Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gary Pradhana
Abstrak :
Latar belakang: Peningkatan pada hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianosis. Kondisi ini menyebabkan perubahan hemodinamik dan koagulasi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien. Operasi reparasi Tetralogy of Fallot (TOF) di Indonesia seringkali terlambat sehingga pasien menderita hipoksemia kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar Hb dan Ht pada luaran hasil operasi reparasi TOF serta mengetahui titik potong Hb dan Ht yang optimal untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pascaoperasi. Metode: Dilakukan suatu studi retrospektif kohort pada pasien yang menjalani operasi reparasi TOF di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dalam periode 1 Januari 2015 hingga 30 Juni 2020. Analisis statistik dilakukan pada kadar Hb dan Ht praoperasi TOF dengan luaran mortalitas, kejadian perdarahan, transfusi darah, reoperasi, dan defisit neurologis pascaoperasi untuk menilai titik potong Hb dan Ht optimal serta pengaruh pada masing-masing luaran operasi tersebut. Hasil: Sebanyak 806 pasien dilibatkan sebagai sampel penelitian dengan median usia 53 bulan dan SpO2 80%. Terdapat pengaruh bermakna usia, berat badan, dan SpO2 terhadap Hb dan Ht (p<0,05). Terjadinya peningkatan risiko perawatan >72 jam sebesar 1,5 kali lipat pada Hb yang tinggi serta risiko sebesar 1,6 kali lipat pada Ht yang tinggi. Terdapat peningkatan risiko perdarahan pascaoperasi >10mL/Kg sebesar 4,6 kali lipat pada Hb yang tinggi serta peningkatan risiko sebesar 5,4 kali lipat pada Ht yang tinggi. Tidak terdapat pengaruh bermakna Hb dan Ht terhadap kematian intraperawatan, kejadian reoperasi, dan defisit neurologis pascaoperasi. Diperoleh titik potong (nilai optimal) Hb 16,75 gr/dL dan Ht 51,20% dengan kemampuan prediktor yang cukup baik (AUC Hb = 0,71; AUC Ht = 0,72). Simpulan: Peningkatan hemoglobin dan hematokrit secara bermakna mempengaruhi durasi ICU, perdarahan pascaoperasi, dan banyaknya transfusi pascaoperasi. Untuk praoperasi TOF, diperoleh kadar optimal Hb di bawah 16,75gr/dL dan Ht di bawah 51,20%. ......Introduction: Increase of hemoglobin (Hb) and hematocrit (Ht) occurs in children with cyanotic heart disease. These conditions will lead some hemodynamic and coagulation changes that can increase patient mortality and morbidity. Tetralogy of Fallot (TOF) repair surgery in Indonesia mostly in late condition, where the patient suffers from chronic hypoxemia. Aim of this study are to determine the impact of high Hb and Ht on TOF repair surgery outcome as well as to determine the optimal value of Hb and Ht to avoid postoperative morbidity and mortality. Method: A retrospective cohort study was conducted on patients undergoing TOF repair surgery Pusat Jantung Nasional Harapan Kita from January 1, 2015 until June 30, 2020. Statistical analysis was carried out on the preoperative TOF Hb and Ht levels with mortality, bleeding incidence, blood transfusion, reoperation, and postoperative neurological deficits to find the optimal Hb and Ht cutoff point and the effect on each of these operative outcomes. Results: A total of 806 patients were included in the study sample with median age of 53 months and an SpO2 of 80%. There was a significant effect of age, body weight, and SpO2 on Hb and Ht (p <0.05). There was an increased risk of treatment > 72 hours by 1.5 times for high Hb and a risk of 1.6 times for high Ht. There an increased risk of postoperative bleeding> 10mL / Kg by 4.6 times in high Hb and an increased risk of 5.4 times in high Ht. Transfusions> 15mL / Kg were found to increase by 1.5 times at high Hb levels and 1.7 times at high Ht levels. There was no significant effect of Hb and Ht on inhospital mortality, reoperative incidence, and postoperative neurological deficits. The cut points obtained in this study were Hb 16.75 gr / dL and Ht 51.20% with a fairly good predictor ability (AUC Hb = 0.71; AUC Ht = 0.72) on postoperative bleeding. Conclusion: High hemoglobin and hematocrit is significantly affected the ICU duration, postoperative bleeding, and the number of transfusions. The cut-off point taken from the relationship between hemoglobin and hematocrit on postoperative bleeding has a fairly good predictor ability. Optimal hemoglobin is below 16.75 gr/dL and optimal hematocrit is below 51.20%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Praborini
Abstrak :
