Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sianturi, Grace Nami
"Helicobacter pylori (Hp) infection is the most common chronic bacterial infection in human. The role of Hp infection in various GI disorders had been widely accepted. However, further studies have found new extragastrointestinal involvement such as urticaria. Chronic urticaria is a common disorder that has complex pathophysiologic mechanism. As mater of fact, etiology remains unclear in most of the cases. This condition is called Idiopathic Chronic Urticaria. Several studies had shown high prevalence of Hp infection in patients with ICU and improved symptoms after eradication therapy of Hp. This observation had suggested that Hp has important role as etiologic factor in some cases of ICU. The presence of Hp infection and its role in ICU should be proven before initiating eradication therapy, so that irrational used of drugs and antibiotics resistance can be prevented."
The Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2005
IJGH-6-2-August2005-48
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Zulkifli Jacoeb
"Fertililas pada seorang wanita selain dipengaruhi oleh usia, juga bergantung pada keseimbangan dan keserasian kerja aneka faktor intrinsik di dalam organ tubuhnya. Gangguan pada salah satu atau beberapa faktor tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya infertilitas.
Sebagian besar faktor telah dapat dijelaskan sebagai penyebab dari infertilitas pada wanita. Secara khusus, faktor peritoneum menunjukkan angka yang cukup tinggi (35-60%). Sedangkan sekitar 10-25%,meski dengan usaha pemeriksaan yang intensif dan penanganan yang sungguh-sungguh, masih merupakan faktor penyebab yang belum dikelahui (idiopalik) dan perlu digali lebih jauh.
Seringkali dijumpai bahwa seorang wanita tidak berhasil hamil padahal faktor peritoneumnya normal dan bagian-bagian lain genitalia secara fungsional juga normal. Namun sebaliknya meski faktor peritoneumnya abnormal, tetapi fertilisasi dan kehamilan normal dapat terjadi.
Dipikirkan bahwa dalam hal ini sesungguhnya ada faktor lain yang berperan, antara lain faktor lingkungan-mikro di dalam rongga peritoneum yang diwakili oleh zalir peritoneal.
Faktor peritoneum dalam infertilitas wanita mencakup infeksi, perlekatan, dan endometriosis, baik secara tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi. Keadaan patologis tersebut dapat mcngganggu suasana yang serasi di dalam zalir peritoneal. Pada keadaan dengan faktor-faktor untuk terjadinya fertilisasi itu normal, termasuk faktor ovulasi dan juga faktor suami, maka gangguan oleh faktor peritoneum ini dapat menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya penyebab gagalnya fertilisasi.
Kegagalan dan keberhasilan fertilisasi mungkin berhubungan dengan beberapa faktor, seperti perubahan-perubahan tertentu pada fase dini dari endometriosis, gangguan ovulasi, dan infeksi pelvik subklinis. Hasil pemeriksaan dasar infertilitas, analisis hormonal serum dan bahkan endoskopi pelvik yang normal sekalipun belum seluruhnya dapat menyingkirkan kemungkinan adanya patologi pada fase dini tersebut. Sehingga tetap disalah-tafsirkan sebagai infertilitas idiopatik.
Pada dasarnya setiap penyebab infertilitas memang harus dicari dan ditemukan, karena faktor-faktor yang sudah nyata itu akan memberikan arahan penanganan dan pengobatan yang lebih jelas. Untuk itu berbagai cara pendekatan perlu dipilih guna mempelajari faktor-faktor yang terlibat.
Teknik diagnostik terhadap faktor peritoneum dahulu digunakan histerosalpingografi (HSG), tetapi ternyata nilainya masih terbatas. Kini laparoskopi telah lebih menambah fungsi diagnostik makroskopik terhadap faktor peritoneum itu. Namun keunggulan diagnostik yang dimiliki oleh laparoskopi inipun ternyata masih mempunyai keterbatasan karena masih dijumpai kesenjangan antara temuan laparoskopik dan kemungkinan fertilisasi.
