya. Dengan demikian hipotesis mayor yang diajukan dapat diterima. Sebagai saran, hendaknya penyuluhan ini harus tetap dilakukan secara teratur dan terarah, agar masyarakat tidak melupakan arti pentingnya program penghijauan kota, baik melalui media massa maupun media tatap muka. Dan perlu diingat bahwa dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan harus diusahakan untuk mengurangi atau menghindari dari timbulnya efek sampingan terhadap lingkungan. Saran untuk para peneliti selanjutnya adalah agar diadakan penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap peran variabel-variabel lain yang ikut mendukung keberhasilan program penghijauan kota ini, agar dengan demikian partisipasi masyarakat tetap terjaga.
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Bangun
Abstrak :
Wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya karena memunyai garis pantai sepanjang 81.000 kilometer. Wilayah pesisir memiliki peranan yang dominan dalam pembangunan wilayah pesisir. Mengingat, masyarakat pesisir merupakan komunitas yang pola kehidupannya sebagian besar sangat tergantung pada wilayah pesisir maka pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir sangat membutuhkan partisipasi masyarakat pesisir tersebut. Kebijaksanaan pembangunan nasional wilayah pesisir saat ini diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya alam secara adil untuk kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan, pemanfaatan, pelestarian, dan kesinambungan lingkungan hidup, untuk itu setiap pengembangan sumberdaya alam mempertimbangkan keseimbangan aspek sosial, ekonomi maupun ekologi. Sumberdaya alam seperti hutan mangrove khususnya yang berada di wilayah pesisir, juga memainkan peranan penting ditinjau dari sudut sosial, ekonomi, dan ekologis. Fungsi utama sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan makhluk lainnya. Penurunan luas hutan mangrove di sepanjang pantai utara Jawa, pesisir Sumatera dan Kalimantan yang terbesar diakibatkan oleh konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak, permukiman dan kawasan industri secara tidak terkendali. Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk kesejahteraan khususnya masyarakat pesisir, maka untuk pelestarian hutan mangrove salah satu upaya yang telah dilaksanakan adalah rehabilitasi hutan mangrove. Agar hal tersebut dapat berjalan diperlukan strategi pengembangan partisipasi masyarakat untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove, sehingga masyarakat merasa memiliki keuntungan dengan keberadaan hutan mangrove tersebut, dengan demikian mereka tetap menjaga dan menikmati hasil dari kelestarian tersebut untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi kondisi hutan mangrove yang ada saat ini 2. Mengetahui nilai biaya manfaat mangrove dan tingkat partisipasi masyarakat, kegiatan-kegiatan masyarakat pesisir yang dominan. 3. Menyusun arahan strategi pengembangan partisipasi masyarakat pesisir dalam rehabilitasi hutan mangrove. Penelitian ini bersifat eksploratif atau kajian evaluatif, data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis kebijakan, analisis kondisi hutan mangrove yang telah dilakukan rehabilitasi, analisis BIC Ratio dan, analisis partisipasi masyarakat. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan: 1. Luas hutan mangrove di Kabupaten Indramayu selama lima tahun mengalami penyusutan sebesar 36,05% (7,21% per tahun), sedangkan di empat desa contoh dari 1.715,15 hektar hutan mangrove telah dikonversi menjadi areal tambak seluas 1.149,10 hektar. 2. penyusutan dan kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pembukaan areal tambak, konversi sawah menjadi tambak, masyarakat beranggapan dengan tambak yang leas produksi meningkat. 3. Tingkat pendapatan per hektar per tahun dan BIC Ratio dengan pola silvofishery cenderung lebih tinggi daripada pola nonsilvotishery. 4. Tingkat partisipasi masyarakat pada hakekatnya dapat dilakukan dengan pendekatan internal dan eksternal untuk menyusun strategi pengembangan dan kapasitas partisipasi masyarakat.
