Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
J. Guwandi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
346.033 GUW k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
J. Guwandi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
346.033 2 GUW m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Radi Jamhur
Abstrak :
Lembaga Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki nilai strategis dalam kehidupan pereknomian suatu negara. Fungsi utama Bank menurut Pasal 3 Undang-Undang Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat (fungsi intermediary). Sebagai Lembaga Keuangan yang berorientasi pada bisnis, bank juga memiliki berbagai jenis usaha selain dari fungsi utama yang disebutkan sebelumnya, salah satunya adalah untuk memindahkan dana dari satu rekening ke rekening lain (transfer dana). Bentuk layanan transfer dana yang disediakan oleh Bank terdiri dari berbagai jenis antara lain transfer dana ke dalam atau luar negeri, pindah buku, real time gross settlement, dan kliring yang masing-masing dilakukan oleh Bank dengan penuh kehati-hatian. Tidak hanya bank, para nasabah juga perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dan menjunjung tinggi itikad baik dalam melakukan pemindahan serta penerimaan dana. Terdapat sebuah kasus yang terjadi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Cabang Medan dimana salah seorang petugasnya lalai dalam melakukan setor kliring sehingga dana tersebut tidak terkredit pada rekening penerima. Pihak penerima dana salah setor kliring tersebut telah menggunakan seluruh dana dan gagal untuk mengembalikan sebagian dana. Penelitian ini akan menganalisis pengaturan transfer dana berdasarkan hukum perbankan di Indonesia yang mana tersebar dalam berbagai jenis peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perbankan dan Transfer Dana serta beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu akan lebih lanjut menganalisa pertanggungjawaban penerima salah transfer dana dalam mengganti rugi kepada Bank meskipun perbuatan tersebut diawali dari kelalaian petugas bank. ......Banking institution is one of the financial institutions that has strategic value in the economic life of a country. According to Article 3 of the Banking Law of Indonesia, The main function of the Bank is to collect and distribute public funds (intermediary function). As a business-oriented Financial Institution, bank also has various types of businesses apart from the aforementioned main functions, one of which is to move funds from one account to another (transfer of funds). The form of fund transfer which provided by the Bank consist of various types, including domestic or international fund transfer, overbooking, Real Time Gross Settlement, and clearing, which carried out by the Bank with good faith. Not only bank but also customer need to apply the precautionary principle and uphold good faith in transferring and receiving funds. There was a case occurred at Medan Branch of PT Bank Negara Indonesia (Persero) where one of its officers neglected to conduct a clearing deposit so the funds were not credited to the beneficiary's account. The (wrong) recipient of clearing deposit has used all the funds and failed to return some of the funds. This study will analyze the regulations fund transfer based on banking law in Indonesia which regulate in various types of legislation such as the Banking and Funds Transfer Law and several regulations issued by Bank Indonesia and Financial Services Authority. In addition, it will further analyze the responsibility of the (wrong) recipient transfer of funds to the Bank though the act was conducted by the negligence of the bank officer.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Naomi Astrid Sridinanti
Abstrak :
Petshop merupakan salah satu usaha yang memberikan jasa pelayanannya kepada hewan peliharaan. Namun, dalam praktiknya terdapat kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha petshop yang dapat menimbulkan kerugian kepada hewan peliharaan dan pemilik hewan peliharaan tersebut. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hadir sebagai suatu landasan hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen yang merasa haknya telah dilanggar. Selain itu, terdapat beberapa peraturan lain yang juga dapat dijadikan acuan dalam memperlakukan hewan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan negara Singapura yang telah memiliki berbagai peraturan yang wajib dipatuhi oleh pemilik usaha, khususnya pemilik usaha petshop sebelum membuka usahanya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana peraturan di Indonesia terkait perlindungan terhadap konsumen dan hewan serta bagaimana perbandingannya dengan negara Singapura. ......Petshop is a business that provides services to pets. However, in practice there are negligence committed by pet shop business actors which can cause harm to the pet and the owner of the pet. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Protection exists as a legal basis to provide protection to consumers who feel their rights have been violated. In addition, there are several other regulations that can also be used as a reference in treating animals in Indonesia. This is different from the country of Singapore which already has various regulations that must be obeyed by business owners, especially pet shop business owners before opening a business. Using normative juridical research methods, this paper will analyze how regulations in Indonesia relate to the protection of consumers and animals and how they compare with Singapore.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victor Nagaputra