Menjadi pemikiran bahwa dengan mengikutsertakan penilaian lingkungan-mikro zalir peritoneal dalam pemeriksaan infertilitas wanita, nilai diagnostik klinis dari pemeriksaan itu akan ditingkatkan. Dengan demikian ketimpangan yang ditemukan itu akan dapat diterangkan.
Perubahan di dalam lingkungan-mikro zalir peritoneal tidak dapat diketahui dengan teknik pemeriksaan yang sederhana. Dengan demikian diperlukan beberapa cara pendekatan objektif yang lebih maju dan telah ditunjukkan bermanfaat oleh para peneliti, seperti teknik teraradioimunologik (TRI), teraimunoenzimatik (TIE), dan pemeriksaan sitologis.
2. Perubahan Berbagai Komponen Biokimiawi, Imunologis Dan Seluler Di Dalam Lingkungan-Mikro Zalir Peritoneal Berhubungan Dengan Gangguan Ovulasi, Endometrlosis Dan Infeksi Subklinis Sehingga Berpengaruh Terhadap Fisioiogi Reproduksi.
Fertilisasi alamiah memerlukan suasana, lingkungan-mikro serta medium yang sesuai dan normal pula. Medium tersebut merupakan hasil sekresi alamiah zalir tubuh dari saluran maupun organ reproduksi wanita, terutama ovarium (folikel matang), tuba, dan peritoneum.
Tetapi tak semua zalir itu sesuai sebagai medium fertilisasi maupun untuk perkembangan dini embrio. Untuk itu perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pH, viskositas, unsur-unsur nutrien, suhu, bebas kuman, dan tak mengandung zat-zat yang bersifat toksik terhadap garnet maupun embrio dini. Keunggulan zalir peritoneal dibandingkan dengan zalir tubuh lainnya ialah mengandung unsur hormon yang cukup besar. Unsur ini dibutuhkan untuk memelihara maturasi ovum segera setelah ovulasi eksternal.
Hingga kini sebagian besar ahli masih beranggapan bahwa fertilisasi in vivo yang normal terjadi di ampula tuba Falloppii. Tetapi akhir-akhir ini, dipertanyakan di manakah tempat yang sebenarnya dari proses fertilisasi itu : di ampula tuba, di bagian distal tuba, ataukah di rongga/zalir peritoneal. Hal ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan klinis dari kehamilan yang terjadi maupun pada bukti-bukti laboratoris pada hewan percobaan.
Percobaan fertilisasi dan biakan embrio di dalam kamar mikrodifusi yang dilakukan oleh Jewgenow pada tahun 1984 misalnya, telah membuktikan bahwa zalir peritoneal berperan sebagai medium yang penting untuk fertilisasi.
Beberapa peneliti lain telah mengungkapkan pula betapa pentingnya peran zalir peritoneal dalam fertililas dan proses fertilisasi. Di sini sekurang-kurangnya lingkungan-mikro zalir peritoneal berfungsi sebagai medium hantaran awal gamet maupun sebagai medium fertilisasi dan pembelahan, baik ketika di rongga peritoneal (kavum Douglas) maupun ketika telah terisap ke dalam tuba Falloppii. Dengan demikian peranan zalir peritoneal dalam kegagalan fertilisasi perlu mendapat perhatian yang lebih bcsar.
Zalir peritoneal merupakan lingkungan-mikro yang senantiasa membasahi tuba maupun ovarium dan mengandung aneka unsur biologis. Dengan demikian zalir ini bertindak sebagai zona dinamik dari interaksi garnet. Dikarenakan sifatnya yang peka, maka setiap pengaruh patologis mampu memberikan dampak negatif terhadap proses reproduksi. Pengaruh patologis tersebut adalah gangguan ovulasi, infeksi dan endometriosis. Pada keadaan ini terjadi perubahan fisis, biokimiawi, imunologis, dan seluler lingkungan-mikro zalir peritoneal. Pengaruhnya tampil sebagai: (a) perubahan volume zalir peritoneal sepanjang siklus haid pada pasien-pasien dengan dan tanpa endometriosis; (b) perubahan konsentrasi steroid seks ovarium misalnya 17β-estradiol dan progesteron, steroid adrenal (kortisol dan DHEAs), hormon lain seperti (6-k-PGF1 dan TxB, (c) pengaruh endometriosis terhadap berjenis senyawa tersebut; (d)perubahan dari unsur-unsur seluler, beberapa imunoreaktan, enzim, pelanda keganasan, beberapa protein spesifik, elektrolit, serta (e) gangguan migrasi spermatozoa ke rongga peritoneal.
