Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riski Muhaimin
"ABSTRAK
Latar belakang: Spasme infantil (SI) sering dikaitkan dengan kejang yang sulit terkontrol dan timbulnya disabilitas intelektual yang berat. Pengobatan SI dengan
ACTH saat ini di Indonesia sangat terbatas. Data mengenai karakteristik, penggunaan terapi, dan luaran jangka pendek berupa bebas spasme, resolusi gambaran EEG, dan angka kekambuhan pasien SI belum terdata dengan baik.
Tujuan: (1) Mengetahui insidens pasien SI. (2) Mengetahui karakteristik pasien SI. (3) Mengetahui karakteristik luaran jangka pendek pasien SI berdasarkan jenis terapi yang didapat. (4) Mengetahui faktor risiko luaran SI.(5) Membandingkan angka event free survival pasien SI berdasarkan jenis terapi yang didapat.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien SI usia 0-2 tahun yang datang ke Poliklinik Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM
dari bulan Januari 2010 hingga Desember 2015. Pengambilan data dilakukan dengan melihat data rekam medis dan wawancara kepada orangtua. Faktor- faktor yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat.
Hasil: Insidens SI selama 2010-2015 86 pasien. Pada analisis bivariat, didapatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luaran tidak bebas kejang adalah
klasifikasi simptomatik (p=0,039; RR 0,67; IK 95% 0,51-0,88), respon awal yang baik terhadap terapi awal (p<0,001; RR 2,69; IK 95% 1,75-4,14), dan jenis terapi
saat bebas kejang (p<0,001). Pada analisis multivariat, tidak didapatkan hubungan antara masing-masing faktor. Median event free survival pada kelompok ACTH dan prednison masing-masing 8 hari dan 14 hari.
Simpulan: Status bebas kejang tampaknya lebih banyak didapatkan pada pasien yang mendapat terapi ACTH dengan atau tanpa kombinasi dengna OAE. Pengobatan menggunakan prednison juga menunjukkan luaran bebas kejang yang baik dibandingkan dengan pemberian kombinasi OAE.

ABSTRACT
Background: Infantile spasm is commonly related with uncontrolled seizure and severe intellectual disabilities. Treatment of infantile spasm with ACTH is
currently limited in Indonesia. Furthermore, some data regarding characteristics, therapies, short-term outcomes - which are free interval of spasm and resolution of electroencephalography, and recurrent rate of infantile spasm, are not well documented.
Objective: (1) To obtain the incidence of infantile spasm. (2) To obtain the characteristic of infantile spasm. (3) To obtain the characteristic of short-term
outcome of infantile spasm based on the therapies given. (4) To obtain the risk factor outcome of infantile spasm. (5) To obtain the event free survival of infantile spasm based on the therapies given.
Method: This was a retrospective cohort study on infantile spasm patients aged 0-2 years old at Neurology Outpatient Clinic of Child Health Department, Cipto
Mangunkusumo General Hospital during a period of January 2010 until December 2015. Data were taken from medical record and direct interview with parents of patients. Factors that had statistically significant were analyzed with multivariate method.
Result: The incidence of infantile spasm in 2010-2015 is 86 patients? On bivariate analysis, it was found that factors which are related with no seizure-free outcome is symptomatic classification (p=0,039; RR 0,67; CI 95% 0,51-0,88), satisfied early responds prior initial treatment (p<0,001; RR 2,69; CI 95% 1,75-4,14), and types of therapies on free interval seizure (p<0,001). On multivariate analysis, it was found that there was no correlation between each factor. The median of event free survival on ACTH and prednisone groups are 8 days and 14
days, respectively.
Conclusion: Free seizure status is generally more common in patients receiving ACTH with or without the combination of anti epileptic drugs. Treatment with
prednisone also shows good seizure-free outcome compared to combination with anti epileptic drugs.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rivaldo
"Latar Belakang: Kejang demam adalah jenis kejang tersering pada anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merumuskan Rekomendasi Tata Laksana Kejang Demam pada tahun 2016 demi tercapainya tata laksana yang adekuat.
Tujuan:Mengevaluasi implementasi Rekomendasi Tata Laksana Kejang Demam IDAI 2016 dan variabilitas tata laksana kejang demam oleh dokter spesialis anak di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan instrumen kuesioner secara daring selama September-Oktober 2020. Responden penelitian ini adalah dokter spesialis anak anggota IDAI. Jawaban terkait kejang demam sesuai dengan rekomendasi diberikan nilai 1 dan jawaban tidak sesuai diberikan nilai 0 dengan rentang nilai yang mungkin 0-34,00.
