Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anastasya Margareth
"Artikel ini membahas subjektivitas tokoh Amélie yang terdapat di dalam film Le Fabuleux Destin d'Amélie Poulain karya Jean-Pierre Jeunet. Fokus bahasan adalah perjalanan tokoh Amélie sebagai subjek eksistensialis yang berusaha mencari esensi hidupnya. Penelitian
ini menggunakan metode kajian sinema yang diperdalam dengan konsep subjektivitas dan eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Hasil penelitian menunjukkan beberapa peristiwa dan tindakan Amélie yang menjadikannya subjek atas dirinya sendiri, menemukan esensi hidupnya,
dan menentukan pilihan secara bebas dan bertanggung jawab.
This article discusses the subjectivity of Amélie in film Le Fabuleux Destin d`Amélie Poulain, directed by Jean-Pierre Jeunet. The study focused on journey of the character of Amélie as an existentialist subject who is looking for the essence of her life. This study uses the method of cinema studies deepened with the concept of subjectivity and existentialism of Jean-Paul Sartre. This research reveals that some of the events and Amélie's actions made her a subject of herself, she also found the essence of her life, and made free and responsible choices."
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Qonita Salsa Fairuz
"Artikel ini merupakan penelitian Film Frantz (2016) karya François Ozon dengan menganalisis representasi hubungan Jerman-Prancis di dalam film yang ditunjukkan melalui tokoh-tokoh. Penelitian ini menarik untuk di teliti karena adanya hubungan tidak langsung yang terlihat melalui tokoh yang bisa merepresentasikan Jerman dan Prancis. Film ini menceritakan kedatangan Adrien sebagai orang Prancis ke Jerman untuk menghilangkan penyesalannya setelah membunuh Frantz Hoffmeister, orang Jerman, dengan mendekatkan dirinya kepada keluarga Hoffmeister dan Anna, yang berakhir dengan tidak baik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan mengkaji film sebagai sebuah teks untuk menguraikan struktur naratif dan sinematografis menggunakan teori film Boggs dan Petrie. Analisis struktur film diperdalam dengan pemaknaan menggunakan teori Roland Barthes. Untuk menjelaskan hubungan Jerman dan Prancis digunakan teori Representasi dari Stuart Hall. Analisis ini menunjukkan bahwa hubungan Jerman dan Prancis di perlihatkan tidak akan pernah menjadi baik dan perdamaian di antara mereka hanyalah sebuah utopia.

This article is a research on François Ozon's Film Frantz (2016) by analyzing the representation of German-French relations in the film as shown through the characters. This research is interesting to examine because there is an indirect relationship that can be seen through the figures that can represent Germany and France. This film tells of Adrien's arrival as a Frenchman to Germany to get rid of his regrets after killing Frantz Hoffmeister, a German, by getting closer to the Hoffmeister families and Anna, which ends badly. The method used in this research is a qualitative method by examining film as a text to describe narrative and cinematographic structures using Boggs and Petrie's film theory. The analysis of the film structure is deepened with meaning using Roland Barthes' theory. To explain the relationship between Germany and France, Stuart Hall's Representation theory is used. This research shows that the relationship between Germany and France is shown to never be good and peace between them is just an utopia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Salsabila
"Secara umum, psikoanalisis memegang peranan penting dalam pengkajian film karena komposisi narasi dan tokoh dalam sebuah film tidak dapat terlepas dari aspek psikologis. Maka dari itu, psikoanalisis menjadi salah satu cara untuk memahami lebih dalam kompleksitas dari kepribadian tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam film. Hal ini dapat ditemukan dalam film C’est pas moi, je le jure ! (2008) karya Philippe Falardeau yang menggambarkan bagaimana lingkungan keluarga dapat memengaruhi kepribadian anak, khususnya melalui tokoh utamanya, Leon Dore. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh dari id, ego, dan superego, serta kaitannya dengan prinsip kenikmatan dan prinsip kematian terhadap kebebasan bertindak tokoh Leon sebagaimana ditunjukkan dalam film. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif yang berlandaskan studi kajian sinema menurut Joseph M. Boggs dan Dennis W. Petrie (2018), didukung dengan kerangka teori psikoanalisis Sigmund Freud, yaitu struktur kepribadian (2018) serta dorongan Eros dan Thanatos (2014). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebebasan bertindak Leon dapat dimaknai sebagai ketidakseimbangan ego akibat adanya pertentangan antara id dan tekanan superego dari struktur kepribadiannya yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Selain itu, kebebasan bertindak yang juga berakar dari prinsip kenikmatan dan prinsip kematian menjadi cara bagi Leon untuk menyalurkan dorongan id yang mendominasi kepribadiannya.

