Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Dermawan
"Latar Belakang. COVID-19 sempat menjadi pandemi global yang fatal. Penggunaan dari remdesivir sebagai terapi emergensi pada pertengahan tahun 2020 menyebabkan munculnya berbagai laporan yang mengaitkan penggunaannya terhadap gagal ginjal akut. Molekul sulfobutylehter-beta-cyclodextrin (SBECD) yang dapat menumpuk pada ginjal dicurigai sebagai penyebabnya. Remdesivir lebih diutamakan pada kasus berat dan proporsi dari gagal ginjal akut lebih tinggi dilaporkan pada pasien perawatan ICU, sehingga penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana fungsi ginjal dapat terganggu akibat penggunaannya.
Metode. Penelitian dilakukan secara observasional, pengumpulan data berdasarkan rekam medis RS Swasta di Tangerang periode Januari 2021-Juli 2022. Analisis menggunakan uji dan dibentuk model prediktif dengan regresi linear.
Hasil. Dari 46 subyek yang mendapat terapi remdesivir didapatkan mayoritas adalah laki-laki dengan median usia 57 tahun. Model prediktif dengan variabel usia, jenis kelamin, hipertensi, DM, CRP, dan D-dimer menghasilkan nilai P 0,341; R2 0,153. Analisis stratifikasi dengan hipertensi, DM, CRP dan D-dimer menunjukkan adanya kemaknaan secara statistik (nilai P < 0,05).
Kesimpulan. Terapi dengan remdesivir pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU dapat mengalami penurunan fungsi ginjal yang bermakna. Faktor risiko hipertensi, DM, nilai CRP dan D-dimer yang tinggi dapat memperburuk penurunan fungsi ginjal, sehingga perlu diperhatikan penggunaannya pada praktik klinis sehari-hari.

Background. COVID-19 was a terrifying global pandemic. The use of remdesivir as emergency treatment of COVID-19 was approved during the mid of 2020 and since then there were reports indicating acute kidney injury. This was hypothesized to be caused by SBECD which can cause deposits in the kidney. Remdesivir has been widely used in severe cases and acute kidney injury was found to be higher in ICU patients. Therefore, this study aims to show how these factors can cause kidney injury.
Methods. This observational study was conducted using hospital medical records from private hospitals in Tangerang during January 2021 to July 2022. These data were analysed using Wilcoxon and predictive model generated with linear regression.
Results. Total of 46 subjects in which most participants were male with the age median of 57 years old. Predictive model with age, gender, hypertension, DM, CRP, and D-dimer showed a P-value 0,341 and R2 0,153. However, stratification analysis with hypertension, DM, CRP, and D-dimer as covariates shows statistically significant decrease in eGFR with P-value < 0,05.
Conclusion. Patients with risk factors such as hypertension, diabetes melitus, higher CRP and D-dimer value should be monitored closely by checking the creatinine and urine output regularly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marchen Prasetyaningrum
"Penggunaan cisplatin sebagai agen kemoterapi menyebabkan efek samping berupa nefrotoksisitas yang perlu mendapatkan perhatian serta penanganan khusus. Nefrotoksisitas akan memengaruhi fungsi ginjal pasien yang ditandai dengan adanya penurunan Laju Filtrasi Glomerulus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penurunan fungsi ginjal pasien yang mendapatkan kemoterapi cisplatin di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta periode Juli – Desember 2012. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dan pengambilan data retrospektif dilakukan dengan menggunakan rekam medik pasien. Sampel adalah pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi cisplatin di Rumah Sakit Dharmais Jakarta periode Juli - Desember 2012. Pengambilan sampel sebanyak 53 pasien dilakukan secara consecutive sampling. Berdasarkan perhitungan klirens kreatinin pasien, persentase penurunan fungsi ginjal pasien yang mendapatkan kemoterapi cisplatin di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta periode Juli-Desember 2012 pasca kemoterapi siklus pertama sebesar 17,96%, pasca kemoterapi siklus kedua sebesar 18,29%, dan pasca kemoterapi siklus ketiga sebesar 21,11%.