Latar Belakang Masalah Perdarahan peri-intraventrikular pada bayi baru lahir merupakan salah sau penyebab kematian pada neonatus. Keadaan ini juga dapat menimbulkan gejala sisa berupa kelainan neurologis di kemudian hari. Perdarahan dimulai dari jaringan pembuluh darah yang terdapat pada matriks germinal di lapisan subependimal (Volpe, 1981-1; Volpe, 1981-2; Allan dan Volpe, 1986). Matriks germinal merupakan tempat berproliferasi neuron dan glia yang kelak akan bermigrasi ke lapisan-lapisan korteks otak. Hal ini terjadi pada bulan ketiga dan bulan kelima masa janin. Matriks germinal ini berangsur-angsur berkurang dan menghilang setelah janin cukup bulan (Kirks dan Bowie, 1986; Volpe, 1981-2). Dengan demikian semakin muda usia janin, semakin besar kemungkinan timbul perdarahan peri-intraventrikular pada bayi. Neonatus dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu dan berat lahir kurang dari 1500 gram, 40 sampai 45% akan menderita perdarahan peri-intraventrikular (Papile dkk., 1978; Ahmann dkk., 1980). Baerts di Belanda (1984) yang meneliti neonatus kurang dari 37 minggu mendapatkan angka 40% . Perdarahan dapat timbul pada usia 12 jam sampai 7 hari setelah lahir, terbanyak pada hari kedua dan ketiga dengan rata-rata pada usia 38 jam (Tsiantos dkk., 1978). Di Indonesia belum diketahui dengan jelas berapakah frekuensi .perdarahan peri-intraventrikular pada neonatus kurang bulan. Belum Pula diketahui bagaimana karakteristik bayi-bayi tersebut. Padahal angka prematuritas di Indonesia cukup tinggi, yaitu berkisar antara 13,9% - 25% (Sarwono, 1977; Alisyahbana, 1977; Monintja, 1979; Kosim dkk., 1984; Ramelari, 1989). Fasilitas untuk mendeteksi adanya perdarahan peri-intraventrikular yaitu ultrasonografi, telah ada di sebagian besar Rumah-rumah Sakit di Indonesia. Ketepatan diagnostik alat ini mencapai 85 - 97% (Szymonowicz dkk., 1984). Rumusan Masalah Berapakah kekerapan perdarahan peri-intraventrikular pada neonatus kurang bulan di RSCM Jakarta dan bagaimana karakteristik bayi-bayi tersebut? Tujuan Penelitian Umum : mendapatkan angka proporsi perdarahan peri-intraventrikular pada neonatus kurang bulan di RSCM Jakarta dan mengetahui karakteristik bayi-bayi tersebut (dibandingkan dengan bayi tanpa perdarahan)?
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Yunita
Abstrak :
Indonesia tercatat sebagai negara dengan kass demam berdarah dengue tertinggi di Asia Tenggara. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan keadatan penduduk. Carica papaya L. yang termasuk dalam suku Caricaceae adalah tanaman yang dibudidayakan secara luas di Indonesia dan memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Bagian daun diyakini dapat meningkatkan jumlah trombosit dan bermanfaat bagi pasien demam dengue, namun bukti-bukti ilmiah masih sedikit. Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh kapsul ekstrak daun C. papaya bagi pasien demam dengue. Penelitian menggunakan desain Expertimental Randomized Clinical Trial, dengan sampel berjumlah 80 subyek yang dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 40 subyek, terdiri atas kelompok kontrol dan perlakuan (mendapat kapsul ekstrak daun C. papaya 3 kali 2 kapsul sehari). Hasil penelitian menunjukkan kapsul ekstrak daun C. papaya dapat meningkatkan jumlah trombosit (p value = 0,0001), mempertahankan stabilitas hematokrit pada nilai normal, mempersingkat masa rawat inap (p value = 0,0001) pasien dengue, serta mempercepat peningkatan jumlah trombosit dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T29989
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Aulia
Abstrak :
Pemeriksaan hematologi banyak dilakukan dengan menggunakan alat hitung sel darah otomatis yang mencakup parameter pemeriksaan seperti jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, volume eritrosit rata-rata (VER), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER), konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER), red distribution width (RDW), jumlah trombosit, mean platelet volume (MPV) dan platelet distribution width (PDW). Untuk pemeriksaan tersebut perlu diperhatikan beberapa hal, seperti persiapan penderita, cara pengambilan bahan dan pengiriman bahan bila bahan tersebut dirujuk serta antikoagulan yang dipakai. Kesalahan yang terjadi pada hal-hal tersebut di atas dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Untuk pemeriksaan hematologi tersebut, biasanya dipakai darah vena yang dicampur dengan antikoagulan, agar bahan darah tersebut tidak menggumpal. Antikoagulan yang sering dipakai antara lain garam EDTA seperti tripotassium EDTA (K3EDTA). Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa penggunaan garam EDTA yang berbeda dan atau konsentrasinya yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan kuantitas maupun kualitas hasil pemeriksaan. Lamanya penundaan pemeriksaan juga dapat memberikan hasil yang berbeda untuk parameter tertentu. Saat ini banyak penelitian yang memerlukan pemeriksaan hematologi dilakukan di lapangan sehingga ada kecenderungan untuk melakukan penundaan pemeriksaan hematologi yang dibutuhkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ingin diketahui batas waktu lamanya penyimpanan darah dengan antikoagulan K3EDTA dalam tabung vacuette pada suhu kamar dan lemari es sebelum terjadinya perubahan kuantitas maupun kualitas yang minimal pada beberapa pemeriksaan hematologi serta pengaruh perbedaan suhu penyimpanan bahan tersebut. BAHAN, ALAT DAN REAGENSIA Behan penelitian : Behan penelitian berasal dari 27 orang yang memerlukan pemeriksaan hematologi di laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM) antara tanggal 1 Maret 1998 sampai dengan tanggal 10 April. 1998. Diharapkan bahan penelititan mewakili kadar hemoglobin tinggi, normal dan rendah masing-masing 3 orang, jumlah leukosit tinggi, normal dan rendah masing-masing 3 orang, jumlah trombosit tinggi, normal clan rendah masing-masing 3 orang. Bahan penelitian tersebut berupa darah vena sebanyak 6 mL, yang diambil dengan menggunakan semprit 10 mL, dimasukkan ke dalam dua tabung vacuette 3 mL dengan antikoagulan K3EDTA (selanjutnya disebut darah K3EDTA) dan dibuat sediaan hapus langsung tanpa antikoagulan. Preparat sediaan hapus langsung dikeringkan pada suhu kamar (21 - 30 ° C), setelah kering {kira - kira 30 menit) difiksasi dengan metanol kemudian diberi pulasan Wright. Darah dalam tabung vacuette pertama (3mL) segera diperiksa parameter hematologinya menggunakan alat hitung sel darah otomatis Sysmex K-1000, sisa darah disimpan pada suhu kamar . Darah dalam tabung vacuette yang kedua (3mL) segera dimasukkan ke dalam lemari es pada suhu 40 C. Selanjutnya darah dalam tabung vacuette yang disimpan pada suhu kamar dan lemari es tersebut diperiksa parameter hematologinya secara serial pada menit ke dua puluh, jam pertama, jam ke dua, jam ke empat, jam ke enam, jam ke duabelas dan jam ke dua puluh empat. Kriteria masukan untuk bahan penelitian ini adalah bahan pemeriksaan darah yang mempunyai jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah trombosit masih dalam batas linearitas alat hitung sel darah otomatis Sysmex K ? 1000.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Dannis
Abstrak :
Latar Belakang: Sirosis merupakan proses difus yang biasanya ditandai dengan adanya fibrosis dan terdapat perubahan dari bentuk dan fungsi hati yang normal menjadi terbentuknya suatu struktur nodul yang abnormal dan akan berkembang menjadi sirosis dan terjadi perubahan pada hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan leukosit. Sirosis dikelompokkan dalam 3 kelompok dengan menggunakan teknik diagnostic non-invasif menggunakan skor APRI. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terdapat perbedaan yang signifikan pada hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan leukosit pada tingkatan sirosis hati berdasarkan skor APRI. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 60 pasien sesuai dengan kriteria penelitian dari rekam medis pusat dan Laboratorium Patologi Klinik RSCM. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit memiliki nilai rerata 11,20; 32,94; 3,96 dan simpangan baku 2,66; 7,48; 0,90 dan jumlah leukosit median 9,66, minimum 2,01 dan maksimum 28,13 . Uji Anova menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah eritrosit p < 0,05 dan perbedaan yang tidak bermakna pada hemoglobin dan hematokrit p > 0,05 terhadap tingkat keparahan sirosis hati sesuai dengan skor APRI. Sedangkan uji kruskal-wallis menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna pada jumlah leukosit p > 0,05 terhadap tingkat keparahan sirosis hati sesuai dengan skor APRI. Kesimpulan : Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada perbandingan jumlah eritrosit berdasarkan skor APRI dan perbedaan yang tidak bermakna pada hemoglobin, hematokrit dan jumlah leukosit berdasarkan skor APRI. ......Background: Cirrhosis is a process of diffusion which is