Abstrak :
ABSTRAK
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sistem terbuka dalam Buku III KUHPer berarti bahwa masyarakat dapat membuat perjanjian mengenai apapun, dan perjanjian itu akan mengikat para pihak secara hukum. Dalam suatu perjanjian biasanya diatur mengenai hak dan kewajiban dari para pihak. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka ia dikatakan telah melakukan wanprestasi dan pihak lainnya dapat menuntut ganti kerugian. Salah satu contoh perjanjian yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah jual beli, khususnya jual beli tanah. Jual beli tanah di Indonesia masih belum mempunyai pengaturan yang tegas, sehingga masih banyak terjadi jual beli tanah yang belum memenuhi syarat-syarat materiil dan formil. Tesis ini membahas tentang penetapan wanprestasi terhadap tergugat oleh pengadilan sebagai akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh kedua pihak. Selain itu, tesis ini juga membahas mengenai keabsahan jual beli tanah yang dilakukan tanpa adanya akta PPAT, dimana hal ini menjadi awal sebab diajukannya gugatan ke pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan tipologi eksplanatoris. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa untuk dapat menentukan seseorang melakukan wanprestasi, perlu terlebih dahulu ditentukan jenis wanprestasi apa yang telah dilakukan, dan waktu terjadinya wanprestasi. Apabila dalam perjanjian tidak ditentukan waktu pemenuhan prestasi, maka seseorang hanya dapat dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi sebanyak tiga kali. Selain itu, wanprestasi hanya terjadi apabila salah satu pihak lalai dalam memenuhi prestasinya. Apabila kedua pihak sama-sama melakukan kelalaian, maka pihak yang satu tidak dapat mengatakan pihak lainnya melakukan wanprestasi. Hal ini disebut dengan exceptio non adimpleti contractus. Jual beli tanah yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT adalah sah sepanjang syarat materiil telah terpenuhi. Syarat materiil berkaitan dengan keabsahan jual beli, sedangkan syarat formil berkaitan dengan pembuktian dan pendaftaran peralihan hak. Meskipun jual beli tanahnya tetap sah, akan tetapi apabila syarat formil tidak dipenuhi, hal ini dapat membawa kesulitan bagi pembeli di kemudian hari, karena peralihan haknya tidak dapat didaftarkan, dan sertipikat tanahnya masih atas nama penjual.
ABSTRACT
An agreement acts as a law to every parties involved in making it. Indonesian Law of Contract has an open system, which means that anybody can make any kind of deals or agreements, and those agreements will lawfully bind them. Terms of a contract usually consists of rights and deeds of both parties involved. If a party fails to do his deed, then it is said that he has defaulted, and the other party can claim for compensation. One of the most common agreement that can be seen in our daily life is Sale agreement, specifically Land Sale Agreement. Indonesia doesn't have a strict and concrete rule for Land Sale yet, so there are still many Land Sale Agreements that happen without the fulfilling the requirements or conditions for Land Sale. This thesis reviews a default by court order as a result of an oversight by both parties in an agreement. This thesis also reviews the legality of a Land Sale that is done without the Sale Deed by PPAT, which is the cause of the petition to court. The method for making this thesis is literature research. The result of this research reveals that to declare someone as default, we must first decide the type of default, and the time when it happens. If the contract or agreement doesn?t have the specific deadline to do the deed, then a party can only be declared as default if he has been given warning or sommation thrice. Besides, a default can only happen if a party fails to do his deed, whether by intention or not. If neither parties fulfill their deeds, then one can?t declare the other as default. In Law of Contract, this is called exceptio non adimpleti contractus. Land Sale that is done without a deed from PPAT is legal, as long as the material requirements are met. The material requirements decide the legality of the sale, while the formal requirements are for proving and registering the sale. Though the sale is legal, if the formal requirements are not met, it can cause some problems and difficulties to the buyer in the future, because the sale can't be registered, and the Land Deed will still have the seller's name in it.