In general, psychoanalysis takes a significant role in film studies because the composition of narrative and characters in a film cannot be separated from psychological aspects. Therefore, psychoanalysis is a way to understand more deeply the complexities of characters’ personalities presented in films. This can be found in the film C’est pas moi, je le jure ! (2008) by Philippe Falardeau which describes how family environment can influence a child's personality, especially through its main character, Leon Dore. This research aims to reveal the influence of the id, ego, and superego, and their relation to the pleasure principle and the death principle on Leon's freedom of action as shown in the film. The method used in this research is qualitative methodology based on film studies according to Joseph M. Boggs and Dennis W. Petrie (2018), supported by Sigmund Freud's psychoanalytic theoretical framework, which consists of the personality structure (2018) and the drive theory of Eros and Thanatos (2014). The results of this study indicate that Leon's freedom of action can be interpreted as an imbalanced ego due to the conflict between the id and the superego from his personality structure that was strongly influenced by his family environment. In addition, freedom of action, which is also rooted in the pleasure principle and the death principle, is a way for Leon to channel the drives of the id that dominate his personality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Nur Syahputri
"Salah satu periode sinema yang mengutamakan isu sosial di Prancis adalah sinema Prancis kontemporer. Dalam periode ini, segala aspek yang mendukung perfilman di negara tersebut sudah berkembang ke arah yang lebih modern dan menarik perhatian banyak masyarakat. Salah satu filmnya adalah Entre Les Murs, sebuah film karya Laurent Cantet yang menceritakan kehidupan sehari-hari sebuah sekolah di banlieue Prancis. Dalam film ini, diperlihatkan bahwa muridnya terdiri dari berbagai macam ras yang memiliki permasalahannya masing-masing. Melalui permasalahan antarras di sekolah banlieue, film ini menunjukkan konflik sosial yang terjadi di Prancis. Penelitian ini membahas tentang kehadiran citra dan prasangka tokoh Souleymane yang memunculkan stereotip rasnya, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah menunjukkan bagaimana citra dan prasangka terhadap suatu individu atau kelompok dapat melahirkan sebuah konflik pada praktiknya. Penelitian ini menggunakan dua teori, yakni teori sinema (2008) oleh Dennis W. Petrie dan Joseph M. Boggs dan teori prasangka (2018) oleh Alo Liliweri untuk membantu analisis strategi naratif film Entre Les Murs dan pembentukan stereotip ras kulit hitam melalui citra dan prasangka terhadap tokoh Souleymane. Hasil dari penelitian ini adalah sikap dan citra negatif tokoh Souleymane memunculkan berbagai perspektif dan prasangka yang berujung pada pembentukan stereotip terhadap kelompok rasnya.