usually characterized by fibrosis and there is a change from a normal liver form and function to the formation of an abnormal nodular structure that develops into cirrhosis and causing changes in hemoglobin, hematocrit, the amount of erythrocytes and leukocytes. Cirrhosis is grouped into 3 groups using non invasive diagnostic techniques using APRI scores. Objective: The purpose of this study was to investigate the significant differences in hemoglobin, hematocrit, amount of erythrocytes and leukocytes at the level of liver cirrhosis based on APRI scores. Methods: This study used cross sectional design with 60 patients according to the study criteria from the central medical record and the RSCM Clinical Pathology Laboratory. Results: The result of the research using Kolmogorov Smirnov test showed hemoglobin, hematocrit, the amount of erythrocytes had value average 11,20 32,94 3,96 and standard deviation 2,66 7,48 0,90 and leukocyte count median 9,66, minimum 2,01 and maximum 28,13 . Anova test showed a significant difference in the amount of erythrocytes p 0,05 towards the severeness staging of cirrhosis according to the APRI score. While the cruciate wallis test showed no significant difference in the number of leukocytes p 0,05 towards the severeness staging of cirrhosis according to APRI score. Conclusion: The results of this study indicate that there is a significant difference in the number of erythrocytes based on APRI scores and the non significant differences in hemoglobin, hematocrit and leukocyte counts based on APRI scores.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail L.B
Abstrak :
ABSTRAK Angkak merupakan beras hasil fermentasi kapang Monacus purpureus yang umum ditemukan dalam makanan berkabohidrat. Di Indonesia, angkak telah digunakan secara empiris untuk mengobati beberapa penyakit yang terkait dengan gangguan hematologi, namun penelitian ilmiah terkait dengan khasiat angkak terhadap gangguan tersebut masih jarang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak angkak, yang diberikan peroral pada hari ketiga hingga kedelapan pada hewan uji yang telah diinduksi dengan anilin pada hari kesatu dan kedua, terhadap jumlah trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Kamar hitung Improved Neubauer digunakan untuk perhitungan trombosit dan eritrosit, cara Sahli untuk pengukuran kadar hemoglobin, dan metode mikrohematokrit untuk pengukuran kadar hematokrit. Hewan uji yang digunakan adalah 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol normal, kontrol anemia, dan tiga kelompok yang menerima ekstrak angkak dengan dosis 1,26; 2,52; 5,04 g/200g berat badan tikus. Trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit dihitung sebelum dan setelah pemberian ekstrak angkak, dan hasilnya dianalisa secara statistik. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara jumlah trombosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit kelompok dosis dengan kelompok kontrol anemia, walaupun jumlah rata-rata trombosit dan eritrosit serta kadar hemoglobin mengalami peningkatan. ABSTRACT Angkak is rice fermented by Monascus purpureus, which is yeast commonly found in starchy food. In Indonesia, angkak has been used for treatment of disease related with hematological disorder. Nevertheless, only few researches had been done to verify the effect. The aim of this research was to understand the influence of angkak extract, which had been given orally at 3"'-8"" day to male rats induced with aniline at 1%-2" day, to thrombocyte, erythrocyte, hemoglobin, and hematocrit. Counting chamber /mproved Neubauer was used for thrombocyte and erythrocyte count, Sahli’s method for hemoglobin level, and microhematocrit method for hematocrit level. This research used 25 male rats of Sprague Dawley strain that were divided into five groups : normal control, anemia control and three other groups receiving an angkak extract at doses 1,26; 2,52; 5,04 g/200g body weight respectively. Thrombocyte, erythrocyte, hemoglobin, and hematocrit were measured before and after taking the extract , then the result were analyzed statically. The calculation indicated that there was no significant difference (p>0,05) between anemia control and three dose groups, in thrombocyte count, erythrocyte count, hemoglobin level, and hematocrit level, although the average of thrombocyte, erythrocyte, and hemoglobin had increased.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S33088