2016
T46192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviana Tri Utama
Abstrak :
Dalam melaksanakan jabatannya, Notaris diwajibkan membuat buku daftar akta atau yang dikenal dengan sebutan Repertorium dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapannya baik dalam bentuk minuta akta maupun originali. Penomoran minuta akta maupun salinan akta harus berdasarkan nomor yang terdaftar dalam buku daftar akta. Penomoran akta harus urut sesuai dengan waktu pembuatan akta dan setiap akta tidak boleh memiliki nomor yang sama dalam tanggal yang sama. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Keabsahan akta yang yang sudah mendapatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal penomoran akta sama dengan akta lainnya, 2)Akibat hukum terhadap akta yang mempunyai nomor yang berbeda antara salinan dan minutanya dan 3)sanksi hukum terhadap kesalahan penomoran akta. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yuridis normatif dan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sepanjang syarat-syarat otentitas akta seperti syarat formal, syarat materiil dan syarat lahiriah akta tersebut terpenuhi maka akta tersebut tetap autentik meskipun terdapat dua akta Notariil yang berbeda pada hari dan tanggal yang sama.Akibat hukum terhadap akta yang mempunyai nomor yang berbeda antara salinan dan minutanya adalah adanya pelanggaran administratif dalam salinan akta tersebut akan tetapi autentisitas akta tersebut tidak terpengaruh. Sebelum Notaris mengeluarkan salinan akta, Notaris wajib melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap minuta akta, repertorium, identitas-identitas serta dokumen-dokumen yang dilekatkan pada minuta akta untuk menghindari kesalahan pada salinan akta.
In carrying out its position, Notary is required to make a list of deeds or known as Repertorium and record all deeds made by or before him either in the form of original of the deed and deed in originali. Numbering of deed or certified copy of the deed must be based on the number listed in repertorium. Numbering of deeds must be sequence in accordance with the making of the deed and each deed cannot have the same number on the same date. The main problems in this study are: 1) The validity of the deed which has obtained the Decree of the Minister of Law and Human Rights in the case of numbering the deed is the same as the other deeds, 2) The legal consequences of the deed that has a different number between the copy and the original of the deed and 3) legal sanctions against the deed numbering error. This research is qualitative research with normative juridical method and uses descriptive analytical research typology. Based on the results of the study it can be concluded that as long as the deed authenticity requirements such as formal requirements, material requirements and the outer terms of the deed are fulfilled, the deed remains authentic even though there are two different Notariil deeds on the same day and date. The legal consequence of the deed which has a different number between the copy and the certificate is the existence of an administrative violation in the copy of the deed, but the authenticity of the deed is not affected. Before the Notary issues a copy of the deed, the Notary is obliged to check the original of the deeds, repertorium, identities and documents attached to the original of the deeds to avoid errors in the copy of the deed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zildjialdy Ramadhan
Abstrak :
ABSTRAK
Notaris dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, ada saja notaris yang sengaja atau lalai yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak yang berkepentingan. Pihak yang berkepentingan yang mengalami kerugian tersebut dapat menuntut notaris yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dengan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku. Permasalahan yang penulis bahas adalah perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikad baik atas kelalaian notaris yang memberikan sertifikat kepada pihak yang tidak berkepentingan dan akibat hukum atau sanksi yang diberikan kepada notaris yang membuat akta kuasa menjual tanpa didukung bukti kepemilikan yang sah. Metode penulisan tesis ini menggunakan bentuk penelitian hukum yuridis normatif, metode analisis data kualitatif dan tipe penelitian deskriptif analitis. Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa kelalaian notaris dalam putusan nomor 196/Pid.B/2019/PN.Dps. Notaris melanggar ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan Pasal 17 ayat (1) huruf i. Notaris tidak melakukan pengecekan legalitas dokumen, memberikan keterangan palsu dengan tidak memberitahukan keberadaan sertipikat, memberikan sertipikat kepada pihak yang tidak berkepentingan dan tidak memberikan penyuluhan hukum, maka menimbulkan akibat hukum yang dapat dikenakan sanksi administratif, perdata dan pidana.