Use of cisplatin as chemotherapeutic agent cause side effect such as nephrotoxicity that need attention and special handling. Nephrotoxicity will affect renal function characterized by impairment in glomerular filtration rate. This research aimed to evaluate the decrease in patient’s renal function who got chemotherapy cisplatin at Dharmais Cancer Hospital. The research design was cross-sectional and retrospective by using the patient's medical record. Samples were cancer patients who got chemotherapy cisplatin in Dharmais Cancer Hospital period July to December 2012. Sampling was carried out as many as 53 patients with consecutive sampling. Based on the calculation of patient's creatinine clearance, percentage of decline in renal function of patients treated with Cisplatin Chemotherapy in Dharmais Cancer Hospital Jakarta Period July – December 2012 after the first chemotherapy was 17,96%, after the second chemotherapy was 18,29%, and after the third chemotherapy was 21,11%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46789
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Innes Apriliani Dewi
"[ABSTRAK
Saat ini belum ada penanda biologis yang dapat digunakan untuk mendeteksi PGK sejak dini. Rasio albumin terhadap kreatinin urin (UACR) dan estimasi laju filtrasi ginjal (eLFG) digunakan sebagai penanda gangguan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara UACR dengan eLFG pada pasien DM tipe 2 dengan normoalbuminuria dan mikroalbuminuria. Sampel yang dianalisis adalah urin dan serum 90 orang pasien DM tipe 2 di Puskesmas Pasar Minggu yang dikumpulkan tahun lalu, dengan teknik total sampling. Kreatinin urin diukur dengan metode kinetic jaffe. Albumin urin diukur dengan metode bromkresol hijau. eLFG diperoleh dari nilai kreatinin serum. Hasil rerata UACR yang didapatkan (15,60±1,93). Hasil rerata eLFG Cockroft Gault (95,65±4,17), MDRD (89,71±3,65) dan CKD-EPI (87,00±2,62). Hasil hubungan antara UACR dengan eLFG rendah MDRD (p= 0,004,r= -0,422); Cockroft (p= 0,083,r= -0,261); CKD-EPI (p= 0,006,r= -0,404), sedangkan dengan LFG tinggi MDRD (p= 0,020, r= 0,346); Cockroft (p= <0,0-01, r= 0,540); CKD (p= 0,002, r= 0,449). Kesimpulan yang didapatkan yaitu hubungan bermakna antara UACR dengan eLFG rendah dan tinggi. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara UACR normoalbuminuria dan mikroalbumnuria dengan eLFG.

ABSTRACT
Diabetes mellitus type 2 is one of the causes complication of chronic kidney disease (CKD). Currently there are no biological markers that can be used to detect CKD early. Urinary albumin to creatinine ratio (UACR) and estimated kidney filtration rate (eLFG) is used as a marker of impaired kidney function. This study aimed to determine the relationship between UACR with eLFG in patient type 2 diabetes mellitus with normoalbuminuria and microalbuminuria. Samples were urine and serum of 90 patients with type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Pasar Minggu which were collected last year, with total sampling technique. Urinary creatinine was measured by Jaffe kinetic method. Urine albumin was measured by the method bromkresol green. eLFG obtained from serum creatinine values. UACR results obtained (15.60 ± 1.93). Results eLFG Cockroft Gault (95.65 ± 4.17), MDRD (89.71 ± 3.65) and CKD-EPI (87.00 ± 2.62). Results relationship between UACR with low eLFG MDRD (p = 0.004, r = -0.422); Cockroft (p = 0.083, r = -0.261); CKD (p = 0.006, r = -0.404), while the high eLFG MDRD (p = 0.020, r = 0.346); Cockroft (p = <0.001, r = 0.540); CKD (p = 0.002, r = 0.449) so there is a significant relationship between UACR with low and high eLFG. There is no significant relationship between UACR normoalbuminuria and microalbuminuria with eLFG., Diabetes mellitus type 2 is one of the causes complication of chronic kidney disease (CKD). Currently there are no biological markers that can be used to detect CKD early. Urinary albumin to creatinine ratio (UACR) and estimated kidney filtration rate (eLFG) is used as a marker of impaired kidney function. This study aimed to determine the relationship between UACR with eLFG in patient type 2 diabetes mellitus with normoalbuminuria and microalbuminuria. Samples were urine and serum of 90 patients with type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Pasar Minggu which were collected last year, with total sampling technique. Urinary creatinine was measured by Jaffe kinetic method. Urine albumin was measured by the method bromkresol green. eLFG obtained from serum creatinine values. UACR results obtained (15.60 ± 1.93). Results eLFG Cockroft Gault (95.65 ± 4.17), MDRD (89.71 ± 3.65) and CKD-EPI (87.00 ± 2.62). Results relationship between UACR with low eLFG MDRD (p = 0.004, r = -0.422); Cockroft (p = 0.083, r = -0.261); CKD (p = 0.006, r = -0.404), while the high eLFG MDRD (p = 0.020, r = 0.346); Cockroft (p = <0.001, r = 0.540); CKD (p = 0.002, r = 0.449) so there is a significant relationship between UACR with low and high eLFG. There is no significant relationship between UACR normoalbuminuria and microalbuminuria with eLFG.]"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59515
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paskariatne Probo Dewi Yamin
"[ABSTRAK
Latar Belakang. Malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang banyak dijumpai terutama di negara berkembang. Malnutrisi pada pasien gagal jantung diketahui berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk, meliputi peningkatan lama perawatan, readmisi dan mortalitas. Pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA), perburukan fungsi ginjal (PFG) selama perawatan diduga merupakan komorbid yang memberikan dampak luaran klinis yang lebih buruk tersebut. Namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara status malnutrisi dengan terjadinya PFG pada pasien GJDA. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status malnutrisi dengan terjadinya PFG pada pasien GJDA, sekaligus untuk menilai besarnya pengaruh malnutrisi terhadap luaran klinis tersebut.