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Tandow
Abstrak :
Latar Belakang: Pemberian cairan intravena perioperatif, yang meliputi cairan prabedah dan cairan intrabedah, adalah salah satu persiapan pembedahan pada pasien anak. Akan tetapi, pemberian cairan intravena memiliki potensi menyebabkan gangguan dalam parameter-parameter laboratorium, seperti natrium darah, glukosa darah, hemoglobin, dan hematokrit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian berbagai jenis cairan perioperatif terhadap kadar natrium darah, glukosa darah, hemoglobin, dan hematokrit. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Subjek penelitian adalah pasien anak dengan usia kurang dari 5 tahun yang akan menjalani pembedahan kolorektal elektif dengan anestesia umum. Cairan prabedah diberikan diberikan oleh sejawat Ilmu Kesehatan Anak, sementara pemberian cairan intrabedah ditentukan oleh anestesiologis yang melakukan prosedur anestesia. Data laboratorium (hemoglobin, hematokrit, kadar glukosa darah, dan kadar natrium) diambil pada saat admisi, sebelum insisi, dan setelah pembedahan selesai. Hasil: Penelitian ini melibatkan 33 subjek penelitian. Terdapat penurunan hemoglobin, hematokrit, dan kadar natrium darah serta peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan (p <0,001) setelah pemberian cairan prabedah menggunakan larutan hipotonik dengan glukosa. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar hemoglobin, hematokrit, dan kadar glukosa darah setelah pemberian cairan intrabedah menggunakan larutan isotonik (p >0,05). Terdapat peningkatan kadar natrium darah yang signifikan setelah pemberian cairan intrabedah (p = 0,024). Kesimpulan: Pemberian berbagai cairan perioperatif memengaruhi kadar natrium, glukosa, hemoglobin dan hematokrit pasien anak yang menjalani pembedahan kolorektal dengan anestesia umum. ......Background: Perioperative intravenous fluid administration, which includes preoperative fluids and intraoperative fluids, is one of the surgical preparations in surgical pediatric patients. However, intravenous fluid administration has the potential to cause disturbances in laboratory parameters, such as blood sodium, blood glucose, hemoglobin, and hematocrit. This study aims to determine the effect of various types of perioperative fluids on blood sodium, blood glucose, hemoglobin, and hematocrit levels. Methods: This is a prospective cohort study. The research subjects were pediatric patients aged less than 5 years who were going to undergo elective colorectal surgeries under general anesthesia. Preoperative fluids were administered by pediatricians, while intraoperative fluid administration was determined by the anesthesiologist performing the anesthetic procedure. Laboratory data (hemoglobin, hematocrit, blood glucose level, and sodium level) were collected at the time of admission, before incision, and after surgery was completed. Results: This study involved 33 research subjects. There was a significant decrease in hemoglobin, hematocrit, and blood sodium levels, as well as a significant increase in blood glucose levels (p < 0.001) after administration of preoperative fluids using hypotonic solutions with glucose. Meanwhile, there was no significant difference in hemoglobin, hematocrit, and blood glucose levels after administration of intraoperative fluids using isotonic solutions (p > 0.05). There was a significant increase in blood sodium levels after intraoperative fluid administration (p = 0.024). Conclusions: Perioperative administration of various fluids affects sodium, glucose, hemoglobin and hematocrit levels in pediatric patients undergoing colorectal surgery under general anaesthesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Kusuma Sary
Abstrak :
Masa yang paling rentan sepanjang kehidupan anak adalah masa neonatus dengan kematian paling banyak terjadi dalam minggu pertama kehidupan. Penyebab kematian tertinggi adalah kelahiran prematur, asfiksia, infeksi dan cacat lahir. Deteksi dini dengan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memahami faktor yang berpengaruh terhadap keluaran buruk dalam menentukan pengawasan ketat dan tindakan intervensi dengan segera. Pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan darah tali pusat dapat menjadi solusi. Penelitian ini menganalisa hubungan antara kadar glukosa, hemoglobin (Hb) dan nilai hematokrit (Ht) darah tali pusat dengan keluaran buruk jangka pendek neonatus yang terdiri