Hasil : Didapatkan 181 responden dengan rerata skor 22,6 ± 7,12 dengan median 21,00 dan rentang 7,00-34,00. Komparatif median skor kelompok usia <60 tahun adalah 22,00 dan >60 tahun adalah 17,50 (p=0,007), kelompok yang lulus ≤10 adalah 22,00 dan >10 tahun adalah 20,00 (p=0,078), lokasi praktik RS adalah 21,00 dan klinik/praktik pribadi adalah 19,00 (p=0,250), jumlah pasien kejang demam perbulan 0-5 (20,00), 6-10 (22,00), >10 (23,00) (p=0,187), pernah kuliah/sosialisasi rekomendasi adalah 22,00 dan tidak pernah adalah 20,00 (p=0,109), dan lokasi kerja kabupaten adalah 22,00 dan kotamadya 21,00 (p=0,853).
Simpulan: Terdapat perbedaan tatalaksana yang signifikan antara responden kelompok usia <60 tahun dan >60 tahun, tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok lainnya.

Background: Febrile seizure is the most common type of seizure in children. The Indonesian Pediatric Association (IDAI) formulated Recommendations for Fever Seizure Management in 2016 in order to achieve adequate management.
Objective: To evaluate the implementation of the 2016 IDAI Fever Seizure Management Recommendations and the variability in the management of febrile seizures by pediatricians in Indonesia and the factors that influence it.
Methods: This study was a cross-sectional study using an online questionnaire instrument during September-October 2020. The respondents of this study were IDAI member pediatricians. Answers regarding management of febrile seizsures in accordance with the recommendations are given a value of 1 and inappropriate answers are given a value of 0 with a possible value range of 0-34.00.
Results: There were 181 respondents with a mean score of 22.6 ± 7.12 with a median of 21.00 and a range of 7.00-34.00. The comparative median score for the age group <60 years was 22.00 and> 60 years was 17.50 (p = 0.007), the group passing ≤10 was 22.00 and> 10 years was 20.00 (p = 0.078), location Hospital practice is 21.00 and clinic / private practice is 19.00 (p = 0.250), the number of patients with febrile seizures per month is 0-5 (20.00), 6-10 (22.00),> 10 (23.00). ) (p = 0.187), the time to study / socialization of recommendations was 22.00 and never was 20.00 (p = 0.109), and the regency work location was 22.00 and the municipality was 21.00 (p = 0.853).
Conclusion: There are significant differences in treatment between respondents in the age group <60 years and> 60 years, but there is no significant difference between other groups.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dheta Wiranti Sari
"[ABSTRAK
Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering ditemukan pada anak. Demam merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kejang, karena demam dapat mengganggu berbagai proses metabolik yang akhirnya meningkatkan kepekaan sel otak sehingga terjadi pengeluaran listrik abnormal serta kejang. Masalah keperawatan yang sering teridentifikasi pada kejang epilepsi yang dipicu demam adalah risiko cedera, hipertermia, dan risiko infeksi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi dalam mengatasi masalah keperawatan hipertermia yaitu kombinasi pemberian antipiretik dengan kompres hangat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan diketahui bahwa terjadi penurunan suhu tubuh dalam rentang 0,4ºC-0,6º, setelah mandapatkan kompres hangat disertai pemberian antipiretik pada anak, saat pengukuran di menit ke 30. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam manajemen nonfarmakologis untuk mengatasi masalah keperawatan hipertermia, karena intervensi kompres hangat disertai pemberian antipiretik cukup efektif untuk menurunkan suhu tubuh ketika anak demam serta mengeliminasi salah satu pemicu terjadinya kejang.;ejang merupakan masalah neurologi yang paling sering ditemukan pada anak. Demam merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kejang, karena demam dapat mengganggu berbagai proses metabolik yang akhirnya meningkatkan kepekaan sel otak sehingga terjadi pengeluaran listrik abnormal serta kejang. Masalah keperawatan yang sering teridentifikasi pada kejang epilepsi yang dipicu demam adalah risiko cedera, hipertermia, dan risiko infeksi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi dalam mengatasi masalah keperawatan hipertermia yaitu kombinasi pemberian antipiretik dengan kompres hangat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan diketahui bahwa terjadi penurunan suhu tubuh dalam rentang 0,4ºC-0,6º, setelah mandapatkan kompres hangat disertai pemberian antipiretik pada anak, saat pengukuran di menit ke 30. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam manajemen nonfarmakologis untuk mengatasi masalah keperawatan hipertermia, karena intervensi kompres hangat disertai pemberian antipiretik cukup efektif untuk menurunkan suhu tubuh ketika anak demam serta mengeliminasi salah satu pemicu terjadinya kejang.;ejang merupakan masalah neurologi yang paling sering ditemukan pada anak. Demam merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kejang, karena demam dapat mengganggu berbagai proses metabolik yang akhirnya meningkatkan kepekaan sel otak sehingga terjadi pengeluaran listrik abnormal serta kejang. Masalah keperawatan yang sering teridentifikasi pada kejang epilepsi yang dipicu demam adalah risiko cedera, hipertermia, dan risiko infeksi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi dalam mengatasi masalah keperawatan hipertermia yaitu kombinasi pemberian antipiretik dengan kompres hangat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan diketahui bahwa terjadi penurunan suhu tubuh dalam rentang 0,4ºC-0,6º, setelah mandapatkan kompres hangat disertai pemberian antipiretik pada anak, saat pengukuran di menit ke 30. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam manajemen nonfarmakologis untuk mengatasi masalah keperawatan hipertermia, karena intervensi kompres hangat disertai pemberian antipiretik cukup efektif untuk menurunkan suhu tubuh ketika anak demam serta mengeliminasi salah satu pemicu terjadinya kejang.;ejang merupakan masalah neurologi yang paling sering ditemukan pada anak. Demam merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kejang, karena demam dapat mengganggu berbagai proses metabolik yang akhirnya meningkatkan kepekaan sel otak sehingga terjadi pengeluaran listrik abnormal serta kejang. Masalah keperawatan yang sering teridentifikasi pada kejang epilepsi yang dipicu demam adalah risiko cedera, hipertermia, dan risiko infeksi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi dalam mengatasi masalah keperawatan hipertermia yaitu kombinasi pemberian antipiretik dengan kompres hangat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan diketahui bahwa terjadi penurunan suhu tubuh dalam rentang 0,4ºC-0,6º, setelah mandapatkan kompres hangat disertai pemberian antipiretik pada anak, saat pengukuran di menit ke 30. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam manajemen nonfarmakologis untuk mengatasi masalah keperawatan hipertermia, karena intervensi kompres hangat disertai pemberian antipiretik cukup efektif untuk menurunkan suhu tubuh ketika anak demam serta mengeliminasi salah satu pemicu terjadinya kejang., ejang merupakan masalah neurologi yang paling sering ditemukan pada anak. Demam merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kejang, karena demam dapat mengganggu berbagai proses metabolik yang akhirnya meningkatkan kepekaan sel otak sehingga terjadi pengeluaran listrik abnormal serta kejang. Masalah keperawatan yang sering teridentifikasi pada kejang epilepsi yang dipicu demam adalah risiko cedera, hipertermia, dan risiko infeksi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi dalam mengatasi masalah keperawatan hipertermia yaitu kombinasi pemberian antipiretik dengan kompres hangat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan diketahui bahwa terjadi penurunan suhu tubuh dalam rentang 0,4ºC-0,6º, setelah mandapatkan kompres hangat disertai pemberian antipiretik pada anak, saat pengukuran di menit ke 30. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam manajemen nonfarmakologis untuk mengatasi masalah keperawatan hipertermia, karena intervensi kompres hangat disertai pemberian antipiretik cukup efektif untuk menurunkan suhu tubuh ketika anak demam serta mengeliminasi salah satu pemicu terjadinya kejang.]"
2015
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prinnisa A. Jonardi
"Kejang demam, riwayat keluarga dan pencitraan merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1989. Penentuan jenis klasifikasi berguna untuk penatalaksanaan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis tahun 1995-2010 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data diolah dengan multivariat regresi logistik. Dari hasil penelitian ini, didapat sampel sebanyak 99 orang dengan rincian laki-laki 53,4%, perempuan 46,5%. Pasien terbanyak pada kelompok umur 0-2 tahun 12 bulan (37,4%). Terdapat kebermaknaan yang signifikan pada hubungan antara pencitraan dengan klasifikasi epilepsi (p < 0,001). Tidak terdapat kebermaknaan yang signifikan terhadap hubungan antara riwayat epilepsi keluarga (p = 0,393) dan riwayat kejang demam ( p = 0,161) dengan klasifikasi epilepsi. Pencitraan merupakan faktor yang berpengaruh paling besar (OR = 16,725) terhadap penentuan jenis klasifikasi epilepsi bila dibandingkan dengan riwayat epilepsi keluarga dan riwayat kejang demam.