Metode. Studi kohort prospektif dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Kejadian PFG didefinisikan sebagai peningkatan nilai kreatinin > 0,3 mg/dL atau > 25% dibandingkan kreatinin saat masuk rawat. Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, status antropometri dan data laboratorium diambil pada saat admisi. Pasien dibagi berdasarkan nilai NRI menjadi kelompok malnutrisi (NRI < 97,5) dan tidak malnutrisi (NRI > 97,5). Kemudian pemeriksaan serial kreatinin dilakukan dengan interval setiap 3 hari selama pasien menjalani perawatan di RS. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat untuk mengetahui hubungan antara malnutrisi dengan PFG, lama perawatan, dan mortalitas.
Hasil Penelitian. Sebanyak 265 pasien GJDA diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan proporsi kelompok malnutrisi sebesar 50,2%. Pada kelompok malnutrisi PFG terjadi pada 31,6% pasien, sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi sebesar 26,5% pasien. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara malnutrisi dengan kejadian PFG, namun terdapat kecenderungan peningkatan risiko PFG pada pasien GJDA yang disertai malnutrisi (OR 1,279; 95%IK 0,751-2,178; p=0,364). Malnutrisi ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya lama rawat (HR 6,254; 95%IK 4,614-8,477; p<0,001) serta kematian pada pasien GJDA.
Kesimpulan. Penelitian prospektif ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara malnutrisi dengan PFG, namun didapatkan kecenderungan bahwa malnutrisi akan semakin meningkatkan risiko terjadinya PFG pada pasien GJDA. Pada pasien GJDA di RSJPDHK ditemukan proporsi malnutrisi yang sangat besar, dan malnutrisi pada kelompok ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingginya lama perawatan serta kematian.

ABSTRACT
Background. Malnutrition is the leading cause of disease burden especially in developing countries. Malnutrition in heart failure patients is associated with longer length of stay (LOS), higher readmission and mortality rates. Worsening renal function (WRF) has also been shown to contribute to the worsened outcomes in patients with acute decompensated heart failure (ADHF) patients. It is not known, however, whether malnutrition contributed to the worse outcomes in ADHF patient through the WRF. Accordingly, this study sought to investigate the association between malnutrition and WRF in ADHF patients.
Methods. A prospective cohort study was conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) to all patients admitted with ADHF. WRF was defined as the occurrence, at any time during the hospitalization, of > 0,3 mg/dL or > 25% increase in serum creatinine from admission. Baseline and clinical characteristics, anthropometry status, and laboratory data were collected during hospital admission. Subjects were divided based on NRI into malnutrition (NRI < 97,5) and no malnutrition group (NRI > 97,5). Serial serum creatinine was evaluated within 3 days interval during hospitalization. Statistical analysis was done using bivariate and multivariate analysis to determine the association between malnutrition with WRF, LOS and mortality rates.