dari skor Apgar 5 menit < 7, IVH, distres napas atau kardiovaskular yang butuh perawatan intensif, diagnosis sepsis neonatorum dan kematian neonatus. Empat puluh empat subjek yang terdiri dari 22 subjek dengan keluaran buruk dan 22 subjek tanpa keluaran buruk diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata kadar glukosa, Hb dan nilai Ht pada kelompok neonatus dengan keluaran buruk lebih rendah dari kelompok neonatus tanpa keluaran buruk. Terdapat hubungan antara kadar glukosa, Hb dan nilai Ht dengan tingkat kejadian keluaran buruk jangka pendek neonatus. Parameter kadar glukosa, Hb dan nilai Ht masing-masing memiliki area under curve (AUC) 70,6%; 71,1% dan 65%. Analisis regresi logistik menghasilkan model probabilitas keluaran buruk menggunakan parameter metode persalinan, usia kehamilan dan kadar Hb tali pusat dengan titik potong 15,55 g/dL. ......The most vulnerable period throughout a children life is neonatal period with most deaths occurring in the first week of life. The leading cause of death are prematurity, asphyxia, infection and birth defects. Early detection using laboratory testing is needed to understand factors that influence bad outcomes and to determine intensive care or immediate intervention. Laboratory testing using umbilical cord blood sample can be a solution. This study analyzed the relationship between cord blood glucose, hemoglobin (Hb) levels and hematocrit (Ht) values with short-term neonatal bad outcomes consisting of 5-minute Apgar score less than 7, intraventricular hemorrhage (IVH), respiratory or cardiovascular distress requiring intensive care, diagnosis of neonatal sepsis and neonatal death. Forty-four subjects consisting of 22 subjects with bad outcomes and 22 subjects without bad outcomes were included in this study. The mean glucose, Hb levels and Ht values in the group of neonates with bad outcomes were lower than the group of neonates without bad outcomes. There is a relationship between glucose, Hb levels and Ht values with the incidence of short-term neonatal adverse outcomes. Cord blood glucose, Hb levels and Ht values each have an area under curve (AUC) of 70.6%; 71.1% and 65%. Logistic regression analysis showed a bad outcome probability model using delivery method, gestational age and the cord blood hemoglobin levels cut-off point of 15,55 g/dL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ifael Yerosias Mauleti
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih endemis dan merupakan masalah yang besar dan serius di Indonesia. Peningkatan kadar laktat dalam darah merupakan petanda hipoksia jaringan pada penyakit DBD, bila hipoksia jaringan tidak terdeteksi lebih awal/dini, dan tidak diberikan cairan lebih agresif dan sesuai, maka akan meningkatkan angka komplikasi dan kematian. Tujuan: Mengetahui perbedaan rerata kadar hematokrit dan albumin serum serta beda proporsi efusi pleura dan atau asites, pasien infeksi dengue dewasa pada berbagai derajat hiperlaktatemia untuk mengetahui secara dini adanya hipoksia jaringan Metode: Penelitian ini adalah Studi uji Potong Lintang. Penelitian dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUP Persahabatan Jakarta, pada pasien yang dirawat periode waktu April 2014 sampai dengan Mei 2015. Menilai beda rerata kadar hematokrit darah dan albumin serum menggunakan uji statistik Uji T, sedangkan beda proporsi efusi pleura dan atau asites dengan Uji Kai Kuadrat. Hasil: Sebanyak 62 pasien infeksi demam dengue, dibagi kedalam 2 kelompok masing-masing 31 pasien berdasarkan kadar laktat darah. Kelompok I dengan kadar laktat darah > 2 sampai ≤ 2,4 mmol/L dan kelompok II > 2,4 mmol/L. Rerata kadar hematokrit darah pada kelompok I dan II masing-masing 40,06 (SB 4,54) dan 41,03 (SB 4,77). Tidak ada perbedaan rerata kadar hematokrit darah pada kedua kelompok dengan nilai p = 0,42. Rerata kadar albumin serum pada kelompok I dan II masing-masing 3,94 (SB 0,29) dan 3,89 (SB 0,30). Tidak ada perbedaan rerata kadar albumin serum pada kedua kelompok dengan nilai p = 0,49. Proporsi efusi pleura dan atau asites pada kelompok I dan II masing-masing 54,8% dan 58,1%. Tidak ada perbedaan proporsi adanya efusi pleura dan atau asites pada kedua kelompok dengan p = 1. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan rerata kadar hematokrit darah dan albumin serum, serta beda proporsi efusi pleura dan atau asites pada kelompok kadar laktat darah > 2 sampai ≤ 2,4 mmol/L dibandingkan > 2,4 mmol/L.