One of the periods of cinema that prioritized social issues in France is contemporary French cinema. In this period, all aspects that support film in this country have developed in a more modern way and attracted the attention of many people. One of the films is Entre Les Murs, a film by Laurent Cantet that tells about the daily life of a school in banlieue France. In this film, it is shown that the students consist of various races who have their own problems. Through interracial problems at the banlieue school, this film shows the social conflicts that occur in France. This study discusses the presence of images and prejudices of the Souleymane character which give rise to his racial stereotypes, so the purpose of this research is to show how images and prejudices against an individual or group can create a conflict in practice. This study uses two theories, namely the theory of cinema (2008) by Dennis W. Petrie and Joseph M. Boggs and the theory of prejudice (2018) by Alo Liliweri to help analyze the narrative strategy of the film Entre Les Murs and the formation of stereotypes of the black race through imagery and prejudice against the character of Souleymane. The result of this study is that a character of Souleymane’s negative attitude and image can create various prejudices and lead to the formation of stereotypes against his racial group."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Amelinda Dewi Priatna
"Permasalahan kondisi masyarakat sebagai potret sosial bukan lagi hal yang asing untuk diangkat dalam bentuk film. Gambaran banlieue sebagai aspek yang berkaitan dengan isu sosial di Prancis sudah menjadi potret sosial, seperti permasalahan yang terjadi di kelompok imigran. Pada perkembangannya, film Prancis banyak mengambil isu-isu mengenai imigran, terutama imigran kulit hitam. Film Banlieusards: Street Flow (2019) karya Leïla Sy dan Kery James mengisahkan tiga bersaudara dari Senegal yang tinggal di banlieue wilayah Paris dengan konflik dan permasalahan rasial yang terjadi di dalamnya. Berdasarkan paparan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan usaha tokoh melawan stigma dan bentuk tindakan rasisme imigran kulit hitam yang dihadirkan dalam film. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan struktur naratif dan sinematografis Boggs dan Pettrie untuk kajian film, teori interaksi simbolik George Herbert Mead untuk menganalisis konsep rasisme, serta teori stigmatisasi Erving Goffman untuk menganalisis konsep stigma pada film. Hasil dari analisis, ditemukan bahwa rasisme dan stigma negatif terhadap tokoh Soulaymaan, Demba, dan Noumouké dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang status dan kedudukan yang bisa mengarah pada tindakan diskriminasi. Stigma negatif dan tindakan rasisme yang Soulaymaan, Demba, dan Noumouké dapatkan sebagai imigran kulit hitam pada film Banlieusards dapat didobrak dan dibantah dengan prestasi tanpa harus mengubah budaya asli asalnya dan tradisi.

The issue of the condition of society as a social portrait is no longer a strange thing to be raised in the form of a film. The image of banlieue as an aspect related to social issues in France has become a social portrait, such as the problems that occur in immigrant groups. In its development, many French films took issues about immigrants, especially black immigrants. The film Banlieusards: Street Flow (2019) by Leïla Sy and Kery James tells the story of three brothers from Senegal who live in the banlieue area of ​​Paris with conflicts and racial problems that occur in them. Based on this explanation, this study aims to show the character's efforts to fight the stigma and forms of racism of black immigrants that are presented in the film. This study uses a qualitative method by using Boggs and Pettrie's narrative and cinematographic structure for film studies, George Herbert Mead's symbolic interaction theory to analyze the concept of racism, and Erving Goffman's stigmatization theory to analyze the concept of stigma in films. The results of the analysis, it was found that racism and negative stigma against the characters Soulaymaan, Demba, and Noumouké can be done by anyone regardless of status and position which can lead to acts of discrimination. The negative stigma and acts of racism that Soulaymaan, Demba, and Noumouké get as black immigrants in the film Banlieusards can be broken and refuted with achievements without having to change their native culture and traditions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Resha Zoya Az-Zahra
"Dalam film Prancis kontemporer, banlieue biasanya digambarkan sebagai tempat yang maskulin dan represif yang didominasi oleh laki-laki. Dengan adanya dominasi laki-laki, perempuan di ruang ini harus secara konstan menghadapi sistem patriarki yang ada. Artikel ini membahas bagaimana tokoh perempuan di dalam film Bande de Filles terus-menerus didorong untuk tunduk pada stereotip gender di banlieue dan bagaimana mereka menunjukkan resistensi sebagai alat pertahanan diri mereka terhadap stereotip gender tersebut. Bande de Filles adalah sebuah film bergenre drama yang disutradarai oleh Céline Sciamma. Film ini berfokus pada proses pencarian jati diri dan identitas seorang remaja perempuan kulit hitam yang tinggal di banlieue Paris. Metode yang digunakan adalah kajian film Boggs &Petrie (2008), konsep resistensi James Scott (1990) dan konsep stereotip gender Linda Brannon (2015). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deksriptif. Struktur naratif film memperlihatkan alur cerita yang digerakkan oleh kehidupan Marieme sebagai remaja perempuan kulit hitam di banlieue. Hasil analisis memperlihatkan resistensi secara implisit dan konstan oleh tokoh perempuan sebagai alat pertahanan diri dari stereotip gender yang ditekankan oleh para lelaki. Melalui penelitian ini juga terlihat resistensi yang dilakukan oleh tokoh perempuan utama berhasil menunjukkan pengembangan karakter yang signifikan terhadap pencarian jati diri dan identitasnya sebagai perempuan.