Febrile seizure, family history, and imaging are factors that determine the classification of epilepsy based on ILAE 1989. The classification is important to patient's treatment.This study used medical record from Pediatric Department of RSCM in 1995-2010. This study is a cross-sectional analytic. The data was proceed with multivariate logistic regression. There are 99 sample, 53.4% are male and 46.5% female. The most distribution of patient's age is in 0-3 years (37.4%). There is significant results in correlation between imaging with epilepsy classification (p<0.001) and there are less significant results between family history (p=0.393) and febrile seizure (p=0.161) with epilepsy classification. Imaging is the most powerful factor (OR = 16.725) that contribute to determine classification of epilepsy compared to family history and febrile seizure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djap Hadi Susanto
"Insidens kejang demam pada anak-anak cukup tinggi yaitu antara 2,2%-9,8% dan sekitar 3% anak-anak sebelum umur 5 tahun akan mengalami paling sedikit satu kali serangan kejang demam. Penyebab pasti terjadinya kejang demam pada anak sampai saat ini belum diketahui. Kejang demam pada anak dapat menimbulkan komplikasi antara lain paralisis, penurunan kecerdasan maupun kerusakan sel-sel neuron otak yang permanen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah kejang demam dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kejang demam pada anak umur 1-72 bulan di RS Husada periode Januari Desember 1999. Melalui studi potong lintang (cross sectional) didapatkan sebanyak 418 orang pasien yang berumur 1 bulan s/d 72 bulan yang mempunyai gejala demam (suhu rektal ≥38°C).
Hasil studi memperlihatkan faktor jenis kelamin dengan OR= 1, 7946 (95% CI; 1,0011-3,2170) dan riwayat kejang dalam keluarga dengan OR=3,6509 (95% CI; 1,9438-6,8575) berhubungan secara bermakna. Faktor-faktor yang tidak bermakna adalah umur, berat badan lahir, umur kehamilan (prematuritas) dan cara persalinan. Dengan pertimbangan epidemiologis faktor umur kehamilan dimasukkan pada model akhir karena faktor ini sangat penting dalam memprediksi terjadinya kejang demam pada anak-anak.
Disarankan kepada para orang tua pasien yang anaknya mempunyai faktor risiko yaitu jenis kelamin laki-laki, lahir prematur serta mempunyai riwayat kejang dalam keluarga agar melakukan konsultasi dengan dokter untuk mencegah terjadinya kejang demam di kemudian hari. Kepada para peneliti agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingginya angka kejadian kejang demam dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian kejang demam dengan disain lain dan jumlah sampel yang lebih besar. Kepada pemerintah disarankan agar jenis kelamin anak, prematuritas dan riwayat kejang keluarga dapat dijadikan sebagai indikator dalam program screening terhadap penyakit kejang demam."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tendean, Susiana
"Kejang adalah suatu gejala yang disebabkan oleh gangguan paroksismal involunter akibat lepasnya muatan listrik di neuron otak. Manifestasi klinis kejang dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom. Penanganan kejang ditujukan untuk menghentikan kejang secepatnya dan mencari faktor penyebab yang melatarbelakangi timbulnya serangan. Penghentian kejang secepatnya diperlukan untuk mencegah terjadinya status epileptikus namun penatalaksanaan kejang sering kali tidak dilakukan secara adekuat. Pemakaian obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan kejang sulk terkontrol.
Penggunaan obat golongan benzodiazepin masih menjadi pilihan utama dalam mengatasi kejang termasuk status epileptikus karena awitan kerja obat cepat dan mempunyai efek samping yang relatif kecil. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM digunakan diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg atau diazepam intravena dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kgBB.
Penggunaan diazepam rektal mempunyai beberapa kelemahan antara lain adalah obat sering keluar kembali bersamaan dengan feses, memerlukan teknik tertentu dalam pemberian obat tersebut dan rasa enggan orangtua jika memberikan obat melalui jalur ini terutama jika pasien sudah menginjak usia remaja. Hal ini membuat dipikirkannya pemberian obat melalul jalur lain yang lebih nyaman, efektif dan tidak melibatkan akses vena. Jalur pemberian obat tersebut adalah melalui mukosa bukal. Keunggulan pemberian obat melalui mukosa bukal disebabkan oleh karena pada daerah tersebut mengandung banyak vaskularisasi dan pemberian obat melalui mukosa bukal menyebabkan obat terhindar dari first-pass effect sehingga obat cepat memasuki sirkulasi sistemik. Pemberian obat melalui mukosa bukal/sublingual disebut juga dengan oral transmucosal administration.