The coastal areas of Indonesia have substantial potentialities of natural resources since the line is 81,000 km long coastal. Coastal areas have a dominant role in the development its areas. Bearing in mind that the life pattern of most coastal communities depend on coastal area development, therefore this development badly needs the participation on coastal communities concerned. The National Development on coastal areas is presently directed by a Policy of wise utilization of natural resources for the welfare of people, keeping in mind the aspects of live environmental protection, utilization, conservation and sustain ability, and also that, every natural resources development should be determined on the balance of social, economic and ecological aspects. Natural resources such as mangrove forests especially in coastal areas also play an important role on the economic, social and ecological points of view. The main function of ecosystem is to keep the balance and supply of various for the needs of human being and other. This study discovered that species the most destroyed mangrove forests are along the northern coast of Java, Sumatra and Kalimantan's coast lines because of uncontrolled conversion of the mangrove forest in the brackish water for the sale of business, housing and settlements and industrial area development. Since the existence of mangrove forests is very important for welfare of coastal people, one should conserve the mangrove forests. Programs that encourage people's participation to undertake the rehabilitation of mangrove forests have been carried out, to enable the benefit of the existence of those mangrove forests, preserve them and enjoy their preservation to achieve sustainable development. This study is aims at: 1. Identifying the present condition of mangrove forests 2. Identifying the activities of dominant coastal communities, which support the participation. 3. Identify the feasibility of BIC Ratio. 4. Formulating direction of development strategy on coastal communities in rehabilitating mangrove forest. This study is an explorative and evaluative study, which data have been compiled for evaluation by using the methods of policy analysis, analysis of mangrove forests conditions, which have been rehabilitated, BIC Ratio analysis and also an analysis on people's participation. The result of the study showed, that: 1. The extension of mangrove forest areas in Indramayu have declined 36.05 % (7.21% per annum), while in four pilot villages, 1,715.15 hectares of mangrove forests have been conversed into brackish water/aqua culture areas of 1,149.10 hectares. 2. The decrease and distortion of mangrove forest areas were caused by several factors such as the opening of brackish water (coastal fish ponds), conversion of padi fields into fish ponds, since the people considered that by having large brackish water or coastal fish ponds, production and harvest of fish will increase. Also, the annual production rate for each products acre and BIC Ratio under silvofishery is bigger than non-silvofishery. The level of people's participation could principally be done by using internal and external approaches for the development strategy and increase of capacity of community's participation.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15271
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Tunggul
Abstrak :
ABSTRAK
Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah dalam pengelolaan pembangunan hutan tropis merupakan penerapan cara bertindak oleh para implementor di bidang kehutanan sesuai dengan pedoman yang telah dirumuskan pemerintah (Departemen Kehutanan). Salah satu kebijaksanaan pemerintah di bidang kehutanan ini adalah Kebijasanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Tujuan Pelaksanaan Kebijaksanaan TPTI adalah untuk mengatur pemanfaatan hutan alam produksi dan meningkatkan nilai hutan baik kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan untuk rotasi tebangan berikutnya, agar terbentuk tegakan hutan campuran yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil kayu penghara industri secara lestari. Realisasi dari Pelaksanaan kebijaksanaan TPTI ialah hadirnya perusahaan-perusahaan HPH di propinsi Riau.

Berhasil tidaknya implementasi kebijaksanaan TPTI sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Para implementor adalah faktor kunci keberhasilan implementasi kebijaksanaan. Marilee S. Grindle mengemukakan bahwa aktivitas penerapan kebijaksanaan dipengaruhi oleh isi kebijaksanaan dan konteks kebijaksanaan.

Penelitian ini dilakukan pada perusahaan HPH PT. Wana Riau Sentosa, PT. Bina Lestari, PT. Pulau Sumbu dan PT. Shorea Mer Timber di propinsi Riau dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Pada awalnya informan dipilih secara purposive sample dari para karyawan (staf) perusahaan HPH dan selanjutnya dengan teknik Snowball sample. Sama halnya dengan data yang diperoleh dari para informan yang berasal dari aparat intansi kehutanan propinsi Riau.

Hasil studi menunjukkan bahwa perusahaan HPH di propinsi Riau belum menerapkan pedoman kebijaksanaan TPTI sebagaimana mestinya. Dalam pelaksanaan aktivitas penebangan dan penanaman kembali, perusahaan-perusahaan HPH sangat berorientasi pada profit sehingga mereka lebih mengutamakan fungsi produktif daripada fungsi protektif dari hutan. Hasil studi juga menunjukkan bahwa para implementor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan TPTI telah mengetahui pentingnya kelestarian hasil hutan tetapi nilai kelestarian hasil hutan belum menjadi nilai-nilai spirit bagi mereka. Hal-hal ini dapat dilihat pada aktivitas penebangan pohon di luar blok RRT yang sedang berjalan, aktivitas penanaman kembali yang hanya dilakukan di sebelah kiri dan kanan jalan utama HPH dengan luas areal yang sangat minim, dan sebagainya. Penerapan aktivitas yang tidak sesuai dengan pedoman kebijaksanaan TPTI ini semakin cenderung terjadi karena longgarnya pengawasan langsung oleh pihak instansi kehutanan ke lapangan.