ABSTRACT
Background: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still endemic and is a big and serious problem in Indonesia. Increased levels of lactate in the blood is a marker for tissue hypoxia in DHF , when tissue hypoxia is not detected early and not given the more aggressive fluids and appropriate, it will increase the rate of complications and mortality. Objective: To determine differences in average levels of hematocrit and serum albumin as well as different proportions pleural effusion and/or ascites, adult patients with dengue infection in various degrees hyperlactatemia to know at an early stage for tissue hypoxia. Methods: This study is a test study Cross Sectional. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo and at Persahabatan Hospital, Jakarta, in-patients admitted to the time period April 2014 through May 2015. Assessing the mean difference of blood hematocrit levels and serum albumin using statistical test T test, while the different proportion of pleural effusion and/or ascites with test Chi Square. Results: A total of 62 patients of dengue fever infections, distributed into 2 groups of each 31 patients based on blood lactate levels. Group I with a blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L and Group II > 2.4 mmol/L. The mean blood hematocrit levels in group I and II, respectively 40.06 (SD 4.54) and 41.03 (SD 4.77). There is no difference in mean blood hematocrit levels in both groups with p = 0.42. The mean levels of serum albumin in group I and II respectively 3.94 (SD 0.29) and 3.89 (SD 0.30). There is no difference in the mean serum albumin levels in both groups with p = 0.49. The proportion of pleural effusion and/or ascites in groups I and II respectively 54.8% and 58.1%. There is no difference in the proportion of the pleural effusion and/or ascites in both groups with p = 1. Conclusion: There is no difference in mean blood hematocrit levels and serum albumin, as well as the different proportions of pleural effusion and/or ascites founds in the group of blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L compared to > 2.4 mmol/L.;Background: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still endemic and is a big and serious problem in Indonesia. Increased levels of lactate in the blood is a marker for tissue hypoxia in DHF , when tissue hypoxia is not detected early and not given the more aggressive fluids and appropriate, it will increase the rate of complications and mortality. Objective: To determine differences in average levels of hematocrit and serum albumin as well as different proportions pleural effusion and/or ascites, adult patients with dengue infection in various degrees hyperlactatemia to know at an early stage for tissue hypoxia. Methods: This study is a test study Cross Sectional. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo and at Persahabatan Hospital, Jakarta, in-patients admitted to the time period April 2014 through May 2015. Assessing the mean difference of blood hematocrit levels and serum albumin using statistical test T test, while the different proportion of pleural effusion and/or ascites with test Chi Square. Results: A total of 62 patients of dengue fever infections, distributed into 2 groups of each 31 patients based on blood lactate levels. Group I with a blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L and Group II > 2.4 mmol/L. The mean blood hematocrit levels in group I and II, respectively 40.06 (SD 4.54) and 41.03 (SD 4.77). There is no difference in mean blood hematocrit levels in both groups with p = 0.42. The mean levels of serum albumin in group I and II respectively 3.94 (SD 0.29) and 3.89 (SD 0.30). There is no difference in the mean serum albumin levels in both groups with p = 0.49. The proportion of pleural effusion and/or ascites in groups I and II respectively 54.8% and 58.1%. There is no difference in the proportion of the pleural effusion and/or ascites in both groups with p = 1. Conclusion: There is no difference in mean blood hematocrit levels and serum albumin, as well as the different proportions of pleural effusion and/or ascites founds in the group of blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L compared to > 2.4 mmol/L.;Background: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still endemic and is a big and serious problem in Indonesia. Increased levels of lactate in the blood is a marker for tissue hypoxia in DHF , when tissue hypoxia is not detected early and not given the more aggressive fluids and appropriate, it will increase the rate of complications and mortality. Objective: To determine differences in average levels of hematocrit and serum albumin as well as different proportions pleural effusion and/or ascites, adult patients with dengue infection in various degrees hyperlactatemia to know at an early stage for tissue hypoxia. Methods: This study is a test study Cross Sectional. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo and at Persahabatan Hospital, Jakarta, in-patients admitted to the time period April 2014 through May 2015. Assessing the mean difference of blood hematocrit levels and serum albumin using statistical test T test, while the different proportion of pleural effusion and/or ascites with test Chi Square. Results: A total of 62 patients of dengue fever infections, distributed into 2 groups of each 31 patients based on blood lactate levels. Group I with a blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L and Group II > 2.4 mmol/L. The mean blood hematocrit levels in group I and II, respectively 40.06 (SD 4.54) and 41.03 (SD 4.77). There is no difference in mean blood hematocrit levels in both groups with p = 0.42. The mean levels of serum albumin in group I and II respectively 3.94 (SD 0.29) and 3.89 (SD 0.30). There is no difference in the mean serum