Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nico
"Tulisan ini membahas mengenai pengarcaan pada arca dewa-dewi yang terdapat pada kelenteng Toasebio, Jakarta Barat. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui pengarcaan dan peranan dari tiap-tiap tokoh dewa yang dipuja di Kelenteng Toasebio melalui kajian ikonografi serta mengklasifikasikan setiap tokoh dewa berdasarkan wilayah kekuasannya. Komponen pengarcaan yang diteliti pada penelitian ini adalah pakaian, raut wajah, sikap tangan, sikap duduk, posisi peletakan, serta alat dan atribut yang dibawa oleh setiap arca tokoh. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat 114 arca pada kelenteng Toasebio yang terbagi menjadi 29 tokoh dewa. Tokoh dewa pada kelenteng Toasebio diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu dewata penguasa langit yang terdiri dari 2 tokoh dewa, dewata penguasa bumi yang terdiri dari 7 tokoh dewa, dan dewa penguasa manusia yang terdiri dari 20.

This paper discusses the manifestations of the statues of the gods found at Toasebio temple, West Jakarta. This study aims to determine the character and role of each god who is worshiped at Toasebio Temple through iconographic studies and to classify each god character based on their area of power. The manifestation components examined in this study are clothes, expressions, hand gestures, sitting attitudes, positions, tools and attributes carried by each character. The results of this study explain that there are 114 statues in Toasebio temple which are divided into 29 divine figures. The god figures in Toasebio temple are classified into 3 groups, namely the gods who rule the universe consisting of 2 god figures, the gods who rule the earth consisting of 7 god figures, and the gods who rule the humans who consist of 20 divine figures."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indoneisa, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bhattacharyya, Benoytosh
"Notes: The study of the Buddhist branch of Indian iconography is one of the most interesting and fascinating of all studies. In Buddhist iconography the whole world is interested because Buddhism is not confined within the limits of India like Hinduism or Jainism, but travelled far and wide beyond the Himalayas to Tibet, China, Japan, Korea and Mongolia on one side, and to Indo-China, Siam, Indonesia, Burma and Ceylon on the other. The fountain head of inspiration relating to Buddhist iconography was furnished by the ancient Sanskrit manuscripts of India, and the ideas and directions contained therein travelled to different countries, notably Tibet and China, where they were coloured by the art and culture characteristics of the respective peoples. We have now reached a stage where it is no longer possible to isolate Buddhist iconography of India from its developments in Tibet and China which were profoundly influenced by the Buddhist Tantras of India. This is the second edition of this famous work which has been thoroughly revised and greatly enlarged. New chapters have been incorporated, old chapters have been redistributed. Many pictures have been deleted, and many new ones have been included in order to make the study as up-to-date as possible. But with the availability of fresh material, after the publication of the first edition, the other side, namely the psychic side, also became apparent. "
New Delhi: Cosmo, 2013
704.9 BHA i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adiguno Bimo Wicaksono
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami ikonografi Dewa Wisnu di Jawa Timur pada abad ke 12-M – 15 M. Ikonografi (iconography) berasal dari bahasa Yunani, yaitu eikoon memiliki arti gambar dan graphoo artinya menulis. Jika diartikan secara harfiah, maka ikonografi memiliki arti “suatu benda yang menggambarkan sosok dewa dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti arca, relief, dan lain-lain”. Dalam hal tersebut, ikonografi berkaitan dengan penggambaran sosok dewa dalam bentuk arca yang akan ditampilkan. Hasil dari penelitian ini adalah dengan mengetahui ikonografi Dewa Wisnu, maka informasi mengenai keberagaman penggambaran arca dewa serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

The purpose of this research is to understand the iconography of God Vishnu in East Java on 12th – 15th centuries. Iconography is the word based from Greek, eikoon means images, and graphoo means write. Iconography means “a thing that represents a god in a other forms, like statue, relief, etc.”. In this context, iconography has a connection with a god representation on the statue. The result of this research is knowing an iconography of God Vishnu and getting information about the diversity of god statue and the factors that affect the depiction."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ratnaesih Maulana
"Dari sekian banyak sumber-sumber primer untuk penulisan sejarah kuna dan penelitian ikonografi yang cukup penting ad a 1 ah prasasti. Prasasti merupakan s umber yang sang at penting bag! penulisan sejarah kuna dan penelitian ikonografi, karena umumnya prasasti memperingati peristiwa penetapan suatu daerah menjadi sima. Peristiwa pendirian sima umumnya berkaitan dengan pemberian anugrah dari seorang raja atau bangsawan kepada seseorang atau sekelompok orang berupa pembebasan pajak kepada negara dengan tujuan hasil pajak tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan bangunan suci, pemeliharaan sarana umum atau sebagai balas jasa. Di antara prasasti yang tidak berhubungan dengan penetapan sima, adalah prasasti yang ditujukan untuk pengesahan eksistensi diri sebagai seorang raja besar (legitimasi), prasasti-prasasti berisi keputusan pengaditan mengenai berbagai perkara perdata yang biasa disebut jayapatra atau jayason (Djafar 1990: 3, Maulana 1992: 106).