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noni Amini
Abstrak :
Luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan permukaan bumi, akan tetapi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat tinggi, meliputi 1I% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung. Sekitar 17.000 pulau di Indonesia terbentang antara kawasan Indomalaya dan Australia. Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama dengan tingginya tingkat keanekaragaman tipe-tipe habitat yang ada. Banyak pulau yang terisolasi selama ribuan tahun, sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi (FWI/GFW, 2001). Untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada, diperlukan upaya konservasi yang merupakan salah satu bagian penting pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati, dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi ini dirasakan tidak efektif mengingat belum ada kawasan konservasi yang berhasil menggabungkan prinsip konservasi dan ekonomi yang bukan saja menjaga keanekaragaman hayati tapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dan memberikan pemasukan bagi negara. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya SDM, minimnya dana dan teknologi. Pada tahun 1995, Pemerintah RI memberikan hak pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995. Pelimpahan pengelolaan meliputi kawasan seluas 1.790.000 hektar yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser (905.000 ha), Hutan Lindung (505.000 ha) dan Hutan Produksi (380.000 ha), yang keseluruhannya di DI. Aceh (80%), (sekarang Nanggroe Aceh Darusalam) dan 20% di Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini kemudian dicabut dengan ditetapkannya Keppres No. 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam pengelolaan KEL ini, pemerintah menjalin kerjasama pengelolaan dengan Yayasan Leuser Internasional (YLI) selama 30 tahun. Pemerintah juga bekerjasama dengan Uni Eropa dalam pendanaan dan pengelolaan dengan membentuk Unit Managemen Leuser (UML) sebagai lembaga operasional pengelolaan kawasan untuk mernpersiapkan saran dan prasarana menuju pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Keberadaan UML sebagaimana diatur dalam financial Memorandum (FM) antara Indonesia dan Uni Eropa yaitu sebagai penerima mandat operasional pengelolaan KEL. Tim operasional pengelolaan tersebut terdiri dari ahli-ahli konservasi dan kehutanan Uni Eropa dan Indonesia yang mempunyai masa kerja selama tujuh tahun pada tahap I, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta menjalankan Program Pengelolaan Leuser (PPL) yang teiah ditetapkan oleh Leuser Steering Committe (LSC). Kerjasama ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan konservasi di wilayah ekosistem Leuser dan merupakan transfer ilmu dan teknologi bagi pengelola kawasan tersebut di masa yang akan datang. Penetapan KEL ini merupakan paradigma baru dalam pemberian ataupun menjalin kerjasama pengelolaan pada sebuah yayasan. Selama ini hak konsesi hanya diberikan berupa HPH yang mengekploitasi hasil hutan bukan untuk keperluan konservasi. Manajemen pengelolaan kawasan yang tercantum dalam FM antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tersebut menggabungkan antara kepentingan konservasi sumberdaya alam hayati dengan peningkatan nilai ekonomi kawasan yang berpegang pada prinsip penyerapan aspirasi masyarakat (bottom up) (Masterplan, I995). Melalui prinsip pengelolaan dirnaksud diharapkan konservasi dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan pemerintah baik dari segi ekonomi maupun kelestarian kawasan. Kawasan ekosistem Leuser juga terdiri dari beberapa kawasan pelestarian alam yang ditetapkan sebelumnya seperti Taman Nasional Gunung Leaser (TNGL), Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan Hutan Produksi dan sesuai dengan namanya, kawasan ini merupakan gabungan dari sistem alami satu sama lain yang merupakan keterkaitan erat yang membentuk bentang alam yang sangat luas serta sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kawasan ini mencakup berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pantai, rawa, danau, dataran rendah dan dataran tinggi hingga pegunungan dengan ketinggian 3.500 m dari permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kebijakan dan peraturan pemerintah dalam pengelolaan dan bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta pengaruh pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan KEL tersebut. Penelitian ini diharapkan akan sangat membantu dalam upaya pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di masa akan datang, khususnya dalam upaya pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Di samping itu, melalui penelitian ini nantinya diharapkan menjadi masukan bagi pengelolaan kawasan konservasi lainnya sehingga dapat menjamin pelestarian sumberdaya alam yang ada dengan tanpa mengenyampingkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam yang dengan sendirinya akan dapat memberdayakan masyarakat sekitar kawasan konservasi pada khususnya, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan KEL masih belum mendukung ke arah pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebab Keppres No. 33 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser belum mengakomodir kepentingan para pihak yang terkait dalam pengelolaan kawasan terutama hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan dan peraturan ini masih bemuansa sentralistik dalam menetapkan kerja sama pengelolaan. Dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengkaji fait-or-War internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja UML dalam menjaiankan PPL maka ditetapkan beberapa skala prioritas yaitu mengupayakan perbaikan sikap mental masyarakat yang tidak mendukung pengelolaan dan mewujudkan penegakan hukum yang tegas dan menjamin kepastian hukum serta mewujudkan struktur organisasi yang kuat dengan peningkatan kerja sama para pihak terkait dan meningkatkan kemampuan SDM untuk merebut pasar global di bidang ekowisata. Sehingga bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di KEL yang mendukung ke arah tujuan peruntukan kawasan adalah Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Konsep pengelolaan ini menerapkan mekanisme yang transparansi, partispasi dan akuntabilitas publik sebagai langkah membangun "good governance" dan pelaksanan "rule of law", yang memperkuat dan mengakui hak kelola masyarakat adat, pendanaan jangka panjang, serta memperkuat desentralisasi fiskal daerah dalam pengelolaan Leuser. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan peluang bagi penyerapan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya, sesuai dengan kebutuhannya dengan penetapan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Walaupun dalam UUPD ini pengelolaan kawasan konservasi masih berada di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat, dalam haI ini Dirjen PHKA-Depatemen Kehutanan, tetapi diharapkan dengan manajemen pengelolaan bersama KEL ini kepentingan pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Daerah, serta pihak swasta, LSM dan masyarakat adat disekitar kawasan akan terwakili. Daftar Kepustakaan : 37 buku (tahun 1986-2001)
Indonesia's land surface is only 1.3% of the total earth's Land surface, but it has a vast diversity of nature. In this land surface alone, there are 11% of the world's total plants species, 10% of the total mammal's species and 16% of the total bird's species. There are around 17,000 islands in the Indonesian archipelago stretching from the Indomalayan to the Austrasia. The archipelago has seven main biogeography areas; with each one of them has a highly varied types of habitat. Many of these islands have been isolated for thousands of years; thus they have a high endemic level. Three main locations that have always been known to have a vast variety of species are the Papua, with its high level of species variety and they are highly endemic. There's also Kalimantan, which also has a high level of species variety but they are moderately endemic, and Sulawesi, that has moderate Ievel of species variety but highly endemic (FWI/GFW, 2001). To sustain the variety of species, a conservation act has to be done. This act is also an important part of the sustainable development. According to the UU No.5, which is issued in the year 1990, about nature's conservation and diversity of nature, it is stated that the government should manage the conservation areas. So far, the management of these conservation areas is considered ineffective, considering that there's still no conservation area, which is successfully combined the principal of conservation and economics. The idea is not only keeping the species variety alive but also enhancing the welfare of the people that live in the surrounding area and also contributing to the country's income. This flaw is due to the lack of human resources, funding and technology. In the year 1995, the Indonesian government gave the right to manage the Leuser Ecosystem Area (KEL) to The Leuser International Foundation (YLI) by issuing a mandatory letter by the minister of forestry, No.227/Kpts-II/1995. The right covering the area of 1,790,000 hectares, which consists of The Leuser National Park (905,000 hectares), conservatory forest (505,000 hectares) and productive forest (380,000 hectares). Most of the area, 80%, is located in The Province of Nangroe Aceh Darusalam and 20 % of it, is located in The Province of North Sumatra. This mandatory letter is then withdrawn and replaced by Keppres No.33 tahun 1999, about The Leuser Ecosystem Area (KEL) management. Through this management system the government is working together with The Leuser International Foundation in managing the area for 30 years. The government is also cooperating with The European Union in the matter of funding and forming The Leuser Management Unit (UML). This unit will act as the operating area manager and has to prepare all that is needed towards a sustainable and people-based management. The unit as stated in The Financial Memorandum (FM) between Indonesia and The European Union, will receive the mandate to manage The KEL. This operational management team consists of experts in conservation and forestry from Indonesia and The European Union. They will have a seven-year working period for the first phase, and can be extended to cater to the need of keeping The Leuser Management Program running. This program is made by The Leuser Steering Committee (LSC). This cooperation is hoped to be able to solve problems found in conserving The Leuser ecosystem and also provides the transfer of knowledge and technology to the next management team. The management of KEL is a new paradigm in giving the right or cooperating to manage a conservation area to/with a foundation. In the past, the concession right has always been given in the form of HPH, which in the end is only giving them the right to exploit and not conserving the forest. The area management as stated in The FM, which is mentioned earlier, is combining the need to conserve the natural resources with the need to raise the economic value of the area, which is based on the bottom up principal. This way of managing the area is expected to be useful to the people who live in the surrounding area and also the government in both the economic aspect as well as in the conservation aspects. The Leuser Ecosystem Area is consists of several natural reservation area that has already been setup. These areas are The Mountain Leuser National Park (TNGL), zoological reservation area, botanical reservation area and productive forest. The areas are naturally intertwined, where each component is closely connected to form a vast natural community, which is very important for the life of human beings and other living creatures. This area has various types of