Beberapa kepustakaan merekomendasikan lorazepam untuk mengatasi kejang karena awitannya cepat, mempunyai waktu paruh distribusi lebih panjang sehingga efek antikonvulsan lebih lama dan mempunyai efek samping depresi pernapasan lebih kecil dibandingkan diazepam.
Penggunaan lorazepam bukal dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengatasi kejang dan menurut penelitian dikatakan bahwa pemberian antikonvulsan secara bukal lebih dapat diterima dibandingkan pemberian secara rektal karena seringkali baik orangtua, perawat maupun dokter yang memberikan pertolongan enggan dalam melakukan pemberian secara rektal.
Berdasarkan alasan tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang membandingkan pemberian lorazepam bukal dan diazepam rektal dalam tata laksana kejang pada anak. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka diajukan permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
Apakah efekfivitas lorazepam bukal dalam mengatasi kejang lebih baik dibandingkan dengan diazepam rectal.
Hipotesis: pemberian lorazepam bukal lebih efektif dibandingkan diazepam rektal dalam mengatasi kejang. Tujuan umum untuk mendapatkan alternatif obat antikonvulsan yang bekerja efektif, aman dan pemberiannya mudah dilakukan. Tujuan khusus membandingkan proporsi kejang yang terkontrol dengan lorazepam bukal dan diazepam rectal, membandingkan waktu yang diperlukan oleh lorazepam bukal dan diazepam rektal dalam mengatasi kejang, menilai efek samping secara klinis yang terjadi pada subyek penelitian setelah pemberian masing-masing obat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustikasari
"ABSTRAK
Penatalaksanaan klien dengan gangguan jiwa tidak terlepas dari empat peran perawat dalam merawat klien yaitu peran sebagai pelaksana, pendidik, pengelola dan peneIiti. Selain ke empat peran perawat tersebut juga harus didukung dengan kemampuan komunikasi yang terapeutik dari searang perawat. Sehingga dapat mendasari terjadinya perubahan perilaku klien, dan keterIibatan emosional klien dalam menjalankan terapi yang dilakukannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka diperlukan pengetahuan dan kemampuan perawat dalam melakukan asuhan keperawatan secara holistik, khususnya peran perawat dalam terapi somatik dan terapi psikofarmaka yang diberikan pada klien. Pada makalah ini akan dibahas peran perawat dalam terapi somatik (ECT) dan terapi psikofarmaka, khususnya peran perawat sebagai pelaksana dan pendidik."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Gisda Irwanti
"Latar belakang. Kejang merupakan gejala disfungsi neurologis yang paling sering terjadi pada masa neonatus.Kegagalan mengatasi kejang pada tahap akut berkaitan dengan luaran perkembangan susunan saraf pusat dan kognitif yang buruk. Fenobarbital masih merupakan pilihan obat antikejang lini pertama untuk pengobatan kejang neonatus dan telah digunakan selama beberapa dekade, meskipun bukti ilmiah menunjukkan fenobarbital tidak cukup efektif dalam mengatasi kejang pada periode neonatus yaitu tidak lebih dari 50%. Studi mengenai respons terapi fenobarbital pada kejang neonatus dan  faktor risiko  yang memengaruhi masih sangat terbatas dan belum diketahui secara jelas
Metode. Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif. Penelitian dilakukan dengan penelusuran rekam medis RSCM dengan diagnosis kejang neonatus yang mendapatkan terapi fenobarbital, sejak tanggal 1 Januari 2016 - 31 Desember 2020. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons terapi fenobarbital pada kejang neonatus dan faktor-faktor risiko yang memengaruhinya. Faktor risiko yang diteliti adalah prematuritas, ensefalopati hipoksik iskemik (EHI), hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, infeksi susunan saraf pusat (SSP), perdarahan intrakranial dan jumlah tipe kejang. Analisis bivariat dan regresi multipel logistik dilakukan untuk menilai faktor risiko terhadap tidak responnya terapi fenobarbital.