Perubahan kadar beberapa hormon zalir peritoneal juga dipengaruhi oleh siklus haid dan ada atau tiadanya ovulasi.24 Seringkali gangguan ovulasi yang ditetapkan dengan pemeriksaan kadar progesteron serum lase luteal madya, tidak sesuai dengan kenyataan yang ditemukan secara laparoskopis. Sedangkan temuan bintik ovulasi per laparoskopi pun tidak lagi dapat dipakai sebagai pegangan tunggal untuk memastikan ovulasi yang disertai dengan terbebasnya ovum keluar dari folikel yang malang.
Pada sindroma LUF (Lureinized Unruptured Follicle Syndrome), misalnya, dapat dijumpai ovulasi secara klinis dan laboratoris serta korpus luteum pada laparoskopi. Tetapi perubahan hormonal di dalam zalir peritonealnya memperlihatkan adanya ovulasi yang diikuti dengan terperangkapnya ovum diantara sel-sel granulosa. Sindroma LUF yang terjadi berulang-ulang merupakan pencetus timbulnya endometriosis pelvik akibat memburuknya suasana di dalam zalir peritoneal.
Lebih lanjut, sekalipun lesinya sangat minimal, adanya endometriosis akan meningkatkan kadar prostaglandin dan prostanoid zalir peritoneal sehingga meninggikan motilitas tuba. Hipermotilitas tuba yang terjadi itu dapat mengganggu migrasi spermatozoa maupun pengangkutan ovum atau zigot.
Kegagalan fertilisasi dapat pula ditimbulkan oleh perubahan seluler dalam lingkungan-mikro zalir peritoneal. Pada keadaan normal zalir peritoneal?."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
D154
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyakit Kikuchi-Fujimoto pertama kali dilaporkan oleh dua orang ahli patologi secara terpisah di Jepang. Penyakit ini termasuk idiopatik, merupakan self limited necrotizing lymphadenitis. Manifestasi klinik berupa pembesaran kelenjar limfe leher yang multipel, yang disertai gejala demam, nyeri otot, leukopeni dan kemerahan pada kulit. Makalah ini melaporkan satu kasus penyakit Kikuchi-Fujimoto yang pertama terdiagnosis pada seorang anak perempuan usia 12 tahun di RS.Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Med J Indones 2004; 14: 107-12)

Kikuchi-Fujimoto disease (KFD) was first reported by 2 Japanese pathologists, Kikuchi and Fujimoto, independently in 1972. KFD is an idiopathic, self-limited necrotizing lymphadenitis. The most common clinical manifestation is cervical lymphadenopathy accompanied by fever, myalgia, leukopenia, and skin rash. The purpose of this paper is to report the first case of Kikuchi-Fujimoto disease in a twelve year old girl in Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. (Med J Indones 2004; 14: 107-12)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (2) April Juni 2005: 107-112, 2005
MJIN-14-2-AprJun2005-107
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Margareta L. Toruan
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to determine the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had IOP elevation and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were association between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off value 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male (PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off value ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Asiah
"Tesis ini disusun untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien adolescence idiopathic scoliosis (AIS). Desain penelitian merupakan studi potong pada 100 pasien AIS yang berusia di atas 13 tahun dengan menggunakan kuesioner Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) sebagai alat ukur kualitas hidup. Dilakukan analisis faktor-faktor yang berhubungan yang meliputi faktor penyakit (usia terdiagnosis, derajat keparahan kurva, tipe kurva) faktor terapi (exercise, brace, operasi) dan faktor sosiodemografik (kelompok usia, jenis kelamin, body mass index). Hasil penelitian didapatkan skor total yaitu 3.42 ± 0.46. Didapatkan skor tertinggi pada domain nyeri yaitu 3.66 (2-5), serta skor terendah pada domain citra diri yaitu 3.33 ± 0,9. Pada faktor penyakit, didapatkan skor domain kepuasan terhadap manajemen yang lebih tinggi secara bermakna pada kurva derajat ringan. Pada faktor terapi, didapatkan skor total dan skor domain fungsi yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok exercise, skor domain citra diri dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok brace, serta skor domain citra diri yang lebih tinggi, tetapi skor domain fungsi dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok operasi. Tidak didapatkan perbedaan skor yang bermakna pada faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, body mass index).