Upacara sima merupakan kejadian yang sangat penting, karena menyangkut perubahan status sebidang tanah, yang di dalam masyarakat Indonesia selalu terikat dengan hubungan yang bersifat "religio-magis" dengan kesatuan masyarakat yang mendiaminya (Boechari 1977: 5). Karena upacara itu demikian penting, maka di dalam prasasti sering ditemukan keterangan yang panjang lebar tentang hari, bulan, tahun, dan unsur-unsur penanggalan yang lain, yaitu waktu sesuatu daerah ditetapkan menjadi sima, keterangan tentang orang yang menetapkan daerah itu menjadi sima, orang-orang yang melaksanakan upacara, macam-macam upacara yang dilakukan, dan kutukan atau sapatha bagi siapa yang berani melanggarnya. Bagian yang memuat sumpah yang diancamkan terhadap orang yang berani melanggar ketentuan-ketentuan di dalam prasasti itu mengambil tempat yang sangat penting. Kadang-kadang di dalam prasasti dijumpai keterangan tentang batas-batas dari daerah sima yang bersangkutan. Sering juga disebutkan hak-hak."
1994
LESA-21-Mei1994-38
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"Istilah ikonografi (iconography) berasal dari akar kata ikon (icon) dan graphoo. Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani eikoon yang berarti bayangan, potret, gambar. Dalam istilah ikonografi Hindu kata ikon dipakai secara lebih khusus. Kata itu tidak ditujukan kepada materi gambar, tetapi pada tokoh yang digambarkan dan kemiripan tokoh yang dinyatakan dalam gambar dengan tujuan untuk mengadakan hubungan dengan tokoh atau dewa tersebut (Banerjea 1974: 1-2). Menurut Sutjipto Wirjosuparto yang mengutip kitab Pratimamanalaksanam, dalam Sejarah Beni Artja India, di India, tujuan seorang seniman menciptakan sebuah area atau benda seni lainnya adalah untuk mempertinggi martabat dewa dan bukan untuk kepuasan dirinya. Selanjutnya disebutkan bahwa apabila seseorang membuat atau memperbaiki sebuah area maka "jiwanya yang murni mendapat hidup sejahtera di sorga lebih dari seratus ribu yuga". (Wirjosuparto 1956: 6).
Kata graphoo artinya menulis, memerinci. Jadi ikonografi berarti "rincian suatu benda. yang menggambarkan tokoh dewa atau seorang keramat dalam bentuk suatu lukisan, relief, mosaik, arca atau benda lainnya", yang khusus dimaksudkan untuk dipuja atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara keagamaanl) yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa tertentu. (Banerjea 1974: 2-5, Sahai 1975: 1-2).
Kata Yunani eikon dalam anti seperti di atas sesuai dengan istilah-istilah dalam bahasa Sanskerta arca, beta , vigraha dan pratima yang berarti perwujudan jasmani seorang dewa yang dipuja oleh para bhakta , yaitu orang-orang yang berbakti atau memuja. Untuk lebih mendekati rasa ke-Tuhanan, para bhakta kemudian menggunakan istilah tanu dan rupa, yang berarti badan atau bentuk dewa yang digambarkan. Dengan menggunakan istilah tanu dan ru pa mereka merasa puas, karena merasa lebih dekat dengan Tuhan atau dewa yang dipujanya. Selain istilah tanu dan rupa di India dikenal pula kata vimba yang berarti pencerminan yang sama. Pengertian pencerminan ini terlihat dalam upacara Durgapuja, yaitu suatu upacara untuk meminta keselamatan atau hal-hal yang berkaitan dengan keduniawiaan. Dalam upacara ini dilakukan upacara memandikan arca dewi Durga yang terbuat dari tanah liat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya niversitas Indonesia, 1992
D209
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedah Rufaedah Sri Handari
"ABSTRAK
Penelitian mengenai arca Parvati yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur telah dilakukan di Museum Nasional Jakarta. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana penggambaran bentuk tokoh Parvati di Jawa, apakah pengarcaan tokoh Parvati di Jawa terikat atau sepenuhnya mengikuti pokok ketentuan ikonografi Hindu di India; mengetahui persamaan dan perbedaan pengarcaan tokoh Parvati di Jawa; dan untuk mengetahui apakah arca Parvati di Jawa dapat ditentukan menggambarkan salah satu wujud Parvati sebagaimana disebutkan di dalam kitab-kitab agama.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap. Pertama-tama dilakukan kajian kepustakaan dan pengumpulan data berupa arca Parvati yang semuanya berjumlah 36 buah. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode klasifikasi, deskripsi, dan perbandingan. Pada tahap pertama ketiga puluh enam arca Parvati dikelompokkan menjadi 3 kelas berdasarkan jumlah tokoh dalam keseluruhan adegan, yaitu yang sendiri (A), dengan seorang parivara (pendamping, pengiring) (B), dan dengan 2 orang parivara (C). Setelah itu dilakukanlah deskripsi terhadap ketiga kelompok arca Parvati tersebut.