Results. Two hundred and sixty-five ADHF patients were included in this cohort study. Of those subjects, 50,2% were on malnutrition group. WRF occured in 31,6% patients of malnutrition group and 26,5% patients of no malnutrition group. Although there was an increased probability of WRF occurence in ADHF patients with malnutrition (OR 1,279; 95%CI 0,751-2,178; p=0,364), but this increased probability was not statistically significant. Malnutrition was found significantly prolonged the LOS (HR 6,254; 95%CI 4,614-8,477; p<0,001) and increased mortality rates in ADHF patients.
Conclusion. This prospective study demonstrated there was no significant association between malnutrition and WRF, but there was an increased probability of WRF occurrences in ADHF patients with malnutrition. Nevertheless, we found high burden of malnutrition in ADHF patients in NCCHK, and this burden contributed significantly to longer LOS and higher mortality rates in this population., Background. Malnutrition is the leading cause of disease burden especially in developing countries. Malnutrition in heart failure patients is associated with longer length of stay (LOS), higher readmission and mortality rates. Worsening renal function (WRF) has also been shown to contribute to the worsened outcomes in patients with acute decompensated heart failure (ADHF) patients. It is not known, however, whether malnutrition contributed to the worse outcomes in ADHF patient through the WRF. Accordingly, this study sought to investigate the association between malnutrition and WRF in ADHF patients.
Methods. A prospective cohort study was conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) to all patients admitted with ADHF. WRF was defined as the occurrence, at any time during the hospitalization, of > 0,3 mg/dL or > 25% increase in serum creatinine from admission. Baseline and clinical characteristics, anthropometry status, and laboratory data were collected during hospital admission. Subjects were divided based on NRI into malnutrition (NRI < 97,5) and no malnutrition group (NRI > 97,5). Serial serum creatinine was evaluated within 3 days interval during hospitalization. Statistical analysis was done using bivariate and multivariate analysis to determine the association between malnutrition with WRF, LOS and mortality rates.
Results. Two hundred and sixty-five ADHF patients were included in this cohort study. Of those subjects, 50,2% were on malnutrition group. WRF occured in 31,6% patients of malnutrition group and 26,5% patients of no malnutrition group. Although there was an increased probability of WRF occurence in ADHF patients with malnutrition (OR 1,279; 95%CI 0,751-2,178; p=0,364), but this increased probability was not statistically significant. Malnutrition was found significantly prolonged the LOS (HR 6,254; 95%CI 4,614-8,477; p<0,001) and increased mortality rates in ADHF patients.
Conclusion. This prospective study demonstrated there was no significant association between malnutrition and WRF, but there was an increased probability of WRF occurrences in ADHF patients with malnutrition. Nevertheless, we found high burden of malnutrition in ADHF patients in NCCHK, and this burden contributed significantly to longer LOS and higher mortality rates in this population.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiona Kartini Prima Putri
"[ABSTRAK
Latar Belakang. Perburukan fungsi ginjal berkaitan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien gagal jantung dekompensasi akut. Karakteristik klinis pada saat pasien masuk ke unit gawat darurat (UGD) dapat menolong untuk identifikasi pasien yang berisiko terhadap kejadian perburukan fungsi ginjal. Tujuan penelitian ini adalah membuat sistem skor untuk mempermudah identifikasi pasien yang berisiko terhadap perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung dekompensasi akut.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 614 pasien yang menjalani perawatan karenan gagal jantung dekompensasi akut. Perburukan fungsi ginjal didefinisikan sebagai peningkatan nilai kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL kapanpun selama perawatan atau ≥ 25% dari awal masuk perawatan.
Hasil. Perburukan fungsi ginjal terjadi pada hampir 26% pasien. Prediktor independen terhadap kejadian perburukan fungsi ginjal yang didapat melalui analisis dengan logistik regresi backward selection adalah usia > 75 tahun (p < 0.0001); perempuan (p = 0.034); riwayat hipertensi (p = 0.001); anemia (p = 0.005); dan serum Creatinin saat masuk di UGD > 2.5 mg/dL (p = 0.013). Sistem skor dibuat dari model akhir tersebut. Dilakukan validasi internal dengan metode bootstrap didapatkan hasil optimisme yang baik (0.01088808).
Kesimpulan. Sistem skor baru dapat memprediksi kejadian perburukan fungsi ginjal pada pasien gagal jantung dekompensasi akut yang menjalani rawat inap.

ABSTRACT
Background. Worsening renal function (WRF) is associated with worse outcomes among patients who are hospitalized with acute decompensated heart failure (ADHF). Clinical characteristics at admission may help identify patients at increased risk of WRF. The aim of this study was to create in admission scoring system to simplify identification patients at risk of WRF in ADHF setting.