ecosystem, varying from shore, swamp, lake, lower plain, highland and also mountain that can reach up to 3,500 m from the sea surface. This research is done to review decisions and Laws that the government has made in managing and cooperating in the act of conserving the KEL, also to see the impact in implementing the UU No.22 Tahun 1999, about the role of the Local government in managing the KEL. This research is expected to be helpful in the act of conserving the Leuser Ecosystem Area, especially in trying to implement a sustainable and people-based conservation. This research is also expected to be able to provide inputs for other conservation areas. In the end, the conservation of natural resources can be done without setting aside the usage of those natural resources that can be useful for the people that live in the surrounding area and the people of Indonesia as a whole. Decisions and laws that have been made in managing KEL so far have not been supporting the sustainable and people-based conservation, which is the ultimate goal of the conservation act. This is due to the fact that Keppres No.33 Tahun 1998, about The Lauser Ecosystem Area, has not been able to accommodate the interest of related parties, especially the right of the local people, which are very dependent to the forest. The Laws is also very centralistic in making decisions in making the cooperation agreement. Using the SWOT analysis enable us to evaluate both internal and external factors that are affecting the work of UML in implementing the PPL. Priorities then can be set, first of all is to change the mental attitude that is shown by the people that is against the management of the reservation area. Next is to ensure the implementation of a stern law. Setting a strong organizational structure is also important; this can be done by making necessary cooperation with related parties, enhancing the quality of the human resources in order to dwell in the global market of Eco-tourism. Thus the kind of management cooperation necessary in order to reach that goal is through the sustainable and people-based Management of the Leuser Ecosystem Area. This concept is using the mechanism that is transparent, involving the public to participate and to be accountable for the implementation of good governance. Implementing the rule of law is also needed to strengthen and to admit the right of the local people to participate in the managing activities, long-range funding and also empower the decentralization of the state fiscal in managing the Leuser. The UU No.22 Tahun 1999 about the local government has given the chance to absorb the people aspiration in the matter of managing their own environment in a way that suited their need best, by using the sustainable development. Although in this UUPD the management of the reservation area is still done by the central government, in this case by The Ditjend PHKA, Department of forestry, but through IKEL the interests of the central government, local government, private sector, NGOs and the local people can be catered. References : 37 books (1986-2001)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pambudi Mahanto
Abstrak :
Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) merupakan suatu bentuk pengelolaan hutan yang secara teknis disebut "management region " diperkirakan dapat mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang sekaligus tetap dapat memenuhi tujuan pengelolaan lestari dan sumber-sumber daya hutan. Pengelolaan hutan jati optimal di BIKPH Tangen KPH Surakarta Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang menjadi fokus penelitian tesis dengan demikian merupakan uji coba yang apabila dimulai berhasil dapat diterapkan ditempat-tempat lain yang juga menghadapi masalah-masalah sosial ekonomi serupa. Dipicu oleh pertambahan penduduk yang tidak terkendali, kelebihan penduduk telah menurunkan taraf kesejahteraan mereka yang pada dasarnya hidup dari bertani sangat tergantung dari ketersediaannya tanah-tanah pertanian. Menurunnya alokasi tanah pertanian bagi rata-rata penduduk di tambah dengan langkanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di desa-desa mengakibatkan tingkat kesejahteraan mereka merosot, sehingga mereka menghadapi kehidupan miskin. Disebabkan sulitnya menemukan jalan keuar mengatasi kesengsaraan itu, penduduk merambah tanah-tanah hutan di dekat pemukimannya mencari apa saja yang dapat dimanfaatkannya, melepas ternak-ternaknya di lahan-lahan hutan Perum Perhutani, mengambil pakan ternak, merencek, menebang kayu yang ditemui, bertani liar bahkan acapkali juga membangun runah-rumah baru yang kesemuanya itu merupakan perbuatan tidak syah/ melawan hukum? ...... Teak Forest Optimal Management (TFOM) is an implementation of the technically signified as management regime intended as remedial effort to the existing social economic problems in today forest management, concurrently to maintain and continuing the sustainable teak forest management. The TFOM of BKPH Tangen came the focus of this thesis research is a trial endeavor which as it is succeeded should be further enforced in other places where similar social economic problems are encountered. Triggered by uncontrolled population growth, excess of peoples in rural areas demotes their economy, where in general they live from farming which largely depend upon the availability of agricultural lands. Due to reducing allocations of average agricultural land per capita plus their situation of veer scarce living opportunities in rural areas, the economy of the people arc demoted to turn into proverty Very hard opportunities to find solution for their living, the peoples encroach forest lands to look after whatever they found for their living. Herding their livestock, looking for rattle feed, chopping woods for firewood, cutting any available woods, savage farming even building temporary houses, are all illegal against the law?