In contemporary French films, the banlieue is usually depicted as a masculine and repressive place dominated by men. With the dominance of men, women in this space must constantly face the existing patriarchal system. This article discusses how the female characters in the film Bande de Filles are constantly pushed to submit to gender stereotypes in banlieue and how they show resistance as a means of self-defense against these gender stereotypes. Bande de Filles is a drama genre film directed by Céline Sciamma. This film focuses on the process of finding the identity and identity of a black teenage girl who lives in banlieue Paris. The method used is the study of the film by Boggs & Petrie (2008), the concept of resistance by James Scott (1990) and the concept of gender stereotypes by Linda Brannon (2015). This research is a qualitative research with descriptive method. The film's narrative structure shows a storyline that is driven by Marieme's life as a black teenage girl in banlieue. The results of the analysis show implicit and constant resistance by female characters as a means of self-defense from gender stereotypes emphasized by men. Through this research, it can also be seen that the resistance carried out by the main female character succeeded in showing significant character development towards the search for identity and identity as a woman."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sasja Louisa Kurniawan
"Pada masa perfilman Prancis kontemporer muncul banyak film yang dibuat oleh sutradara-sutradara perempuan. Film karya sutradara perempuan ini memberikan pemahaman baru dalam ranah perfilman Prancis karena menyajikan film dari sudut pandang perempuan. Biasanya, tema yang diangkat dalam sinema perempuan seputar diskriminasi dan ketidaksetaraan gender. Film Je Ne Suis Pas Un Homme Facile merupakan film bertema gender. Penelitian ini bertujuan untuk mengemukakan kritik terhadap ketidaksetaraan gender dalam film Je ne suis pas un homme facile karya Eleonore Pourriat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan didukung oleh teori kajian film dari Joseph Boggs dan Dennis Petrie untuk menganalisis struktur film. Setelah itu, analisis ini akan diperdalam dengan mengaitkan ketidakadilan yang dialami tokoh dengan teori objektivikasi dari Martha C. Nussbaum dan teori dekonstruksi dari Jacques Derrida. Hasil analisis ditemukan adanya objektivikasi terhadap pihak yang mendapatkan peran gender feminin dalam film. Objektivikasi ini membantu Damien mendekonstruksi pemikirannya mengenai perempuan yang mengarah ke usaha penyetaraan gender. Film ini berusaha menunjukkan bahwa dekonstruksi dari posisi pihak maskulin dalam masyarakat pun tidak menciptakan dunia ideal selama peran gender maskulin dan feminin masih berlaku dalam masyarakat.