Methods. A retrospective data of 614 patients admitted with ADHF was analyzed. By the definition WRF occurred when serum Creatinin increased at anytime during hospitalization by ≥ 0.3 mg/dL or by ≥ 25% from admission.
Results. Worsening renal function developed in near 26% patients. The independent predictors of WRF analyzed with backward selection logistic regression were: age > 75 years old (p < 0.0001), female (p = 0.034); history of hypertension (p = 0.001); anemia (p = 0.005); and in admission serum Creatinin (p = 0.013). A scoring system was generated from this final model. An internal validation with bootstrap method showed good optimism (0.01088808).
Conclusion. A new scoring system could predict in-hospital worsening renal function among patients hospitalized with acute decompensated heart failure., Background. Worsening renal function (WRF) is associated with worse outcomes
among patients who are hospitalized with acute decompensated heart failure
(ADHF). Clinical characteristics at admission may help identify patients at incresed
risk of WRF. The aim of this study was to create in admission scoring system to
simplify identification patients at risk of WRF in ADHF setting.
Methods. A retrospective data of 614 patients admitted with ADHF was analyzed.
By the definition WRF occurred when serum Creatinin increased at anytime during
hospitalization by ≥ 0.3 mg/dL or by ≥ 25% from admission.
Results. Worsening renal function developed in near 26% patients. The
independent predictors of WRF analyzed with backward selection logistic
regression were: age > 75 years old (p < 0.0001), female (p = 0.034); history of
hypertension (p = 0.001); anemia (p = 0.005); and in admission serum Creatinin (p
= 0.013). A scoring system was generated from this final model. An internal
validation with bootstrap method showed good optimism (0.01088808).
Conclusion. A new scoring system could predict in-hospital worsening renal function among patients hospitalized with acute decompensated heart failure.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rino Alvani Gani
"ABSTRAK
Tenofovir disoproksil fumarat (tenofovir) dan telbivudin merupakan dua analog nukleos(t)ida yang tersedia untuk terapi pasien hepatitis B. Tenofovir telah diketahui sebagai agen nefrotoksik pada pasien HIV, namun masih menjadi kontroversi pada pasien hepatitis B kronik. Di lain sisi, telbivudin memiliki efek proteksi terhadap fungsi ginjal dan bahkan meningkatkan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil keamanan terhadap fungsi ginjal dari tenofovir dan telbivudin pada pasien hepatitis B kronik di Indonesia.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif pada pasien hepatitis B kronik yang mendapat terapi tenofovir atau telbivudin dalam rentang waktu Januari 2013 - Desember 2016. Pasien yang mempunyai eLFG awal <60 mL/ menit/1,73 m2 sebelum mulai terapi, mengalami perubahan regimen, lost to follow up, atau meninggal dalam 1 tahun tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Data kreatinin serum yang dinilai adalah data pada minggu ke 24 dan 48 setelah pemberian tenofovir atau telbivudin.
Hasil. Sebanyak 68 pasien dalam terapi tenofovir dan 62 pasien dalam terapi telbivudin dimasukkan penelitian ini. Kadar kreatinin serum meningkat pada kelompok tenofovir dari 0,88 (simpang baku [SB] 0,17) mg/dL pada awal studi menjadi 0,93 (SB 0,22) mg/dL setelah 24 minggu (p = 0,02) dan cenderung plateau setelah penggunaan selama 48 minggu. Namun, pada kelompok telbivudin, kadar kreatinin serum menurun dari 0,85 (SB 0,21) mg/dL pada awal menjadi 0,80 (SB 0,18) mg/ dL pada minggu ke 48 (p = 0,003).
Simpulan. Tenofovir berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan eLFG pada pasien hepatitis B kronik dengan eLFG >60 mL/menit/1,73 m2."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ismayadi
"Latar belakang. Berbagai studi telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka khususnya terkait fungsi ginjal dan albumin. Akan tetapi, belum terdapat studi yang mengevaluasi hubungan fungsi ginjal dan albumin terkhusus pada penyembuhan luka pasca amputasi pasien luka diabetik.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif, yang dilakukan pada bulan Oktober–Desember 2022. Pasien ulkus kaki diabetik yang telah mendapatkan tindakan amputasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo, yang mana keputusan amputasinya diambil berdasarkan skor WIfI [berada pada zona merah (risiko amputasi tinggi) skor WIfI yang dipetakan berdasarkan derajat luka, iskemia, dan infeksi] diinklusi ke dalam penelitian. Variabel yang diteliti meliputi kadar albumin, ureum, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (LFG), kesembuhan luka, usia, status gizi, terapi insulin, merokok, hipertensi, durasi penyakit DM, dan onset luka.