Hasil. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 120 subjek neonatus. Respons terapi fenobarbital pada 3 hari pertama yaitu sebesar 72,5% dan sebesar 27,5% tidak respons. Sedangkan respons terapi pada 7 hari total pengamatan sebesar 63,3% dan sebesar 36,7% tidak respons. Berdasarkan statistik faktor risiko yang memengaruhi tidak responsnya terapi fenobarbital adalah EHI [p = 0,033; RR 1,938 ( IK 1,055 - 3,564), hipoglikemia [p= 0,03; RR 2,108 (IK 1,200 - 3,703)], perdarahan intrakranial [p = 0,013; RR 2,197 (IK 1,260 - 3,820)] dan jumlah tipe kejang [p<0,001; RR 7,292 (3,643 - 14,594)]. Jumlah tipe kejang merupakan faktor risiko yang paling signifikan [p = 0,001; RR 2,961 (IK 1,573 - 5,572)].
Kesimpulan. Respons terapi fenobarbital pada kejang neonatus di studi ini cukup tinggi yaitu sebesar  72,5% pada 3 hari pertama dan 63,3% pada total pengamatan 7 hari. Faktor risiko yang paling signifikan meningkatkan risiko tidak responsnya terapi fenobarbital pada kejang neonatus adalah jumlah tipe kejang. Jumlah tipe kejang > 1 meningkatkan risiko tidak respons terhadap terapi fenobarbital 2,9 kali dibandingkan dengan subjek dengan 1 tipe kejang.

Background. Seizure is the most common symptom of neurological dysfunction in neonates. Failure in the management of its acute stage is associated with poor neurodevelopmental and cognitive outcomes. Phenobarbital is the first-line anticonvulsant and drug of choice for treating neonatal seizures and has been used for decades, despite scientific evidence shows that phenobarbital is less effective to treat neonatal seizures, approximately no more than 50%. Studies on the response to phenobarbital therapy in neonatal seizures and its associated risk factors are still very limited and unclear.
Methods. This is a retrospective cohort study, using medical records review at Cipto Mangunkusumo hospital, from January 1, 2016 - December 31, 2020. This study aims to determine the response to phenobarbital therapy in neonatal seizures and the risk factors that influence it. The evaluated risk factors were prematurity, hypoxic ischemic encephalopathy (HIE), hypoglycemia, hyponatremia, hypocalcemia, central nervous system infections, intracranial hemorrhage and number of seizure types.
Result. A total of 120 neonates were included. The response to phenobarbital therapy in neonatal seizures is 72.5% in the first 3 days and 63.3%, in the total 7 days of observation. Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) shows to be one of the risk factors that significantly influence negative response [p = 0,033; RR 1,938 (95%CI 1,055 - 3,564), followed by hypoglycemia [p= 0,03; RR 2,108 (95%CI 1,200 - 3,703)], intracranial bleeding [p = 0,013; RR 2,197 (95%CI 1,260 - 3,820)] dan number of seizure types [p<0,001; RR 7,292 (95%CI 3,643 - 14,594)]. Number of seizure types more than one types was the most significant risk factor [p = 0,001; RR 2,961 (95%CI 1,573 - 5,572)].
Conclusion. This study shows 72.5% neonatal seizures responded to phenobarbital in the first 3 days and 63.3% on the 7th day. The most significant risk factors of not responding to phenobarbital therapy is the number of seizure type. Seizure type > 1 increased the risk of not responding to phenobarbital therapy 2,961 times compared with subjects with just 1 seizure type.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Amalia
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejang merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor primer intrakranial dan penyebab utama morbiditas terhadap pasien.Pemeriksaan EEG diperlukan untuk menentukan kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor pada MRI yang akan menentukan prognosis kejang serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor. Belum adanya data mengenai kejang pada tumor primer intrakranial serta kesesuaian berdasarkan gambaran EEG dan MRI menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan.Mengetahui kesesuaian antara aktivitas epileptiform pada EEG dan lesi tumor dengan MRI pada pasien tumor primer intrakranial dengan klinis kejang. Metode.Desain penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional).Subyek penelitian adalah semua pasien dengan tumor primer intrakranial yang ada di ruang rawat inap dan rawat jalan neurologi, bedah saraf, radiologi RS Cipto Mangunkusumo yang sudah dilakukan EEG dan MRI.Ditentukan aktivitas epileptiform dan dianalisa kesesuaiannya dengan lokasi tumor berdasarkan MRI. Hasil.Dari 33 subyek dengan tumor primer intrakranial dengan klinis kejang , didapatkan hanya 17 subyek yang menunjukkan aktivitas epileptiform (51,5%), perempuan lebih banyak dari lelaki, dengan rerata usia adalah 34 tahun. Sebagian besar mengalami kejang parsial dan secondary generalized seizure(SGS) merupakan tipe kejang parsial terbanyak (16 dari 17 subyek). Kejang sering ditemukan pada tumor di frontal (11 dari 17 subyek) dan pada jenis tumor primer Low grade(8 dari 17 subyek). Kesesuaian aktivitas epileptiform dengan lokasi tumor didapatkan pada 8 dari 17 subyek dengan lebih banyak yang sesuai pada lobus temporal. Kesimpulan.Dari seluruh pasien tersangka tumor primer intrakranial dengan klinis kejang hanya didapatkan 8 dari 17 subyek yang sesuai antara aktivitas epileptiform pada EEG dengan lesi tumor pada MRI.Gambaran aktivitas epileptiform pada EEG tidak dipengaruhi oleh usia, bentuk bangkitan kejang, jenis tumor, lokasi berdasarkan lobus, lokasi berdasarkan parenkim otak, durasi sakit, dan ukuran tumor.