During contemporary French cinema period, there were many films made by female directors. These films provide a new understanding because the films narate from a women's point of view. Usually, the themes revolve around gender discrimination and inequality. Je Ne Suis Pas Un Homme Facile is a gender-themed film. This study aims to present critique on gender inequality on the film Je ne suis pas un homme facile by Eleonore Pourriat. The research is using a qualitative method and is supported by the theory of film studies from Joseph Boggs and Dennis Petrie to analyze the structure of the film. The analysis will be deepened by linking the injustices experienced by the characters with the objectification theory of Martha C. Nussbaum and the deconstruction theory of Jacques Derrida. The results found that there was objectification given to those who received feminine gender roles in the film. This objectification helps Damien deconstruct his thinking about women which leads to gender equality efforts. This film tries to show that the deconstruction of the position of the masculine gender roles in society does not create an ideal world as long as the masculine and feminine gender roles are still valid in society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelle Julie Adhiwarni
"Artikel ini membahas dinamika kepribadian tokoh Amy, tokoh utama dalam film Mignonnes karya Maïmouna Doucouré. Film ini menceritakan kisah seorang anak imigran di Prancis yang dihadapkan oleh dua lingkungan berbeda, dalam segi budaya, agama, tradisionalisme, serta generasi, dari keluarga dan lingkup pertemanannya. Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi dinamika kepribadian tokoh Amy dalam film yang dipengaruhi oleh represi media sosial serta ekspektasi lingkungan yang harus dipenuhi Amy. Metode penelitian yang digunakan dalam analisis ini adalah teori film Boggs dan Petrie (2018) dengan pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud (2018) dalam struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan superego untuk mengkaji kompleksitas penolakan dan penerimaan diri Amy. Struktur naratif dan sinematografis teks menunjukkan adanya hubungan penolakan dan penerimaan antara Amy dengan lingkungannya. Hasil analisis menunjukkan represi media sosial yang sangat memengaruhi pola pikir Amy dalam pembentukan perempuan serta menuntut adanya pengabaian superego yang pada akhirnya menjadi titik Amy mampu menerima diri sendiri. Film Mignonnes menunjukkan banyak bahaya media sosial sehingga film ini juga merupakan salah satu alat yang mengkritik media sosial dalam membentuk persepsi perempuan saat ini.

This article discusses the personality dynamics of Amy, the main character in Maïmouna Doucouré's Mignonnes. The movie tells the story of an immigrant child in France who is confronted by two different environments, in terms of culture, religion, traditionalism, from her family and circle of friends. This article aims to identify the dynamics of Amy's personality in the movie that is influenced by social media repression and environmental expectations that Amy must fulfil. The research method used in this analysis is Boggs and Petrie's (2018) film theory with Sigmund Freud's (2018) psychoanalytic approach in the personality structure consisting of id, ego, and superego to examine the complexity of Amy's self-rejection and acceptance. The narrative and cinematographic structure of the text shows the relationship of rejection and acceptance between Amy and her environment. The results of the analysis show the repression of social media that greatly influences Amy's mindset in the formation of women and requires the abandonment of the superego which is ultimately the point at which Amy is able to accept herself. The film Mignonnes shows the many dangers of social media so that this film is also one of the tools that criticise social media in shaping the perception of women today."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Etik Wahyuningtyas
"ABSTRAK
Homoseksualitas merupakan sebuah isu yang belakangan ini masih dianggap tabu
oleh sebagian besar masyarakat dunia. Meskipun demikian, homoseksualitas kini
menjadi sebuah hal yang menarik dalam studi literatur, khususnya perjuangan
kaum homoseksual dalam mencari persamaan hak di masyarakat. Skripsi ini
menganalisa film Milk (2008), disutradarai oleh Gus Van Sant, dengan
menggunakan teori representasi serta mise en scène untuk melihat tokoh Harvey
Milk. Kedua pendekatan tersebut digunakan untuk membuktikan bahwa sosok
Harvey Milk merupakan sebuah representasi perjuangan kaum homoseksual di
ranah publik. Konflik yang ada menunjukkan sikap publik Amerika terhadap
homoseksualitas pada 1970-an. Hasil penelitian ini menunjukkan Harvey Milk
sebagai seorang homoseksual tidak konvensional yang tidak malu menunjukkan
identitasnya. Harvey Milk juga menghadapi beberapa tahapan perubahan
penampilan sebagai sebuah strategi dan negosiasi dengan masyarakat
heteroseksual yang mendominasi.