ABSTRACT

Notary in carrying out its duties and obligations, there is a deliberate or negligent notary that resulted in the loss of the concerned trust. The interested persons who suffer from such losses can prosecute the notary intentionally or because of their negligence in carrying out their duties and obligations under the prevailing regulations. The issue that the author discusses is legal protection against buyers who are in good faith for notary negligence that gives the certificate to the unconcerned and the consequences of the law or sanctions given to the notary who makes the deed of the Sfera sell without the supported evidence of legitimate work. The Pura method of writing this thesis utilizes normative juridical legal research forms, qualitative data analysis methods and types of analytical descriptive research. From this study can be concluded that the negligence of notary in the decision number 196/PID. B/2019/PN. Dps. Notary in violation of article 15 clause (2) Reduce E, Article 16 paragraph (1) reduce A and article 17 paragraph (1) reduce I. Notary does not conduct SVLK checking of documents, giving false information by not informing the existence of a Sertipikat, giving a Sertipikat to the disinterested and not providing legal counseling, hence the legal consequences that can be imposed by administrative, civil and criminal sanctions.

2020
T54867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E.A. Muftiha
Abstrak :
Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat akta otentik sebagai alat pembuktian yang sempurna. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur secara spesifik mengenai kewajiban dan kewenangan Notaris, serta mengatur bentuk dan tatacara pembuatan akta Notaris atau lebih dikenal dengan persyaratan formal akta Notaris. Agar akta yang dibuat di hadapan Notaris atau dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, harus memenuhi aspek formal, lahiriah, dan materiel. Apabila akta Notaris tidak memenuhi salah satu atau beberapa aspek tersebut, maka akta Notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang sempurna dan menjadi akta di bawah tangan atau batal demi hukum. Minuta Akta Notaris dipegang oleh Notaris dengan seketika menjadi arsip Negara dan terhadap para pihak hanya diberikan salinan akta, sedangkan Fotokopi Minuta Akta hanya dapat diberikan apabila sudah mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah, dalam hal untuk kepentingan proses peradilan. Pelanggaran atas hal-hal tersebut maka Notaris dapat dikenakan sanksi, yaitu berupa tuntutan ganti rugi, bunga dan biaya, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, serta sanksi berupa teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat, sebgaimana yang dinyatakan dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
The only public official who has the right in making of authenticity act as a complete evidence is Notary. Constitution Number 30 year of 2004 of Notary?s position has regulated a Notary obligation and authorization as with to set a form and procedure to compose a Notary?s act or known as a formal Notary act requirements. In order the deed made by Notary or before Notary shall have power in full proven, they must have aspects formal, intrinsic and material aspect. When Notary deed do no meet one of few aspect, so deed Notary has not complete power in law and become an illegal deed or abolish by law. Notary deed which hold by Notary instantaneously become state?s archive and provided only to parties copy of deed. Notary shall be fined sanction in line with this violations such as compensation, interest and expenses by submitting claim to court and imposing sanction of oral or legal notice, temporary discharge, respectfully or disrespectfully discharge as it stated on articles of 84 and 85 Constitution Number 30 year 2004 of Notary?s Position.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27415
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Matthew Jogi Lincoln
Abstrak :
Pelayanan kesehatan secara hukum memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kehidupan yang sehat. Idealnya, hal ini dilakukan oleh dokter dengan memberikan tindakan yang didasarkan sesuai diagnosa yang dilakukan. Ada kalanya dokter melakukan tindakan medis dengan kelalaian ataupun kesalahan sehingga menyebabkan kerugian bagi pasien yang ditanganinya, baik berupa materiil maupun immateriil. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis doktriner dengan membandingkan ketentuan ganti rugi keperdataan dalam hal malapraktik kedokteran di Indonesia dan di Spanyol dengan membandingkan berbagai ketentuan seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Kesehatan, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Kode Perdata Spanyol, Undang-undang Sektor Publik Spanyol, Undang-undang Kedokteran Spanyol, Kode Deontologis Medis Spanyol, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Melalui penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan hukum Indonesia mengenai ganti rugi perdata dalam hal malapraktek kedokteran perlu untuk dispesifikasi lagi, yaitu dalam hal perluasan ruang lingkup ganti rugi yang tidak hanya terbatas pada kerugian langsung, serta dalam hal kewajiban dokter untuk memiliki jaminan keuangan untuk menjamin dikompensasikannya kerugian yang dialami pasien sebagai akibat dari tindakan dokter yang lalai maupun tidak sesuai kode etik. ......Health care legally aims to fulfil people's need for a healthy life. Ideally, this is done by doctors by providing actions that are based on the diagnosis made. There are times when doctors perform medical actions with negligence or errors that cause harm to the patients they handle, both in the form of material and immaterial. This research is written using the doctrinaire juridical method by comparing the provisions of civil compensation in the event of medical malpractice in Indonesia and Spain by comparing various provisions such as the Civil Code, Health Law, Indonesian Medical Code of Ethics, Spanish Civil Code, Spanish Public Sector Law, Spanish Medical Law, Spanish Medical Deontological Code, as well as other laws and regulations. Through this research, it can be concluded that the Indonesian legal provisions regarding civil compensation in the event of medical malpractice need to be further specified, namely in terms of expanding the scope of compensation that is not only limited to direct losses, as well as in terms of the doctor's obligation to have financial guarantees to ensure compensation for losses suffered by patients as a result of the doctor's negligent actions or not in accordance with the code of ethics.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Matthew Jogi Lincoln
Abstrak :
Pelayanan kesehatan secara hukum memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kehidupan yang sehat. Idealnya, hal ini dilakukan oleh dokter dengan memberikan tindakan yang didasarkan sesuai diagnosa yang dilakukan. Ada kalanya dokter melakukan tindakan medis dengan kelalaian ataupun kesalahan sehingga menyebabkan kerugian bagi pasien yang ditanganinya, baik berupa materiil maupun immateriil. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis doktriner dengan membandingkan ketentuan ganti rugi keperdataan dalam hal malapraktik kedokteran di Indonesia dan di Spanyol dengan membandingkan berbagai ketentuan seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Kesehatan, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Kode Perdata Spanyol, Undang-undang Sektor Publik Spanyol, Undang-undang Kedokteran Spanyol, Kode Deontologis Medis Spanyol, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Melalui penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan hukum Indonesia mengenai ganti rugi perdata dalam hal malapraktek kedokteran perlu untuk dispesifikasi lagi, yaitu dalam hal perluasan ruang lingkup ganti rugi yang tidak hanya terbatas pada kerugian langsung, serta dalam hal kewajiban dokter untuk memiliki jaminan keuangan untuk menjamin dikompensasikannya kerugian yang dialami pasien sebagai akibat dari tindakan dokter yang lalai maupun tidak sesuai kode etik. ......Health care legally aims to fulfil people's need for a healthy life. Ideally, this is done by doctors by providing actions that are based on the diagnosis made. There are times when doctors perform medical actions with negligence or errors that cause harm to the patients they handle, both in the form of material and immaterial. This research is written using the doctrinaire juridical method by comparing the provisions of civil compensation in the event of medical malpractice in Indonesia and Spain by comparing various provisions such as the Civil Code, Health Law, Indonesian Medical Code of Ethics, Spanish Civil Code, Spanish Public Sector Law, Spanish Medical Law, Spanish Medical Deontological Code, as well as other laws and regulations. Through this research, it can be concluded that the Indonesian legal provisions regarding civil compensation in the event of medical malpractice need to be further specified, namely in terms of expanding the scope of compensation that is not only limited to direct losses, as well as in terms of the doctor's obligation to have financial guarantees to ensure compensation for losses suffered by patients as a result of the doctor's negligent actions or not in accordance with the code of ethics.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>