This thesis aimed to determine the quality of life of patients with adolescent idiopathic scoliosis (AIS). The study design was a cross-sectional study of 100 AIS patients aged over 13 years using the Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) questionnaire as a measurement tool of quality of life. Analysis of related factors including disease factors (age at diagnosis, degree of curve severity, type of curve), therapeutic factors (exercise, brace, surgery), and sociodemographic factors (age group, sex, body mass index) was performed. The results showed a total score of 3.42 ± 0.46. The highest score was in the pain domain (3.66 (2-5)), and the lowest score was in the self-image domain (3.33 ± 0.9). In the disease factors, a significantly higher score of satisfaction for management was found in mild degree curve. In the therapeutic factors, a significantly higher total score and function domain score was found in the exercise group, a significantly lower in self-image and satisfaction with management domain score in the brace group, and a significantly higher self-image domain score but lower in function and satisfaction with management domain score was found in the operating group. There were no significant differences in sociodemographic factors (age, gender, body mass index)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fyrnaz Kautharifa
"Latar Belakang. Miopati inflamasi idiopatik (MII) merupakan jenis miopati acquired dengan pola kelemahan ekstremitas predominan proksimal dengan prevalensi secara global yaitu 2.4-33.8 per 100.000 per tahun. Di Indonesia, data mengenai prevalensi MII belum diketahui secara pasti namun terdapat studi mengenai profil MII di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) yaitu probable MII sebanyak 33% dan Definite MII sebanyak 67%. Keterlibatan organ ekstraskeletal dan berbagai macam faktor lain dapat berdampak pada aspek fisik, mental dan sosial yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien MII. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup pasien MII dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada Januari hingga Mei 2024 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Faktor demografis, fenotipe klinis, subtipe, pemeriksaan penunjang kegansan dan pelaku rawat dinilai hubungannya dengan kualitas hidup pasien MII. Penilaian kualitas hidup\dinilai dengan ShortForm Health Survey-36 (SF-36) versi Indonesia yang mengukur delapan domain kualitas hidup: fungsi fisik, peran fisik, nyeri tubuh, kesehatan umum, vitalitas, fungsi sosial, peran emosional, dan kesehatan mental. Hasil. Total subjek pada penelitian ini adalah 58 orang dan didominasi oleh prempuan sebanyak 69% dengan rerata usia adalah 39.09 ± 13.08 tahun. Rerata skor total SF-36 yaitu 51.07 ± 21.67, domain PCS didapatkan rerata 42.13 ± 21.68 dan domain MCS dengan median 56.00 (2-100). Faktor-faktor yang secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup pasien MII baik pada skor total meliputi nyeri, fatigue, keterbatasan fisik, kemampuan berpindah tempat, keterlibatan sendi, ansietas, depresi dan pelaku rawat sementara pada subtipe MII berupa PM memiliki skor kualitas hidup terendah bila dibandingkan dengan subtipe lainnya. Kesimpulan. Berdasarkan skor SF-36 maka kualitas hidup pasien MII lebih rendah bila dibandingkan dengan populasi normal. Beberapa faktor telah diketahui memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Tatalaksana secara komprehensif dan holistik melibatkan multidisiplin sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien MII