ABSTRACT
Homosexuality is an issue that a majority of people in the world consider as a
taboo. Nevertheless, homosexuality continues to become an interesting topic in
literary studies, particularly the struggle of homosexuals to earn their equality in
the public realm. This thesis analyzes the movie Milk (2008), directed by Gus Van
Sant by applying representation theory and mise en scène of the movie to look at
the character Harvey Milk. Both approaches are used to prove that the character
Harvey Milk is a representation of the homosexual's struggle in the public sphere.
His conflict shows the American public attitude towards homosexuality in the
1970s. This result of the research indicates Harvey Milk as a unconventional
homosexual who was not ashamed to show his identity. Harvey Milk also faced
some stages of changing his appearance as a strategy and negotiation with the
dominating heterosexual society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S1903
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deanita Adharani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dari film Kaguya Hime no Monogatari yang diadaptasi dari cerita rakyat Taketori Monogatari. Sebagaimana yang dipaparkan Linda Hutcheon dalam teorinya mengenai adaptasi, tidak ada karya adaptasi yang dibuat sama persis dengan karya yang menjadi rujukan adaptasinya. Penelitian ini menggunakan metode Feminist Reading dan kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian, ditemukan dua perbedaan besar antara cerita rakyat dan film. Poin pertama adalah relasi tokoh kakek dan kaisar yang menggambarkan relasi kuasa patriarki terhadap tokoh Kaguya Hime. Relasi kuasa pada cerita rakyat digambarkan dengan baik-baik saja, sementara di dalam film, relasi kuasa digambarkan sebagai antagonis terhadap tokoh utama. Poin kedua adalah penggambaran tokoh Kaguya Hime di dalam cerita. Tokoh Kaguya Hime diceritakan dengan berafiliasi pada kecantikan penampilannya dalam versi cerita rakyat, sementara di dalam film, ia diafiliasikan dengan kebebasan dalam berekspresi. Kedua perbedaan tersebut mengerucut ke dalam sebuah gagasan bahwa dalam cerita rakyat, sistem patriarki seolah terlihat baik-baik saja sementara di dalam film, sistem patriarki adalah sesuatu yang bermasalah. Berangkat dari gagasan ini, apabila karya adaptasi dikaitkan dengan keadaan sosial masyarakat Jepang pada saat film ini diproduksi, yaitu tahun 2010an, film ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah refleksi keadaan masyarakat patriarki di Jepang yang didominasi oleh laki-laki dan mendiskriminasi perempuan dalam berbagai institusi.

ABSTRACT
This research is meant to seek for infidelity of Kaguya Hime no Monogatari film adaptation owards the folktale of Taketori Monogatari. As Linda Hutcheon explained in her theory of adaptation, that there is no adaptation work that is made exactly as the reference work. This research uses feminist reading approach with qualitative descriptive method. The difference lies in two big points, first, the relationship between the figure of grandfather and emperor who describes the patriarchal power relation to the character of Kaguya Hime. This patriarchal power are shown as something proper and common in the folktale version, meanwhile, in the film version, the patriarchal power are shown as the antagonist of the main character. The second point is the portrayal of Kaguya Hime's character in the story. Kaguya Hime in the folktale version is affiliated with beauty and beautiful appearance, meanwhile, in the film version, she is affiliated with freedom and expression. Based on this finding, it can be simplified that, patriarchy in the folktale version is shown as if nothing was wrong, while in the film, it is shown as a problem. Departing from this findings, the film can be interpretedas a reflection of patriarchal hegemony in Japan that dominated by males and discriminates females in many institution."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>