albumin levels in both groups with p = 0.49. The proportion of pleural effusion and/or ascites in groups I and II respectively 54.8% and 58.1%. There is no difference in the proportion of the pleural effusion and/or ascites in both groups with p = 1. Conclusion: There is no difference in mean blood hematocrit levels and serum albumin, as well as the different proportions of pleural effusion and/or ascites founds in the group of blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L compared to > 2.4 mmol/L., Background: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still endemic and is a big and serious problem in Indonesia. Increased levels of lactate in the blood is a marker for tissue hypoxia in DHF , when tissue hypoxia is not detected early and not given the more aggressive fluids and appropriate, it will increase the rate of complications and mortality. Objective: To determine differences in average levels of hematocrit and serum albumin as well as different proportions pleural effusion and/or ascites, adult patients with dengue infection in various degrees hyperlactatemia to know at an early stage for tissue hypoxia. Methods: This study is a test study Cross Sectional. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo and at Persahabatan Hospital, Jakarta, in-patients admitted to the time period April 2014 through May 2015. Assessing the mean difference of blood hematocrit levels and serum albumin using statistical test T test, while the different proportion of pleural effusion and/or ascites with test Chi Square. Results: A total of 62 patients of dengue fever infections, distributed into 2 groups of each 31 patients based on blood lactate levels. Group I with a blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L and Group II > 2.4 mmol/L. The mean blood hematocrit levels in group I and II, respectively 40.06 (SD 4.54) and 41.03 (SD 4.77). There is no difference in mean blood hematocrit levels in both groups with p = 0.42. The mean levels of serum albumin in group I and II respectively 3.94 (SD 0.29) and 3.89 (SD 0.30). There is no difference in the mean serum albumin levels in both groups with p = 0.49. The proportion of pleural effusion and/or ascites in groups I and II respectively 54.8% and 58.1%. There is no difference in the proportion of the pleural effusion and/or ascites in both groups with p = 1. Conclusion: There is no difference in mean blood hematocrit levels and serum albumin, as well as the different proportions of pleural effusion and/or ascites founds in the group of blood lactate levels > 2 to ≤ 2,4 mmol/L compared to > 2.4 mmol/L.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Sugiono
Abstrak :
Latar Belakang. Stroke iskemik dan gagal jantung merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Keduanya memiliki faktor risiko yang sama sehingga sering muncul bersamaan sebagai komorbid. Keduanya juga dikaitkan dengan gangguan viskositas darah dan luaran fungsional yang lebih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbandingan nilai viskositas darah dan luaran fungsional pasien stroke iskemik subakut dan kronis dengan dan tanpa komorbid gagal jantug. Metode. Penelitian ini menggunakan desian case control yang dilakukan di klinik rawat jalan Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret dan April 2023. Analisis univariat, bivariat dan multivariat dilakukan sesuai kebutuhan. Hasil. Penelitian ini melibatkan 24 pasien stroke iskemik subakut dan kronis dengan komorbid gagal jantung dan 24 pasien stroke iskemik subakut dan kronis tanpa komorbid gagal jantung. Tidak didapatkan perbedaan rerata pada semua variabel penelitian yang terdiri dari nilai viskositas darah (5,45±0.77poise vs 5,50±0,77poise, p = 0,85); nilai viskositas plasma (1,78±0,31poise vs 1,80±0,32poise, p = 0,87); kadar hematokrit (38,42±4,78% vs 40,43±4,25%, p = 0,13); kadar fibrinogen (401,03±121,18mg/dL vs 346,49±70,07mg/dL); dan nilai mRS (2(0-4) vs 1(0-3), p = 0,37). Kesimpulan. Tidak ada perbedaan rerata nilai viskositas darah, viskostias plasma, kadar hematokrit, kadar fibrinogen, dan nilai mRS yang bermakna secara statistik pada stroke iskemik subakut dan kronis dengan dan tanpa komorbid gagal jantung. Perlu penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar. ......Background. Ischemic stroke and heart failure are major health problems in the world. Both have the same risk factors so they often appear together as comorbidities. Both are also associated with impaired blood viscosity and worse functional outcomes. This study aims to assess the comparison of blood viscosity values and functional outcomes of subacute and chronic ischemic stroke patients with and without heart failure. Methods. This study used a case-control design which was conducted at the Neurology outpatient clinic at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in March and April 2023. Univariate, bivariate, and multivariate analyzes were carried out as needed. Result. In this study, there were 24 subacute and chronic ischemic stroke patients with concomitant heart failure and 24 such patients without such a condition. There are no means differences in all of the study variables, which included blood viscosity values (5.45 0.77 poise vs. 5.50 0.77 poise, p = 0.85; plasma viscosity values (1.78 0.31 poise vs. 1.80 0.32 poise, p = 0.87); hematocrit levels (38.42 4.78% vs. 40.43 4.25%, p = 0.13); fibrinogen levels (401.03±121.18mg/dL vs 346.49±70.07mg/dL); and mRS value (2(0-4) vs 1(0-3), p = 0.37). Conclusion. There were no statistically significant differences in mean blood viscosity, plasma viscosity, hematocrit levels, fibrinogen levels, and mRS values in subacute and chronic ischemic stroke with and without comorbid heart failure. Further research is needed with a larger sample.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>