Background. Idiopathic inflammatory myopathy (MII) is a type of acquired myopathy with proximal predominant limb weakness and a global prevalence of 2.4-33.8 per 100,000 per year. In Indonesia, data on the prevalence of MII is not yet known with certainty, however, a recent study on the profile of MII at Cipto Mangunkusomo Hospital (RSCM) identified 33% of patients with probable MII and 67% of patients with definite MII.. Extraskeletal organ involvement and various other factors can have an impact on physical, mental and social aspects that can affect the quality of life of MII patients. This study aims to determine the quality of life of MII patients and the factors that influence it. Methods. This study used a cross-sectional design conducted from January to May 2024 at Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Demographic factors, clinical phenotypes, subtypes, supporting examinations and caregivers were assessed for their association with the quality of life of MII patients. Quality of life assessment was performed according to the recommendations of the International Myositis Assessment and Clinical Studies Group (IMACS), namely the Short-Form Health Survey-36 (SF-36) questionnaire which measures eight quality of life domains: physical function, physical role, body pain, general health, vitality, social function, emotional role, and mental health. Results. The total subjects in this study were 58 people and were dominated by women as much as 69% with an average age of 39.09 ± 13.08 years. Cutaneous manifestaons was the most common organ involvement 72.4% The mean total score of SF- 36 is 51.07 ± 21.67, the PCS domain obtained a mean of 42.13 ± 21.68 and the MCS domain with a median of 56.00 (2-100). Factors associated with the quality of life of MII patients in the total score include pain, fatigue, physical limitations, ability to move, joint involvement, anxiety, depression and perpetrators of care while the MII PM subtype has the lowest quality of life score when compared to other subtypes. Conclusion. Based on SF-36 scores, the quality of life of MII patients is lower in comparisonto the normal population. Several factors have been known to have a significant relationship with the quality of life of patients. Comprehensive and holistic management involving multidisciplinary can improve the quality of life of MII patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendar Nugrahadi Priambodo
"ABSTRAK
Latar Belakang. Uji biomekanik konstruksi instrumentasi posterior untuk koreksi
skoliosis diperlukan untuk menilai reliabilitas dan performa instrumentasi. Studi
biomekanik terkini telah memvalidasi tulang buatan merupakan pengganti yang
cocok. Densitas sekrup yang rendah dapat mencapai hasil koreksi yang baik tanpa
komplikasi. Penelitian ini membandingkan biomekanik model konstruksi tiga
instrumentasi posterior yaitu : Sekrup Pedikel Bilateral (SPB), sekrup pedikel
pada ujung proksimal, apex, ujung distal end sisi konkaf (PAD), dan PAD
ditambah kawat sublaminar pada sisi konkaf (PAD+SW).
Metode. Tiga kelompok model tulang belakang scoliosis Lenke I Synbone®
dipasang instrumentasi posterior konfigurasi SPB, PAD, PAD+SW dengan
masing masing 5 buah sampel. Setiap kelompok dilakukan uji static test dengan
diberikan gaya aksial secara gradual 50N, 100N, 150N, 200N dengan alat
Tensilon® AMD RTF-1310 buatan Jepang dengan pencatat dial indicator
Mitutoyo buatan Jepang, lalu diukur pergeseran seluruh segmen yang terpasang
instrumentasi posterior secara keseluruhan. Kekakuan yang ditandai dengan loaddisplacment
di ukur dan dianalisa.
Hasil. Kelompok SPB sebagai standar emas menunjukan pergeseran paling kecil,
diikuti dengan PAD+SW dan PAD. Didapatkan perbedaan yang bermakna dalam
hal pergeseran antara kelompok SPB, PAD dan PAD+SW pada gaya 50N
(p<0.001), 100N (p<0.001), dan 200N (p<0.001), dan tidak bermakna pad agaya
150N (p=0.086). Didapatkan pula perbedaan yang bermakna dalam hal kekakuan
antara kelompok SPB, PAD dan PAD+SW pada gaya 50N (p=0.002), 100N
(p<0.001), dan 200N (p<0.001), dan gaya 150N (p<0.001).
Simpulan. Pada uji biomekanik dengan static test menunjukan terdapat hubungan
yang signifikan antara displacement dan kekakuan pada instrumentasi posterior.
Kelompok SPB memberikan hasil paling kaku dibanding PAD+SW dan PAD.
Densitas sekrup pedikel yang rendah berakibat berkurangnya kekakuan dari
instrumentasi posterior. Penambahan kawat sublaminar dapat secara signifikan
meningkatkan kekuatan.