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparman
Abstrak :
Warung Informasi Konservasi (WARSI) telah menunjukkan kiprahnya dalam mempersiapkan warga masyarakat untuk melaksanakan Proyek Konservasi dan Pembangunan Wilayah Terpadu di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan cara mengadakan pendampingan melalui apa yang disebut Fasilitasi Konservasi Desa. Salah satu desa yang menjadi sasaran adalah Desa Katenong I. Wilayah dianggap kritis mengancam kelestarian TNKS. Dikatakan kritis karena penduduk yang berjumlah 1048 jiwa dengan 249 KK sebagian besar kehidupan tergantung pada pola sistem pertanian peladang berpindah dan persawahan, serta kegiatan penambangan emas. Oleh karena itu perlu ada tindakan yang sifat persuasif dan edukatif untuk mengalihkan ke arah perilaku yang peduli terhadap konservasi TNKS. Kondisi inilah yang mendorong penulis untuk mengetahui bagimana LSM WARSI dalam hal ini FKD melaksanakan proses pendampingan dalam mempersiapkan proyek ICDP-TNKS. Metode Penelitian adalah diskriptif dengan sasaran penelitian Fasilitasi Konservasi Desa (FKD) dan para Tokoh Masyarakat, dan Masyarakat Desa Katenong I. Data mengenai pelaksanaan proses pendampingan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara dan wawancara berstruktur, observasi. Data dianalisis menggunakan penjelasan kualitatif dan kuantitatif. Dari data yang berhasil diinventarisir memperlihatkan, bahwa FKD dalam melaksanakan preimplementasi ICDP, langkah pertama adalah mengadakan sosialisasi, pembentukan kelompok ICDP, perekrutan OML (Organisator Masyarakat Lokal). Selanjutnya dengan menggunakan PRA, FKD membuat sketsa desa, profit desa. Hasil kegiatan ini menyadarkan masyarakat tentang potensi serta masalah yang perlu ditanggulangi. Hal ini terlihat dari adanya bentuk-bentuk kesepakatan serta Daftar Usulan Rencana Pembangunan (DURP) yang telah disusun berdasarkan usulan dari masyarakat. Bentuk Kesepakatan Konservasi desa dituangkan dalam surat keputusan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa, LMD, Sekretaris LMD, diketahui oleh Camat dan disyahkan oleh Bupati. DURP ICDP-TNKS intinya berisikan tentang peningkatan ekonomi rumah tangga dan pembangunan sarana dan prasarana kecil. Keputusan ini sesuai dengan apa yang telah diusulkan oleh rapat tim ICDP-TNKS, walaupun tidak semua usulan diterima secara utuh. Adapun yang ditolak usulannya adalah penanaman tanaman aren dan pengadaan mesin penggiling padi. FKD dalam melaksanakan pendampingan di Desa Katenong menerapkan pendekatan yang menempatkan warga masyarakat sebagai subyek pembangunan. Kondisi ini tercermin dari setiap tahapan kegiatan hanya melibatkan unsur-unsur yang ada di masyarakat. Mulai dari merumuskan kebutuhan, tujuan, serta prosedur bagaimana melaksanakannya senantiasa menyertakan warga masyarakat. Dalam hal ini kelompk elit desa. Namun demikian, hasil yang telah dicapai itu nampaknya akan sia-sia belaka, karena proyek ICDP-TNKS kurang dipahaminya tugas dan fungsi Kelompok Panitia Gugus Kerja pada tingkatan masyarakat bawah (grass root) sebagai pelaku perubahan. Bagaimana mungkin mereka akan dapat mentaati komitmen yang telah dibuat kalau warga masyarakat tidak tahu ada organisasi ICDP yang akan memantau semua aktifitas pembangunan yang dilakukan oleh warga. Penyebabnya, petugas hanya memberikan sentuhan inovasi pada kelompok elit desa dan sosialisasi yang tidak mendorong pada upaya penguatan. Oleh karena dimasa yang akan datang disain preimplementasi perlu ada perubahan dalam memberikan intervensi, yaitu tidak hanya elit desa, tapi seluruh komponen masyarakat desa.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Indrian Tagor
Abstrak :