Tahap selanjutnya dilakukan metode perbandingan. Metode ini digunakan dalam usaha untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara ciri-ciri arca Parvati di Jawa dan di India, selain itu juga dipakai dalam usaha melakukan identifikasi terhadap tokoh Parvati di Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa 69,25 persen dari ketiga puluh enam area Parvati percontoh mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berdiri, samabhanga, atau duduk dengan sikap kaki dilipat; bertangan empat, tangan kanan dan kiri depan berada dalam sikap dhyana (dengan atau tanpa padma di telapak tangannya), dan tangan kanan dan kiri belakangnya memegang aksamala dan camara, atau nilotpala; kepalanya mengenakan kiritamakuta dengan hiasan yang bervariasi; di bahunya tergantung sebuah upavita; selain itu juga dikenakan perhiasan-perhiasan lainnya seperti jamang, subang, kalung, kelat bahu, gelang tangan, dan lain-lain. Ciri-ciri arca seperti telah disebutkan tadi ditemui pada arca-arca kelompok A, B, dan C.
Mengenai identifikasi arca Parvati di Jawa, dapat diketahui bahwa arca-arca B1 dan B3 diduga merupakan wujud Parvati sebagai lima, yaitu pada penggambaran Umasahita-Candrasekharamurti dan Umasahita-Sukhasanamurti, dan arca A25 diduga merupakan wujud Parvati bertangan 4 (IAal). Sedangkan mengenai ikonometri dapat diketahui bahwa arca-arca yang berpasangan dengan Siva ternyata memenuhi ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab Agama. Arca-arca B1, B2, B3, B4, dan B5 dapat digolongkan ke dalam variasi uttama-madhyama-dasatala, dan arca-arca B6 dan B7 dapat digolongkan ke dalam varia_si adhama-madhyama-dasatala. Sedangkan arca-arca yang ti_dak berpasangan dengan Siva, hanya ada 2 yaitu arca-arca A14 dan A19 yang agaknya mendekati ketentuan tersebut, dengan masing-masing perbandingannya yaitu 1:9,50 dan 1:9."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gittinger, Mattiebelle Stimson
"Two major types of ship cloths were once woven in South Sumatra. One, called tampan, is a relatively small rectangle or square as illus¬trated in plates 1 through 55. The other, termed palepai, is a long, narrow rectangle which may average three meters or more in length as in plates 56 through 80. Woven from cotton or cotton and silk, their intricate designs of ships, animals, trees, and people are created by colored supplementary weft threads whose rich reds, blues, or yellows p subtly contrast with the natural color of the foundation fibers. Metal¬lic strips and threads frequently lend glittering highlights or outline major shapes. Two lesser forms are the tampan madju (Chijs 1877, p. 20) and tatibin. The tampan madju, seen in plate 81, is painstakingly built up with strings of beads, and only three of these remarkable objects exist in collections today.l Almost as rare are the tatibin, cloths which resemble the long textiles in technique and design, but are small by comparison, averaging only 1 to 1.5 meters in length as in plate 82.2"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1972
RB 30 G 120 s
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Fadhilah Soemanagara
"Penelitian ini membahas tentang penggambaran sosok Hāritī dalam bentuk arca maupun relief yang ditinjau dari ikonografi. Data penelitian merupakan relief Hāritī Candi Mendut dan Candi Banyunibo, Jawa Tengah serta arca Hāritī koleksi Museum Nasional Jakarta, Pusat Informasi Majapahit Trowulan Jawa Timur; Goa Gadjah, Pura Penataran Panglan dan Candi Dasa Bali. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan persamaan dan perbedaan penggambaran Hāritī serta penyebab terjadinya variasi yang ada terkait dengan femininitas pada masyarakat Jawa Kuno dan Bali Kuno. Kesimpulannya penggambaran Hāritī terkait erat dengan peran dan kedudukannya sebagai dewi minor kesuburan dan pelindung anak serta mencerminkan peran dan kedudukan perempuan secara umum pada masa itu.

This research talk about the presentment of Hāritī?s figure in statue and relief reviewed from iconography perspective. The research data are Hāritī relief from Mendut and Banyunibo Temple, Central Java, along with Hāritī statue from Jakarta National Museum collection, Centre for Majapahit Information Trowulan East Java; Gadjah Cave, Penataran Panglan Temple and Candi Dasa Bali. The aim of this research is to explain the equation and differences between Hāritī presentment and also the reason of variation indicated from its presentment related to Hāritī role and position which reflect female role and position generally from that period."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>