ABSTRACT
Introduction. Biomechanical construction test of posterior instrumentation for
scoliosis correction is needed to evaluate the reliability and instrumentation
performance. Latest biomechanical testings have validated bone model as a
suitable substitute. Low sekrup pedikel density can correct without significant
complication. This study compared biomechanics of three posterior
instrumentations: Bilateral pedicle screw (BPS), pedicle screw on proximal end,
apex, distal end concave side (PAD), and PAD with sublaminar wire at the
concave side (PAD+SW).
Method. Three groups of vertebral model of Scoliosis Lenke I Synbone® is
equipped with configurations of 15 samples posterior instrumentations divided
into three groups of BPS, PAD, PAD+SAW. Each of the static test is given axial
force gradually from 50N, 100N, 150N, and 200N using Tensilon® AMD RTF-
1310 from Japan, with dial indicator Mitutoyo, Japan,. Total displacement were
measured for each groups. Stiffness were also analyzed using load-displacement
ratio.
Result. BPS as the current gold standard showed minimal displacement, followed
by BPS, PAD and PAD+SAW for 50N (p<0.001), 100N (p<0.001), and 200N
(p<0.001) force, and was not significant for 150N (p=0.086). There was also
significant difference between the stiffness of BPS, PAD and PAD+SW for 50N
(p=0.002), 100N (p<0.001), 150N (p<0.001) and 200N (p<0.001)
Consclusion. For biomechanical testing with static test, type of posterior
intrumentations showed significance relationship with displacement and stiffness.
BPS groups were more rigid compared to PAD+SW and PAD. Low density of
sekrup pedikel resulted in the decrease of stiffness and posterior instrumentation.
Kawat sublaminar addition significantly added the strength."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Asiah
"Tesis ini disusun untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien adolescence idiopathic scoliosis (AIS). Desain penelitian merupakan studi potong pada 100 pasien AIS yang berusia di atas 13 tahun dengan menggunakan kuesioner Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) sebagai alat ukur kualitas hidup. Dilakukan analisis faktor-faktor yang berhubungan yang meliputi faktor penyakit (usia terdiagnosis, derajat keparahan kurva, tipe kurva) faktor terapi (exercise, brace, operasi) dan faktor sosiodemografik (kelompok usia, jenis kelamin, body mass index). Hasil penelitian didapatkan skor total yaitu 3.42  0.46. Didapatkan skor tertinggi pada domain nyeri yaitu 3.66 (2-5), serta skor terendah pada domain citra diri yaitu 3.33  0,9. Pada faktor penyakit, didapatkan skor domain kepuasan terhadap manajemen yang lebih tinggi secara bermakna pada kurva derajat ringan. Pada faktor terapi, didapatkan skor total dan skor domain fungsi yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok exercise, skor domain citra diri dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok brace, serta skor domain citra diri yang lebih tinggi, tetapi skor domain fungsi dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok operasi. Tidak didapatkan perbedaan skor yang bermakna pada faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, body mass index).

This thesis aimed to determine the quality of life of patients with adolescent idiopathic scoliosis (AIS). The study design was a cross-sectional study of 100 AIS patients aged over 13 years using the Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) questionnaire as a measurement tool of quality of life. Analysis of related factors including disease factors (age at diagnosis, degree of curve severity, type of curve), therapeutic factors (exercise,
brace, surgery), and sociodemographic factors (age group, sex, body mass index) was performed. The results showed a total score of 3.42  0.46. The highest score was in the
pain domain (3.66 (2-5)), and the lowest score was in the self-image domain (3.33  0.9). In the disease factors, a significantly higher score of satisfaction for management was found in mild degree curve. In the therapeutic factors, a significantly higher total score and function domain score was found in the exercise group, a significantly lower in selfimage and satisfaction with management domain score in the brace group, and a significantly higher self-image domain score but lower in function and satisfaction with management domain score was found in the operating group. There were no significant differences in sociodemographic factors (age, gender, body mass index).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Intan Fitriana
"Latar belakang: Prevalens late steroid resistance (LSR) makin meningkat pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Fungsi ginjal yang menurun dapat memperburuk prognosis LSR. Penelitian terkait mengenai faktor risiko LSR pada anak (SNI) masih terbatas, padahal pengenalan terhadap faktor risiko ini diperlukan untuk deteksi dini dan mengotimalkan terapi.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik anak yang didiagnosis SNI awitan inisial seperti jenis kelamin, usia awitan SNI, hipertensi, kadar hemoglobin, albumin, ureum, laju filtrasi glomerulus, hematuria mikroskopik dan jangka waktu sejak dinyatakan remisi dan telah menyelesaikan pengobatan inisial terhadap terjadi relaps pertama kali dapat menjadi faktor risiko LSR pada anak dengan SNI.