Penyusutan luas lahan hutan bakau di Angke Kapuk dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Tahun 1960 luas hutan Angke Kapuk 1.333.62 ha tahun 1977 tinggal 1.144.08 ha dan menurut data dari Rencana induk Pengembangan Pantai Indah Kapuk tahun 1984, luas hutan Angke Kapuk tinggal 162.07 ha yang terdiri dari hutan Lindung 49.25 ha Cagar Alam 21.48 ha dan hutan Wisata 91.37 ha. Hutan bakau yang terdapat di Angke Kapuk adalah salah satu daerah penyangga (Buffer Zone) yang panting bagi Jakarta. Dari sejak zaman Belanda, kawasan hutan Angke Kapuk telah dilindungi dan dijaganya. Tetapi akibat wilayah tersebut semakin menyusut luasnya karena ada pembangunan pemukiman, industri, tambak-tambak dan lain-lain. Pembangunan tambak atau yang sering disebut hutan mina adalah salah satu aspek penting yang berpengaruh mengurangi luas lahan hutan bakau. Hal ini cukup dilematis karena konservasi hutan bakau dan pembangunan tambak untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah bagaikan dua sisi mata uang. Apalagi dengan dibangunnya daerah pemukiman mewah, seperti Pantai lndah Kapuk yang sangat membutuhkan nfrastruktur yang lengkap dan lahan yang cukup luas, yang jelas mengakibatkan degradasi lingkungan yang cukup tajam. Pengelolaan lingkungan yang komprehensif untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin parah di hutan Angke Kapuk menjadi sebuah problem yang kompleks. Opsi atau alternatif terbaik untuk melakukan pilihan pengelolaan (management option) lingkungan adalah merupakan kebutuhan yang mendesak. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2000 sampai dengan Januari 2001 dengan lokasi hutan Angke Kapuk dan sekitarnya. Pilihan pengelolaan (management-option) yang diambil pada studi ini adalah konservasi hutan bakau dan hutan mina. Dua pola pilihan pengelolaan tersebut menjadi dasar bagi studi ini. Dua pola pengelolaan pilihan tersebut dihitung dengan menggunakan metode analisis biaya dan Manfaat yang diperluas (Extended Cost-Benefit Analysis.) Masing-masing pola pengelolaan dideskripsikan secara detail baik dari segi biaya maupun segi manfaatnya yang komponennya memiliki asumsiasumsi sendiri sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Sebagai contoh untuk estimasi biaya dan manfaat dari pilihan pengelolaan hutan mina terdiri dari komponen manfaatraa berupa; hutan mina, cadangan tegakan hutan, perikanan, satwaliar biodiversiti, fisik dan eksistensi, kemudian kompormon biayanya berupa; investasi, hutan mina, cadangan tegakan hutan, perikanan, satwaliar dan eksternalitas. Untuk estimasi biaya dan manfaat pengelolaan hutan bakau yang berkelanjutan, komponen manfaatnya adalah cadangan tegakan hutan, perikanan, satwa liar, biodiversiti, nilai fisik dan nilai eksistensi, kemudian komponen biayanya berupa; investasi; cadangan tegakan hutan, perikanan dan satwa liar. Dari tiap komponen pilihan pengelolaan yang ada dihiktung Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost (BC) rasionya sehingga didapat hasilnya. Kemudian hasilnya dibandingkan untuk dilihat pengelolaan mana yang paling menguntungkan. Hasil penghitungan yang didapat dari studi ini adalah bahwa pilihan pengelolaan hutan bakau adalah yang paling menguntungkan, di mana didapat harga NPV sebesar 5.120, 9271 US $/ha dengan B-C ratio= 7.7893. Sedangkan yang kedua adalah hutan mina (Udang) NPV= 4.890,7039 US$/ha dengan B-C ratio=1.9746. yang ketiga adalah hutan mina (ikan Bandeng dan Udang) dengan NPV= 1.668,8734 US$/ha dengan B-C ration = 1.3850 dan yang keempat atau yang terakhir adalah ikan bandeng yaitu NPV= 1.514,0099 US $/ha dengan B-C ratio= 1.3646... Sehingga dapat disimpulkan bahwa hutan bakau juga memiliki potensi ekonomi lingkungan yang cukup tinggi, baik manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.