ABSTRAT
Background.Seizures are a common symptom in primary intracranial tumors and a major cause of morbidity to the patient. EEG examination is necessary to determine the suitability of the seizure focus to the location of the tumor on MRI that will determine the prognosis of seizures as well as a lot of factors that affect compatibility between focal seizures with tumor location. The absence of data on seizures in primary intracranial tumors and suitability based on EEG and MRI picture is the basis of this study. Purpose.Knowing the correspondence between epileptiform activity on EEG and MRI tumor lesions in patients with primary intracranial tumors with clinical seizures. Method.Design research is a cross-sectional study (cross-sectional). Subjects were all patients with primary intracranial tumors that exist in the inpatient and outpatient neurology, neurosurgery, radiology Cipto Mangunkusumo already done EEG and MRI. Epileptiform activity determined and analyzed for compliance with the location of the tumor by MRI. Result. From 33 subjects with primary brain tumors with clinical seizures, obtained only 17 subjects demonstrated epileptiform activity (51.5%), more women than men, with a mean age was 34 years. Most had partial seizures and secondary generalized seizures (SGS) is a type of partial seizure majority (16 of 17 subjects). Seizures are often found in tumors in the frontal (11 of 17 subjects) and the type of primary tumor Low grade (8 of 17 subjects). Suitability of epileptiform activity by tumor location obtained in 8 of 17 subjects with more appropriate in the temporal lobe. Conclusion.From all patients suspected of primary brain tumors with clinical seizures obtained only 8 of the 17 subjects that fit between epileptiform activity on EEG with tumor lesions on MRI. Picture of epileptiform activity on EEG was not influenced by age, shape seizures, tumor type, location based lobes, based on the location of the brain parenchyma, duration of illness, and tumor size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Agus Setyawati
"[ABSTRAK
Tujuan: Studi ini merupakan studi MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk menilai hubungan asimetrisitas volume, hiperintensitas T2WI FLAIR dan nilai ADC hippokampus hubungannya dengan lateralisasi kejang. Pemeriksaan MRI sekuens rutin ditambah prosedur khusus pemeriksaan hipokampus yaitu sekuens T2WI Inversion Recovery dan T2WI Fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) dapat menilai volume hipokampus. Sekuens DWI (Diffusion Weighted Image) dan ADC (Appearent Difusion Coeffesient) merupakan pemeriksaan kuantitatif.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder MRI kepala pasien dengan diagnosis epilepsi lobus temporal mesial. Dilakukan pengukuran volume pada potongan koronal sejajar sumbu hippokampus, mulai dari terlihat kepala hippokampus sebanyak 5 irisan. Melihat gambaran hiperintensitas T2WI FLAIR serta mengukur nilai ADC hippokampus dilakukan dengan meletakan ROI pada potongan aksial hippokampus terbesar pada ADC map. Analisis data dilakukan untuk menghitung nilai R Kappa hubungan masing masing variabel dan gabungan variabel.
Hasil: Jumlah subyek penelitian 54 orang, terdapat hubungan asosiasi yang cukup kuat (sedang) dan ipsilateral antara hiperintensitas T2WI FLAIR dan asimetrisitas volume dengan lateralisasi kejang dengan R Kappa sama sebesar + 0.52. Hubungan asosiasi yang lemah dan bersifat ipsi lateral dengan R Kappa + 0.37 antara nilai ADC dengan lateralisasi kejang. Hubungan asosiasi antara asimetrisitas volume dan asimetrisitas nilai ADC adalah kontralateral dengan hubungan asosiasi cukup kuat (sedang). Penentuan lateralisasi lesi dengan MRI pada masing masing variabel memiliki sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi. Hubungan asosiasi gabungan 2 dan 3 variabel adalah cukup kuat (sedang) dan bersifat ipsilateral, dengan nilai R Kappa, sensitifitas dan spesifisitanya yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan masing masing variabel.