Hasil. Peneliti mengikutsertakan 61 pasien luka kaki diabetik yang menjalani tindakan amputasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang terdiri dari 23 (37,7%) pasien laki-laki dan 39 (63,9%) pasien dengan status gizi berlebih. 65,6% pasien mengalami reepitelisasi sempurna dalam 28 hari pasca tindakan amputasi. Kadar albumin, ureum, dan kreatinin pasien ditemukan sebesar 2,56 (1,11–4,98) g/dL, 71,00 (0,56–210) U/L, dan 1,40 (0,50– 11,50) U/L. LFG ditemukan sebesar 52,60 (4,10–117,30) mL/menit. Kadar albumin yang lebih tinggi (≥ 2,605 g/dL) dan kadar ureum yang lebih rendah (< 71,6 U/L) ditemukan berhubungan dengan probabilitas penyembuhan luka yang lebih tinggi (p < 0,050).
Simpulan. Kadar albumin ditemukan lebih tinggi, sementara kadar ureum ditemukan lebih rendah pada kelompok luka sembuh pasien luka kaki diabetik 28 hari pasca amputasi.

Background. Various studies have succeeded in finding factors that affect wound healing, especially related to kidney function and albumin. However, there have been no studies evaluating the relationship between kidney function and albumin, especially in post-amputation wound healing in diabetic wound patients.
Methods. This is a retrospective cohort study, conducted in October–December 2022. Diabetic foot ulcer patients who have received an amputation procedure at Cipto Mangunkusumo Hospital, where the decision to amputation is made based on the WIfI score [is in the red zone (high risk of amputation) WIfI scores charted according to degree of injury, ischemia, and infection] were included in the study. The variables studied included albumin, urea, creatinine, glomerular filtration rate (GFR), wound healing, age, nutritional status, insulin therapy, smoking, hypertension, duration of diabetes mellitus, and onset of injury.
Results. We included 61 patients with diabetic foot injuries who underwent amputation at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, which consisted of 23 (37.7%) male patients and 39 (63.9%) patients with excess nutritional status. 65.6% of patients experienced complete re-epithelialization within 28 days after the amputation. The patient's albumin, urea, and creatinine levels were found to be 2.56 (1.11–4.98) g/dL, 71.00 (0.56–210) U/L, and 1.40 (0.50–11 ,50) U/L. GFR was found to be 52.60 (4.10–117.30) mL/minute. Higher albumin levels (≥ 2.605 g/dL) and lower urea levels (< 71.6 U/L) were found to be associated with a higher probability of wound healing (p < 0.050).
Conclusion. Albumin levels were higher, while urea levels were lower in the group of healed wounds of patients with diabetic foot ulcer in 28 days following the amputation surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alfian
"Latar Belakang: Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk lansia menjalani puasa pada bulan Ramadhan. Dalam mengevaluasi keamanan berpuasa Ramadhan pada populasi lansia, dilakukan berbagai penilaian, salah satunya adalah profil fungsi ginjal. Profil fungsi ginjal, dinilai dari laju filtrasi glomerulus (LFG), merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kesehatan lansia. Namun, belum terdapat penelitian mengenai profil fungsi ginjal dan faktor-faktor yang memengaruhi pada lansia berpuasa.
Tujuan: Mengetahui profil dan faktor risiko perubahan fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan menggunakan data primer pada subyek usia > 60 tahun yang menjalani puasa Ramadhan di kelurahan Jatinegara sejak April 2019 hingga Juli 2019. Profil fungsi ginjal dihitung menggunakan pemeriksaan (LFG) pada 1 minggu sebelum berpuasa, 3 minggu berpuasa, dan 2 minggu pasca berpuasa. Faktor risiko yang dinilai adalah usia, indeks massa tubuh, diabetes melitus, hipertensi, kebiasaan merokok, konsumsi protein, dan konsumsi cairan. Analisa bivariat dilakukan menggunakan uji chi-square atau Fisher. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap perubahan fungsi ginjal selama puasa bulan Ramadhan pada lanjut usia. Beberapa farktor dapat mempengaruhi fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan, salah satunya adalah usia. Mayoritas lanjut usia yang mengalami penurunan GFR selama bulan Ramadhan berusia 60-70 tahun berjumlah 89 orang atau 68,5%. Sisanya berjumlah 10 orang atau 58,8% berusia >70 tahun. Namun, setelah dilakukan analisis, hubungan antara usia dengan penurunan GFR selama puasa Ramadhan tidak bermakna (p=0,426).
Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya perubahan signifikan pada fungsi ginjal dengan usia lanjut yang menjalankan puasa dibulan Ramadhan.

Background. As a country with a majority Muslim population, most Indonesians, including the elderly, fast during the month of Ramadan. To evaluate the safety of fasting during Ramadan in the elderly population, various assessments were carried out, one of which is kidney function profile. Kidney function profile, assessed using glomerular filtration rate (GFR), is one of the important parameters in determining the health of the elderly. However, there has been no research on kidney function profile and its affecting factors on fasting elderly in Indonesia.
Aim:. To determine the profile and risk factors for changes in kidney function in elderly who fast during Ramadan.
Methods. This study used prospective cohort design using primary data on subjects aged > 60 years who were undergoing Ramadan fasting in Jatinegara village from April 2019 to July 2019. The kidney function profile was calculated using glomerular filtration rate (GFR) examination on 1 week before fasting, 3 weeks fasting, and 2 weeks post fasting. The risk factors assessed were age, body mass index, diabetes mellitus, hypertension, smoking habits, protein consumption, and fluid consumption. Bivariate analysis was performed using the chi-square or Fisher test. Multivariate analysis was performed using logistic regression.
Result. In this study, no risk factors were found significantly influencing changes in kidney function during the Ramadan fasting in the elderly. Some factors can affect kidney function in elderly who fasted in Ramadan, one of which is age. The majority of elderly who experienced a decrease in GFR during the month of Ramadan aged 60-70 years amounted to 89 people or 68.5%. The rest amounted to 10 people or 58.8% aged> 70 years. However, after analysis, the relationship between age and decreased GFR during Ramadan fasting was not significant (p = 0.426).
Conclusion. There was no significant changes in kidney function on fasting elderly during Ramadan.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nelly Tandiari
"Latar belakang dan tujuan: Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi karena pemberian
media kontras. Antioksidan N-asetil sistein (NAC) dapat mencegah penurunan fungsi
ginjal karena NAC merupakan sumber gugus sulfhidril yang merangsang sintesa
Gamma Glutamylcysteinglysine (Glutathion/GSH), meningkatkan aktivitas glutathion
transferase, menghindari detoksifikasi dan bekerja langsung pada oksidan radikal
yang reaktif. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan penurunan fungsi ginjal
kelompok penderita yang diberi antioksidan NAC dengan kelompok penderita tanpa
pemberian antioksidan NAC pada pemeriksaan angiografi menggunakan media
kontras nonionik monomer osmolaritas rendah.
Bahan dan cara: Dilakukan sudi eksperimental dengan kontrol tersamar ganda pada
36 pasien angiografi antara bulan juni 2003 sampai dengan januari 2004 dengan
konsentrasi kreatinin dan ureum serum awal normal. Pada 18 pasien kelompok
penelitian diberikan antioksidan NAC 2x600mg 1 hari sebelum dan pada hari
pemeriksaan angiografi, 18 pasien kelompok kontrol diberi placebo. 48 jam pasca
pemberian media kontras dilakukan pemeriksaan kreatinin dan ureum serum. Data
yang didapat diolah secara statistik dengan uji t klinis dan analisis kovarian untuk
mengontrol faktor jenis kontras dan volume kontras.
Hasil penelitian: Pada kelompok penelitian, 16,7% (3 dari 18 pasien) terjadi
peningkatan konsentrasi kreatinin serum dibandingkan 77,8% (14 dari 18 pasien)
kelompok kontrol..Perubahan konsentrasi kreatinin serum rata-rata kelompok
penelitian berbeda bermakna (p= 0,001) dengan kelompok kontroL Pada kelompok
penelitian tidak didapatkan peningkatan konsentrasi kreatinin serum > 0,3 mg/dl tetapi didapatkan 27,8 % pada kelompok kontrol.