The area lost in Angke Kapuk every year is a major concern. In 1960 Angke Kapuk was 1,33362 hectares while in 1977 it has decreased to 1,144.08 hectares. According to data from Planning and Development at "Pantai Indah Kapuk" Jakarta , in 1984 only 162.07 hectares of he area was lost, consisting of 49.25 hectares protected forest, 21.45 hectares nature reserves and 91.37 hectares tourist-designated forest. Comprehensive environmental management to anticipate environmental degradation that gets worsened everyday in Angke Kapuk forest has become a complex problem. Choosing the best alternative for management option has become an urgent need. Management options adopted for this study was mangrove and Mina forest conservation. These two management options were the base for this study. The research was undertaken from May 2000 to January 2001 in Angke Kapuk forest area. The mangrove forest in Angke Kapuk is one of the important buffer zones of Jakarta. It has been protected right since colonial time. The area has been continuously decreasing in width, however, due to development of housing, industry, fish and shrimp ponds, etc. The development of ponds, or mina forest as it is commonly called, is one of the important factors influencing the decrease in -mangrove forest areas. This is actually dilemma as both mangrove forest conservation and ponds development as a means to fulfill living needs of the community are like two sides of a coin. The environmental degradation has been worsened by the development of luxury housing complex like the Pantai Indah Kapuk, which need complete infrastructure, and hectares of land. One way to solve the problem is by meticulously evaluating the holistic taken are a sustainable mangrove forest conservation and mina forest. This choice of two management patterns is the basis of this study. The two patterns are calculated by using the cast and benefit, analysis method. Each pattern of management is described in detail, both in terms of cost and benefit, the components of which -have their own assumptions in accordance with the existing objective condition. As an example, take the estimates of cost and benefit of mina fort management. Its benefit component would be: the mina forests, forest stand reserve, fishery, wild animal, biodiversity, and physical and existence values. Its cost component would be: investment, mina forests, forest stand reserve, fishery, wild animal and externality. For the mangrove forest management, its benefit component would be: forest stand reserve, fishery, wild animal, biodiversity, and physical and existence values. And its cost component would be: investment, forest stand reserve, fishery and wild animal. From each component of the management choice, the ratio of the Net Present Value (NPV) and the Benefit-Cost (B-C) is calculated. The results of the calculation are to be compared in order to see which is the most profitable. The result of calculation from this study is that the choice of a sustainable Mangrove forest management is the most profitable, in which the NPV is US $ 5,120.9271 per hectare with B-C ratio = 7.7893, whereas the NPV of the Mina forest with Shrimp management: US$ 4,890.7039 per hectare with B-C ratio = 1.9745, Milkfish: US$ 1,514.0099-per hectare with B-C ratio = 1.3646 and Shrimp &Milkfish: US$ 1,668.8734 per hectare with-BC ratio = 1.3850. It is therefore concluded that mangrove forests has a considerably high economic potential, in terms of direct, indirect, chosen as well as existence benefit. For in order to invest in a project, we need not only to calculate its economic and technical -benefits but also its long term benefit which takes into account the environmental interests and needs of the future generation.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T4012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imay M Alandana
Abstrak :
Pada kegiatan inventarisasi palem di Hutan Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) telah menemukan sebanyak 19 jenis palem yang terdiri atas sembilan marga. Kesembilan belas jenis tersebut adalah dua jenis Arenga, tiga jenis Calamus, dua jenis Caryota, lima jenis Daemonorops, satu jenis Korthalsia, satu jenis Nenga, dua jenis Pinanga, satu jenis Plectocomia dan dua jenis Salacca, dimana satu jenis salak masih belum dapat diidentifikasi. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui status taksonominya. Kunci identifikasi, sinopsis tiap jenis dan peta persebarannya di Hutan Bodogol disajikan dalam naskah ini. Adapun status konservasi disertakan dalam tiap jenis.
ABSTRAK
Palms inventory at Bodogol Forest, Mount Gede Pangrango National Park found 19 species of palms from nine genera. All those 19 species are two species of Arenga, three species of Calamus, two species of Caryota, five species of Daemonorops, one species of Korthalsia, one species of Nenga, two species of Pinanga, one species of Plectocomia and two species of Salacca. One species of Salacca is unidentified, further study is needed to clear up its taxonomy status. Identification key, synopsys of each species and its distribution at Bodogol forest are presented. Conservation status of each species presented.
Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, 2015
580 BKR 18:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>