Metode penelitian: Penelitian kasus-kontrol dengan penelusuran retrospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di FKUI-RSCM, RSUP. Fatmawati dan RSUP. Dr. Mohammad Hoesin periode Maret-Mei 2018 yang terbagi menjadi kelompok LSR dan SNSS. Pengambilan rekam medis anak dengan diagnosis SNI yang melakukan kunjungan pengobatan di poli nefrologi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian: Dilakukan analisis pada 100 anak dengan LSR dan 100 anak dengan SNSS. Anak laki-laki didapatkan lebih banyak daripada anak perempuan pada dua kelompok dengan median usia 4,12 (1,0-17,40) tahun. Faktor yang secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI pada analisis bivariat adalah: kadar ureum ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53) dan adanya hematuria mikroskopik (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47).
Simpulan: Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI adalah kadar ureum ≥ 40 mg/dL dan terdapat hematuria mikroskopik.

Background: Prevalence of late steroid resistance (LSR) tends to be increased in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). Renal function deterioration may worsen the prognosis. Previous studies about the risk factors for LSR in children with INS were still limited, while early detection is the most important thing to do proper treatment.
Objectives: to determine whether age of onset, sex, hypertension, hemoglobin level, albumin, ureum, filtration glomerular rate, microscopic hematuria, and first relaps may influence the occurrence of LSR in children with INS. Methods. Case control study with restrospective medical record investigation was performed in INS children who visited to dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Fatmawati and dr. Mohammad Hoesin General Hospital, during March-May 2018. Case and control group was children with LSR and sensitive steroid. Bivariate and multivariate analysis to identify significant risk factors.
Results: There were each 100 children with LSR and steroid sensitive. No different of sex ratio in each group with median of age 4,12 (1,0-17,40) years old. Factors which associated significantly with LSR on bivariate analysis were ureum level ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53), microscopic hematuria (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47), and glomerular filtration rate (OR 1,43 IK 95% 0,79-2,57). Factors which associated significantly with LSR on multivariate analysis include ureum level ≥ 40mg/dL (OR 2,199; IK 95% 1,19-4,04), microscopic hematuria (OR 2,05; IK 95% 1,08-3,88).
Simpulan: Risk factors associated with LSR in INS are ureum level ≥ 40 mg/dL and microscopic hematuria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rian Septian
"Pendahuluan : Adolescent Idiopathic Scoliosis (AIS) adalah jenis skoliosis yang paling umum terjadi pada populasi pediatrik, mencakup 80% dari total kasus, dan seringkali mengakibatkan morbiditas serta hendaya kepada penderitanya. Parameter evaluasi Health Related Quality of Life (HRQL) menjadi penting karena AIS mempengaruhi kondisi klinis, sosial, dan psikologis penderitanya. Salah satu kuesioner evaluasi HRQL yang populer adalah Short Form-36 (SF-36), yang bersifat general dan telah diadaptasikan ke bahasa Indonesia. Namun, kuesioner ini tidak spesifik untuk skoliosis. Scoliosis Research Society (SRS) telah mengembangkan kuesioner HRQL spesifik untuk skoliosis, yaitu SRS-22r, yang terdiri dari 5 domain penilaian. Kuesioner ini telah diadaptasi ke berbagai bahasa, tetapi belum ada versi berbahasa Indonesia yang terdaftar di SRS. Oleh karena itu, peneliti berupaya melakukan adaptasi lintas budaya kuesioner SRS-22r agar dapat diaplikasikan pada praktik klinis di Indonesia.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk adaptasi lintas budaya, uji validitas dan reliabilitas kuesioner SRS-22r berbahasa Indonesia (SRS-22r INA) pada pasien dengan Adolescence Idiopathic Scoliosis. Penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling hingga terpenuhinya kuota sampel, berdasarkan perhitungan besar sampel untuk adaptasi kuesioner menggunakan sampel minimal untuk uji pra final, uji validitas dan uji reliabilitas.