Kesimpulan: Pemberian antioksidan NAC dapat mencegah terjadinya penurunan fungsi ginjal akut karena pemberian media kontras pada pasien angiografi tanpa resiko dengan konsentrasi kreatinin serum awal normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nildza Kheirizzad
"Logam berat seperti kadmium (Cd), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kromium (Cr) bersifat toksik dan tidak dapat terurai secara hayati. Kemampuan ginjal untuk menyerap dan menumpuk logam divalen membuatnya menjadi organ target utama toksisitas logam berat. Sungai Citarum adalah salah satu tempat pembuangan limbah pabrik tekstil yang mengandung logam berat tersebut, padahal Sungai Citarum masih dimanfaatkan oleh warga sekitar dalam kegiatan sehari-hari. Penelitian ini berfokus untuk mengetahui kadar logam berat (Cd, Hg, Cr, dan Pb) dalam tubuh masyarakat usia produktif (15-64 tahun) yang tinggal di sekitar DAS Citarum dan hubungannya dengan kejadian gangguan fungsi ginjal.  Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) dengan analisis hipotesis menggunakan SPSS for Mac 20.0 dan uji statistik perbedaan dua proporsi (uji mutlak Fisher). Dari tiap 166 sampel, 14 sampel (8.4%) terdeteksi kadmium, 2 sampel (1.2%) terdeteksi kromium, 14 sampel (8.4%) terdeteksi timbal, dan 4 sampel (2.4%) terdeteksi merkuri. 24.3% sampel (n = 25) responden Kelurahan Andir dan 14.3% (n = 9) responden Gajahmekar terdeteksi kadar logam berat (Cd/Cr/Pb/Hg). Untuk sebaran fungsi ginjal, dari 166 responden, 160 memiliki fungsi ginjal yang normal (97.6%). Hanya 2.4% responden (4 orang) yang berada pada kategori probable/gagal ginjal. Gangguan fungsi ginjal (probable/gagal ginjal) terjadi pada responden yang terdeteksi Pb (7.1%) serta pada responden yang tidak terdeteksi Hg, Cd, dan Cr (2.5%, 2.6% dan 2.4%). Secara statistik, hubungan antara kadar kadmium, kromium, timbal, dan merkuri dalam tubuh dengan fungsi ginjal tidak bermakna (p = 1.000). Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan desain penelitian yang berbeda untuk melihat hubungan kausalitas. Pengambilan data primer untuk penelitian lanjutan juga dapat dipertimbangkan. Selain itu, penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan parameter lain untuk uji fungsi ginjal, agar penurunan fungsi ginjal tahap awal dapat diamati.

Heavy metals such as cadmium (Cd), mercury (Hg), lead (Pb), and chromium (Cr) are toxic and not biodegradable. The ability of the kidneys to absorb and accumulate divalent metals makes them a prime target organ for heavy metal toxicity. Citarum River is one of the disposal sites for textile factory waste which contains heavy metals, meanwhile, Citarum River is still used by local residents in their daily activities. This study focuses on determining the levels of heavy metals (Cd, Hg, Cr, and Pb) of productive age (15-64 years) who live around the Citarum watershed and their relationship with the incidence of impaired kidney function. This study used a cross-sectional design with analysis using SPSS for Mac 20.0 and a statistical test of the difference between two proportions (Fisher's exact test). Of each 166 samples, 14 samples (8.4%) were detected with cadmium, 2 samples (1.2%) were detected with chromium, 14 samples (8.4%) were detected with lead, and 4 samples (2.4%) were detected with mercury. 24.3% of the sample (n = 25) of respondents from Andir and 14.3% (n = 9) of Gajahmekar were detected with heavy metal levels (Cd/Cr/Pb/Hg). For the distribution of kidney function, out of 166 respondents, 160 had normal kidney function (97.6%). Only 2.4% of respondents (4 people) were in the probable/kidney failure category. Impaired kidney function (probable/kidney failure) occurred in respondents who were detected with Pb (7.1%) and in respondents who were not detected with Hg, Cd, and Cr (2.5%, 2.6% and 2.4% consecutively). Statistically, the relationship between levels of cadmium, chromium, lead, and mercury in the body and kidney function was not significant (p = 1,000). Further research can be carried out with different research designs to see the causality relationship. Primary data collection for further research can also be considered. In addition, future studies may consider using other parameters for renal function test, so that early kidney function decline can be observed."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>