Kesimpulan: MRI memiliki peranan penting menentukan lateralisasi kejang. Menilai hubungan dari gabungan 2 dan 3 variabel didapatkan secara statistik lebih besar hubungannya dengan lateralisasi kejang dibandingkan dengan menghubungkan masing masing variabel secara terpisah, sehingga penilaian MRI yang dilakukan untuk ke 3 variabel ini akan lebih menguatkan diagnosis sisi hipokampus yang mengalami kelainan.

ABSTRACT
Objective: This study is MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) to assess the relationship asymmetry volume, T2WI FLAIR hyperintensity and hippocampal ADC values its relationship with the lateralization of seizures. Routine MRI examination sequences plus a special procedure that hippocampal examination Inversion Recovery sequence T2WI and T2WI Fluid-attenuated inversion recovery ( FLAIR ) can assess hippocampal volume. Sequences DWI ( Diffusion Weighted Image ) and ADC ( Appearent Diffusion Coeffesient ) is a quantitative examination.
Methods: A cross-sectional study using secondary data MRI diagnosis of the patient's head with mesial temporal lobe epilepsy. Volume measurements performed on coronal slice axis parallel to the hippocampus, ranging from the visible head of the hippocampus as much as 5 slices. See picture T2WI FLAIR hyperintensity and measuring the ADC value hippocampus done by placing the ROI on axial cuts at the largest hippocampal ADC map. Data analysis was performed to calculate the value of R Kappa relationship each and combined variable.
Results: There is a fairly strong association relationship (medium) and ipsilateral between T2WI FLAIR hyperintensity volume and asymmetry with lateralization of seizures with R Kappa equal to + 0.52. A weak association relationship and are IPSI lateral with R Kappa + 0.37 between the ADC values with lateralization of seizures. Association relationship between volume and asymmetry value asymmetry ADC is contralateral to the association relationship is strong enough (medium). Determination of lateralization of lesions by MRI in each variable has a fairly high sensitivity and specificity. The combined association relationship 2 and 3 variables are strong enough (medium) and ipsilateral, with a value of R Kappa, sensitivity and spesifisitanya higher than the correlation of each variable.
Conclusion: MRI has an important role determining the lateralization of seizures. Assess the relationship of the combined second and third variables are statistically bigger obtained conjunction with lateralization of seizures compared to connecting each variable separately, so the MRI assessment carried out for 3 to this variable will further strengthen the diagnosis of hippocampal abnormalities., Objective: This study is MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) to assess the relationship asymmetry volume, T2WI FLAIR hyperintensity and hippocampal ADC values its relationship with the lateralization of seizures. Routine MRI examination sequences plus a special procedure that hippocampal examination Inversion Recovery sequence T2WI and T2WI Fluid-attenuated inversion recovery ( FLAIR ) can assess hippocampal volume. Sequences DWI ( Diffusion Weighted Image ) and ADC ( Appearent Diffusion Coeffesient ) is a quantitative examination.
Methods: A cross-sectional study using secondary data MRI diagnosis of the patient's head with mesial temporal lobe epilepsy. Volume measurements performed on coronal slice axis parallel to the hippocampus, ranging from the visible head of the hippocampus as much as 5 slices. See picture T2WI FLAIR hyperintensity and measuring the ADC value hippocampus done by placing the ROI on axial cuts at the largest hippocampal ADC map. Data analysis was performed to calculate the value of R Kappa relationship each and combined variable.
Results: There is a fairly strong association relationship (medium) and ipsilateral between T2WI FLAIR hyperintensity volume and asymmetry with lateralization of seizures with R Kappa equal to + 0.52. A weak association relationship and are IPSI lateral with R Kappa + 0.37 between the ADC values with lateralization of seizures. Association relationship between volume and asymmetry value asymmetry ADC is contralateral to the association relationship is strong enough (medium). Determination of lateralization of lesions by MRI in each variable has a fairly high sensitivity and specificity. The combined association relationship 2 and 3 variables are strong enough (medium) and ipsilateral, with a value of R Kappa, sensitivity and spesifisitanya higher than the correlation of each variable.
Conclusion: MRI has an important role determining the lateralization of seizures. Assess the relationship of the combined second and third variables are statistically bigger obtained conjunction with lateralization of seizures compared to connecting each variable separately, so the MRI assessment carried out for 3 to this variable will further strengthen the diagnosis of hippocampal abnormalities.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>