Hasil : Terdapat 50 responden perempuan (75.8%) dan 16 responden laki-laki (24.2%). Kurva utama yang paling umum adalah thorasic (75.8%), sedangkan yang paling jarang ditemukan adalah thoracolumbar (3.0%). Sebanyak 69.7% responden dikategorikan sebagai skoliosis dengan sudut berat (Cobb angle >450). Nilai rerata kurva utama adalah 57.33, dengan nilai minimum 10.7 dan maksimum 100.2. Standar deviasi yang relatif tinggi (22.73) menunjukkan besarnya variabilitas data. Kelima domain kuesioner SRS- 22r INA tidak terkena floor effect dan ceiling effect lebih dari 15%. Uji validitas konstruksi menunjukkan bahwa domain SRS-22r INA memiliki korelasi yang tinggi dengan domain SF-36 INA. Hasil Chronbach’s alpha menunjukkan bahwa butir pertanyaan pada domain SRS-22r INA sangat reliabel.
Kesimpulan : Berdasarkan hasil adaptasi lintas budaya, uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner, SRS-22r INA merupakan kuesioner yang valid dan reliabel. Kuesioner ini dapat digunakan sebagai parameter HRQL untuk evaluasi penderita AIS di Indonesia.

Introduction : Adolescent Idiopathic Scoliosis (AIS) is the predominant form of scoliosis observed in the pediatric patient, constituting approximately 80% of all reported cases, this condition frequently leads to adverse health outcomes and functional impairments among affected patient. The assessment of Health Related Quality of Life (HRQL) is paramount due to the impact of AIS on the clinical, social, and psychological aspects of affected patient. The Short Form-36 (SF-36) is a widely used questionnaire for evaluating HRQL. It is a comprehensive tool that has been developed for use in various populations, including the Indonesian population. Nevertheless, this questionnaire lacks specificity in relation to scoliosis. The Scoliosis Research Society (SRS) has devised a dedicated HRQL survey for scoliosis, known as the SRS-22r. This questionnaire encompasses five distinct domains for evaluation. The present questionnaire has been modified and translated into other languages; nevertheless, it is worth noting that an Indonesian version is not yet included in the SRS. This study aims to conduct a cross-cultural adaptation of the SRS- 22r questionnaire to facilitate its implementation in therapeutic settings within Indonesia. Method : This study aims to achieve cultural adaptation, validity and reliability evaluation of the SRS-22r INA questionnaire in patients with Adolescence Idiopathic Scoliosis through a cross-sectional design. The present study employs the consecutive sampling technique to achieve the desired sample size, as determined by sample size calculations. The questionnaire is adapted through a preliminary testing phase followed by validity and reliability test. In addition, inclusion and exclusion criteria are established to choose participants for the study.
Result : There were 50 female respondents (75.8%) and 16 male respondents (24.2%). The most common main curve was thoracic (75.8%), while the least common was thoracolumbar (3.0%). A total of 69.7% of respondents were categorized as scoliosis with a severe angle. The average value of the main curve was 57.33, with a minimum value of 10.70 and a maximum value of 100.20. A relatively high standard deviation (22.73) indicates the amount of data variability. The five domains of the SRS-22r INA questionnaire were not affected by the floor effect and ceiling effect of more than 15%. The construct validity test showed that the SRS-22r INA domain had high correlation with the SF-36 INA domain. Chronbach’s alpha results showed that the question items in the SRS-22r INA domain were highly reliable.
Conclusion : Based cross cultural adaptation, validity testing and reliability testing, SRS- 22r INA questionnaire is valid and reliable. This questionnaire can be used as an HRQL parameter for AIS patient in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>